Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

TINEA CRURIS

Oleh:

I Putu Arya Winata (1871121070)

Pembimbing:

dr.I Made Sudarjana, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN ILMU PENAKIT KULIT DAN KELAMIN

RSUD SANJIWANI GIANYAR

FKIK WARMADEWA

DENPASAR

APRIL 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya. Laporan
kasus yang berjudul “Tinea Cruris” ini disusun dalam rangka menikuti Kepaniteraan
Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu Penakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum
Daerah Sanjiwani Gianyar.

Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis memperoleh banyak


bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. dr. I Made Sudarjana, Sp.KK, selaku Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit


Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar,
2. dr. Sayu Widiawati Sp.KK selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan serta saran dalam penyusunan laporan kasus ini,
3. Semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan kasus ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu er satu yang telah memberikan bantuan, kritik
serta saran.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, untuk
itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan
di masa mendatang. Semoga laporan kasus ini bermanfaat dan memiliki nilai tambah
bagi pembaca.

Gianyar, 23 April 2018

Penulis
DAFTAR ISI

COVER......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR……………………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….
1.1 Latar Belakang………………………………………………….. 1
BAB II LAPORAN KASUS……………………………………………….
2.1 Identitas Pasien………………………………………………….. 3
2.2 Anamnesis……………………………………………………….. 3
2.3 Pemeriksaan Fisik……………………………………………….. 4
2.4 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………. 6
2.5 Diagnosis Banding………………………………………………. 7
2.6 Diagnosis Kerja………………………………………………….. 7
2.7 Penatalaksanaan…………………………………………………. 7
2.8 KIE……………………………………………………………… 7
2.9 Prognosis………………………………………………………… 7
BAB III PEMBAHASAN………………………………………………….
3.1 Pembahasan……………………………………………………… 8
BAB IV PENUTUP…………………………………………………………
4.1 Simpulan…………………………………………………………. 11
4.2 Saran……………………………………………………………... 12
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 13
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mikosis superfisialis merupakan infeksi jamur pada kulit yang disebabkan oleh
kolonisasi jamur atau ragi. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah
dermatofitosis, pitiriasis versikolor, dan kandidiasis superfisialis. Mikosis
superfisialis cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia
merupakan salah satu negara beriklim tropis yang memiliki suhu dan
kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik bagi pertumbuhan jamur,
sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat. Mikosis superficial
mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga menjadi bentuk infeksi
yang tersering. (Yossela Tanti, 2015).
Dermatofitosis disebut jga dengan istilah “Tinea” yang digolongkan
menjadi beberapa jenis berdasarkan lokasi lesi, yaitu : a) Tinea Kapitis yaitu
dermatofitosis pada kulit kepala dan rambut kepala, b) Tinea Barbe: yaitu
dermatofitosis pada dagu dan jenggot, c) Tinea Cruris yaitu dermatofitosis pada
daerah genitokrural, sekitar anus, bokong dan kadang-kadang sampai perut
bagian bawah, d) Tinea Pedis et Manum yaitu dermatofitosis pada kaki dan
tangan, e) Tinea Unguinum yaitu dermatofitosis pada kuku jari dan kaki, f)
Tinea Korporis yaitu dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk
5 diatas. (Welsh dan Gloria, 2015).
Tinea kruris sebagai salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur
golongan dermatofita, terutama suatu kelas Fungi imperfecti, yaitu Genus
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea kruris sering
ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal.
Penyakit ini merupakan penyakit terbanyak yang ditemukan di daerah inguinal,
yaitu sekitar 65-80% dari semua penyakit kulit di inguinal. Faktor penting yang
berperan dalam penyebaran tinea kruris adalah kondisi kebersihan lingkungan
yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian
yang ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes juga merupakan faktor resiko
tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan
infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. (Wiratma MK, 2011).
Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur
superficial yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan
daerah perineum. Kebanyakan tinea kruris disebabkan oleh Species Tricophyton
rubrum dan Epidermophyton floccosum, dimana E. floccosum merupakan
spesies yang paling sering menyebabkan terjadinya epidemi. T. Mentagrophytes
dan T. verrucosum jarang menyebabkan tinea kruris. Tinea Kruris seperti halnya
tinea korporis, menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan
peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya
oklusi dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab. (Yossela Tanti,
2015).
Dalam laporan kasus ini, dilaporkan satu kasus pasien dengan diagnosis
tinea unguinum. sesuai SKDI 2012 bahwa tinea kruris masuk dalam kompetensi
4A pada daftar penyakit kulit yang harus dikuasai secara menyeluruh oleh dokter
umum, mulai dari mendiagnosis, memberi terapi hingga edukasi kepada pasien
sehingga kasus ini penting untuk dibahas lebih mendalam.
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : JWK
Alamat : Blahbatuh, Gianyar
Agama : Hindu
Suku/Bangsa : Bali/Indonesia
Usia : 68 Tahun
Pekerjaan : Pedagang
Status : Menikah
No. RM : 620955
Tanggal Pemeriksaan : 11 April 2018

2.2 Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan Utama : gatal pada daerah pubis hingga kelamin
Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Sanjiwani Gianyar dengan
keluhan gatal pada daerah pubis hingga kelamin. Keluhan tersebut muncul kurang
lebih sejak 10 hari yang lalu. Keluhan awal muncul pada daerah pubis kemudian
meluas gatal sampai daerah kelamin. Bertambah gatal jika pasien berkeringat.
Keluhan lain seperti bengkak dan nyeri disangkal oleh pasien.

b. Riwayat Pengobatan
Pasien pernah melakukan pengobatan ke dokter umum untuk menghilangkan
keluhannya tersebut dan diberikan salep, tetapi keluhan tidak membaik.

c. Riwayat Penyakit Terdahulu


Pasien tidak pernat mengalami keluhan yang serupa sebelumnya. Riwayat
penyakit kronis maupun riwayat atopi seperti asma ataupun rhinitis tidak ada.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang serupa. Riwayat
penyakit kronis seperti diabetes, paru serta penyakit menular lainnya tidak ada.
Pada keluarga disangkal adanya riwayat atopi seperti asma, dermatitis alergi
maupun rhinitis alergika.

e. Riwayat Alergi
Pasien dikatakan tidak memiliki riwayat alergi.

f. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pedagang. Kesehariannya pasien dikatakan sering
melakukan aktivitas mempersiapkan barang dagangannya di rumah. Selain itu
pasien sering melakukan kegiatan memberikan makan ternak yaitu babi. Pasien
memiliki kebiasaan mandi dua kali sehari dan pasien memiliki kebiasaan
memakai celana yang sama dalam satu hari dengan alasan agar tidak banyak
mencuci. Pasien mengatakan setiap harinya mengonsumsi makanan dan minuman
denga frekuensi teratur yaitu tiga kali sehari.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Status Present :
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Jernih
GCS : E4V5M6
Temperature : dalam batas normal
Status Generalis : dalam batas normal
Status Dermatologis
Regio : Pubis dan Genitalia
Foto
Efloresensi :
1. Regio pubis:
Patch eritema, multiple, batas tegas, bentuk bulat, ukuran numuler, tertutup
skuama putih halus, soliter dan distribusi regional.

2. Regio genitalia:

Patch hiperpigmentasi, multiple, batas tegas, bentuk bulat sampai lonjong,


ukuran numular sampai plakat, skuama putih, soliter dan distribusi simetrik.

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.5 Diagnosis Banding

1. Erythrasma

2. Cutaneus candidiasis

3. Dermatitis kontak

4. Psoriasis

2.6 Diagnosis Kerja


Tinea Cruris

2.7 Penatalaksanaan
Terapi Medikamentosa :
1. Griseofulvin 1x500 mg/ minggu
2. Myconazole Cream 2% / 2 kali sehari

2.8 KIE
1. Meningkatkan kebersihan diri khusus nya pakaian yang dikenakan agar
sering diganti setiap hari.
2. Menjaga hygenitas diri dengan mandi minimal 2 kali sehari.
3. Lebih memperhatikan bagian genital, jika merasa berkeringat cepat lap
ataupun tissue agar tidak lembab.
4. Menjaga kesehatan dengan pola hidup sehat seperti pola makan dan
olahraga yang teratur.

2.9 Prognosis
Tinea Cruris adalah dermatofitosis yang susah dan lama untuk disembuhkan,
sehingga dibutuhkan kedisiplinan penderita dalam pengobatan. Tinea cruris
mudah diatasi asal penderita menjaga kelembaban dan kebersihan kulit.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pembahasan
Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur
superfisial yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan
daerah perineum. Tinea kruris masuk ke dalam golongan dermatofitosis dimana
infeksi ini disebabkan oleh jamur dermatofita. Tinea kruris merupakan salah satu
manifestasi klinis yang sering di lihat di Indonesia. Suhu dan kelembaban yang
tinggi menjadi salah satu faktor yang mendukung penyebaran infeksi ini.
Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsung seumur hidup. Tinea kruris lebih sering menyerang pria
dibandingkan wanita. (Wiratma MK, 2011).

Jamur Dermatofita sebagai penyebab dermatofitosis membutuhkan keratin


untuk tumbuh, oleh karena itu dermatofitosis hanya terbatas pada jaringan yang
berkeratin seperti stratum korneum, rambut dan kuku dan tidak menginfeksi
permukaan mukosa. Faktor penting yang berperan dalam penyebaran
dermatofita ini adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk, daerah
pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat atau
lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko tambahan
oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan infeksi.
Manifestasi klinis tinea kruris adalah rasa gatal atau terbakar pada daerah lipat
paha, genital, sekitar anus dan daerah perineum. Adanya central healing yang
ditutupi skuama halus pada bagian tengah lesi. Tepi yang meninggi dan merah
sering ditemukan pada pasien. (Wiratma MK, 2011).
Pada anamnesis pada kasus di atas didapatkan bahwa pasien wanita,
berusia 68 tahun, mengeluh gatal pada daerah pubis dan kelamin. Keluhan
tersebut muncul sejak 10 hari yang lalu. Keluhan awal muncul pada daerah pubis
kemudian meluas ke daerah kelamin. Bertambah gatal jika pasien berkeringat.
Keluhan lain seperti bengkak dan nyeri disangkal oleh pasien. Keluhan gatal
pada daerah pubis dan inguinal ini merupakan keluhan utama dari tinea cruris
yang biasanya etiologinya disebabkan oleh species Tricophyton rubrum dan
Epidermophyton floccosum. (Wiratma MK, 2011).

Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesesuaian antara teori dan hasil


pemeriksaan pada pasien didapatkan lesi berbatas tegas, peradangan pada tepi
lesi lebih nyata daripada daerah tengahnya (central healing). Pemeriksaan
penunjang yang diperlukan untuk pasien ini berupa pemeriksaan mikroskopis,
pada kerokan kulit dengan KOH 10-20%, bila positif memperlihatkan elemen
jamur berupa hifa panjang yang bercabang khas pada dermatofita dan terdapat
spora dan miselium. Pada pemeriksaan KOH 10% menunjukan hasil positif
ditandai dengan terdapatnya elemen jamur yang berupa hifa dan spora yang
mendukung diagnosis dari tinea cruris. (Djuanda, 2011).

Tinea kruris biasanya dapat disembuhkan dengan obat anti jamur topikal.
Umumnya, anti jamur topikal membutuhkan dosis satu atau dua kali sehari
selama 2 minggu. Pengobatan sistemik merupakan alternative untuk pasien yang
tidak berespon atau resisten terhadap pengobatan topikal dan pada pasien dengan
lesi yang luas. Anti jamur yang dapat digunakan adalah golongan azole dan
allylamine. Pengobatan dengan azole yang direkomendasikan adalah
ketoconazole, econazole, oxiconazole, clotrimazole dan miconazole. Terbinafine
dan natrifine merupakan allylamine yang dapat digunakan. Pengobatan
allylamine membutuhkan durasi yang lebih singkat dibandingkan azole tapi
biaya pada pengobatan dengan allylamine mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Untuk kasus resisten atau penyakit yang luas, oral itraconazole, terbinafine, dan
fluconazole dapat digunakan. Efek samping untuk pengobatan topikal sangat
minimal dibandingkan dengan pengobatan sistemik seperti Itraconazole,
ketoconazole dan griseofulvin yang menyebabkan sakit kepala dan muntah.
(Yossela Tanti, 2015).

Pada kasus, penatalaksanaan yang diberikan adalah pengobatan secara


topical dan sistemik. Pasien diberikan Griseofulvin 1 x 500mg/ minggu dan
Mikonazole cream 2% dengan pemakaian 2 kali sehari. Pertimbangan
pemberian obat sistemik pada pasien ini adalah bahwa pasien telah mengalami
tinea cruris dengan onset 10 hari dan luas dari luas luka yang di derita oleh
pasien. Penatalaksanaan tinea kruris tidak hanya diselesaikan secara
medikamentosa, namun dapat juga dilakukan secara nonmedikamentosa dan
pencegahan dari kekambuhan penyakit sangat penting dilakukan, seperti
mengurangi faktor predisposisi, yaitu menggunakan pakaian yang menyerap
keringat, mengeringkan tubuh setelah mandi atau berkeringat, dan
membersihkan pakaian yang terkontaminasi.

Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan diri sendiri prognosis
tinea cruris adalah baik, tetapi dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang
lama.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Tinea kruris yang sering disebut “jock itch” merupakan infeksi jamur superfisial
yang mengenai kulit pada daerah lipat paha, genital, sekitar anus dan daerah
perineum. Tinea kruris lebih sering pada rentang usia 51-60 tahun dan tiga kali
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Orang dewasa
lebih sering menderita tinea kruris bila dibandingkan dengan anak-anak.

Tinea kruris merupakan dermatofitosis yang sering ditemukan pada kulit


lipat paha, genitalia, daerah pubis, perineum dan perianal. Tinea kruris sebagai
salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur golongan dermatofita, terutama
suatu kelas Fungi imperfection, yaitu Genus Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton. Tinea kruris sering ditemukan pada kulit lipat paha, genitalia,
daerah pubis, perineum dan perianal. Faktor penting yang berperan dalam
penyebaran tinea kruris adalah kondisi kebersihan lingkungan yang buruk,
daerah pedesaan yang padat, dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat
atau lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga merupakan faktor resiko
tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas untuk melawan
infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangsung seumur hidup. Diagnosis dapat ditegakan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
dapat membantu menyingkirkan diagnosis banding dan dapat memberikan terapi
spesifik. Pengobatan dapat diberikan secara topical dan sistemik. Prognosis
penyakit ini adalah baik.
Pada kasus di atas didapatkan bahwa pasien wanita, berusia 68 tahun,
mengeluh gatal pada daerah pubis dan kelamin. Keluhan tersebut muncul sejak
10 hari yang lalu. Keluhan awal muncul pada daerah pubis kemudian meluas ke
daerah kelamin. Bertambah gatal jika pasien berkeringat. Keluhan lain seperti
bengkak dan nyeri disangkal oleh pasien. Pasien di diagnosis dengan Tinea
cruris. Pengobatan yang diberikan pada pasien berupa terapi topical dan terapi
sistemik. Setelah dilakukan tinjauan pustaka didapatkan kesesuaian antara teori
dengan yang didapatkan pada kasus.

4.2 Saran
Dalam penatalaksanaan tinea cruris, selain pengobatan secara farmakologis juga
penting adanya edukasi terhadap pasien dan keluarganya terutama untuk
meningkatkan higienitas erorangan dan kedisiplinan dalam menjalani
pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, A.2011.

Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia.

Wiratma, MK. 2011.

Laporan Kasus tinea kruris pada penderita diabetes mellitus. Denpasar:


Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Welsh, O. and Gloria, M.G 2015

Dermatophtosis (Tinea) and Other Superficial Fungal Infection. Mexico:


Springer International Publishing Switzerland.

Yossela, T., 2015.

Diagnosis and Treatment Of Tinea cruris. , 4, pp.122–128.

Anda mungkin juga menyukai