Disusun Oleh :
Vidya Hanan Hafizha 1610711100
Dini Aulia Ramadhanty 1610711109
Fajri Eka Tyassari 1610711110
Nurfatma Silvia 1610711117
Santi Sri Hartini 1610711120
JAKARTA
2018
Kata Pengantar
Penulis
Daftar Isi
Cover ............................................................................................................. i
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II TEORI
BAB IV KESIMPULAN
IV.1 Simpulan .................................................................................... 58
Daftar Pustaka
BAB 1
PENDAHULUAN
yaitu:
a. Stage A
Stage A merupakan klasifikasi dimana pasien mempunyai resiko
tinggi, tetapi belum ditemukannya kerusakan struktural pada jantung
serta tanpa adanya tanda dan gejala (symptom) dari gagal jantung
tersebut. Pasien yang didiagnosa gagal jantung stage A umumnya
terjadi pada pasien dengan hipertensi, penyakit jantung koroner,
diabetes melitus, atau pasien yang mengalami keracunan pada
jantungnya (cardiotoxins).
b. Stage B
Pasien dikatakan mengalami gagal jantung stage B apabila ditemukan
adanya kerusakan struktural pada jantung tetapi tanpa menunjukkan
tanda dan gejala dari gagal jantung tersebut. Stage B pada umumnya
ditemukan pada pasien dengan infark miokard, disfungsi sistolik pada
ventrikel kiri ataupun penyakit valvular asimptomatik.
c. Stage C
Stage C menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan struktural pada
jantung bersamaan dengan munculnya gejala sesaat ataupun setelah
terjadi kerusakan. Gejala yang timbul dapat berupa nafas pendek,
lemah, tidak dapat melakukan aktivitas berat.
d. Stage D
Pasien dengan stage D adalah pasien yang membutuhkan penanganan
ataupun intervensi khusus dan gejala dapat timbul bahkan pada saat
keadaan istirahat, serta pasien yang perlu dimonitoring secara ketat.
D. Manifestasi Gagal Jantung Kongestif
Menurut Hudak dan Gallo (2000):
Gejala yang muncul sesuai dengan gejala gagal jantung kiri diikuti
gagal jantung kanan dan terjadinya di dada karena peningkatan
kebutuhan oksigen. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda
gejala gagal jantung kongestif biasanya terdapat bunyi derap dan
bising akibat regurgitasi mitral.
1. Gagal Jantung Kiri
a) Gelisah dan cemas
b) Kongesti vaskuler pulmonal
c) Edema
g) Crackles paru
h) Disritmia
j) Pulsus alternans
k) Pernafasan cheyne-stokes
m) Dyspneu
n) Batuk
o) Mudah lelah
2. Gagal Jantung Kanan
a) Peningkatan JVP
b) Edema
e) S3 dan S4
h) Hepatomegali
i) Anoreksia
j) Nokturia
k) Kelemahan
E. Manajemen Gejala
Sebuah penelitian di Eropa menggambarkan perawatan paliatif
sebagai perawatan medis khusus yang menargetkan pasien yang hidup
dengan kondisi yang mengancam jiwa. Tujuan perawatan paliatif
adalah untuk mempromosikan kesehatan fisik dan psikososial yang
pada gilirannya akan mengarah pada peningkatan kualitas hidup
untuk pasien dan keluarga / pengasuh mereka. Tim peneliti merasa
bahwa cara untuk mencapai tujuan mereka, mereka harus
menekankan pada tiga bidang ini:
1. Pengurangan kontrol gejala dan efek samping dari penyakit dan /
atau perawatan kuratif.
2. Komunikasi update yang tepat waktu dan berkelanjutan dari
tujuan pengobatan antara dokter, pasien dan keluarga mereka.
3. Dukungan psikologis, sosial dan spiritual yang efisien baik dari
pasien dan keluarga mereka sepanjang perjalanan penyakit
lintasan.
(https://www.omicsonline.org/open-access/the-benefits-of-palliative-care-
interventions-for-patients-with-heart-failure--a-literature-review-2165-7386-
1000324-96232.html)
G. Patofisiologi
Menurut Price (2005) beban pengisian preload dan beban
tahanan afterload pada ventrikel yang mengalami dilatasi dan
hipertrofi memungkinkan adanya peningkatan daya kontraksi jantung
yang lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. Pembebanan
jantung yang lebih besar meningkatkan simpatis sehingga kadar
katekolamin dalam darah meningkat dan terjadi takikardi dengan
tujuan meningkatkan curah jantung.
Pembebanan jantung yang berlebihan dapat meningkatkan
curah jantung menurun, maka akan terjadi redistribusi cairan dan
elektrolit (Na) melalui pengaturan cairan oleh ginjal dan
vasokonstriksi perifer dengan tujuan untuk memperbesar aliran balik
vena ke dalam ventrikel sehingga meningkatkan tekanan akhir
diastolik dan menaikan kembali curah jantung. Dilatasi, hipertrofi,
takikardi, dan redistribusi cairan badan merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan curah jantung dalam memenuhi
kebutuhan sirkulasi badan. Bila semua kemampuan makanisme
kompensasi jantung tersebut di atas sudah dipergunakan seluruhnya
dan sirkulasi darah dalam badan belum juga terpenuhi maka terjadilah
keadaan gagal jantung.
Sedangkan menurut Smeltzer (2002), gagal jantung kiri atau
gagal jantung ventrikel kiri terjadi karena adanya gangguan
pemompaan darah oleh ventrikel kiri sehingga curah jantung kiri
menurun dengan akibat tekanan akhir diastol dalam ventrikel kiri dan
volume akhir diastole dalam ventrikel kiri meningkat. Keadaan ini
merupakan beban atrium kiri dalam kerjanya untuk mengisi ventrikel
kiri pada waktu diastolik, dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan
rata-rata dalam atrium kiri. Tekanan dalam atrium kiri yang meninggi
ini menyebabkan hambatan aliran masuknya darah dari vena-vena
pulmonal. Bila keadaan ini terus berlanjut maka bendungan akan
terjadi juga dalam paru-paru dengan akibat terjadinya edema paru
dengan segala keluhan dan tanda-tanda akibat adanya tekanan dalam
sirkulasi yang meninggi.
Keadaan yang terakhir ini merupakan hambatan bagi ventrikel
kanan yang menjadi pompa darah untuk sirkuit paru (sirkulasi kecil).
Bila beban pada ventrikel kanan itu terus bertambah, maka akan
merangsang ventrikel kanan untuk melakukan kompensasi dengan
mengalami hipertrofi dan dilatasi sampai batas kemampuannya, dan
bila beban tersebut tetap meninggi maka dapat terjadi gagal jantung
kanan, sehingga pada akhirnya terjadi gagal jantung kiri- kanan.
Gagal jantung kanan dapat pula terjadi karena gangguan atau
hambatan pada daya pompa ventrikel kanan sehingga isi sekuncup
ventrikel kanan tanpa didahului oleh gagal jantung kiri. Dengan
menurunnya isi sekuncup ventrikel kanan, tekanan dan volume akhir
diastol ventrikel kanan akan meningkat dan ini menjadi beban atrium
kanan dalam kerjanya mengisi ventrikel kanan pada waktu diastol,
dengan akibat terjadinya kenaikan tekanan dalam atrium kanan.
Tekanan dalam atrium kanan yang meninggi akan menyebabkan
hambatan aliran masuknya darah dalam vena kafa superior dan
inferior kedalam jantung sehingga mengakibatkan kenaikan dan
adanya bendungan pada vena-vena sistemik tersebut (bendungan pada
vena jugularis yang meninggi dan hepatomegali). Bila keadaan ini
terus berlanjut, maka terjadi bendungan sistemik yang berat dengan
akibat timbulnya edema tumit dan tungkai bawah dan asites.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu:
1. Elektro kardiogram (EKG) Hipertrofi atrial atau ventrikuler,
penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial.
I. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2002), komplikasi dari CHF adalah :
1. Edema pulmoner akut
1. Pengkajian
a) Airway: penilaian akan kepatenan jalan nafas, meliputi
pemeriksaan mengenai adanya obstruksi jalan nafas, dan
adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat
dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian
B. Pengertian
Ca mamae merupakan penyakit yang disebabkan karena terjadinya
pembelahan sel-sel tubuh secara tidak teratur sehingga pertumbuhan sel
tidak dapat di kendalikan dan akan tumbuh menjadi benjolan tumor
(kanker) sel (Brunner dan Suddarth, 2005 ).
Ca mamae adalah suatu penyakit seluler yang dapat timbul dari
jaringan payudara dengan manifestasi yang mengakibatkan kegagalan
untuk mengontrol proliferasi dan maturasi sel (Brunner dan Suddarth,
2005 ).
Ca mamae adalaah suatu penyakit yang menggambarkan gangguan
pertumbuhan seluler dan merupakan kelompok penyakit,bukan penyakit
tunggal (Tucker dkk,1998).
Ca mamae adalah sekelompok sel tidak normal yang terus tumbuh
di dalam jaringan mammae (Tapan, 2005).
Ca mamae adalah pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel
jaringan tubuh yang berubah menjadi ganas (http//www.pikiran-rakyat.
com. jam 10.00, Minggu tanggal 29-8-2005,sumber : Harianto,dkk).
C. Klasifikasi
Pembagian stadium menurut Portman yang disesuaikan aplikasi klinik
yaitu:
1. Stadium 1
Tumor teraba dalam payudara, bebas dari stadium jaringan
sekitarnya, tidak ada fixasi/ infiltrasi ke kulit dan jaringan
yang di bawahnya (otot). Besar tumor 1-2 cm dan tidak dapat
terdeteksi dari luar. Kelenjer getah bening regional belum teraba.
Perawatan yang sangat sistematis diberikan tujuannya agar sel
kanker tidak dapat menyebar dan tidak berlanjut pada stadium
selanjutnya. Pada stadium ini, kemungkinan penyembuhan pada
penderita adalah 70%.
2. Stadium II
Tumor terbebas dalam payudara, besar tumor 2,5-5 cm, sudah ada
atau beberapa kelenjer getah bening axila yang masih bebas dengan
diameter kurang dari 2 cm. Untuk mengangkat sel-sel kanker
biasanya dilakukan operasi dan setelah operasi dilakukan penyinaran
untuk memastikan tidak ada lagi sel-sel kanker yang tertinggal. Pada
stadium ini, kemungkinan sembuh penderita adalah 30-40%.
3. Staium III A
Tumor sudah meluas pada payudara, besar tumor 5-10 cm, tapi
masih bebas di jaringan sekitarnya, kelenjar getah bening axila
masih bebas satu sama lain. Menurut data Depkes, 87% ca mamae
ditemukan pada stadium ini.
4. Stadium III B
Tumor melekat pada kulit atau dinding dada, kulit merah, ada edema
(lebih dari sepertiga permukaan kulit payudara) ulserasi, kelenjar
getah bening axila melekat satu sama lain atau ke jaringan sekitarnya
dengan diameter 2-5 cm. Kanker sudah menyebar pada seluruh
bagian payudara, bahkan mencapai kulit, dinding dada, tulang rusuk
dan otot dada.
5. Stadium IV
Tumor seperti pada stadium I,II,III tapi sudah disertai dengan
kelenjar getah bening axila supra-klafikula dan metastasis jauh.
Sel-sel kanker sudah merembet menyerang bagian tubuh lainnya,
biasanya tulang, paru-paru, hati, otak, kulit, kelenjar limfa yang ada
di batang leher. Tindakan yang harus dilakukan adalah mengangkat
payudara. Tujuan pengobatan pada palliative bukan lagi
kuratif(menyembuhkan).
D. Etiologi
Tidak satupun penyebab spesifik dari ca mamae,sebaliknya
serangkaian faktor genetik, hormonal, dan kemungkinan kejadian
lingkungan dapt menunjang terjadinya kanker ini. Bukti yang terus
bermunculan menunjukan bahwa perubahan genetik belum berkaitan
dengan ca mamae, namun apa yang menyebabkan perubahan genetik
masih belum diketahui. Perubahan genetik ini termasuk perubahan atau
mutasi dalam gen normal, dan pengaruh protein yang menekan atau
menigkatkan perkembangan ca mamae. Hormon steroid yang dihasilkan
oleh ovarium mempunyai peran penting dalam ca mamae.Dua hormone
ovarium utama-estradiol dan progesterone mengalami perubahan dalam
lingkungan seluler, yang dapat mempengaruhi factor pertumbuhan bagi
camamae(Brunner dan Sudart, 2001).
Faktor resiko timbul ca mamae terdiri dari faktor resiko yang tidak
dapat di ubah (unchangeable) dan dapat di ubah (changeable) yaitu :
Faktor resiko yang tidak dapat di ubah (unchangable)
1. Umur
Semakin bertambahnya umur meningkat resiko ca mamae. Wanita
paling sering terserang ca mamae adalah usia di atas 40 tahun. Wanita
berumur di bawah wanita 40 tahun juga dapat terserang ca mamae,
namun resikonya lebih rendah dibandingkan wanita berusia diatas 40
tahun.
2. Menarche Usia Dini
Resiko terjadinya ca mamae meningkat pada wanita yang mengalami
menstruasi pertama sebelum umur 12 tahun. Umur menstruasi yang
lebih awal berhubungan dengan lamanya paparan hormone estrogen
dan progesterone pada wanita yang berpengaruh terhadap proses
proliferasi jaringan termasuk jaringan payudara.
3. Menoupause usia lanjut
Menopause setelah usia 55 tahun meningkatkan resiko untuk
mengalami ca mamae. Sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor
jauh sebelum terjadinya perubahan klinis. Kurang dari 25% ca mamae
terjadi pada masa sebelum menopause sehingga diperkirakan awal
terjadinya tumor terjadinya perubahan klinis.
4. Riwayat keluarga
Terdapat peningkatan resiko menderita ca mamae pada wanita yang
keluarganya menderita ca mamae tertentu. Apabila BRCA 1 (Breast
Cancer 2),yaitu suatu kerentanan terhadap ca mamae, untuk terjadi ca
mamae sebesar 60% pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur
70 tahun. 10% ca mamae bersifat familial. Pada studi genetik
ditemukan bahwa ca mamae berhubungan dengan gen probabilitas.
5. Riwayat penyakit payudara jinak
Wanita yang menderita kelainan ploriferatif pada payudara memiliki
peningkatan resiko untuk mengalami ca mamae. Menurut penelitian
Brinton (2008) di Amerika Serikat dengan desain cohort, wanita yang
mempunyai tumor payudara (adenosis, fibroadenoma, dan fibrosis)
mempunyai resiko 2,0 kali lebih tinggi untuk mengalami ca mamae 4,0
kali lebih besar untuk terkena ca mamae (RR=4,0).
1. Riwayat kehamilan
Usia lanjut saat melahirkan anak pertama meningkatkan resiko
mengalami ca mamae. Menurut penelitian Briston (2008) di Amerika
Serikat dengan desain cohort, wanita yang kehamilan pertama setelah
35 tahun mempunyai resiko 3,6 kali lebih besar dibandingkan wanita
yang kehamilan pertama sebelum 35 tahun untuk terkena ca mamae
(RR=3,6). Wanita yang multipara atau belum pernah melahirkan
mempunyai faktor resiko 4,0 kali lebih besar dibandingkan wanita
multipara atau sudah lebih dari sekali melahirkan untuk terkena ca
mamae (RR=4,0)
2. Obesitas dan konsumsi lemak tinngi
Terdapat hubungan yang positif antara berat badan dengan ca mamae
pada wanita pasca menopause. Konsumsi lemak diperkirakan sebagai
suatu faktor resiko terjadinya ca mamae.
3. Penggunaan Hormone dan Kontrasepsi Oral
Hormone berhubungan dengan terjadinya ca mamae. Wanita yang
menggunakan kontrasepsi oral berisiko tinggi untuk mengalami ca
mamae. Kandungan estrogen dan progestron pada kontrasepsi oral
akan memberikan efek proliferasi berlebih pada kelenjer payudara.
Wanita yang menggunakan kontrasepsi oral untuk waktu yang lama
mempunyai resiko untuk mengalami ca mamae sebelum menopause.
4. Konsumsi Rokok
Wanita yang merokok meningkatkan resiko untuk mengalami ca
mamae daripada waita yang tidak merokok. Penelitian Indriati tahun
2009 di RS Dr. Kariadi Semarang dengan desain case control
menunjukkan bahawa diperkirakaan resiko bagi wanita yang merokok
untuk terkena ca mamae 2,36 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
wanita yang tidak merokok (OR=2,36).
5. Riwayat Keterpaparan Radiasi
Radiasi diduga meningkatkan resiko kejadian ca mamae. Pemajanan
terhadap radiasi ionisasi setelah masa pubertas dan sebelum usia 30
tahun meningkatkan resiko ca mamae.
E. Patofisiologi
Ca mamae berasal dari jaringan epitel dan paling sering terjadi pada
sistem duktal, mula-mula terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan
sel-sel atipik. Sel-sel ini akan berlanjut menjadi karsinoma insitu dan
menginvasi stroma. Karsinoma membutuhkan waktu 7 tahun untuk
bertumbuh dari sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar
untuk dapat diraba (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu kira-kira
seperempat dari karsinoma mammae telah bermetastasis. Karsinoma
mammae bermetastasis dengan penyebaran langsung ke jaringan
sekitarnya dan juga melalui saluran limfe dan aliran darah (Prince, Sylvia,
Wilson Lorrairee M, 1995).
Tumor / neoplasma merupakan kelompok sel yang berubah dengan
ciri:proliferasi yang berlebihan dan tak berguna,yang tak mengikuti
pengaruh jaringan sekitarnya.Proliferasi abnormal sel kanker akan
mengganggu fungsi jaringan normal dengan meninfiltrasi dan
memasukinya dengan cara menyebarkan anak sebar keorgan-organ yang
jauh.Didalam sel tersebut telah terjadi perubahan secara biokimiawi
terutama dalam maligna dan berubah menjadi sekelompok sel ganas
diantara sel normal (Prince,A Sylvia.2006).
Transformasi sel-sel kanker dibentik dari sel-sel normal dalam suatu
proses rumut yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi,
promosi dan progresi. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam
genetiksel yang memancing selmenjadi maligna.perubahan dalam denetic
sel ini disebabakan oleh suatu gen yang disebut dengan karsinogen,yang
bisa berupa bahan kimia, virus, radiasi atau penyinaran dan sinar
matahari. Tetapi, tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap
suatu karsinogen harus merupakan mutagen yang dapat menimbulkan
mutasi pada gen (Sukarja,2000).
Apabila ditemukan suatu kesalahan maka basa-basa DNA yang terlihat
akan dipotong dan diperbaiki. Namun, kadang terjadi transkripsi dan
tidak terdeteksi oleh enzim-enzim pengoreksi. Pada keadaan tersebut
akan timbul satu atau lebih protein regulator yang akan mengenali
kesalahan resebut dan menghentikan sel dititik tersebut dari proses
pembelahan.pada titik ini, kesalahan DNA dapat diperbaiki,atau sel
tersebut deprogram untuk melakukan bunuh diri yang secara efektif
menghambat pewarisan kesalahan sel-sel keturunan jika sel tersebut
kembali lobs, maka sel tersebut akan menjadi mutasi permanen dan
bertahan di semua keturunan dan masuk ketahap irreversible (Cerwin
,2000).
Pada tahap promosi kelainan genetik dalam sel atau bahan lainnya
yang disebut promoter, menyebabkan sel lebih rentan terhadap suatu
karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun dapat membuat sel
menjadi lebih peka untuk mengalami suatu keganasan. Promotor adalah
zat non-mutagen tetapi dapat menikkan reaksi karsinogen dan tidak
menimbulkan amplifikasi gen produksi copi multiple gen (Sukarha,
2000).
Suatu sel yang telah megalami insiasi akan menjadi maligna. Sel yang
belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpenngaruhi oleh promosi.
Oleh karena itu, diperlukan beberapa faktor untuk terj adinya suatu
keganasan (gabungan dari sel yang akan peka dan suatu karsinogen).
Pada tahap progresif terjadi aktivitas, mutasi, atau hilangnya gen.pada
progresif ini timbul perubahan benigna menjadi pre-maligna dan maligna.
Ca mamae menginvasi secara lokal dan menyebar pertama kali melalui
kelenjer getah bening regional, aliran darah, atau keduanya. Ca mamae
yang bermetastasis dapat mengenai seluruh organ tubuh, terutama paru-
paru, hepar, tulang, otak dan kulit (Weiss.M 2010).
Metastasis ca mamae biasanya muncul bertahun-tahun atau beberapa
dekade setelah diagnosis pertama dan terapi (Swart R, DAN Harris JE,
2011).
Stadium-stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil
penilaia Dokter saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita
pasienya,sudah sejauh mana tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke
organ maupun penyebaran ketempat jauh.Stadium hanya di kenal pada
tumor ganas atau kanker dan tidak ada tumor jinak.Untuk menentukan
suatu stadium,harus dilakukan pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang lainnya,yaitu histopologi,PA,rontgen,usg,danbila
memungkinkan CT Scan,Scintigrafi (Sukarja,2000)
G. Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat
anggota keluarga dengan Ca Mamae
b) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan ketidakmampuan
keluarga merawat anggota keluarga yang sakit
c) Gangguan harga diriberhubungan dengan kecacatan bedah
B. Patogenesis HIV
Virus HIV bertahan hidup dengan mereproduksi dirinya sendiri di sel
inang, menggantikan proses genetik sel itu, dan akhirnya menghancurkan
sel. HIV adalah retrovirus yang siklus hidupnya terdiri dari 1)
menempelnya virus ke sel, yang mana dipengaruhi oleh co-factors yang
mempengaruhi kemampuan virus untuk masukkan sel inang; 2) uncoating
virus; 3) transkripsi terbalik oleh enzim yang disebut reverse transcriptase,
yang mengubah dua untai RNA (Ribonucleic Acid) virus menjadi DNA
(Deoxyribonucleic Acid); 4) integrasi DNA provirus baru yang disintesis
ke dalam inti sel, dibantu oleh enzim-enzim integrase, yang menjadi
template untuk komponen virus baru; 5) transkripsi DNA provirus ke
RNA messenger; 6) gerakan RNA messenger di luar inti sel, di mana ia
diterjemahkan ke dalam protein dan enzim virus; dan 7) perakitan dan
pelepasan partikel virus dewasa keluar dari sel inang (Orenstein, 2002).
Virus-virus yang baru terbentuk ini memiliki afinitas untuk setiap sel
yang memiliki molekul CD4 di permukaannya, seperti limfosit T dan
makrofag, dan menjadi target viral utama. Karena sel CD4 adalah
koordinator utama dari respon sistem kekebalan tubuh, penghancuran
kronis sel-sel ini sangat membahayakan status kekebalan individu,
meninggalkan host rentan terhadap infeksi oportunistik dan perkembangan
akhirnya menjadi AIDS.
Alaminya infeksi HIV dimulai dengan infeksi primer atau akut di
mana virus memasuki tubuh dan bereplikasi dalam jumlah besar di dalam
darah. Akibatnya, ada penurunan awal dalam jumlah sel T dan
peningkatan VL (viral load) selama 2 minggu pertama dari infeksi.
Jumlah virus yang ada setelahnya viremia awal dan respons imun disebut
titik setel virus. Dalam 5 hingga 30 hari infeksi, itu individu mengalami
gejala seperti flu seperti demam, sakit tenggorokan, ruam kulit,
limfadenopati, dan mialgia. Gejala lain infeksi HIV primer termasuk
kelelahan, splenomegali, anoreksia, mual, dan muntah, meningitis, nyeri
retro-orbital, neuropati, dan ulserasi mukokutan (Orenstein, 2002). Dalam
6 sampai 12 minggu dari infeksi awal, produksi antibodi HIV sehingga tes
HIV positif.
Setelah bertahun-tahun terinfeksi HIV, orang tersebut masuk tahap
simtomatik awal yang tampak jelas oleh kondisi yang menunjukkan
terutama defek pada imunitas seluler. Infeksi gejala awal umumnya terjadi
ketika jumlah CD4 turun di bawah 500 dan jumlah salinan HIV VL
meningkat di atas 10.000 / ml hingga 100.000 / ml, yang menunjukkan
risiko moderat dari perkembangan HIV dan waktu rata-rata hingga
kematian 6,8 tahun. Gejala awal infeksi HIV termasuk kandidiasis oral
dan leukoplakia berbulu, serta lesi ulseratif pada mukosa.
Tahap gejala akhir dimulai ketika jumlah CD4 turun di bawah 200 dan
VL umumnya meningkat di atas 100.000 / ml. Pada titik ini, jumlah CD4
menentukan perkembangan dari HIV ke klasifikasi AIDS menurut CDS
(2008). Pengalaman pasien infeksi oportunistik atau kanker di tahap akhir
penyakit dan gejala terkait mereka. Selain penyakit seperti Kaposi
Sarcoma (KS), pneumonia Pneumocystis jiroveci, HIV encephalopathy,
dan HIV wasting, penyakit seperti tuberkulosis paru, infeksi bakteri
berulang, dan kanker serviks invasif dapat dilihat.
Tahap penyakit HIV tahap lanjut terjadi ketika jumlah CD4 turun di
bawah 50. Pada titik ini, sistem kekebalan tubuh sangat terganggu
sehingga kematian mungkin dalam 1 tahun. Dengan penyakit lanjut,
kebanyakan individu memiliki masalah kesehatan seperti pneumonia,
kandidiasis oral, depresi, demensia, masalah kulit, kecemasan,
inkontinensia, kelelahan, isolasi, ketergantungan tempat tidur, sindrom
wasting, dan nyeri yang signifikan (UNAIDS / WHO, 2007).
Kematian karena AIDS biasanya karena banyak penyebab, termasuk
infeksi kronis, keganasan, neurologis penyakit, malnutrisi, dan kegagalan
multisistem. Namun, bahkan untuk pasien dengan HIV / AIDS yang
kematian tampaknya akan segera terjadi, pemulihan spontan dengan
kelangsungan hidup beberapa minggu atau bulan lagi mungkin terjadi.
Tahap terminal sering ditandai dengan periode penurunan berat badan
dan memburuknya fungsi fisik dan kognitif. Aturan umum yang terkait
dengan kematian adalah bahwa semakin besar jumlah kumulatif infeksi
oportunistik, penyakit, komplikasi, dan / atau penyimpangan penanda
serologis atau imunologi dalam hal norma, semakin sedikit waktu
kelangsungan hidup (Goldstone, Kuhl, Johnson, Le Clerc, & McCleod,
1995). Waktu bertahan hidup juga menurun oleh faktor psikososial seperti
penurunan dukungan fisik dan emosional karena tuntutan meningkat untuk
pengasuh, perasaan putus asa oleh pasien, dan usia yang lebih tua (> 39
tahun).
a. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian kondisi fisik pasien secara
keseluruhan dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.Permasalahn
fisik yang sering dialami pasien HIV/AIDS biasanya diakibatkan
oleh karena penyakitnya maupun efek samping dari pengobatan
yang diterimanya. Diantaranya adalah nyeri, nutrisi, kelemahan
umum, diminasi, luka dekubitus, pernafasan, serta masalah
keperawatan lainnya.
2. Masalah keperawatan
Masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien HIV/AIDS
3. Intervensi keperawatan
Berikutadalah hal-hal yang perlu diperhatikan pada intervensi
keperawatan paliatif pasien HIV/AIDS
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Simpulan
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian
berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan
spiritual bagi individu (Kubler-Rosa, 1969).
Pasien Terminal adalah : Pasien –psien yang dirawat , yang sudah jelas
bahwa mereka akan meninggal atau keadaan mereka makin lama makin
memburuk. (P.J.M. Stevens, dkk ,hal 282, 1999 ).Pendampingan dalam proses
kematian adalah suatu pendamping dalam kehidupan , karena mati itu
termasuk bagian dari kehidupan . Manusia dilahirkan , hidup beberapa tahun ,
dan akhirnya mati. Manusia akan menerima bahwa itu adalah kehidupan, dan
itu memang akan terjadi, kematian adalah akhir dari kehidupan ( P.J.M.
Stevens, dkk, 282,1999 ).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang
menuju kearah kematian contohnya seperti penyakit jantung , dan kanker
atau penyakit terminal ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis ,tidak ada
lagi obat-obatan ,tim medis sudah give up (menyerah) dan seperti yang
dikatakan di atas tadi penyakit terminal ini mengarah kearah kematian
(White,2002). Masalah Yang Berkaitan Dengan Penyakit Teminal Problem
fisik,Problem psikologis (ketidakberdayaan),Problem social, Problem
spiritual, dan Ketidak-sesuaian
IV.2 Saran
1. perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi
terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi
klien sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan
akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai.
2. Ketika merawat klien menjelang ajal atau terminal, tanggung jawab
perawat harus mempertimbangkan kebutuhan fisik, psikologis, dan social
yang unik.
3. Perawat harus lebih toleran dan rela meluangkan waktu lebih banyak
dengan klien menjelang ajal, untuk mendengarkan klien
mengekspresikan duka citanya dan untuk mempertahankan kualitas hidup
pasien.
4. Asuhan perawatan klien terminal tidaklah mudah. Perawat membantu
klien untuk meraih kembali martabatnya. Perawat dapat berbagi
penderitaan klien menjelang ajal dan melakukan intervensi yang dapat
meningkatkan kualitas hidup, klien harus dirawat dengan respek dan
perhatian penuh. Dalam melakukan perawatan keluarga dan orang
terdekat klien harus dilibatkan, bimbingan dan konsultasi tentang
perawatan diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
UNDIP Semarang
AVERT. (2018). Global HIV and AIDS statistics. [online] Available at:
https://www.avert.org/global-hiv-and-aids-statistics [Accessed 13 Nov. 2018].
Brunner & Suddharta. 2011. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol 2 .Jakarta
:EGC
Hudak & Gallo. 2002. Keperawatan Kritis. Edisi IV Vol. 1. Jakarta. ECG
Krug, R., Karus, D., Selwyn, P. and Raveis, V. (2010). Late-Stage HIV/AIDS
Patients' and Their Familial Caregivers' Agreement on the Palliative Care Outcome
Scale. Journal of Pain and Symptom Management, [online] 39(1), pp.23-32.
Available at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2815071/ [Accessed 13
Nov. 2018].
Matzo, M. and Sherman, D. (2009). Palliative care nursing. 3rd ed. New York:
Springer Pub. Co.
Price, Sylvia A, et al. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit.
Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, edisi 8.EGC, Jakarta
The National Clinical Programme for Palliative Care, HSE Clinical Strategy and
Programmes Division. (2014). The Palliative Care Needs Assessment Guidance.