Anda di halaman 1dari 65

KEPERAWATAN MENJELANG AJAL DAN PALIATIF

Dosen Pengampu: Desmawati, SKp. M.Kep.Sp.Mat

“Asuhan Keperawatan Pasien pada Pasien Terminal”

Disusun Oleh :
Vidya Hanan Hafizha 1610711100
Dini Aulia Ramadhanty 1610711109
Fajri Eka Tyassari 1610711110
Nurfatma Silvia 1610711117
Santi Sri Hartini 1610711120

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

2018
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan makalah ini tepat padawaktunya.

Makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pasien pada Pasien


Terminal” ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan
Ajal dan paliatif Dalam penyusunan makalah ini penulis sadar karena kemampuan
penulis sangat terbatas. Makalah ini masih mengandung banyak kekurangan,
untuk itu harapan penulis para pembaca bersedia memberi saran dan pendapat
untuk makalah ini.

Pada kesempatan yang baik ini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa


hormat dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan tulus ikhlas
telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Depok, 13 November 2018

Penulis
Daftar Isi

Cover ............................................................................................................. i

Kata Pengantar .............................................................................................. ii

Daftar Isi ....................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang ............................................................................. 1

I.2 Tujuan Penulisan ......................................................................... 2

I.3 Rumusan Masalah ........................................................................ 2

BAB II TEORI

II.1 Pengertian Penyakit Terminal ................................................... 3

II.2 Tujuan Keperawatan Klien Dengan Kondisi Terminal .............. 4

II.3 Kriteria Penyakit Terminal ......................................................... 4

II.4 Masalah Yang Berkaitan Dengan Penyakit Terminal ................ 6

II.5 kebutuhan seorang dengan penyakit terminal ............................ 5

II.6 Respon Klien Dengan Penyakit Terminal ................................. 6

BAB III PEMBAHASAN

III.1 Asuhan keperawatan Gagal Jantung ......................................... 8

III.2 Asuhan keperawatan kanker Payudara ..................................... 25

III.3 Asuhan keperawatan HIV ........................................................ 44

BAB IV KESIMPULAN
IV.1 Simpulan .................................................................................... 58

IV.2 Saran .......................................................................................... 58

Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga
dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara
meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian
yang sempurna , dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik,psikologis, sosial atau spiritual (world health organization WHO
2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif seperti
penyakit kardiovaskular dengan prevelansi 38,5 % kanker 34% penyakit
pernapasan kronik 10.3% ,HIV/AIDS 5,7% diabetes 4,6% dan
memerlukan perawatan paliatif sekitar 40-60%. Pada tahun 2011 terdapat
29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang membutuhkan
perawatan paliatif berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih
dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59 tahun) 25% pada usia 0-14 tahun 6%.
Prevelensi penyakit di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu
Benua pasifik barat diikuti oleh eropa dan asia tenggara masing-masing
22% (WHO 2014) Kasus penyakit jantung dan diabetes sekitar 1.5%
(KEMENKES 2014) Penyakit dengan perawatan paliatif merupakan
penyakit yang sulit atau sudah tidak dapat disembuhkan, perawatan paliatif
ini bersifat meningkatkan kualitas hidup (WHO,2016)
Perawatan paliatif meliputi manajemen nyeri dan gejala: dukungan
psiokososial, emosional, dukungan spiritual, dan kondisi hidup nyaman
dengan perawat yang tepat,baik di rumah , rumah sakit atau tempat lain
sesuai pilihan pasien.Perawatan paliatif dilakukan sejak awal perjalanan
penyakit, bersama dengan terapi lain dan menggunakan tim dan
menggunakan pendekatan tim yang serius. CHF ( Congestive Heart
Failure) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam sistem
kardiovaskuler, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut WHO
dilaporkan bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika serikat menderita CHF.
Menurut American Heart Associsation (AHA) tahun 2012 dilaporkan
bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita gagal
jantung (Padila,2012). Penderita gagal jantung pada tahun 2012 menurut
data Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang
menjalani rawat inap di rumah sakit. Resiko kematian yang diakibatkan
oleh CHF adalah sekitar 5-10% per tahun pada kasus gagal jantung ringan,
dan meningkat menjadi 30-40% pada gagal jantung berat. Menurut
penelitian, sebagaian besar lansia yang didiagnosis menderita CHF tidak
dapat hidup lebih dari 5 tahun (kowalak, 2011)

1.1 Rumusan Masalah


1. Latar belakang permasalahan terminal pada klien.
2. Konsep materi tentang kebutuhan terminal pada klien.
3. Pengkajian pada pasien terminal.
4. Diagnosa keperawatan pada pasien terminal.
5. Intervensi masalah.
6. masalah.

1.2 Tujuan Penulisan


1. Mendefinisikan bagaimana kondisi seseorang yang mendekati kematian.
2. Mengetahui konsep teori dari kebutuhan terminal atau menjelang ajal.
3. Mengkaji dan memaparkan diagnosa dari kebutuhan terminal.
4. Memberi intervensi serta mengevaluasi pada klien yang menjelang ajal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

II.1 Pengertian Penyakit Terminal


Kondisi Terminal adalah: Suatu proses yang progresif menuju
kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik ,
psikososial dan spiritual bagi individu. (Carpenito ,1995).
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya,
kematian tidak dapat dihindari dalam waktu bervariasi ( Stuard& Sundeen
, 1995).
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju
kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik,
psikososial dan spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).
Penyakit pada stadium lanjut ,penyakit utama tidak dapatr diobati,
bersifat progresif ,pengobatan hanya bersifat paliatif (mengurangi gejala
dan keluhan, memperbaiki kualitas hidup (Tim medis RS Kanker
Darmais,1996).
Pasien Terminal adalah : Pasien –psien yang dirawat , yang sudah
jelas bahwa mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama
makin memburuk. (P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282, 1999 ).Pendampingan
dalam proses kematian adalah suatu pendamping dalam kehidupan ,
karena mati itu termasuk bagian dari kehidupan . Manusia dilahirkan ,
hidup beberapa tahun , dan akhirnya mati. Manusia akan menerima bahwa
itu adalah kehidupan, dan itu memang akan terjadi, kematian adalah akhir
dari kehidupan ( P.J.M. Stevens, dkk, 282,1999 ).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit
yang menuju kearah kematian contohnya seperti penyakit jantung , dan
kanker atau penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup
tipis ,tidak ada lagi obat-obatan ,tim medis sudah give up (menyerah) dan
seperti yang dikatakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah
kematian (White,2002).
Pasien penyakit terminal adalah pasien yang sedang menderita
sakit dimana tingkat sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga
pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat menyembuhkan lagi.Oleh
karena itu, pasien penyakit terminal harus mendapatkan perawatan paliatif
yang bersifat meredakan gejala penyakit, namun tidak lagi berfungsi untuk
menyembuhkan.
Jadi keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut
akal sehat tidak ada harapan lagi bagi yang sakit untuk sembuh. Keadaan
sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.

II.2 Tujuan Keperawatan Klien Dengan Kondisi Terminal


Tujuan keperawatan klien dengan kondisi terminal secara umum:
1. Menghilangkan atau mengurangi rasa kesendirian, takut dan depresi
2. Mempertahankan rasa aman, harkat dan rasa berguna
3. Membantu klien menerima rasa kehilangan
4. Membantu kenyamanan fisik
5. Mempertahankan harapan (faith and hope)

II.3 Kriteria Penyakit Terminal


1. Penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi
2. Mengarah pada kematian
3. Diagnosa medis sudah jelek
4. Tidak ada obat untuk menyembuhkan
5. Prognosis jelek
6. Bersifat progresif

II.4 Masalah Yang Berkaitan Dengan Penyakit Teminal


1. Problem fisik
Berkaitan dengan kondisi (penyakit terminalnya): nyeri, perubahan
berbagai fungsi sistem tubuh, perubahan tampilan fisik.
2. Problem psikologis (ketidakberdayaan)
Kehilangan control, ketergantungan, kehilangan diri dan harapan.
3. Problem social
Isolasi dan keterasingan, perpisahan.
4. Problem spiritual.
Kehilangan harapan dan perencanaan saat ajal tiba
5. Ketidak-sesuaian
Antara kebutuhan dan harapan dengan perlakuan yang didapat
(dokter, perawat, keluarga, dan sebagainya).

II.5 Kebutuhan Seseorang Dengan Penyakit Terminal


Seseorang dengan penyakit terminal akan mengalami rasa berduka
dan kehilangan. Sebagai seorang perawat kita harus mampu memahami
hal tersebut. Komunikasi dengan klien penyakit terminal merupakan
komunikasi yang tidak mudah. Perawat harus memiliki pengethauan
tentang penyakit yang mereka alami serta pengetahuan tentang proses
berduka dan kehilangan. Dalam berkomunikasi perewat menggunakan
konsep komunikasi terapeutik.Saat berkomunikasi dengan klien dengan
kondisi seperti itu bisa jadi akan timbul penolakan dari klien. Dalam
menghadapi kondisi tersebut, perawat menggunakan komunikasi terapetik.
Membangun hubungan saling percaya dan caring dengan klien dan
keluarga melaui penggunaan komunikasi terapeutik membentuk dasar bagi
intervensi pelayanan paliatif (Mok dan Chiu, 2004 dikutip dari Potter dan
Perry 2010).
Dalam berkomunikasi, gunakan komunikasi terbuka dan jujur,
tunjukkan rasa empati. Dengarkan dengan baik, tetap berpikiran terbuka,
serta amati respon verbal dan nonverbal klien dan keluarga. Saat
berkomunikasi mungkin saja klien akan menghindari topic pembicaraan,
diam, atau mungkin saja menolak untuk berbicara. Hal tersebut adalah
respon umum yang mungkin terjadi. Respon berduka yang normal seperti
kesedihan, mati rasa, penyangkalan, marah, membuat komunikasi menjadi
sulit. Jika klien memilih untuk tidak mendiskusikan penyakitnya saat ini,
perawat harus mengizinkan dan katakana bahwa klien bisa kapan saja
mengungkapkannya.Beberapa klien tidak akan mendiskusikan emosi
karena alasan pribadi atau budaya, dan klien lain ragu – ragu untuk
mengungkapkan emosi mereka karena orang lain akan meninggalkan
mereka (Buckley dan Herth, 2004 dikutip dari potter dan perry 2010).
Memberi kebebasan klien memilih dan menghormati keputusannya
akan membuat hubungan terapeutik dengan klien berkembang. Terkadang
klien perlu mengatasi berduka mereka sendirian sebelum
mendiskusikannya dengan orang lain. Ketika klien ingin membicarakan
tentang sesuatu, susun kontrak waktu dan tempat yang tepat.

II.6 Respon Klien Terhadap Penyakit Terminal


Keadaan terminal dapat menimbulkan respon Bio-Psiko-Sosial-Spritual ini
akan meliputi respon kehilangan. (Purwaningsih dan kartina, 2009)
1. Kehilangan kesehatan
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kesehatan dapat berupa
klien merasa takut, cemas dan pandangan tidak realistic, aktivitas
terbatas.
2. Kehilangan kemandirian
Respon yang ditimbulkan dari kehilangan kemandirian dapat
ditunjukan melalui berbagai perilaku, bersifat kekanak-kanakan,
ketergantungan.
3. Kehilangan situasi
Klien merasa kehilangan situasi yang dinikmati sehari-hari
bersama keluarga kelompoknya.
4. Kehilangan rasa nyaman
Gangguan rasa nyaman muncul sebagai akibat gangguan fungsi
tubuh seperti panas, nyeri, dll.
5. Kehilangan fungsi fisik
Contoh dampak kehilangan fungsi organ tubuh seperti klien
dengan gagal ginjal harus dibantu melalui hemodialisa.
6. Kehilangan fungsi mental
Dampak yang dapat ditimbulkan dari kehilangan fungsi mental
seperti klien mengalami kecemasan dan depresi, tidak dapat
berkonsentrasi dan berpikir efisien sehingga klien tidak dapat
berpikir secara rasional.
7. Kehilangan konsep diri
Klien dengan penyakit terminal merasa dirinya berubah mencakup
bentuk dan fungsi sehingga klien tidak dapat berpikir secara
rasional (bodi image) peran serta identitasnya. Hal ini akan dapat
mempengaruhi idealisme diri dan harga diri rendah.
8. Kehilangan peran dalam kelompok dan keluarga
Contohnya : seseorang ayah yang memilikiki peran dalam keluarga
mencari nafkah akibat penyakit teminalnya , ayah tesebut tidak
dapat menjalankan peranya tersebut.
BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Congestive Heart Failure (Gagal Jantung)


A. Pengertian
Kongestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu keadaan
patologis di mana kelainan fungsi jantung menyebabkan kegagalan
jantung memompa darah untuk memenuhi kebutuhan jaringan, atau
hanya dapat memenuhi kebutuhan jaringan dengan meningkatkan
tekanan pengisian (Fachrunnisa & dkk, 2015).
Gagal jantung dikenal dalam beberapa istilah yaitu gagal jantung
kiri, kanan, dan kombinasi atau kongestif.Pada gagal jantung kiri
terdapat bendungan paru, hipotensi, dan vasokontriksi perifer yang
mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.Gagal jantung kanan ditandai
dengan adanya edema perifer, asites dan peningkatan tekanan vena
jugularis.Gagal jantung kongestif adalah gabungan dari kedua gambaran
tersebut.Namun demikian, kelainan fungsi jantung kiri maupun kanan
sering terjadi secara bersamaan (McPhee, 2010)
Congestive Heart Failure (CHF) atau gagal jantung kongestif
adalah suatu kondisi jantung mengalami kegagalan dalam memompa
darah dalam mencukupi kebutuhan sel-sel tubuh akan nutrien dan
oksigen secara adekuat.
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan patofisiologis
berupa kelainan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu
memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan dan
kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal (Mansjoer, 2007).
B. Etiologi
Menurut Hudak dan Gallo (2000) penyebab kegagalan jantung yaitu:
1. Disritmia, seperti: brakikardi, takikardi dan kontraksi premature
yang sering dapat menurunkan curah jantung.
2. Malfungsi katub dapat menimbulkan kegagalan pompa baik oleh
kelebihan beban tekanan (obstruksi pada pengaliran keluar dari
pompa ruang, seperti stenosis katub aortik atau stenosis
pulmonal), atau dengan kelebihan beban volume yang
menunjukkan peningkatan volume darah ke ventrikel kiri.
3. Abnormalitas Otot Jantung: Menyebabkan kegagalan ventrikel
meliputi infark miokard, aneurisma ventrikel, fibrosis miokard
luas (biasanya dari aterosklerosis koroner jantung atau hipertensi
lama), fibrosis endokardium, penyakit miokard primer
(kardiomiopati), atau hipertrofi luas karena hipertensi pulmonal,
stenosis aorta atau hipertensi sistemik.
4. Ruptur Miokard: terjadi sebagai awitan dramatik dan sering
membahayakan kegagalan pompa dan dihubungkan dengan
mortalitas tinggi. Ini biasa terjadi selama 8 hari pertama setelah
infark.

C. Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart
Association(NYHA) dalam Gray (2002), terbagi dalam 4 kelas

yaitu:


1. NYHA I : Timbul sesak pada aktifitas fisik berat


2. NYHA II : Timbul sesak pada aktifitas fisik sedang

3. NYHA III : Timbul sesak pada aktifitas fisik ringan


4. NYHA IV :Timbul sesak pada aktifitas fisik sangat ringan


atau istirahat.
Berdasarkan American Heart Association (Yancy, 2013)klasifikasi dari
gagal jantung kongestif yaitu sebagai berikut :

a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko
tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung
serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung
tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya
terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan
tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya
ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada
ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada
jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah
terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek,
lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat
keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif
Menurut Hudak dan Gallo (2000):
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti
gagal jantung kanan dan terjadinya di dada karena peningkatan
kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda
gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan
bising akibat regurgitasi mitral.
1. Gagal Jantung Kiri
a) Gelisah dan cemas
b) Kongesti vaskuler pulmonal
c) Edema

d) Penurunan curah jantung 


e) Gallop atrial (S3) 


f) Gallop ventrikel (S4) 


g) Crackles paru 


h) Disritmia 


i) Bunyi nafas mengi 


j) Pulsus alternans 


k) Pernafasan cheyne-stokes 


l) Bukti-bukti radiologi tentang 
 kongesti pulmonal 


m) Dyspneu
n) Batuk
o) Mudah lelah
2. Gagal Jantung Kanan

a) Peningkatan JVP


b) Edema


c) Curah jantung rendah


d) Disritmia

e) S3 dan S4


f) Hiperresonan pada perkusi


g) Pitting edema

h) Hepatomegali


i) Anoreksia


j) Nokturia


k) Kelemahan
E. Manajemen Gejala
Sebuah penelitian di Eropa menggambarkan perawatan paliatif
sebagai perawatan medis khusus yang menargetkan pasien yang hidup
dengan kondisi yang mengancam jiwa. Tujuan perawatan paliatif
adalah untuk mempromosikan kesehatan fisik dan psikososial yang
pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan kualitas hidup
untuk pasien dan keluarga / pengasuh mereka. Tim peneliti merasa
bahwa cara untuk mencapai tujuan mereka, mereka harus
menekankan pada tiga bidang ini:
1. Pengurangan kontrol gejala dan efek samping dari penyakit dan /
atau perawatan kuratif.
2. Komunikasi update yang tepat waktu dan berkelanjutan dari
tujuan pengobatan antara dokter, pasien dan keluarga mereka.
3. Dukungan psikologis, sosial dan spiritual yang efisien baik dari
pasien dan keluarga mereka sepanjang perjalanan penyakit
lintasan.

(https://www.omicsonline.org/open-access/the-benefits-of-palliative-care-
interventions-for-patients-with-heart-failure--a-literature-review-2165-7386-
1000324-96232.html)

Manajemen gejala adalah yang terdepan dalam perawatan ini.


Untuk memberikan kenyamanan kepada pasien, dosis hingga 600 mg
Lasix mungkin diperlukan, dan kombinasi diuretik mungkin diperlukan
untuk mengontrol kelebihan cairan. Morfin juga diindikasikan pada dosis
yang memberikan istirahat dan kenyamanan dan juga mengurangi
penderitaan pada pasien dengan CHF, yang membantu dalam mengurangi
preload, mengurangi dypsnea, dan mengurangi rasa sakit. Karena tidak
ada dosis langit-langit untuk opioid, dosis yang tepat adalah apa saja yang
diperlukan untuk menghilangkan rasa sakit ketika meninggal karena
gagal jantung, dan output jantung pasien akhirnya menurun ke titik di
mana ia memiliki beberapa disfungsi organ dengan keterlibatan hati,
ginjal, dan paru-paru. Karena kegagalan biventrikel, kegagalan sisi kanan
menyebabkan pembesaran hati, yang menyebabkan tidak hanya mual dan
muntah tetapi juga asites dan ketidakmampuan untuk makan. Edema paru
dari kegagalan ventrikel kiri menyebabkan asidosis respiratorik, yang
tidak dapat dikompensasi secara normal oleh ginjal, sehingga gagal ginjal
dan azotemia juga terjadi. Ketika azotemia meningkat, asidosis metabolik
berkembang dan pasien meninggal karena asidosis respiratorik dan
metabolik. Pernapasan gangguan tidur terjadi pada setengah dari pasien
dengan gagal jantung lanjut, dan oleh karena itu pengobatan dengan
CPAP meningkatkan fungsi ventrikel kiri dan membalikkan aktivasi
neurohorogal yang buruk yang terjadi (Kohnlein, Welte, Tan, & El-liot,
2002) . Sayangnya itu jarang digunakan menurut survei yang dilakukan
oleh Goodlin dkk. (2005).
F. Tahapan perawatan paliatif pada pasien CHF
Tahap 1: Fase manajemen penyakit kronis (NYHA I-III)
Tujuan perawatan termasuk pemantauan aktif, terapi yang efektif
untuk memperpanjang kelangsungan hidup, kontrol gejala,
pendidikan pasien dan pengasuh, dan didukung manajemen diri
Pasien diberi penjelasan yang jelas tentang kondisi mereka termasuk
nama, etiologi, pengobatan, dan prognosisnya Pemantauan reguler
dan peninjauan yang tepat sesuai dengan pedoman nasional dan
protokol local.
Tahap 2: fase perawatan suportif dan paliatif: (NYHA III – IV)
Penerimaan ke rumah sakit dapat menandai fase ini Seorang
profesional kunci diidentifikasi di masyarakat untuk
mengkoordinasikan perawatan dan bekerja sama dengan spesialis
gagal jantung, perawatan paliatif, dan layanan lainnya Tujuan
perawatan bergeser untuk mempertahankan kontrol gejala dan
kualitas hidup yang optimal Sebuah penilaian holistik dan
multidisipliner terhadap kebutuhan pasien dan perawat dilakukan
Kesempatan untuk mendiskusikan prognosis dan kemungkinan
penyakit yang diderita secara lebih rinci disediakan oleh para
profesional, termasuk rekomendasi untuk menyelesaikan rencana
perawatan lanjutan Layanan di luar jam kerja didokumentasikan
dalam rencana perawatan jika terjadi kerusakan akut
Tahap 3: fase perawatan Terminal
Indikator klinis termasuk, meskipun pengobatan maksimal, gangguan
ginjal, hipotensi, edema persisten, kelelahan, anoreksia Pengobatan
gagal jantung untuk kontrol gejala dilanjutkan dan status resusitasi
diklarifikasi, didokumentasikan, dan komunikasikan kepada semua
penyedia perawatan Jalur perawatan terpadu untuk orang yang sekarat
dapat diperkenalkan untuk menyusun perencanaan perawatan
Peningkatan dukungan praktis dan emosional untuk pengasuh
disediakan, terus mendukung berkabung Penyediaan dan akses ke
tingkat yang sama perawatan generalis dan spesialis untuk pasien di
semua pengaturan perawatan sesuai dengan kebutuhanmereka
(Jaarsma, 2009)

G. Patofisiologi
Menurut Price (2005) beban pengisian preload dan beban
tahanan afterload pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan
hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung
yang lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan
jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis sehingga kadar
katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan
tujuan meningkatkan curah jantung.
Pembebanan jantung yang berlebihan dapat meningkatkan
curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik
vena ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi,
takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan makanisme
kompensasi jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya
dan sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi maka terjadilah
keadaan gagal jantung.
Sedangkan menurut Smeltzer (2002), gagal jantung kiri atau
gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan
volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini
merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi
ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut maka bendungan akan
terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru
dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam
sirkulasi yang meninggi.
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel
kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil).
Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan
merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertrofi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan
bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung
kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri- kanan.
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau
hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup
ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir
diastol ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium
kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastol,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan.
Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dalam vena kafa superior dan
inferior kedalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan
adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang berat dengan
akibat timbulnya edema tumit dan tungkai bawah dan asites.

H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1. Elektro kardiogram (EKG) Hipertrofi atrial atau ventrikuler,
penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial.

2. Scan jantung
 Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan

pergeraka dinding
 dinding.


3. Sonogram
 (echokardiogram doppler)
 Dapat menunjukkan

dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub


atau area penurunan kontraktilitas ventricular.

I. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2002), komplikasi dari CHF adalah :
1. Edema pulmoner akut

2. Hiperkalemia: akibat penurunan 
 ekskresi, asidosis metabolik,

katabolisme dan masukan diit berlebih.


3. Perikarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
4. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi
sistem renin-angiotensin-aldosteron.
5. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel
darah merah.
J. Evidence Based Gagal Jantung Kongestif
Mendengarkan Murrotal
Melalui terapi pembacaan Al Quran terjadi perubahan arus
listrik di otot, perubahan sirkulasi darah, perubahan detak jantung
dan kadar darah pada kulit (Asman, 2008). Perubahan tersebut
menunjukan adanya penurunan ketegangan saraf reflektif yang
mengakibatkan terjadinya vasodi-latasi dan peningkatan kadar
darah dalam kulit, diiringi denganpenurunan frekuensi detak
jantung. Pemberian Terapi bacaan Al Quran terbukti mengaktifan
sel-sel tubuh dengan mengubah getaran suara menjadi gelombang
yang ditangkap oleh tubuh,menurunkan rangsangan reseptor nyeri
sehingga otak mengeluarkan opioid natural endogen. Opioid ini
bersifat permanen untuk memblokade nociceptor nyeri.
Gelombang suara dari pembacaan ayat Al Quran akan
masuk melalui telinga, kemudian menggetarkan gendang telinga,
mengguncang cairan di telinga dalam serta menggetarkan sel-sel
berambut di dalam Koklea. Selanjutnyamelalui saraf Koklearis
menuju ke otak. Tiga jaras Retikuler yang berperan dalam
gelombang suara yaitu jaras retikuler-talamus, hipotalamus.
Gelombang suara diterima langsung oleh Talamus yaitu
suatu bagian otak yang mengatur emosi, sensasi, dan perasaan,
tanpa terlebih dahulu dicerna oleh bagian otakyang berpikir
mengenai baik-buruk maupun intelegensia. Kemudian melalui
Hipotalamus memengaruhi struktur basal forebrain termasuk sistem
limbik. Hipotalamus merupakan pusat saraf otonom yangmengatur
fungsi perna-pasan, denyut jantung, tekanan darah, pergerakan otot
usus, fungsi endokrin,memori, dan lain-lain. Selanjutnya, melalui
akson neuron berdifusi mempersarafi neo-korteks (Qadri, 2003).
Zulkurnaini, Kadir, Murat, & Isa (2012) mengung-kapkan
bahwa mendegarkan bacaan ayat suci Al-quran memiliki pengaruh
yang signifikan dalam menurunkan ketegangan urat saraf reflektif,
dan hasil ini tercatat dan terukur secara kuantitatif dan kualitatif
oleh sebuah alat berbasis komputer. Adapun pengaruh yang terjadi
berupa adanya perubahan arus listrik di otot, perubahan daya
tangkap kulit terhadap konduksi listrik, perubahan pada sirkulasi
darah, perubahan detak jantung, dan kadar darah pada kulit.
Perubahan tersebut menunjukkan adanya relaksasi atau penurunan
ketegangan urat saraf reflektif yang mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi dan penambahan kadar darah dalam kulit, diiringi
dengan peningkatan suhu kulit dan penurunan frekuensi denyut
jantung.
Kemajuan tehnologi telah mendeteksi secara akurat bahwa
mendengarkan ayat-ayat Al Quran dapat merelaksasi saraf reflektif,
memfungsikan organ tubuh, serta memberikan aura positif pada
tubuh manusia. Bacaan Al-Quran berefek pada sel-sel dan dapat
mengembalikan keseimbangan. Otak merupakan organ yang
mengontrol tubuh, dan darinya muncul perintah untuk relaksasi
tubuh, khususnya sistem imunitas (Rilla, 2014).

K. Peran Perawat Dalam Penatalaksanaan Proses Perawatan


Paliatif
Menurut Matzo dan Sherman (2006) dalam Ningsih (2011) peran
perawat paliatif meliputi :
1. Praktik di Klinik
Perawat memanfaatkan pengalamannya dalam mengkaji dan
mengevaluasi keluhan serta nyeri. Perawat dan anggota tim
berbagai keilmuan mengembangkan dan mengimplementasi-kan
rencana perawatan secara menyeluruh. Perawat
mengidentifikasikan pendekatan baru untuk mengatasi nyeri
yang dikembangkanberdasarkan standar perawatan di rumah
sakit untuk melaksanakan tindakan. Dengankemajuan ilmu
pengetahuan keperawatan, maka keluhan sindroma nyeri
yangkomplek dapat perawat praktikan dengan melakukan
pengukuran tingkat kenyamanan disertai dengan memanfaat-kan
inovasi, etik dan berdasarkan keilmuannya.
2. Pendidik
Perawat memfasilitasi filosofi yang komplek,etik dan diskusi
tentang penatalaksanaan keperawatan di klinik,mengkaji pasien
dan keluarganya serta semua anggota tim menerima hasil yang
positif. Perawat memperlihatkan dasarkeilmuan/pendidikannya
yang meliputi mengatasi nyeri neuropatik,berperan mengatasi
konflik profesi, mencegah dukacita, dan resiko kehilangan.
Perawat pendidik dengan tim lainnya seperti komite dan ahli
farmasi, berdasarkan pedoman dari tim perawatan paliatif maka
memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam
menggunakan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri
neuropatik yang tidak mudah diatasi.
3. Peneliti
Perawat menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui
pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru
yang ditunjukan padapertanyaan-pertanyaan penelitian. Perawat
dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif.
4. Bekerja sama (collaborator)
Perawat sebagai penasihat anggota/staff dalam mengkaji bio-
psiko-sosial dan spiritual dan penatalaksanaannya. Perawat
membangun dan mempertahankan hubungan kolaborasi dan
mengidentifikasi sumber dan kesempatan bekerja dengan tim
perawatan paliatif,perawat memfasilitasi dalam mengembangkan
dan mengimplementasikan anggota dalam pelayanan, kolaborasi
perawat/dokter dan komite penasihat. Perawat memperlihatkan
nilai-nilai kolaborasi dengan pasien dan keluarganya,dengan tim
antar disiplin ilmu, dan tim kesehatan lainnya dalam
memfasilitasi kemungkinan hasil terbaik.
5. Penasihat (Consultan)
Perawat berkolaborasi dan berdiskusi dengan dokter, tim
perawatan paliatif dan komite untuk menentukan tindakan yang
sesuai dalam pertemuan/rapat tentang kebutuhan-kebutuhan
pasien dan keluarganya. Dalam memahami peran perawat dalam
proses penatalaksanaan perawatan paliatif sangat penting untuk
mengetahui proses asuhan keperawatan dalam perawtan paliatif.

Asuhan keperawatan paliatif merupakan suatu proses atau


rangkaian kegiatan praktek keperawatan yang langsung diberikan
kepada pasien paliatif dengan menggunakan pendekatan
metodologi proses keperawatan berpedoman pada standar
keperawatan, dilandasi etika profesi dalam lingkup wewenang serta
tanggung jawab perawat yang mencakup seluruh proses kehidupan,
dengan pendekatan yang holistic mencakup pelayanan
biopsikososiospiritual yang komprehensif, dan bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien (Ilmi, 2016).

L. Asuhan Keperawatan Paliatif Terminal


Menurut Doenges (2010), asuhan keperawatan yang penting

dilakukan pada klien CHF meliputi :


1. Pengkajian
a) Airway: penilaian akan kepatenan jalan nafas, meliputi
pemeriksaan mengenai adanya obstruksi jalan nafas, dan
adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat
dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian

adanya suara nafas tambahan seperti snoring. 


b) Breathing: frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu


pernafasan, retraksi dinding dada, dan adanya sesak nafas.
Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji
adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan
kaji adanya trauma pada dada.

c) Circulation:
 pengkajian tentang
 darah dan cardiac output

serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status


hemodinamik, warna kulit, nadi.
d) Disability: nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi
pupil.
2. Masalah yang lazim muncul
a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b) Ketidakefektifan pola nafas b.d keletihan otot-otot
pernafasan,disfungsi neuromuscular
c) Gangguan pertukaran gas
d) Nyeri akut
e) Resiko penurunan perfusi jaringan jantung
f) Kelebihan volume cairan
g) Intoleransi aktivitas b.d kelelahan atau dsypnea akibat
turunnya curah jantung
h) Kerusakan integritas kulit
i) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
j) Defisit perawatan diri
k) Ansietas b.d kesulitan nafas dan kegelisahan akibat
oksigenisasi yang tidak adekuat
3. Intervensi

No Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan


Keperawatan
1. Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan a. Posisikan semi fowler
jantung b.d keperawatan selama 3 x 24 b. Monitor status pernafasan
Perubahan preload jam, diharapkan tidak terdapat yang menandakan gagal
penurunan curah jantung pada jantung
pasien, dengan kriteria hasil : c. Monitor BC
a. Vital sign batas normal d. Monitor adanya perubahan
b. Dapat mentoleransi TD dan berikan lingkungan
aktifitas, tidak yang tenang
c. Tidak ada edema paru e. Monitor TTV
perifer dan tidak f. Monitor adanya dyspnea
d. Tidak ada penurunan g. Instruksikan pasien untuk
kesadaran istirahat total di tempat tidur
h. Atur periode latihan dan
istirahat untuk menghindari
kelelahan
i. Anjurkan untuk menurunkan
stress
j. Berikan terapi oksigen sesuai
indikasi
k. Kolaborasi terapi obat
diuretik dan antibiotic
2. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan a. Posisikan pasien semi fowler
pola napas b.d keperawatan selama 3 x 24 untuk memaksimalkan
dipneu jam, diharapkan pola nafas ventilasi dan pertahankan
pasien efektif, dengan kriteria posisi pasien
hasil : b. Identifikasi pasien perlunya
a. Menunjukan jalan napas c. Auskultasi suara napas, catat
yang paten (klien tidak adanya suara tambahan
merasa tercekik, irama d. Atur inteke untuk cairan
nafas, frekuensi pernafasan mengoptimalkan
dalam rentang normal, keseimbangan
tidak ada suara nafas e. Monitor vital sign
abnormal) f. Monitoring respirasi dan 02
b. Tanda-tanda vital dalam
rentang normal
(TD,nadi,pernafasa n)
c. Tidak menggunakan otot
bantu pernafasan
3. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan a. Kaji tingkat pemahaman
b.d kurangnya keperawatan selama 1 x 24 pasien dan keluarga tentang
informasi tentang jam, diharapkan defisiensi penyakit
penyaki pengetahuan teratasi, dengan b. Beritahu pasien dan keluarga
kriteria hasil : pasien tentang informasi
a. Pasien dan keluarganya penyakit : pengertian,
mengerti akan penyakitnya penyebab, proses penyakit,
b. Pasien dan keluarganya tanda dan gejala dan
menyatakan pemahaman pengobatan
mengenai kondisi/proses c. Beri kan waktu kepada
penyakit dan pengobatan pasien untuk mengaju kan
pertanyaan
d. Tekankan pentingnya terapi
diuretik dan antibiotik pada
pasien dan keluarga pasien
III.2 Kanker Payudara
A. Prevalensi
Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun
2009, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien kanker
rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia (21,69 persen), diikuti
kanker leher rahim (17 persen).4 Berdasarkan data Global Burden of
Cancer, angka kejadian kanker payudara di Indonesia sebanyak 26 per
100.000 perempuan. Dokter spesialis bedah kanker Rumah Sakit Kanker
Dharamis Jakarta yaitu Sutjipto tahun 2013 menyatakan saat ini penderita
kanker payudara di Indonesia mencapai 100 dari 100.000 penduduk.
Sekitar 60-70 persen dari penderita tersebut datang pada stadium tiga
yang kondisinya terlihat semakin parah.5 Kasus penyakit kanker yang
ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2012 sebanyak 11.341
kasus, lebih sedikit dibanding tahun 2011 (19.637 kasus). Penyakit
kanker terdiri dari Ca.serviks 2.259 kasus (19,92 persen), Ca mamae
4.206 kasus (37,09 persen), Ca. hepar 2.755 kasus (24,29 persen), dan Ca.
paru 2.121 kasus (18,70 persen).5
Berdasarkan laporan program yang berasal dari Rumah Sakit dan
Puskesmas pada tahun 2010 di kota Semarang, kasus penyakit kanker
yang ditemukan sebanyak 11.862, terdiri dari kanker payudara 2.349
kasus, kanker serviks 2,782 kasus, kanker hati dan empedu 222 kasus,
kanker bronkus dan kanker paru 268 kasus.6
Jumlah penderita kanker payudara di negara maju tidak sebanyak
penderita kanker di Indonesia hal ini disebabkan di negara tersebut
kesadaran tentang pemeriksaan payudara sendiri secara dini sudah baik,
sehingga kanker dapat ditemukan lebih dini atau stadium awal dan
penderita dapat segera mengobatinya.1
Deteksi dini kanker payudara adalah program pemeriksaan untuk
mengenali kanker payudara sewaktu masih berukuran kecil, dan sebelum
kanker tersebut mempunyai kesempatan untuk menyebar.9 Kanker
payudara dapat ditemukan secara dini dengan pemeriksaan SADARI,
pemeriksaan klinik dan pemeriksaan mamografi. Deteksi dini dapat
menekan angka kematian sebesar 25-30 persen.10 Sensitivitas SADARI
untuk mendeteksi kanker payudara mencapai 26 persen dan jika
dikombinasikan dengan mammografi maka sensitivitas deteksi dini
kanker payudara menjadi 75 persen. SADARI merupakan suatu teknik
penyaringan yang sederhana dan baik untuk penyakit payudara.
Meskipun SADARI tidak mahal, tidak nyeri, tidak berbahaya dan
nyaman, namun hanya sekitar dua pertiga wanita mempraktikkannya
sekurang-kurangnya sekali setahun dan hanya sepertiga
mempraktekkannya tiaptiap bulan seperti dianjurkan. Wanita yang
melakukan teknik itu, hanya sekitar setengahnya yang melakukan dengan
benar. Hal ini disebabkan karena minimnya informasi dan kurangnya
pengetahuan tentang SADARI.11

B. Pengertian
Ca mamae merupakan penyakit yang disebabkan karena terjadinya
pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertumbuhan sel
tidak dapat di kendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor
(kanker) sel (Brunner dan Suddarth, 2005 ).
Ca mamae adalah suatu penyakit seluler yang dapat timbul dari
jaringan payudara dengan manifestasi yang mengakibatkan kegagalan
untuk mengontrol proliferasi dan maturasi sel (Brunner dan Suddarth,
2005 ).
Ca mamae adalaah suatu penyakit yang menggambarkan gangguan
pertumbuhan seluler dan merupakan kelompok penyakit,bukan penyakit
tunggal (Tucker dkk,1998).
Ca mamae adalah sekelompok sel tidak normal yang terus tumbuh
di dalam jaringan mammae (Tapan, 2005).
Ca mamae adalah pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel
jaringan tubuh yang berubah menjadi ganas (http//www.pikiran-rakyat.
com. jam 10.00, Minggu tanggal 29-8-2005,sumber : Harianto,dkk).
C. Klasifikasi
Pembagian stadium menurut Portman yang disesuaikan aplikasi klinik
yaitu:
1. Stadium 1
Tumor teraba dalam payudara, bebas dari stadium jaringan
sekitarnya, tidak ada fixasi/ infiltrasi ke kulit dan jaringan
yang di bawahnya (otot). Besar tumor 1-2 cm dan tidak dapat
terdeteksi dari luar. Kelenjer getah bening regional belum teraba.
Perawatan yang sangat sistematis diberikan tujuannya agar sel
kanker tidak dapat menyebar dan tidak berlanjut pada stadium
selanjutnya. Pada stadium ini, kemungkinan penyembuhan pada
penderita adalah 70%.
2. Stadium II
Tumor terbebas dalam payudara, besar tumor 2,5-5 cm, sudah ada
atau beberapa kelenjer getah bening axila yang masih bebas dengan
diameter kurang dari 2 cm. Untuk mengangkat sel-sel kanker
biasanya dilakukan operasi dan setelah operasi dilakukan penyinaran
untuk memastikan tidak ada lagi sel-sel kanker yang tertinggal. Pada
stadium ini, kemungkinan sembuh penderita adalah 30-40%.
3. Staium III A
Tumor sudah meluas pada payudara, besar tumor 5-10 cm, tapi
masih bebas di jaringan sekitarnya, kelenjar getah bening axila
masih bebas satu sama lain. Menurut data Depkes, 87% ca mamae
ditemukan pada stadium ini.
4. Stadium III B
Tumor melekat pada kulit atau dinding dada, kulit merah, ada edema
(lebih dari sepertiga permukaan kulit payudara) ulserasi, kelenjar
getah bening axila melekat satu sama lain atau ke jaringan sekitarnya
dengan diameter 2-5 cm. Kanker sudah menyebar pada seluruh
bagian payudara, bahkan mencapai kulit, dinding dada, tulang rusuk
dan otot dada.
5. Stadium IV
Tumor seperti pada stadium I,II,III tapi sudah disertai dengan
kelenjar getah bening axila supra-klafikula dan metastasis jauh.
Sel-sel kanker sudah merembet menyerang bagian tubuh lainnya,
biasanya tulang, paru-paru, hati, otak, kulit, kelenjar limfa yang ada
di batang leher. Tindakan yang harus dilakukan adalah mengangkat
payudara. Tujuan pengobatan pada palliative bukan lagi
kuratif(menyembuhkan).

D. Etiologi
Tidak satupun penyebab spesifik dari ca mamae,sebaliknya
serangkaian faktor genetik, hormonal, dan kemungkinan kejadian
lingkungan dapt menunjang terjadinya kanker ini. Bukti yang terus
bermunculan menunjukan bahwa perubahan genetik belum berkaitan
dengan ca mamae, namun apa yang menyebabkan perubahan genetik
masih belum diketahui. Perubahan genetik ini termasuk perubahan atau
mutasi dalam gen normal, dan pengaruh protein yang menekan atau
menigkatkan perkembangan ca mamae. Hormon steroid yang dihasilkan
oleh ovarium mempunyai peran penting dalam ca mamae.Dua hormone
ovarium utama-estradiol dan progesterone mengalami perubahan dalam
lingkungan seluler, yang dapat mempengaruhi factor pertumbuhan bagi
camamae(Brunner dan Sudart, 2001).
Faktor resiko timbul ca mamae terdiri dari faktor resiko yang tidak
dapat di ubah (unchangeable) dan dapat di ubah (changeable) yaitu :
Faktor resiko yang tidak dapat di ubah (unchangable)
1. Umur
Semakin bertambahnya umur meningkat resiko ca mamae. Wanita
paling sering terserang ca mamae adalah usia di atas 40 tahun. Wanita
berumur di bawah wanita 40 tahun juga dapat terserang ca mamae,
namun resikonya lebih rendah dibandingkan wanita berusia diatas 40
tahun.
2. Menarche Usia Dini
Resiko terjadinya ca mamae meningkat pada wanita yang mengalami
menstruasi pertama sebelum umur 12 tahun. Umur menstruasi yang
lebih awal berhubungan dengan lamanya paparan hormone estrogen
dan progesterone pada wanita yang berpengaruh terhadap proses
proliferasi jaringan termasuk jaringan payudara.
3. Menoupause usia lanjut
Menopause setelah usia 55 tahun meningkatkan resiko untuk
mengalami ca mamae. Sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor
jauh sebelum terjadinya perubahan klinis. Kurang dari 25% ca mamae
terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal
terjadinya tumor terjadinya perubahan klinis.
4. Riwayat keluarga
Terdapat peningkatan resiko menderita ca mamae pada wanita yang
keluarganya menderita ca mamae tertentu. Apabila BRCA 1 (Breast
Cancer 2),yaitu suatu kerentanan terhadap ca mamae, untuk terjadi ca
mamae sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur
70 tahun. 10% ca mamae bersifat familial. Pada studi genetik
ditemukan bahwa ca mamae berhubungan dengan gen probabilitas.
5. Riwayat penyakit payudara jinak
Wanita yang menderita kelainan ploriferatif pada payudara memiliki
peningkatan resiko untuk mengalami ca mamae. Menurut penelitian
Brinton (2008) di Amerika Serikat dengan desain cohort, wanita yang
mempunyai tumor payudara (adenosis, fibroadenoma, dan fibrosis)
mempunyai resiko 2,0 kali lebih tinggi untuk mengalami ca mamae 4,0
kali lebih besar untuk terkena ca mamae (RR=4,0).

Faktor resiko yang dapat diubah / dicegah (changeable) :

1. Riwayat kehamilan
Usia lanjut saat melahirkan anak pertama meningkatkan resiko
mengalami ca mamae. Menurut penelitian Briston (2008) di Amerika
Serikat dengan desain cohort, wanita yang kehamilan pertama setelah
35 tahun mempunyai resiko 3,6 kali lebih besar dibandingkan wanita
yang kehamilan pertama sebelum 35 tahun untuk terkena ca mamae
(RR=3,6). Wanita yang multipara atau belum pernah melahirkan
mempunyai faktor resiko 4,0 kali lebih besar dibandingkan wanita
multipara atau sudah lebih dari sekali melahirkan untuk terkena ca
mamae (RR=4,0)
2. Obesitas dan konsumsi lemak tinngi
Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dengan ca mamae
pada wanita pasca menopause. Konsumsi lemak diperkirakan sebagai
suatu faktor resiko terjadinya ca mamae.
3. Penggunaan Hormone dan Kontrasepsi Oral
Hormone berhubungan dengan terjadinya ca mamae. Wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral berisiko tinggi untuk mengalami ca
mamae. Kandungan estrogen dan progestron pada kontrasepsi oral
akan memberikan efek proliferasi berlebih pada kelenjer payudara.
Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral untuk waktu yang lama
mempunyai resiko untuk mengalami ca mamae sebelum menopause.
4. Konsumsi Rokok
Wanita yang merokok meningkatkan resiko untuk mengalami ca
mamae daripada waita yang tidak merokok. Penelitian Indriati tahun
2009 di RS Dr. Kariadi Semarang dengan desain case control
menunjukkan bahawa diperkirakaan resiko bagi wanita yang merokok
untuk terkena ca mamae 2,36 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita yang tidak merokok (OR=2,36).
5. Riwayat Keterpaparan Radiasi
Radiasi diduga meningkatkan resiko kejadian ca mamae. Pemajanan
terhadap radiasi ionisasi setelah masa pubertas dan sebelum usia 30
tahun meningkatkan resiko ca mamae.

E. Patofisiologi
Ca mamae berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada
sistem duktal, mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan
sel-sel atipik. Sel-sel ini akan berlanjut menjadi karsinoma insitu dan
menginvasi stroma. Karsinoma membutuhkan waktu 7 tahun untuk
bertumbuh dari sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar
untuk dapat diraba (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira-kira
seperempat dari karsinoma mammae telah bermetastasis. Karsinoma
mammae bermetastasis dengan penyebaran langsung ke jaringan
sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan aliran darah (Prince, Sylvia,
Wilson Lorrairee M, 1995).
Tumor / neoplasma merupakan kelompok sel yang berubah dengan
ciri:proliferasi yang berlebihan dan tak berguna,yang tak mengikuti
pengaruh jaringan sekitarnya.Proliferasi abnormal sel kanker akan
mengganggu fungsi jaringan normal dengan meninfiltrasi dan
memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar keorgan-organ yang
jauh.Didalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimiawi
terutama dalam maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas
diantara sel normal (Prince,A Sylvia.2006).
Transformasi sel-sel kanker dibentik dari sel-sel normal dalam suatu
proses rumut yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi,
promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam
genetiksel yang memancing selmenjadi maligna.perubahan dalam denetic
sel ini disebabakan oleh suatu gen yang disebut dengan karsinogen,yang
bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi atau penyinaran dan sinar
matahari. Tetapi, tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap
suatu karsinogen harus merupakan mutagen yang dapat menimbulkan
mutasi pada gen (Sukarja,2000).
Apabila ditemukan suatu kesalahan maka basa-basa DNA yang terlihat
akan dipotong dan diperbaiki. Namun, kadang terjadi transkripsi dan
tidak terdeteksi oleh enzim-enzim pengoreksi. Pada keadaan tersebut
akan timbul satu atau lebih protein regulator yang akan mengenali
kesalahan resebut dan menghentikan sel dititik tersebut dari proses
pembelahan.pada titik ini, kesalahan DNA dapat diperbaiki,atau sel
tersebut deprogram untuk melakukan bunuh diri yang secara efektif
menghambat pewarisan kesalahan sel-sel keturunan jika sel tersebut
kembali lobs, maka sel tersebut akan menjadi mutasi permanen dan
bertahan di semua keturunan dan masuk ketahap irreversible (Cerwin
,2000).
Pada tahap promosi kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya
yang disebut promoter, menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu
karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun dapat membuat sel
menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan. Promotor adalah
zat non-mutagen tetapi dapat menikkan reaksi karsinogen dan tidak
menimbulkan amplifikasi gen produksi copi multiple gen (Sukarha,
2000).
Suatu sel yang telah megalami insiasi akan menjadi maligna. Sel yang
belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpenngaruhi oleh promosi.
Oleh karena itu, diperlukan beberapa faktor untuk terj adinya suatu
keganasan (gabungan dari sel yang akan peka dan suatu karsinogen).
Pada tahap progresif terjadi aktivitas, mutasi, atau hilangnya gen.pada
progresif ini timbul perubahan benigna menjadi pre-maligna dan maligna.
Ca mamae menginvasi secara lokal dan menyebar pertama kali melalui
kelenjer getah bening regional, aliran darah, atau keduanya. Ca mamae
yang bermetastasis dapat mengenai seluruh organ tubuh, terutama paru-
paru, hepar, tulang, otak dan kulit (Weiss.M 2010).
Metastasis ca mamae biasanya muncul bertahun-tahun atau beberapa
dekade setelah diagnosis pertama dan terapi (Swart R, DAN Harris JE,
2011).
Stadium-stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil
penilaia Dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita
pasienya,sudah sejauh mana tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke
organ maupun penyebaran ketempat jauh.Stadium hanya di kenal pada
tumor ganas atau kanker dan tidak ada tumor jinak.Untuk menentukan
suatu stadium,harus dilakukan pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang lainnya,yaitu histopologi,PA,rontgen,usg,danbila
memungkinkan CT Scan,Scintigrafi (Sukarja,2000)

F. Kanker Payudara dan Paliatif Care


1. Perawatan Paliatif
Penelitian tentang pengaruh perawatan paliatif terhadap pasien
kanker stadium akhir (literature review) yang dilakukan oleh Irawan,
E, 2013, berdasarkan 30 literatur yang dianalisa, disimpulkan
perubahan yang terjadi pada kanker stadium akhir menyebabkan
perubahan kualitas hidup karena kualitas hidup terdiri dari empat
dimensi yaitu dimensi fisik, psikologis, hubungan social dan
lingkungan yang tidak hanya ditangani dengan kuratif tapi perlu
pendekatan yang lebih personal pada fisik, psikologi, social dan
spiritual sehingga dapat disimpulkan bahwa perawatan paliatif sangat
berperan dalam tercapainya kualitas hidup maksimal pada kanker
stadium IV sehingga mengurangi sakit ataupun persiapan kematian.
Berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat
badan, gangguan aktifitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup penderita
dan keluarganya. Perawatan paliatif merupakan bagian penting dalam
perawatan penderita yang terminal yang dilakukan menjadi prioritas
utama adalah kualitas hidup dan bukan kesembuhan penderita.
Perawatan paliatif adalah semua tindakan aktif guna meringankan
beban penderita, terutama yang tak mungkin disembuhkan. Tindakan
aktif yang dimaksud adalah menghilangkan nyeri dan keluhan lain,
serta mengupayakan perbaikan dalam aspek psikologis, sosial dan
spiritual. Perawatan paliatif yang baik mampu merubah kualitas hidup
penderita kanker seseorang menjadi lebih baik. Namun perawatan
paliatif masih jarang dilakukan di rumah sakit di Indonesia, karena
masih berfokus kepada kuratif, sedangkan perubahan fisik, sosial dan
spiritual tidak bisa diintervensi seluruhnya dengan kuratif. Hal ini
dapat dikarenakan kurangnya pemahaman dan kesadaran rumah sakit
terhadap pentingnya perawatan palliatif bagi penderita kanker.
Agar kualitas hidup penderita kanker tetap tinggi, ada beberapa hal
yang harus dilakukan, diantaranya adalah dengan menerapkan
perawatan paliatif yang komprehensif dan terintegratif dari tim
paliatif.
2. Paliatif Care pada Pasien Kanker Payudara
a) Penanganan nyeri
Perawatan palliatif adalah pendekatan yang bertujuan
memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarga yang
menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa melalui pencegahan dan peniadaan
melalui identifikasi dini dan penilaian yang tertib serta
penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual.
Hampir sebagian besar pasien kanker masih menerima
perawatan yang tidak sesuai untuk mengatasi nyeri. Palliatif
care lebih fokus pada perawatan di akhir hidup pasien.
Efektivitas pada awal perawatan paliatif telah diteliti
menggunakan Randomized Control Trial (RCT) dibandingkan
dengan perawatan biasa pada pasien kanker paru-paru.
Hasilnya menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan
perawatan paliatif dapat mengurangi depresi dan meningkatkan
kualitas hidup serta dapat bertahan 3 bulan.
Epidemiologi klinik perwakilan Dolore di ospedale/ klinik
perawatan epidemiologi nyeri di RS ). Kelompok telah
menetapkan untuk mengaktiviasi surveilans pada manajemen
nyeri. Sebagai bagian dari perawatan rutin. Survey ini untuk
mengevaluasi terapi analgesik yang digunakan RS untuk
mengontrol nyeri dan menginvestigasi persepsi tentang kontrol
nyeri pada pasien dan tenaga kesehatan.
Hasil survey ECAD-O menunjukkan nyeri pada kanker
merupakan salah-satu penyebab diberikannya terapi analgesik
pada kasus onkologi dan non onkologi, tetapi onkologi tersebut
menyediakan standar yang paling adekuat pada pengobatan
kanker yang berkaitan dengan nyeri
Pada penelitian ini dinilai perbandingan antara kelompok
pasien kanker pada kelompok palliatif dan perawatan supportif
dengan pasien kanker yang menggunakan perawatan standard
onkologi termasuk terapi analgesik dan intensitas nyeri.
Penelitian ini menggunakan desain Cross sectional di 32 RS di
Italia berjumlah 1450 pasien yang menerima terapi analgesik
pada nyeri kanker, 602 menggunakan standard onkologi care &
848 dengan akses awal untuk palliatif dan supportif care.
Hasil menunjukkan terdapat perbedaan pemberian obat
analgesik diantara keduanya. Non- opioids lebih sering
digunakan pada supportif care (9,5% ,p< 0,001). Strong opioid
di ePSC. Jumlah pasien dengan tingkat nyeri yang berat lebih
rendah pada ePSC dibandingkan dengan kelompok SC (31%
Vs 17%; P < 0,0001). Hasil uji multivariat menunjukkan bahwa
ePSC integrasi dengan pelayanan onkologi dasar merupakan
faktor yang berhubungan dengan risiko terserang nyeri hebat.
Tim PSC memberikan standard efektif pada terapi analgesik
untuk nyeri kanker.
b) B-12/ CRP untuk melihat daya kelangsungan hidup pasien
kanker
Tenaga kesehatan belum bisa memastikan/ memperkirakan
kelangsungan hidup (survival) pada pasien kanker stadium
akhir. Hal ini penting untuk tenaga kesehatan dan pasien karena
berkaitan dengan perencanaan yang akan dibuat. Penelitian
sebelumnya menunjukkan vitamin B12/C reaktif protein index.
BCI index dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I (BCI ≤
10.000) 3 bulan survive52,8%, Kelompok II BCI (10.000-
40.000) survive 3 bulan 27,5% dan kelompok III (BCI >
40.000) survive sampai 3 bulan 9,4%.
Pasien dengan kanker stadium akhir diambil spesimen
darahna. Data demografi dan penyakit yang diambil. Pasien
diikuti ± 90 hari sampai pasien meninggal. Hasil menunjukkan
pasien (n=329) dibagi 3 kelompok berdasarkan skor BCI.
Pasien pada kelompok ke-3 (BCI > 40.000), survive mediannya
29 hari) signifikan ( p, 0,01), Kelompok ke-2 (BCI 10.001-
40.0000 43 hari dan pada kelompok 1 (BCI ≤ 10.000; 71 hari).
Bagaimanapun pasien pada kelompok 1 tidak signifikan
prognosisnya lebih baik dibandingkan kelompok 2 (p=0,091).
Estimasi 90 hari meninggal pada masing-masing kelompok.
(Kelompok I, 58,95, kelompok 645, kelompok 3 78,9%).
Kesimpulannya BCI (>40.000) diprediksi survivenya menurun
pada pasien dengan kanker stadium lanjut.
Mekanisme biologinya kenapa peningkatan kadar CRP
berhubungan dengan prognosis yang buruk. CRP merupakan
tipikal akut fase protein dan meningkat pada banyak kondisi
inflamasi kronik, kanker dan infeksi. CRP disintesis di
hepatosit sebagai respon pro-inflamasi sitokin seperti
interleukin G, interleukin I dan tumor nekrosis faktor α.
Peningkatan kadar CRP dilaporkan signifikan sebagai prediktor
untuk survive pada banyak tipe tumor. Peningkatan kadar
vitamin B 12 kemungkinan karena adanya peningkatan
sirkulasi transkobalamin ( banyak pada neoplastik dan kondisi
inflamasi dikombinasikan pada penyakit kanker).
c) Kemoterapi di akhir kehidupan
Kemoterapi di akhir kehidupan merupakan issue pada saat
ini. Kemoterapi dapat menyebabkan kesakitan pada situasi
palliatif. Tujuan pengobatan biasanya palliatif dan tidak
memperpanjang hidup. Bagaimanapun, penggunaan kemoterapi
palliatif dipertimbangkan antara bagaimana keuntungan
kliniknya dan efek sampingnya. Kemoterapi selalu sebagai
prosedur aktif. Kemoterapi di akhir kehidupan lebih bersifat
agresif. Alasannya:
1) Tumor sensitif dengna pengobatan sitostatis
2) Alasannya memberikan respon yang cepat pada stadium
lanjut.
3) Menilai kondisi umum pasien dan komorbiditas.

Dasar keputusan pengobatan yang baik berdasarkan


keinginan pasien dan rekomendasi dokter. Komunikasi antara
dokter dan pasien penting dalam pengambilan keputusan
perawatan palliatif kanker dan khususnya di akhir kehidupan kita
harus mengetahui kualitas hidupnya dan arti kualitas hidup bagi
mereka dan yang mereka ketahui. Pada situasi palliatif yang dilihat
adalah beneficience dan nonmaleficience antara efek kemoterapi
dan efek sampingnya. Hanya dengan berdiskusi masalah pasien
dan harapan mereka serta otonomi mereka maka, keseimbangan
dapat dicapai.

Pencegahan pemberian pengobatan kemoterapi yang


menyakitnkan di akhir kehidupan. Palliatif kemoterapi di akhir
hidup berisiko meningkatkan infeksi, anemia dan atau perdarahan
jika palliatif kemoterapi tidak ditunda atau di stop. Perawatan
onkologi biasanya tidak menilai kondisi status performance pasien
sebagai prognostik yang paling kuat untuk memprediksi survival.
Oleh karena itu, dikembangkan kuesioner untuk menilai kondisi
pasien sebelum dilakukan kemoterapi serta untuk memonitor
keadaan pasien. Sertauntuk meminimalisist risiko yang lebih
menyakitkan. Performance status in palliative
chemoterapy (PSPC) untuk memprediksi survival serta untuk
menentukan kapan dilakukannya kemoterapi palliatif. Prognostik
membantu proses pengambilan keputusan, peresepan,
keberlanjutan dan stopnya kemoterapi palliatif di akhir kehidupan.

d) Pemberian sedasi pada pasien kanker stadium lanjut


Dalam situasi penderitaan lain terselesaikan, sedasi,
digunakan untuk
menginduksi keadaan kesadaran menurun atau tidak ada
(pingsan), muncul sebagai Pilihan terapi yang penting untuk
meringankan beban lain tertekan yang tak dapat ditoleransi.
Tujuannya adalah untuk memberikan bantuan yang
memadai dengan cara yang etis diterima pasien,
keluarga dan tenaga kesehatan. Selain penggunaannya untuk
pasien
menjalani prosedur berbahaya dan dari penggunaan ventilator,
sedasi adalah pengobatan terakhir yang dipilih karena
penggunaannya harus dipertimbangkan kerugiannya dan risiko
potensial. Penggunaan sedasi dapat merugikan karena pasien
mengalami gangguan atau kehilangan kemampuan untuk
berinteraksi(tergantung pada kedalaman sedasi yang
diterapkan).
Kesulitan anggota keluarga berhubungan dengan beberapa
faktor yaitu kesulitan untuk berinteraksi dengan pasien,
kesedihan antisipatif, kebingungan atau ketidaksetujuan tentang
indikasi untuk penggunaan obat penenang, dan persepsi bahwa
Keputusan untuk menggunakan obat penenang itu sulit, atau
mungkin
tidak tepat , atau persepsi bahwa sedasi langsung, atau bahkan
secara tidak langsung, mempercepat kematian.
Masalah ini, apakah sedasi pasien untuk meringankan
distress refraktori pada akhir hidup mempercepat kematian,
adalah signifikan
kepada semua pemangku kepentingan: pasien, keluarga dan
tenaga kesehatan. Masalah ini sangat penting untuk wacana
dengan pasien dan keluarga mereka, informed consent dan etis
musyawarah penting dalam setiap kasus.
Meskipun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sedasi
paliatif tidak
mempercepat kematian pasien secara keseluruhan; bukti yang
mendukung
Kesimpulan ini, sampai saat ini, didasarkan pada kelangsungan
hidup komparatif
data pasien yang dirawat untuk perawatan rumah sakit rawat
inap, membandingkan kelangsungan hidup pasien yang
melakukan atau tidak perlu sedasi untuk mengelola penderitaan
refraktori.
Sedasi adalah terapi penting dan diperlukan dalam
perawatan pasien yang dipilih pada pasien dengan tekanan
yang berat di akhir kehidupannya.
Karena sedasi memiliki kapasitas menyakiti sama
dengan membantu, sebagai salah satu tools dalam pemberian
terapi yang penting
cara di mana alat terapi ini diterapkan penting.
Kurangnya perhatian untuk potensi risiko dan praktek
bermasalah dapat menyebabkan praktek-praktek berbahaya dan
tidak etis seperti kasar,
Penggunaan gegabah atau tidak terampil dalam pemberian
sedasi.
Penyalahgunaan obat penenang paliatif terjadi ketika dokter
membius
pasien mendekati akhir hidup dengan tujuan utama
mempercepat kematian pasien palliatif gegabah
sedasi terjadi ketika sedasi diterapkan dengan maksud
menghilangkan gejala tetapi dalam keadaan klinis yang tidak
yang sesuai. Dalam situasi ini, sedasi diterapkan dengan
maksud
untuk melepaskan tekanan dan hati-hati dititrasi untuk efek
tetapi
indikasi yang tidak memadai untuk membenarkan
dilakukannya intervensi radikal. Hal yang harus
digarisbawahi pentingnya evaluasi pasien dengan
seorang dokter yang ahli dalam menghilangkan gejala sebelum
beralih ke pilihan terapi ini.
Istilah '' paliatif sedasi '' dan '' obat
penenang terminal '' telah
digunakan untuk merujuk
kepada kedua sedasi paliatif proporsional, di
mana ketidaksadaran adalah diramalkan tetapi efek samping
yang tidak diinginkan, dan sedasi paliatif untuk pingsan, di
mana dokter bertujuan untuk membuat pasien mereka sadar
sampai mati. Belum jelas sejauh mana sedasi paliatif untuk
pingsan diterima dan dipraktekkan oleh dokter AS.
Salah satu penelitian tentang sedasi paliatif dilakukan. Adapun
tujuannya untuk menyelidikipenerimaan dokter dan
praktek paliatif sedasi untuk ketidaksadaran dan untuk
mengidentifikasiprediktor praktek itu.
Metode. Pada tahun 2010, survei dikirimkan
kepada 2.016 praktek dokter AS.
Tindakan sedasi palliatif yang dilaporkan
sendiri paliatif untuk
pasien pingsan sampai mati dan
dokter mendukung sedasi tersebut untuk
pasien hipotetis dengan penderitaan eksistensial pada
akhir kehidupan.
Hasil. Dari 1.880 dokter yang memenuhi
syarat, 1156 menanggapi survei (62%).
Satu dari
sepuluh (141/1156) dokter telah membius pasien selama 12
bulan dengan tujuan tertentu membuat pasien tak sadarkan
diri sampai mati,
dan dua dari tiga dokter menentang sedasi untuk tidak sadarkan
diri untuk eksistensial penderitaan, baik pada
prinsipnya (68%, n ¼ 773) dan dalam kasus sekarat hipotetis
pasien(72%, n ¼ 831). Delapan puluh lima
persen (n ¼ 973) dari dokter sepakat bahwa pingsan adalahefek
samping yang dapat diterima sedasi paliatif

G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat
anggota keluarga dengan Ca Mamae
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga merawat anggota keluarga yang sakit
c) Gangguan harga diriberhubungan dengan kecacatan bedah

2. Rencana Asuhan Keperawatan Keluarga

DX Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi

Umum Khusus Kriteria Standar

1 Setelah Tujuan Khusus :


dilakuk
Setelah a. Keluarga Diskusikan
an
melakukan dapat dengan
tindaka
kunjungan 5 x menyebutka keluarga :
n
60 menit n
keluarg  Penyebab
keluarga dapat penyebabny
a terjadinya nyeri
mencapai: eri yaitu
mampu  Penggunaan
adanya
merawa obat secara
tanda dan
t teratur
Tuk 1 : gejala CA
anggota  Cara-cara
mamae
keluarg Keluarga mengurangi
a yang mampu b. Keluarga nyeri
mengal merawat dapat  Mengontrol
ami anggota mengunakan kondisi ke
nyeri keluarga obat secara dokter
dengan Ca teratur yaitu
Verbal
mamae 2x sehari
untuk
a. Menjelaska
mengurangi
n penyebab
nyeri
terjadinya
perubahan
c. Keluarga
nyeri
dapat
b. Keluarga
Verbal menyebutka
mampu
n cara-cara
menggunak
mengurangi
an obat
nyeri yaitu
untuk
eknik
mengatasi
distraksi
nyeri
seperti :
membaca
buku, dan
teknik
c. Keluarga
relaksas
mampu
seperti :
menjelaska
nafas dalam.
n cara-cara
mengurangi
d. Keluarga
nyeri.
dapat
mengontrol
kondisinya
ke dokter
d. Keluarga
mampu
mengontrol
kondisinya
ke dokter
III.3 HIV – AIDS
A. Prevalensi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) terus menjadi masalah kesehatan
masyarakat global utama. Pada 2017, diperkirakan 36,9 juta orang hidup
dengan HIV (termasuk 1,8 juta anak) - dengan prevalensi HIV global 0,8% di
antara orang dewasa. Sekitar 25% dari orang yang sama ini tidak tahu bahwa
mereka memiliki virus.
Pada tahun 2016, Indonesia memiliki 48.000 (43.000 - 52.000)
kejadian infeksi HIV baru dan 38.000 (34.000 - 43.000) kematian terkait
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom). Ada 620.000 (530.000 -
730.000) orang yang hidup dengan HIV pada tahun 2016, diantaranya 13%
(11% - 15%) mengakses terapi antiretroviral. Di antara ibu hamil yang hidup
dengan HIV, 14% (12% - 16%) mengakses pengobatan atau profilaksis untuk
mencegah penularan HIV pada anak-anak mereka. Diperkirakan 3200 (2500 -
4000) anak baru terinfeksi HIV karena penularan ibu-ke-anak.
Kunci populasi yang paling terpengaruh oleh HIV di Indonesia adalah
pekerja seks (5,3%); Pria gay dan pria lain yang berhubungan seks dengan
pria (25.8%); Orang yang menyuntikkan narkoba (28,76%); Orang
transgender (24,8%); Prisoners (2.6%). Sejak 2010, infeksi HIV baru telah
menurun 22% dan kematian terkait AIDS telah meningkat sebesar 68%.

B. Patogenesis HIV
Virus HIV bertahan hidup dengan mereproduksi dirinya sendiri di sel
inang, menggantikan proses genetik sel itu, dan akhirnya menghancurkan
sel. HIV adalah retrovirus yang siklus hidupnya terdiri dari 1)
menempelnya virus ke sel, yang mana dipengaruhi oleh co-factors yang
mempengaruhi kemampuan virus untuk masukkan sel inang; 2) uncoating
virus; 3) transkripsi terbalik oleh enzim yang disebut reverse transcriptase,
yang mengubah dua untai RNA (Ribonucleic Acid) virus menjadi DNA
(Deoxyribonucleic Acid); 4) integrasi DNA provirus baru yang disintesis
ke dalam inti sel, dibantu oleh enzim-enzim integrase, yang menjadi
template untuk komponen virus baru; 5) transkripsi DNA provirus ke
RNA messenger; 6) gerakan RNA messenger di luar inti sel, di mana ia
diterjemahkan ke dalam protein dan enzim virus; dan 7) perakitan dan
pelepasan partikel virus dewasa keluar dari sel inang (Orenstein, 2002).
Virus-virus yang baru terbentuk ini memiliki afinitas untuk setiap sel
yang memiliki molekul CD4 di permukaannya, seperti limfosit T dan
makrofag, dan menjadi target viral utama. Karena sel CD4 adalah
koordinator utama dari respon sistem kekebalan tubuh, penghancuran
kronis sel-sel ini sangat membahayakan status kekebalan individu,
meninggalkan host rentan terhadap infeksi oportunistik dan perkembangan
akhirnya menjadi AIDS.
Alaminya infeksi HIV dimulai dengan infeksi primer atau akut di
mana virus memasuki tubuh dan bereplikasi dalam jumlah besar di dalam
darah. Akibatnya, ada penurunan awal dalam jumlah sel T dan
peningkatan VL (viral load) selama 2 minggu pertama dari infeksi.
Jumlah virus yang ada setelahnya viremia awal dan respons imun disebut
titik setel virus. Dalam 5 hingga 30 hari infeksi, itu individu mengalami
gejala seperti flu seperti demam, sakit tenggorokan, ruam kulit,
limfadenopati, dan mialgia. Gejala lain infeksi HIV primer termasuk
kelelahan, splenomegali, anoreksia, mual, dan muntah, meningitis, nyeri
retro-orbital, neuropati, dan ulserasi mukokutan (Orenstein, 2002). Dalam
6 sampai 12 minggu dari infeksi awal, produksi antibodi HIV sehingga tes
HIV positif.
Setelah bertahun-tahun terinfeksi HIV, orang tersebut masuk tahap
simtomatik awal yang tampak jelas oleh kondisi yang menunjukkan
terutama defek pada imunitas seluler. Infeksi gejala awal umumnya terjadi
ketika jumlah CD4 turun di bawah 500 dan jumlah salinan HIV VL
meningkat di atas 10.000 / ml hingga 100.000 / ml, yang menunjukkan
risiko moderat dari perkembangan HIV dan waktu rata-rata hingga
kematian 6,8 tahun. Gejala awal infeksi HIV termasuk kandidiasis oral
dan leukoplakia berbulu, serta lesi ulseratif pada mukosa.
Tahap gejala akhir dimulai ketika jumlah CD4 turun di bawah 200 dan
VL umumnya meningkat di atas 100.000 / ml. Pada titik ini, jumlah CD4
menentukan perkembangan dari HIV ke klasifikasi AIDS menurut CDS
(2008). Pengalaman pasien infeksi oportunistik atau kanker di tahap akhir
penyakit dan gejala terkait mereka. Selain penyakit seperti Kaposi
Sarcoma (KS), pneumonia Pneumocystis jiroveci, HIV encephalopathy,
dan HIV wasting, penyakit seperti tuberkulosis paru, infeksi bakteri
berulang, dan kanker serviks invasif dapat dilihat.
Tahap penyakit HIV tahap lanjut terjadi ketika jumlah CD4 turun di
bawah 50. Pada titik ini, sistem kekebalan tubuh sangat terganggu
sehingga kematian mungkin dalam 1 tahun. Dengan penyakit lanjut,
kebanyakan individu memiliki masalah kesehatan seperti pneumonia,
kandidiasis oral, depresi, demensia, masalah kulit, kecemasan,
inkontinensia, kelelahan, isolasi, ketergantungan tempat tidur, sindrom
wasting, dan nyeri yang signifikan (UNAIDS / WHO, 2007).
Kematian karena AIDS biasanya karena banyak penyebab, termasuk
infeksi kronis, keganasan, neurologis penyakit, malnutrisi, dan kegagalan
multisistem. Namun, bahkan untuk pasien dengan HIV / AIDS yang
kematian tampaknya akan segera terjadi, pemulihan spontan dengan
kelangsungan hidup beberapa minggu atau bulan lagi mungkin terjadi.
Tahap terminal sering ditandai dengan periode penurunan berat badan
dan memburuknya fungsi fisik dan kognitif. Aturan umum yang terkait
dengan kematian adalah bahwa semakin besar jumlah kumulatif infeksi
oportunistik, penyakit, komplikasi, dan / atau penyimpangan penanda
serologis atau imunologi dalam hal norma, semakin sedikit waktu
kelangsungan hidup (Goldstone, Kuhl, Johnson, Le Clerc, & McCleod,
1995). Waktu bertahan hidup juga menurun oleh faktor psikososial seperti
penurunan dukungan fisik dan emosional karena tuntutan meningkat untuk
pengasuh, perasaan putus asa oleh pasien, dan usia yang lebih tua (> 39
tahun).

C. HIV / AIDS Dan Palliative Care


Perawatan paliatif adalah manajemen komprehensif dari fisik,
psikologis, sosial, spiritual, dan eksistensial kebutuhan pasien dengan
penyakit progresif yang tidak dapat disembuhkan (National Concensus
Project, 2009). Perawatan paliatif telah menjadi komponen perawatan
AIDS yang semakin penting dari diagnosis hingga kematian yang
melibatkan pencegahan berkelanjutan, promosi kesehatan, dan
pemeliharaan kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien di
seluruh perjalanan penyakit.
Komponen perawatan paliatif HIV / AIDS berkualitas tinggi,
sebagaimana diidentifikasi oleh penyedia layanan kesehatan, termasuk
praktisi yang kompeten dan terampil; rahasia, tidak diskriminatif, peka
budaya; perawatan yang fleksibel dan responsif; perawatan kolaboratif
dan terkoordinasi; dan akses adil untuk perawatan. Sumber daya yang
ditujukan untuk pencegahan, promosi dan perawatan kesehatan,
pengawasan gejala dan perawatan akhir-hidup adalah penting (Higginson,
1993).
Tujuan perawatan paliatif adalah dasar dalam menangani kebutuhan
kompleks pasien dan keluarga dengan HIV / AIDS dan memerlukan
perawatan terkoordinasi dari tim perawatan paliatif interdisipliner, yang
melibatkan dokter, perawat praktik lanjutan, perawat staf, pekerja sosial,
ahli diet, fisioterapis, dan ahli agama. Penyedia layanan kesehatan dan
pasien harus menentukan keseimbangan antara upaya agresif dan
mendukung, terutama ketika peningkatan ketidakmampuan, wasting, dan
memburuknya fungsi kognitif yang terbukti dalam menghadapi penyakit
lanjut.
Karena unit perawatan adalah pasien dan keluarga, tim perawatan
paliatif menawarkan dukungan tidak hanya bagi pasien untuk hidup
semaksimal mungkin sampai kematian tetapi juga bagi keluarga untuk
membantu mereka mengatasi selama penyakit pasien dan dalam
kebahagiaan mereka sendiri (National Concensus Project, 2009).

D. Pengkajian Pada Pasien HIV / AIDS


Sepanjang perjalanan penyakitnya, orang dengan penyakit HIV
membutuhkan layanan perawatan primer untuk mengidentifikasi tanda-
tanda awal infeksi oportunistik dan untuk meminimalkan gejala dan
komplikasi terkait.
1. Riwayat Kesehatan
Riwayat penyakit saat ini, termasuk peninjauannya faktor yang
menyebabkan tes HIV.
a) Riwayat medis lampau, terutama kondisi-kondisi tersebut yang
mungkin diperburuk oleh penyakit HIV atau perawatannya, seperti
diabetes melitus, hipertrigliseridemia, atau infeksi hepatitis B
kronis atau aktif.
b) Penyakit anak-anak dan vaksinasi
c) Riwayat pengobatan, termasuk pengetahuan pasien tentang jenis
obat, efek samping, reaksi merugikan, interaksi obat, dan
rekomendasi administrasi.
d) Riwayat seksual, mengenai perilaku dan preferensi seksual dan
riwayat penyakit menular seksual, yang dapat memperburuk
perkembangan penyakit HIV.
e) Kebiasaan gaya hidup, seperti penggunaan narkoba saat ini dan
masa lalu, termasuk alkohol, yang dapat mempercepat
perkembangan penyakit; merokok, yang dapat menekan nafsu
makan atau berhubungan dengan infeksi oportunistik seperti
kandidiasis oral, leukoplakia, dan pneumonia.
2. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan penilaian umum tanda-tanda
vital dan tinggi dan berat badan, serta keseluruhan penampilan dan
suasana hati.
a) Penilaian rongga mulut dapat menunjukkan candida, oral
leukoplakia, atau KS.
b) Penilaian funduskopi dapat mengungkapkan perubahan visual
terkait dengan retinitis CMV; skrining glaucoma setiap tahun juga
disarankan.
c) Penilaian nodus limfa dapat mengungkapkan adenopati.
d) Penilaian dermatologis beragam manifestasi kulit yang terjadi di
seluruh perjalanan penyakit seperti KS, atau komplikasi infeksi
seperti dermatomikosis.
e) Penilaian neuromuskular mengindikasikan gangguan sistem saraf
pusat, perifer, atau otonom dan tanda dan gejala semacam itu
sebagai meningitis, ensefalitis, demensia, atau perifer neuropati.
f) Penilaian kardiovaskular dapat mengungkapkan kardiomiopati.
g) Penilaian gastrointestinal dapat mengindikasikan organomegali;
splenomegali atau hepatomegali, terutama pada pasien dengan
riwayat penyalahgunaan obat, serta tanda-tanda yang berkaitan
dengan infeksi GI.
h) Penilaian sistem reproduksi adakah penyakit menular seperti
kandidiasis, displasia serviks, infeksi panggul atau lesi rektal.
3. Data Laboratorium
Jumlah CD4, baik jumlah absolut dan persentase CD4, merupakan
prediktor terkuat dari perkembangan penyakit dan kelangsungan hidup
pasien. Panel DHHS tentang Praktik Klinis untuk Pengobatan HIV
merekomendasikan bahwa jumlah CD4 dan VL diukur saat masuk ke
perawatan dan setiap 3-6 bulan kemudian. Segera sebelum pasien
memulai ART, viral load pasien (VL) harus diukur, dan lagi 2-8
minggu setelah pengobatan dimulai, untuk menentukan efektivitas
terapi.
Dengan ketaatan pada jadwal pengobatan, diharapkan bahwa RNA
HIV akan menurun ke tingkat yang tidak terdeteksi (<50) dalam 16-24
minggu setelah dimulainya terapi (Departemen Kesehatan dan
Layanan Kemanusiaan, 2008).
4. Pengkajian Psikologis
a) Mengkaji perasaaan pasien, mood, afek terhadap penyakitnya.
b) Mengkaji tanda-tanda depresi, ansietas, kesedihanm ketakutan,
delirium
c) Bagaimana pasien menggambarkan keadaaannya terkini
d) Bagaiamana nyeri berarti baginya
e) Sumber koping dan mekanisme koping yang dimiliki
5. Pengkajian Spiritual, Psiko-sosial
a) Riwayat sosial, perilaku, dan psikiatri di masa lalu, yang termasuk
sejarah hubungan interpersonal, pendidikan, stabilitas pekerjaan,
rencana karir, penggunaan narkoba, penyakit mental yang sudah
ada sebelumnya, dan identitas individu
b) Perasaan seperti kecemasan, ketakutan, dan depresi meningkat,
menciptakan risiko bunuh diri;
c) Fase siklus hidup individu dan keluarga, yang mempengaruhi
sasaran, sumber keuangan, keterampilan, peran sosial, dan
kemampuan untuk menghadapi kematian
d) Pengaruh budaya dan etnis, termasuk pengetahuan dan keyakinan
yang terkait dengan kesehatan, penyakit, kematian, dan kematian,
serta sikap dan nilai-nilai terhadap seksual perilaku, penggunaan
narkoba, promosi dan perawatan kesehatan, dan pengambilan
keputusan kesehatan;
e) Pola koping di masa lalu dan sekarang, berfokus masalah atau
berfokus ego.
f) Dukungan sosial, termasuk sumber dukungan
g) Sumber keuangan, termasuk tunjangan kesehatan

E. Manajemen HIV / AIDS


Dalam pengelolaan HIV / AIDS, penting untuk mencegah atau
mengurangi terjadinya infeksi oportunistik dan penyakit indikator AIDS.
Oleh karena itu, manajemen HIV melibatkan promosi kesehatan dan
pencegahan penyakit. Selain pengobatan penyakit terkait AIDS dan gejala
terkait, perawatan paliatif melibatkan intervensi profilaksis dan
pencegahan perilaku yang mempromosikan ekspresi penyakit (Bolin,
2006).
Dari semua tahap penyakit HIV, dilakukan promosi kesehatan melalui
diet, mikronutrien, olahraga, pengurangan stres dan emosi negatif,
pengawasan gejala, dan penggunaan terapi profilaksis untuk mencegah
infeksi oportunistik atau komplikasi terkait AIDS. Olahraga juga penting
untuk promosi kesehatan pada pasien dengan HIV / AIDS, karena
meningkatkan aktivitas sel Natural Killer (Freeman & MacIntyre,
1999).CDC (2008) merekomendasikan program latihan fisik 30-45 menit
empat kali atau lebih dalam seminggu untuk meningkatkan kapasitas paru-
paru, daya tahan, energi, dan fleksibilitas, dan untuk meningkatkan
sirkulasi.
Lebih lanjut, stres dan emosi negatif berkaitan dengan imunosupresi
dan meningkatkan kerentanan individu terhadap infeksi. Pasien yang
hidup dengan HIV / AIDS, ada stres yang terkait dengan ketidakpastian
mengenai perkembangan penyakit dan prognosis, stigmatisasi,
diskriminasi, masalah keuangan, dan peningkatan kecacatan saat penyakit
berkembang. Individu dengan AIDS sering menyebutkan menghindari
stres adalah cara mempertahankan rasa sejahtera (Sherman & Kirton,
1998). Diakui bahwa stres juga dapat dikaitkan dengan masalah keuangan
yang dialami oleh pasien dengan HIV / AIDS. Karena itu, perencanaan
keuangan, identifikasi sumber keuangan yang tersedia melalui komunitas,
dan bantuan public atau asuransi.
Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa promosi kesehatan
melibatkan harapan dan emosi positif. Ini termasuk seperti; keinginan
yang kuat untuk hidup, sikap positif, perasaan bertanggung jawab,
perasaan diri yang kuat, mengekspresikan kebutuhan mereka, dan rasa
humor. Pasien yang menggunakan humor lebih banyak tidak depresi,
menyatakan harga diri yang lebih baik, dan merasakan dukungan yang
lebih besar dari teman-teman, berkurangnya kecemasan, atau
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh.

F. Manajemen Simptom HIV / AIDS


Fantoni dkk. (1997) melaporkan bahwa gejala yang paling sering
dialami adalah kelelahan (65%), anorexia (34%), batuk (32%), dan
demam (29%), sementara Holzemer dkk. (1998) menemukan bahwa 50%
peserta mengalami sesak nafas, mulut kering, insomnia, penurunan berat
badan, dan sakit kepala. Tahap terakhir infeksi HIV sering ditandai
dengan meningkatnya rasa sakit, GI ketidaknyamanan, dan depresi.
Lima prinsip yang mendasar untuk manajemen gejala yang baik
meliputi 1) menilik gejala secara serius, 2) penilaian, 3) diagnosis, 4)
pengobatan, dan 5) evaluasi berkelanjutan (Newshan & Sherman, 1999).
Laporan pasien tentang gejala harus ditanggapi serius oleh praktisi dan
diakui sebagai pengalaman nyata pasien. Aturan penting dalam
manajemen gejala adalah untuk mengantisipasi gejala dan berusaha untuk
mencegahnya.
Pengkajian nyeri dan manejemen gejalan telah dikaitkan dengan
kualitas hidup pada pasien dengan HIV / AIDS. Sindrom nyeri pada
pasien dengan AIDS beragam sifat dan etiologinya. Untuk pasien dengan
AIDS, nyeri dapat terjadi di lebih dari satu tempat, seperti nyeri pada kaki
(neuropati perifer dilaporkan pada 40% pasien AIDS), yang sering
dikaitkan dengan terapi antiretroviral seperti AZT, serta nyeri di perut,
rongga mulut, kerongkongan, kulit, perirectalarea, dada, persendian, otot,
dan sakit kepala. Pasien mungkin menderita proses inflamasi atau
infiltratif dan nyeri somatik dan viseral. Nyeri neuropatik umumnya
disebabkan oleh proses penyakit atau efek samping obat-obatan.
Panduan tiga langkah untuk manajemen nyeri yang digariskan oleh
WHO harus digunakan untuk pasien dengan penyakit HIV. Pendekatan ini
mendukung pemilihan analgesik berdasarkan tingkat keparahan nyeri.
Untuk nyeri ringan hingga sedang, obat anti-inflamasi seperti NSAID atau
acetaminophen direkomendasikan. Untuk nyeri sedang sampai berat yang
persisten, peningkatan direkomendasikan, dimulai dengan opioid seperti
kodein, hidrokodon atau oxycodone (masing-masing tersedia dengan atau
tanpa aspirin atau acetaminophen), dan maju ke opioid yang lebih poten
seperti morfin, hidromorfon (Dilaudid), metadon (Dolophine).
Selain manajemen nyeri dan farmakologi gejala lain, dokter dapat
mempertimbangkan nilai intervensi nonfarmakologis seperti istirahat di
tempat tidur, sederhana olahraga, kompres panas atau dingin ke situs yang
terpengaruh, pijat, stimulasi listrik transkutan (TENS), dan akupunktur.
Intervensi psikologis untuk mengurangi persepsi dan interpretasi nyeri
termasuk hipnosis, relaksasi, citra, biofeedback, distraksi, dan edukasi
pasien juga dapat dilakukan.
10 terapi dan aktivitas komplementer paling sering digunakan yang
dilaporkan oleh 1.106 peserta dalam Perawatan Medis Alternatif Hasil
dalam studi AIDS adalah latihan aerobik (64%), doa (56%), pijat (54%),
jarum akupunktur (48%), meditasi (46%), dukungan kelompok (42%),
visualisasi dan citra (34%), latihan pernapasan (33%), kegiatan spiritual
(33%), dan latihan lainnya (33%) (Milan dkk, 2008).
G. Masalah Psikososial Pasien Dengan HIV / AIDS
Banyak praktisi fokus pada fungsi fisik dan status kinerja pasien
sebagai indikator utama kualitas hidup, bukan pada gejala tekanan
psikologis seperti kecemasan dan depresi. Berdasarkan sampel dari 203
pasien dengan HIV / AIDS, Farber dkk. (2003) melaporkan bahwa
perasaan positif dengan penyakit dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan
psikologis yang lebih tinggi dan depresi yang lebih rendah, dan
berkontribusi lebih dari masalah yang berfokus pada masalah dan
dukungan sosial untuk memprediksi kesejahteraan psikologis dan suasana
hati yang tertekan.
Ketidakpastian juga merupakan sumber tekanan psikologis bagi orang
yang hidup dengan penyakit HIV, terutama yang berkaitan dengan pola
gejala yang ambigu, perburukan kondisi, dan remisi gejala, pemilihan
rejimen pengobatan yang optimal, kompleksitas perawatan, dan ketakutan
stigma. Prevalensi depresi pada pasien yang didiagnosis dengan HIV /
AIDS diperkirakan sekitar 10% -25% dan dicirikan oleh suasana hati yang
tertekan, energi rendah, gangguan tidur, anhedonia, ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi, kehilangan libido, perubahan berat badan, dan
kemungkinan ketidakteraturan menstruasi. (McEnany, Hughes, & Lee,
1996).
Bagi banyak pasien yang mengalami tekanan psikologis yang terkait
dengan penyakit HIV, intervensi terapeutik seperti pembentukan
keterampilan, kelompok dukungan, konseling individu, dan intervensi
kelompok menggunakan teknik meditasi dapat memberikan rasa
pertumbuhan psikologis dan cara hidup yang bermakna dengan penyakit
(Chesney, dkk , 1996). Pasien yang didiagnosis dengan depresi harus
diobati dengan antidepresan untuk mengendalikan gejala mereka (Repetto
& Petitto, 2008).
H. Masalah Spiritual
Penilaian kebutuhan spiritual pasien adalah aspek penting dari
perawatan holistik. Perawat harus menilai nilai-nilai spiritual, kebutuhan,
dan perspektif keagamaan pasien, yang penting dalam memahami
perspektif mereka mengenai penyakit mereka serta persepsi dan makna
kehidupan mereka. Pasien yang hidup dengan dan meninggal karena
penyakit HIV memiliki kebutuhan spiritual akan makna, nilai, harapan,
tujuan, cinta, penerimaan, rekonsiliasi, ritual, dan penegasan hubungan
dengan zat yang lebih tinggi (Kylma, dkk, 2001).
Beberapa orang mungkin menganggap penyakit mereka sebagai
hukuman atau marah karena Tuhan tidak menjawab doa-doa mereka.
Ekspresi perasaan bisa menjadi sumber penyembuhan spiritual. Ahli
agama juga dapat melayani sebagai anggota dari tim perawatan paliatif
dalam menawarkan dukungan spiritual dan mengurangi tekanan spiritual.
Penggunaan meditasi, musik, gambar, puisi, dan gambar dapat
menawarkan saluran untuk ekspresi spiritual dan mempromosikan rasa
harmoni dan kedamaian.

I. Asuhan Keperawatan terminal HIV-AIDS


1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan meliputi pengkajian fisik dan pelayanan
biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural.

a. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian kondisi fisik pasien secara
keseluruhan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.Permasalahn
fisik yang sering dialami pasien HIV/AIDS biasanya diakibatkan
oleh karena penyakitnya maupun efek samping dari pengobatan
yang diterimanya. Diantaranya adalah nyeri, nutrisi, kelemahan
umum, diminasi, luka dekubitus, pernafasan, serta masalah
keperawatan lainnya.

b. Pengkajian biologis, psikologis, sosial, spiritual dan kultural.


Perawat melakukan pengkajian kemampuan fungsi sosial, kondisi
mental/emosional, hubungan interpersonal, kegiatan yang
dilakukan oleh pasien HIV/AIDS, konflik dalam keluarga yang
dialami pasien jika ada, peran sistem budaya, spiritual dan aspek
relgius/kepercayaan, sumber keuangan, komunikasi, kepribadian,
adat istiadat /pembuat keputusan, pertahan/koping, hubungan
antar keluarga juga stressor yang dihadapi paisen HIV/AIDS.

2. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien HIV/AIDS

a) Gangguan ketidakefektifan bersihan jalan nafas


b) Gangguan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c) Gangguan rasa kenyamanan (nyeri)
d) Gangguan hubungan seksual
e) Gangguan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
f) Gangguan komunikasi
g) Kurang pengetahuan/informasi
h) Gangguan pola tidur
i) Gangguan interaksi sosial
j) Koping pasien/keluarga yang tidak efektif

3. Intervensi keperawatan
Berikutadalah hal-hal yang perlu diperhatikan pada intervensi
keperawatan paliatif pasien HIV/AIDS

a) Strategi pencapaian tujuan dari asuhan keperawatan


b) Memberikan prioritas intervensi keperawatan dan sesuai dengan
masalah keperawatan: nyeri, intake, perawatan luka, kateter,
psikososiospiritual, dan lain-lain.
c) Libatkan pasien dan keluarga

Berikut adalah intervensi keperawatan aspek psikososiospiritual :


a) Berikan informasi dengan tepat dan jujur
b) Lakukan komunikasi terapeutik, jadilah pendengar yang aktif
c) Tunjukkan rasa empati yang dalam
d) Suport pasien, meskipun pasien akan melewati hari-hari terakhir
tetapi ia tetap berarti dan sangat penting bagi keluarga/lingkungan
e) Tetap hargai pasien dalam peran keluarganya
f) Selalu melibatkan pasien dalam proses keperawatan
g) Tingkatkan penerimaan lingkungan terhadap perubahan kondisi
pasien
h) Lakukan pendampingan spiritual yang intensif

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Simpulan
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian
berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).
Pasien Terminal adalah : Pasien –psien yang dirawat , yang sudah jelas
bahwa mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin
memburuk. (P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282, 1999 ).Pendampingan dalam proses
kematian adalah suatu pendamping dalam kehidupan , karena mati itu
termasuk bagian dari kehidupan . Manusia dilahirkan , hidup beberapa tahun ,
dan akhirnya mati. Manusia akan menerima bahwa itu adalah kehidupan, dan
itu memang akan terjadi, kematian adalah akhir dari kehidupan ( P.J.M.
Stevens, dkk, 282,1999 ).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang
menuju kearah kematian contohnya seperti penyakit jantung , dan kanker
atau penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis ,tidak ada
lagi obat-obatan ,tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang
dikatakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian
(White,2002). Masalah Yang Berkaitan Dengan Penyakit Teminal Problem
fisik,Problem psikologis (ketidakberdayaan),Problem social, Problem
spiritual, dan Ketidak-sesuaian
IV.2 Saran
1. perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi
terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi
klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan
akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab
perawat harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social
yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak
dengan klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien
mengekspresikan duka citanya dan untuk mempertahankan kualitas hidup
pasien.
4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu
klien untuk meraih kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi
penderitaan klien menjelang ajal dan melakukan intervensi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup, klien harus dirawat dengan respek dan
perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga dan orang
terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang
perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Anita. PERAWATAN PALIATIF DAN KUALITAS HIDUP PENDERITA

KANKER. Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan Tanjungkarang

Anugrah Dian Wardhani*), Lintang Dian Saraswati**), Mateus Sakundarno Adi**)

*)Mahasiswa Peminatan EPID Kesehatan Masyarakat, FKM UNDIP


Semarang **)
 Dosen Peminatan EPID Kesehatan Masyarakat, FKM.
GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA PUTRI TENTANG SADARI
DAN PRAKTIK PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI

UNDIP Semarang

AVERT. (2018). Global HIV and AIDS statistics. [online] Available at:
https://www.avert.org/global-hiv-and-aids-statistics [Accessed 13 Nov. 2018].

Brunner & Suddharta. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 2 .Jakarta
:EGC

Doenges E. Marlynn.2010. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta

Fachrunnisa, & dkk. (2015). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KUALITAS TIDUR PADA PASIEN CONGESTIVE HEART FAILUR.
JOM VOL 2 NO 2, 1094-1105

Ferrell,B.R&Coyle,N.(Eds.).(2007).Textbook of Palliative nursing,


2nded.NewYork.NY:Oxford University Press

Hudak & Gallo. 2002. Keperawatan Kritis. Edisi IV Vol. 1. Jakarta. ECG

Ilmi, N.(2016). Analisa Perilaku Perawat Dalam Melaksanakan Perawatan Paliatif


Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Du RSI Faisal Makassar dan RSUD Labuang Baji
Makassar. Universitas Islam Negri Alaudin Makassar, 66-72
Jaarsma, T. E . (2009). Palliative care in heart failure: a position statement from the
palliative care workshop of the Heart Failure Association of the European society of
cardiology. European Journal of Heart Failure, 433-443

KEPMENKES RI NOMOR:812/MENKES/SK/VII/2007 TentangKebijakan


Perawatan Palliative Menteri KesehatanRepublik Indonesia

Krug, R., Karus, D., Selwyn, P. and Raveis, V. (2010). Late-Stage HIV/AIDS
Patients' and Their Familial Caregivers' Agreement on the Palliative Care Outcome
Scale. Journal of Pain and Symptom Management, [online] 39(1), pp.23-32.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2815071/ [Accessed 13
Nov. 2018].

Masjoer, Arif M,dkk,2001,Kapita Selekta Kedokteran,Edisi 3:Media Aesculapius


Fakultas kedokteran universitas Indonesia,Jakarta.

Matzo, M. and Sherman, D. (2009). Palliative care nursing. 3rd ed. New York:
Springer Pub. Co.

McPhee, S. J. (2010). Patofisiologi penyakit: Pengantar menuju kedokteran klinis.


Jakarta: EGC.

Potter & Perry. (2009).Fundamental keperawatan (7 th ed.).(vols 2.). dr


Adrina&marina, penerjemah). Jakarta :EGC.

Price, Sylvia A, et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta: EGC

Rilla, E. (2014). Terapi Murttal Efektif Menurunkan Tingkat Nyeri Dibandingkan


Terapi Musik Pada Pasien Pasca Bedah. Jurnal Keperawatan Indonesia. Volume 17,
No. 2, Juli 2014, hal 74-80,74-80

Smeltzer & Bare.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.EGC, Jakarta
The National Clinical Programme for Palliative Care, HSE Clinical Strategy and
Programmes Division. (2014). The Palliative Care Needs Assessment Guidance.

Tucker, S.M,. 1998. Standar Perawatan Pasien Volume I. Jakarta: EGC

Unaids.org. (2018). Indonesia. [online] Available at:


http://www.unaids.org/en/regionscountries/countries/indonesia [Accessed 13 Nov.
2018].

Anda mungkin juga menyukai