Anda di halaman 1dari 24

CT Multidetektor pada Trauma Tumpul Toraks

Rathachai Kaewlai, MD • Laura L. Avery, MD • Ashwin V. Asrani, MD


Robert A. Novelline, MD

Cedera toraks merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang


signifikan pada pasien trauma. Cedera ini menyumbang sekitar 25% dari kematian
terkait trauma di Amerika Serikat, urutan kedua setelah cedera kepala. Pencitraan
radiologi memainkan peran penting dalam diagnosis dan manajemen terhadap
trauma tumpul dada. Selain radiografi konvensional, multidetector computed
tomography (CT) semakin banyak digunakan, karena dapat dengan cepat dan
akurat membantu mendiagnosis berbagai cedera pada pasien trauma. Selain itu,
gambaran CT multiplanar dan volumetric reformatted memberikan peningkatan
visualisasi cedera, peningkatan pemahaman tentang penyakit terkait trauma, dan
memperluas komunikasi antara ahli radiologi dan dokter yang merujuk.

PENDAHULUAN
Cedera pada toraks adalah cedera ketiga yang paling umum terjadi pada
pasien trauma, di samping cedera pada kepala dan ekstremitas (1). Trauma toraks
memiliki tingkat fatalitas sebesar 10,1%, dimana tingkat fatalitas tertinggi pada
pasien dengan cedera jantung atau trakeobronkial-esofagus (1). Selain itu, adanya
cedera toraks dalam pengaturan trauma multisistemik dapat secara signifikan
meningkatkan tingkat mortalitas pasien. Cedera seperti “flail chest," kontusio
paru, hemotoraks, dan pneumotoraks dapat menyulitkan manajemen kasus secara
keseluruhan (2). Lebih dari dua pertiga kasus trauma toraks tumpul di negara
maju disebabkan oleh tabrakan kendaraan bermotor. Kasus lainnya terjadi akibat
terjatuh atau pukulan dari benda tumpul (3). Pencitraan memainkan peran penting
dalam diagnosis trauma tumpul toraks. Radiografi konvensional biasanya selalu
dilakukan untuk penyelidikan pada pencitraan awal, walaupun selanjutnya
dilakukan computed tomography (CT). Radiografi dada portabel dapat
menunjukkan adanya tension pneumotoraks, hemotoraks yang besar, malposisi
saluran napas dan garis, dan kondisi lain yang memerlukan penanganan segera.
CT semakin banyak digunakan untuk trauma. Studi telah menunjukkan bahwa CT
dapat menunjukkan kelainan-kelainan yang signifikan (misalnya, cedera aorta
toraks) pada pasien dengan hasil radiografi awal yang normal (4). Selain itu, CT
dikaitkan dengan perubahan tatalakksana pada hingga 20% pasien trauma dada
dengan radiografi awal yang abnormal (5). CT lebih akurat daripada radiografi
konvensional untuk evaluasi kontusio paru, sehingga memungkinkan prediksi
awal gangguan pernapasan (6). Hal ini juga bermanfaat dalam mendiagnosis
fraktur tulang belakang, terutama di pada serviko-torakal junction, yang sulit
untuk dievaluasi dengan radiografi konvensional. Selain itu, CT telah membantu
menyingkirkan adanya cedera aorta toraks, sehingga mengurangi jumlah
pemeriksaan aortografi kateter yang tidak diperlukan (7).
Dalam artikel ini, kami membahas dan menggambarkan spektrum kelainan
yang ditemukan pada trauma tumpul toraks pada CT multidetektor dengan
multiplanar (dua dimensi) dan reformasi volumetrik (tiga dimensi [3D]).
Kelainan-kelainan ini termasuk cedera pada rongga pleura (pneumotoraks,
hemotoraks), paru-paru (kontusio paru, laserasi paru, herniasi paru traumatis),
saluran udara (laserasi bronkial, laserasi trakea, efek Macklin), kerongkongan,
jantung (cedera pericardial, cedera pada jantung, katup dan bilik), aorta dan
pembuluh darah besar (cedera aorta toraks, cedera pada arteri mamaria interna,
cedera pada cabang arkus aorta), diafragma, dan dinding dada (fraktur tulang
rusuk, flail chest, fraktur skapula, fraktur sternum, dislokasi sternoklavikula).
Perlu dicatat lebih dari satu cedera dapat terjadi pada satu pasien.
Cedera Ruang Pleura
Pneumotoraks, pengumpulan udara di ruang pleura, adalah kondisi
traumatis yang sangat umum yang terlihat pada 15% -40% dari semua pasien
trauma dada tumpul (6,8,9). Pneumotoraks dapat disebabkan oleh ruptur alveoli
karena peningkatan tekanan intrathoracic yang tiba-tiba atau karena trauma
tumpul atau kekuatan perlambatan ke dinding dada, dengan atau tanpa patah
tulang rusuk. Diagnosis pneumotoraks biasanya dibuat pada pemeriksaan
radiografi dada. Namun, 10% -50% pneumotoraks akibat trauma tumpul tidak
dapat divisualisasikan pada radiografi konvensional yang dilakukan pada pasien
dengan posisi terlentang, namun hal ini dapat dilihat melalui CT (6,9,10);
pneumotoraks yang hanya terlihat pada CT disebut “occult pneumothoraces” (Gbr
1). Pada pasien dengan posisi terlentang, udara di ruang pleura akan terakumulasi
ke anterior dan medial. Akibatnya, pneumotoraks occult dapat tidak terlihat pada
foto rontgen dada yang diperoleh dengan pasien pada posisi tersebut, meskipun
mungkin dapat terlihat pada foto dengan pasien tegak. Bahkan pneumotoraks
occult kecil dapat menimbulkan gejala klinis jika membesar pada pasien yang
duberikan ventilasi mekanik positif atau pasien yang menjalani anestesi umum
dengan pemasangan tabung endotrakeal. Diagnosis pneumotoraks okult pada
radiografi "terlentang" bergantung pada beberapa tanda, termasuk (a) peningkatan
lucensi pada dasar paru yang terkena, (b) tanda "sulkus dalam", (c) tanda
"diafragma ganda", dan (d) definisi kontur mediastinum yang lebih baik. Dengan
meningkatnya penggunaan CT pada pasien trauma, pneumotoraks dapat dideteksi
dengan baik dan tidak menunjukkan kesulitan diagnostik. Namun, menentukan
pasien mana yang harus dilakukan pemasangan chest tube drainage memang
menimbulkan dilema klinis (10). Mengukur jarak dari tepi paru yang kolaps ke
dinding dada untuk memperkirakan jumlah pneumotoraks biasanya tidak akurat;
oleh karena itu, tatalaksana emergensi pneumotoraks saat ini bergantung pada
gejala dan respons fisiologis (6) pada masing-masing pasien.

Gambar 1. Occult pneumothorax. (a) Rontgen dada menunjukkan area halus


dengan peningkatan lucensi di dasar paru kiri dengan peningkatan ketajaman
kontur hemidiafragmatik kiri. (B) CT scan selanjutnya membantu mengonfirmasi
pneumotoraks kiri (*).
Gambar 2. Tension pneumotoraks. (a) Rontgen dada menunjukkan pneumotoraks
kanan. (B) CT scan menunjukkan pneumotoraks kanan (putih *) dengan
perpindahan jantung ke kiri (panah). Hitam * = memar paru.
Ketika udara yang terkumpul di ruang pleura mencapai titik di mana
tekanan intrapleural melebihi tekanan atmosfer, akan terjadi pneumotoraks
tension (Gbr. 2). Pergeseran mediastinum, kembalinya vena ke jantung, dan
kolapsnya paru ipsilateral dapat terjadi. Tension pneumotoraks merupaan suatu
diagnosis klinis; Namun, pencitraan disarankan pada kondisi terdapat tanda-tanda
berikut: (a) pergeseran mediastinum ke sisi kontralateral, (b) pelebaran atau
inversi hemidiaphragma ipsilateral, dan (c) dada ipsilateral hiperekspansi. Di sisi
lain, tanda-tanda ini dapat dilihat pada pneumotoraks besar tanpa disertai dengan
gangguan hemodinamik. Hal ini lebih mungkin disebabkan oleh hilangnya
tekanan intrapleural negatif pada sisi yang terkena, daripada munculnya tekanan
intrapleural positif yang merusak aliran balik vena.
Hemotoraks
Hemotoraks mewakili suatu kondisi dimana terdapat darah di dalam ruang
pleura, yang mungkin berasal dari berbagai cedera toraks (misalnya, yang
melibatkan paru-paru, dinding dada, jantung, atau pembuluh darah besar) atau
cedera perut (hati dan cedera limpa dengan ruptur diafragma). Hemotoraks masif
sebagai hemotoraks melebihi 1 liter dengan tanda-tanda klinis syok dan
hipoperfusi (6). CT dapat membedakan cairan di dalam pleura akibat trauma
dengan penentuan nilai atenuasi. Darah di ruang pleura biasanya memiliki
atenuasi 35-70 HU. Pengukuran atenuasi cairan pleura harus rutin dalam
interpretasi CT trauma dada untuk membedakan cairan sederhana dengan darah
akut.
Cedera Paru-paru
Kontusio Paru
Kontusio paru adalah cedera paru-paru yang paling umum terjadi dari
semua jenis trauma dada tumpul, dengan prevalensi 17% -70% (11,12). Hal ini
merupakan cedera traumatis pada alveoli dengan perdarahan alveolar, tetapi tanpa
adanya gangguan alveolar yang signifikan. Kontusio paru timbul pada saat cedera,
biasanya di lokasi benturan. Kontusio di bagian yang berlawanan dari paru-paru
(contrecoup contusion) mungkin dapat terlihat. Gambaran pencitraan yang khas
terdiri dari kekeruhan ruang udara yang patchy atau konsolidasi dengan batas
yang tidak jelas yang didistribusikan terlepas dari anatomi segmental
bronkopulmonalis (distribusi nonsegmental). Pada CT, subpleural
sparring(adanya 1-2 mm parenkim bersih di bawah permukaan pleura) dapat
diamati (Gbr. 3). CT dapat membantu mendeteksi kontusio paru segera setelah
cedera, sedangkan visualisasi pada radiografi konvensional mungkin tidak dapat
dilakukan hingga 6 jam kemudian. Tatalaksana kontusio paru biasanya dimulai
dalam 24-48 jam, dengan penyembuhan total dalam 3-10 hari (13). Waktu
pengembangan kontusio paru sering membantu dalam menentukan penyebab
daerah opak paru pada pasien trauma. Fokus area opak pada paru yang muncul 4
jam atau lebih setelah cedera mengindikasikan diagnosis selain kontusio paru,
termasuk aspirasi, pneumonia, dan emboli lemak. Namun, pasien yang memiliki
kontusio paru memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami pneumonia dan
sindrom gangguan pernapasan.
Gambar 3. Kontusio paru. Gambar aksial (a) dan pemformatan ulang koronal (b)
CT menunjukkan ciri-ciri khas dari kontusio paru: kekeruhan ruang udara
tambalan nonsegmental di pinggiran paru-paru (*) dengan sparring subpleural
tipis (panah di b)
Laserasi paru
Laserasi paru terjadi ketika ada gangguan (robekan, laserasi) parenkim
paru-paru, yang mengakibatkan lubang di paru-paru. Karena recoil elastis
pulmonal yang normal, jaringan paru yang mengelilingi laserasi menarik kembali
dari laserasi itu sendiri. Laserasi ini bermanifestasi pada CT sebagai rongga bulat
atau oval, alih-alih memiliki penampilan linier yang biasanya terlihat pada organ
padat lainnya. Rongga traumatis dapat dilapisi dengan udara (pneumatocele
traumatis), darah (hematokel traumatis atau hematoma paru), atau udara dan darah
(hematopneumatokel traumatik) (Gbr. 4). Laserasi paru sembuh lebih lambat dari
kontusio dan bisa berlangsung hingga beberapa bulan. Seiring waktu, laserasi
tersebut menjadi semakin dipenuhi dengan darah dan kemudian mengalami
penyembuhan. Pada keadaan akut, laserasi biasanya dikelilingi oleh kontusio,
sehingga sering dikaburkan pada radiografi konvensional. Namun, hampir semua
laserasi akut dapat dideteksi dengan CT. Laserasi tersebut dapat terlihat tunggal
atau multipel dan unilocular atau multilocular. Empat jenis laserasi paru telah
dijelaskan menurut mekanisme cedera, pola CT, dan lokasi fraktur tulang rusuk
terkait (11). Laserasi tipe 1 (compression rupture injury) adalah tipe laserasi paru
yang paling umum, di mana gaya tekan langsung menghasilkan laserasi di bagian
dalam paru-paru. Laserasi tipe 2 (compression shear injury) disebabkan oleh
pukulan mendadak yang parah ke hemitoraks bawah, yang mengakibatkan
pergeseran tiba-tiba lobus bawah paru-paru melintasi tulang belakang. Laserasi ini
terlihat di daerah paraspinal. Laserasi tipe 3 (rib penetration tear) terletak di
pinggiran paru-paru di mana tulang rusuk patah dan umumnya dikaitkan dengan
pneumotoraks. Laserasi tipe 4 (adhesion tear) adalah laserasi di daerah adhesi
pleuropulmonary yang sudah ada sebelumnya dan biasanya didiagnosis pada
operasi atau otopsi. Laserasi paru sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
karena mereka memiliki fleksibilitas yang lebih besar dari dinding dada, yang
menghasilkan kemungkinan cedera paru-paru yang lebih tinggi dengan trauma
tumpul.

Gambar 4. Laserasi paru. (a) Rontgen toraks menunjukkan kekeruhan ruang


udara patchy multifokal di kedua paru-paru dengan tingkat cairan udara di
midportion paru-paru kanan (panah), masing-masing yang mewakili kontusio paru
dan laserasi. (B) CT scan mengungkapkan laserasi paru multipel (panah besar) di
bagian tengah lobus kanan atas (cedera pecah kompresi) dan di bagian paraspinal
lobus kanan bawah (cedera geser kompresi). Panah kecil menunjukkan kontusio
paru di paru kiri.
Herniasi Paru-Paru Traumatis
Herniasi paru traumatis terjadi ketika bagian paru yang ditutupi pleura
mengalami ekstrusi melalui defek traumatis pada dinding dada (Gambar 5).
Kondisi ini biasanya dikaitkan dengan patah tulang rusuk. Karena herniasi paru-
paru dapat meningkat dengan ventilasi tekanan positif, pasien mungkin
memerlukan perawatan sebelum menjalani intubasi dan anestesi umum.
Gambar 5. Herniasi paru traumatis. (a) CT scan menunjukkan herniasi jaringan
paru-paru (panah) melalui fraktur persimpangan costochondral ketiga kanan
(panah). (B) Gambar CT tiga dimensi jelas menggambarkan herniasi paru-paru
(panah).
Cedera jalan napas
Cedera trakeobronkial jarang terjadi dalam praktik klinis karena sebagian
besar pasien meninggal sebelum tiba di instalasi gawat darurat, baik dari cedera
terkait struktur vital, perdarahan, pneumotoraks tension, atau kekurangan
pernapasan akibat cedera saluran napas. Dalam praktik klinis, trauma
trakeobronkial tumpul dilaporkan terjadi sebanyak 0,2% -8% dari semua kasus
trauma dada tumpul (14,15). Trauma jalan nafas akibat cedera deselerasi dapat
terjadi akibat kompresi saluran udara antara sternum dan vertebrae torakal,
robekan pada titik fiksasi, atau peningkatan tekanan intratoraks terhadap glotis
yang tertutup. Cedera trakeobronkial biasanya terjadi pada jarak 2,5 cm dari
carina.
Laserasi bronkial
Laserasi bronkial lebih umum terjadi diabandingkan laserasi trakea, dan
biasanya sejajar dengan cincin tulang rawan bronkus. Manifestasi pencitraan
umum dari cedera bronkial adalah pneumomediastinum dan pneumotoraks
(Gambar 6). Pneumotoraks terjadi jika cedera meluas ke ruang pleura. Kehadiran
pneumotoraks persisten, bahkan dengan pemasangan cehst tube dan chest suction,
harus tetap memikirkan akan kemungkinan adanya cedera bronkial. Ketika
terdapat transeksi total bronkus, paru-paru di sisi cedera bronkial mungkin
terjatuh ke arah posterolateral menjauhi hilus (tanda "fallen lung"). Paru-paru
jatuh secara inferior jika pasien tegak dan posterior jika pasien terlentang, seperti
yang terlihat pada CT scan.
Gambar 6. Laserasi bronkial. Gambar CT aksial (a) dan koronal yang diformat
ulang 9b) menunjukkan robekan (panah panjang) pada dinding posterior bronkus
intermedia kanan dengan kebocoran udara ke mediastinum (*) dan pneumotoraks
kanan kecil. Panah pendek menunjukkan laserasi paru multipel di paru kanan
dengan latar belakang kontusio paru bilateral luas. Perhatikan juga tabung di sisi
kanan dada.
Laserasi trakea
Laserasi trakea biasanya vertikal dan longitudinal, dan terletak di
persimpangan antara trakea pars kartilaginosa dan membranosa. Temuan klinis
yang umum dijumpai pada laserasi trakea adalah emfisema subkutan servikal dan
pneumomediastinum (Gambar 7). Pada pasien yang diintubasi, overdistensi atau
herniasi balon endotrakeal dapat terlihat jika balon berada pada level yang sama
dengan laserasi trakea. CT dapat membantu mengidentifikasi lokasi laserasi trakea
pada 70% -100% kasus (16,17).
Gambar 7. Laserasi trakea. (a) Radiografi dada yang diperagakan menunjukkan
pneumomediastinum (panah). (b) CT scan menunjukkan robekan (panah hitam) di
bagian posterolateral kanan trakea, bersama dengan pneumomediastinum (panah
putih).
Jika temuan CT menunjukkan cedera pada pohon trakeobronkial,
diagnosis defnitif dengan bronkoskopi harus diupayakan untuk mengonfirmasi
diagnosis dan untuk mengevaluasi lokasi dan luasnya cedera (14). Komplikasi
potensial dari cedera trakeobronkial termasuk obstruksi jalan napas, pneumonia,
bronkiektasis, abses, dan empiema.
Macklin Effect
Trauma pneumomediastinum bisa jadi memiliki penyebab lain selain dari
cedera trakeobronkial. Efek Macklin terjadi dengan melibatkan pecahnya alveolar
paru, dimana udara membedah sepanjang selubung bronkovaskular dan menyebar
hingga ke mediastinum (18,19). Gambaran CT efek Macklin mirip dengan
emfisema interstitial paru. Guratan udara di sepanjang bundel bronkovaskular
dapat terlihat, serta adanya pengumpulan udara di rongga mediastinum. Kehadiran
efek Macklin tidak mennyingkirkan kemungkinan adanya cedera trakeobronkial,
yang dapat terjadi berdampingan (19).
Cedera esofagus
Trauma tumpul pada kerongkongan sangat jarang terjadi, karena struktur
ini terlindungi dengan baik di dalam mediastinum. Sebagian besar cedera
kerongkongan terjadi karena trauma tembus. Namun, cedera esofagus tumpul
dapat terjadi akibat pukulan ke leher atau burst force (20). Pukulan ke leher
biasanya mengakibatkan cedera esofagus servikal, sedangkan burst force dapat
menyebabkan cedera esofagus distal (14,21). Mekanisme yang terakhir mirip
dengan mekanisme yang menyebabkan rupturnya esofagus postemetik. Robekan
esofagus distal biasanya terjadi di sepanjang sisi kiri dinding esofagus, di mana
lebih sedikit perlindungan yang diberikan oleh lapisan pleura dan jantung.
Robekan mata ini sering dikaitkan dengan gejala klinis, seperti darah di
kerongkongan atau odynophagia. Temuan CT dapat mengindikasikan diagnosis
perforasi esofagus traumatis (misalnya, adanya pneumomediastinum,
mediastinitis, hidropneumotoraks, atau kebocoran bahan kontras yang diberikan
secara oral ke dalam mediastinum atau ke ruang pleura). Esofagografi kontras
water-souble, diikuti dengan esofagoskopi yang fleksibel, mungkin diperlukan
untuk mengevaluasi lokasi cedera.
Cedera jantung
Cedera jantung biasanya terjadi akibat tabrakan kendaraan bermotor.
Cedera jantung tumpul mulai dari memar hingga pecahnya jantung. Cedera
jantung adalah salah satu cedera yang paling mematikan pada pasien trauma
toraks (1). Namun, pasien dengan kontusio miokard, robekan perikardial, cedera
pada katup, atau robekan kecil di rongga bertekanan rendah dapat bertahan hidup
dari cedera mereka untuk mencapai IGD. Diagnosis cedera jantung tumpul
bergantung pada tingkat kecurigaan klinis yang tinggi. Pasien mungkin memiliki
temuan elektrokardiografi abnormal dan peningkatan kadar enzim jantung (22).
Manifestasi pencitraan dari cedera jantung tumpul termasuk hemoperikardium
(Gambar 8), ekstravasasi bahan kontras ke dalam kantung perikardium atau
mediastinum, pneumoperikardium (Gambar 9), perpindahan jantung karena
herniasi jantung, dan gas usus abnormal pada dada akibat robekan perikardium
diafragma.
Gambar 8. Cedera jantung tumpul. CT scan menunjukkan hemoperikardium
traumatis (panah). Diagnosis cedera jantung tumpul dikonfirmasi berdasarkan
temuan elektrokardiografi yang abnormal, peningkatan kadar enzim jantung, dan
temuan echocardiographic.

Gambar 9. Cedera jantung tumpul. Gambar aksial (a) dan gambaran reformasi
koronal (b) CT menunjukkan laserasi perikardial (panah dalam b) dengan
pneumoperikardium (panah dalam a) yang dihasilkan dari perluasan
pneumotoraks kiri (*) ke dalam ruang perikardial.
Cedera perikardial
Cedera perikardial biasanya terjadi karena pukulan langsung pada dada
atau akibat kekuatan tidak langsung dari peningkatan tekanan intraabdomen.
Robekan dapat berukuran sangat kecil yaitu beberapa milimeter, atau dapat
sepanjang seluruh panjang perikardium. Robekan yang lebih besar dapat disertai
dengan herniasi jantung, yang dapat menyebabkan disfungsi jantung dan
kematian. Area yang paling sering mengalami cedera perikardium adalah pada sisi
kiri perikardium yang sejajar dengan saraf frenikum, diikuti oleh permukaan
diafragma perikardium (23,24).
Cedera pada katup dan ruang jantung
Cedera pada katup dan ruang jantung biasanya terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, yang kemudian mengalami
peristiwa traumatis. Cedera ini menyumbang sekitar 9% dari semua cedera
jantung tumpul. Cedera pada ruang sisi kanan lebih sering terjadi daripada cedera
pada sisi kiri. Katup aorta, mitral, dan trikuspid (sesuai urutan frekuensinya)
mungkin terlibat (24).
Cedera Aorta dan Pembuluh Darah Besar
Cedera Aorta
Cedera aorta pars torakal biasanya berakibat fatal. Cedera ini
menyumbang 10% -15% dari kematian setelah tabrakan kendaraan bermotor di
Amerika Serikat (25). Antara 85% dan 90% pasien meninggal sebelum mencapai
rumah sakit, dan sekitar 50% dari mereka yang pada awalnya bertahan hidup
dapat meninggal dalam 1 minggu tanpa mendapatkan perawatan yang tepat (26).
Penyebab paling umum dari cedera aorta pars torakal adalah tabrakan kendaraan
bermotor, dimana jatuh dari ketinggin dan cedera pejalan kaki menjadi penyebab
yang jauh lebih jarang (27). Deselerasi cepat menghasilkan robekan pada lapisan
intima aorta toraks, yang dapat meluas menjadi cedera pada seluruh ketebalan
dinding aorta. Cedera aorta toraks paling sering terjadi pada tempat perlekatan
aorta, termasuk aorta desendens proksimal (Gambar 10), lengkung aorta, akar
aorta, dan aorta desendens distal pada hiatus aorta (Gambar 11). Hematoma
periaorta biasanya menyertai cedera aorta, dan diyakini menggambarkan adanya
perdarahan dari vena kecil di area vasa vasorum aorta itu sendiri. Hematoma
periaorta pada radiografi dapat terlihat seperti pelebaran mediastinum, kekaburan
kontur aorta, atau penebalan garis paratrakeal. Adanya kelainan mediastinum pada
radiografi memiliki sensitivitas diagnostik 90% -95% untuk cedera aorta, namun
spesifisitasnya hanya 5% -10% (26). Pada kondisi yang jarang terjadi, cedera
aorta hanya disertai dengan perdarahan periaortik minimal (atau tidak sama
sekali). Oleh karena itu, radiografi konvensional mungkin tidak menunjukkan
kelainan mediastinum, yang mengarah menjadi negatif palsu untuk kemungkinan
cedera aorta. CT tidak hanya memungkinkan visualisasi langsung terhadap
hematoma periaorta, tetapi juga dapat menunjukkan cedera aorta yang sebenarnya,
termasuk pseudoaneurisma aorta, perubahan kontur atau diameter aorta, flap dan
trombus intima, dan ekstravasasi bahan kontras. Reformasi multiplanar dan
volumetrik berguna dalam menentukan jarak cedera dari cabang lengkung aorta,
panjang cedera, diameter aorta di atas dan di bawah cedera, jenis penyakit
pembuluh darah, dan anomali anatomi yang terjadi bersamaan (7,28 ). Banyak
pemindai CT moderen multidetektor 16- dan 64- section dilengkapi dengan
kemampuan gating jantung. Pilihan ini memungkinkan evaluasi yang lebih akurat
terhadap cedera aorta asendens, terutama pada pasien dengan takikardi dan
ditandai gerakan pulsatil aorta. Masalah yang sering dihadapi saat ini pada
prosedur gatting jantung rutin dalam kasus trauma dada adalah "band artifact"
pada pasien dengan denyut nadi lebih dari 80, yang menganggu gambaran pada
gambar multiplanar dan volumetric reformatted. Oleh karena itu, sebagian besar
center melakukan CT rutin pada kasus trauma dada tanpa gating jantung. Namun,
pada pasien dengan gerakan pulsatil pada aorta asendens, studi jantung kedua
dapat dilakukan dengan pemberian 60 mL bahan kontras intravena. Scan aksial
sangat baik untuk menyingkirkan cedera aorta asendens. Gambar multiplanar dan
volumetric reformatted dipersiapkan dari pemeriksaan awal. Karakteristik pasti
dari cedera yang terjadi sangat penting untuk menentukan perawatan yang optimal
untuk cedera aorta toraks, karena pilihan yang melibatkan kontrol tekanan darah
dan penempatan stent menjadi diterima secara luas (28).
Gambar 10. Trauma pseudoaneurisma dari aorta desendens proksimal. Gambar
aksial (a) dan 3D (b) menunjukkan pseudoaneurisma (panah) aorta distal ke asal
arteri subklavia kiri, dengan hematoma periaortik (panah di a).

Gambar 11. Cidera aorta desendens distal. Gambar aksial (a) dan reformasi
koronal (b) CT menunjukkan flap (panah) intimal pada aorta descending pada
tingkat hiatus aorta, suatu temuan yang konsisten dengan cedera aorta toraks.
Hematoma periaortik dan retrocrural (panah di a) juga diamati.
Cedera pada Arteri Mammaria Internal
Penyebab potensial lainnya (walaupun tidak umum) dari perdarahan
mediastinum aktif adalah cedera pada arteri mamaria interna. Hematoma
mediastinum dapat tampak kabur pada radiografi konvensional tetapi dapat
dideteksi pada CT. Cedera tersebut dapat mengancam jiwa karena kehilangan
darah yang terus-menerus dan dapat menekan ventrikel kanan, yang
mengakibatkan gangguan pemasangan ventrikel. Adanya perdarahan aktif dapat
dibuktikan dengan adanya ekstravasasi bahan kontras, yang biasanya memiliki
nilai atenuasi yang dekat dengan arteri yang berdekatan (Gambar 12) (29).
Gambar 12. Cedera arteri mamaria interna. (a) Rontgen dada menunjukkan batas
jantung kanan (panah) yang menonjol, siluet jantung yang membesar, dan
hemotoraks bilateral. (B) CT scan menunjukkan hematoma di mediastinum
anterior (panah putih) dengan ekstravasasi aktif (panah hitam). (c) Angiogram
kateter menunjukkan perdarahan aktif (panah) dari cabang arteri mamaria interna
kanan.
Cedera pada Cabang arkus Aorta
Cedera pada cabang arkus aorta yang dimaksud termasuk oklusi traumatis,
diseksi, pseudoaneurisma, dan ekstravasasi bahan kontras. Cedera ini biasanya
merupakan hasil dari ekstensi leher tiba-tiba atau traksi bahu, yang mengarah ke
peregangan cabang aorta. Cedera pada arteri karotis komunis dapat menyebabkan
defisit neurologis, termasuk stroke. Pada pasien dengan cedera aorta toraks,
identifikasi cedera pada cabang lainnya sangatlah penting, karena dapat mengubah
pendekatan bedah yang akan dilakukan.
Gambar 13. Cedera arteri subklavia. (a) CT scan menunjukkan ketidakteraturan
intima arteri subklavia kiri (panah) dengan hematoma di sekitarnya (*). (b, c)
Proyeksi intensitas-maksimum (b) dan 3D (c) CT menunjukkan tingkat cedera
arteri (panah).
Cedera Diafragma
Cedera tumpul pada diafragma jarang terjadi, dengan prevalensi 0,16% -
5% pada pasien trauma tumpul (31,32). Cedera ini disebabkan oleh peningkatan
mendadak tekanan intraabdominal atau intrathoraks terhadap diafragma yang
terfiksasi. Robekan biasanya besar dan melibatkan permukaan posterolateral
hemidiafragma di lokasi fusi diafragma embrionik sebelumnya. Cedera dapat
terjadi di bagian tengah diafragma atau di lokasi perlekatan diafragma.
Hemidiafragma kanan lebih jarang cedera dibandingkan yang kiri, hal ini
mungkin dijelaskan oleh kekuatan hemidiafragma kanan yang lebih besar dan
efek perlindungan diafragma kanan oleh hati (31-33). Cedera pada diafragma
menimbulkan risiko herniasi organ visceral melalui defek yang terbentuk, yang
dapat terjadi secara akut pada saat cedera maupun beberapa hari setelahnya.
Herniasi organ visceral dapat menyebabkan penahanan inkarseasi, strangulasi atau
perforasi pada organ. Jenis konten herniasi tergantung pada ukuran dan lokasi
cedera. Hati, usus kecil, atau usus besar dapat mengalami herniasi melalui defek
diafragma sisi kanan; lambung, usus kecil, usus besar, atau limpa dapat
mengalami herniasi melalui defek sisi kiri. Lokasi langka terjadinya herniasi
diafragma traumatis termasuk perikardium dan hiatus esofagus. Manifestasi
pencitraan dari cedera diafragma tergantung pada sisi cedera (hemidiafragma kiri
atau kanan), adanya visera perut hernia, dan cedera pleura atau paru yang terjadi
bersamaan. Manifestasi pencitraan pada kasus cedera diafragma tergantung pada
sisi yang mengalami cedera (hemidiafragma kiri atau kanan), ada tidaknya hernia
organ abdomen, dan cedera pleura atau paru yang terjadi bersamaan. Temuan
pada radiografi konvensional dapat mengdiagnosis cedera diafragma tumpul
dengan spesifisitas tinggi ketika ada herniasi viskus berongga ke dalam thoraks.
Temuan lainnya termasuk ekstensi ke atas ujung tabung nasogastrik di atas
hemidiafragma kiri, peninggian hemidiafragma yang terlibat, dan hilangnya
kontur diafragma. Multidetektor CT dengan reformasi koronal dan sagital dapat
menunjukkan diskontinuitas diafragma bahkan yang sangay kecil dan membantu
mengidentifikasi herniasi visera (Gambar 14). Tanda-tanda CT lain dari cedera
diafragma termasuk tanda "collar", tanda "dependent viscera", penebalan
diafragma, dan ekstravasasi bahan kontras peridiaphragma. Tanda "collar"
dibentuk oleh penyempitan yang menyerupai pinggang dari visera yang
mengalami herniasi. Tanda dependent viscera (34) terbentuk oleh viscera perut
yang jatuh menggantung pada dinding dada posterior melalui robekan diafragma.
Cedera pada diafragma biasanya disertai oleh hemotoraks dan hemoperitoneum.
Darah di kedua sisi diafragma tanpa cedera intraabdominal yang jelas harus
meningkatkan kecurigaan untuk kemungkinan cedera diafragma. CT memiliki
sensitivitas keseluruhan dalam diagnosis ruptur diafragma tumpul sebesar 70% -
100%, dengan sensitivitas yang lebih besar untuk cedera sisi kiri, dan spesifisitas
75% -100% (31,32,35). Keterbatasan CT heliks single-section dapat diatasi
dengan CT multidetektor yang dilakukan dengan thin-section collimation dan
section overlap untuk menghasilkan gambaran koronal dan sagital dengan
resolusi tinggi. Hal ini memungkinkan visualisasi yang lebih baik terhadap
diafragma dan diferensiasi diafragma dari jaringan lunak yang berdekatan.
Gambar 14. Cedera diafragma. (a) Rontgen dada menunjukkan peningkatan yang
ditandai dari hemidiafragma kiri. (b, c) Coronal (b) dan sagital (c) gambar CT
menunjukkan defek diafragma kiri besar (panah) dengan herniasi lambung (*) ke
dalam toraks.
Cedera Dinding Dada
Cedera tumpul pada dinding dada sangat umum terjadi dalam praktik
klinis, terutama akibat tabrakan kendaraan bermotor, jatuh, dan pukulan dari
benda tumpul. Spektrum cedera termasuk memar dinding dada, hematoma di
dinding dada atau ruang ekstrapleural, dan patah tulang.
Fraktur iga
Cedera skeletal yang paling umum pada trauma dada tumpul adalah
fraktur iga, yang terjadi pada sekitar 50% pasien. Fraktur iga sederhana biasanya
tidak signifikan dan jarang mengancam jiwa. Namun, fraktur iga multipel atau
bilateral menunjukkan terjadinya cedera toraks yang lebih parah, yang dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas (6,36). Fraktur iga berperan
sebagai manifestasi eksternal terhadap kemungkinan adanya cedera toraks atau
abdomen yang terjadi bersamaan (36). Fraktur pada iga pertama sampai ketiga
seringkali menandakan telah terjadi trauma dengan energi yang tinggi, karena
struktur tulang rusuk ini dilindungi dengan baik oleh skapula, klavikula, dan otot.
Fraktur ini dapat dikaitkan dengan cedera pleksus brakialis atau cedera vaskular
subklavia. Fraktur pada tiga tulang rusuk bagian bawah mungkin berhubungan
dengan adanya cedera pada hati, limpa, dan ginjal dan, lebih jarang, dengan
cedera paru-paru. Pada orang tua, fraktur iga bisa menjadi sumber rasa sakit yang
signifikan. Pergerakan pernapasan yang terbatas dapat menyebabkan peningkatan
prevalensi atelektasis dan pneumoni, yang dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas pasien (37). Radiografi thoraks secara rutin digunakan untuk membantu
dalam diagnosis fraktur iga, meskipun sensitivitasnya terbatas. CT adalah teknik
yang paling sensitif untuk pencitraan fraktur iga, karena dapat membantu
menentukan lokasi dan jumlah fraktur, serta yang lebih penting dapat memberikan
informasi mengenai cedera yang terkai disekitarnya.

Gambar 15. Fraktur iga dan flail chest (a) CT scan menunjukkan fraktur tulang
rusuk posterior kiri (panah) dengan hematoma subpleural (panah). (B) Gambar
CT tiga dimensi (proyeksi oblik posterior kiri) yang diperoleh pada pasien yang
berbeda menunjukkan fraktur multipel dari tiga tulang rusuk yang berdekatan.
Setiap tulang rusuk memiliki fraktur posterolateral (panah putih) dan fraktur
posterior (panah hitam), yang bersama-sama menghasilkan segmen flail.
Gambar 16. Fraktur sternum. (a) Pemindaian CT aksial (soft-tissue window)
menunjukkan fraktur manubrium (panah) yang berorientasi sagital dengan
hematoma retrosternal (panah). (B) Gambar CT reformat sagital (soft-tissue
window) yang diperoleh pada pasien yang berbeda menunjukkan fraktur
transversum corpus sternum (panah) dengan hematoma retrosternal (panah).
Temuan terakhir lebih sulit untuk dinilai pada pemindaian aksial.
Flail chest
Flail chest adalah kondisi traumatis di mana terdapat fraktur pada tiga atau
lebih tulang rusuk yang berdekatan, dengan patahan di dua tempat atau lebih.
Fraktur biasanya terjadi di bagian anterior dan anterolateral dari tulang rusuk
tengah ke bawah. Fraktur ini menciptakan segmen flail (Gambar 15) yang dapat
bergerak secara paradoks relatif terhadap gerakan dada selama respirasi pada
pasien dengan ventilasi spontan. Meskipun pemeriksaan pencitraan dapat
menunjukkan adanya fraktur, namun gerakan paradoks hanya tampak pada
pemeriksaan klinis. Flail chest menandakan adanya cedera intratoraks yang
signifikan, karena lebih dari setengah pasien mengalama hal ini memiliki cedera
terkait yang memerlukan perawatan bedah (38). Pasien-pasien ini sering
membutuhkan ventilasi mekanik untuk periode yang lama (39).
Fraktur skapula
Fraktur skapula merupakan fraktur jarang terjadi, terhitung 3% -5% dari
semua fraktur korset bahu (40) dan terjadi pada 3,7% pasien dengan trauma
multipel (41). Kekuatan yang besar diperlukan untuk mematahkan skapula, beik
dari pukulan langsung ke skapula atau kekuatan aksial tidak langsung yang
ditransmisikan melalui humerus. Fraktur skapular umumnya terjadi pada tabrakan
kendaraan bermotor dan jatuh dari ketinggian. Cedera ini terkait dengan cedera
lainnya, termasuk pneumotoraks, hemotoraks, cedera paru, dan cedera tulang
belakang pada 35% -98% kasus (40,42). Sebagian besar fraktur melibatkan
corpus dan collum skapula, meskipun mungkin juga melibatkan prosesus glenoid,
coracoid, atau akromion. Sebagian besar fraktur skapular ditatalaksana secara
konservatif, dan fraktur nonunion jarang terjadi. Pengecualian pada fraktur
intraarticular glenoid yang neglected dan fraktur juxtaarticular yang neglectedr,
dimana keduanya biasanya memerlukan manajemen bedah (40,43). Fraktur
skapula dapat diabaikan pada evaluasi klinis awal karena cedera yang lebih parah.
Selain itu, skapula tidak dengan mudah dapat divisualisasikan pada radiografi
trauma dada rutin. Beberapa tampilan radiografi skapula dapat memberikan
informasi mengenai lokasi fraktur, keterlibatan, dan displacement. CT dengan
reformasi multiplanar dan volumetrik dapat memberikan informasi tambahan
mengenai ekstensi fraktur intraarticular.
Fraktur sternum
Fraktur sternum dapat terjadi akibat trauma deselerasi atau akibat pukulan
langsung ke dinding dada anterior. Fraktur biasanya melibatkan corpus dan
manubrium sternum. Meskipun fraktur sternum menandakan terjadinya trauma
dengan energi yang tinggi (6,44), fraktur sternum sederhana dapat terjadi sebagai
cedera yang terisolasi (45). Namun, fraktur sternum yang mengalami
displacement dan orang-orang dengan gangguan sendi manubriosternal yang
terjadi dengan cedera toraks, jantung (46), dan tulang belakang (47). Fraktur
sternum paling baik ditunjukkan pada CT pada gambar diformat multiplanar,
terutama gambar sagital. Kadang-kadang, garis fraktur mungkin sulit untuk
dideteksi pada CT aksial, dan petunjuk untuk diagnosis mungkin adalah adanya
perdarahan mediastinum anterior (Gambar 16).
Dislokasi sternoklavikula
Dislokasi sternoklavikula dapat berupa dislokasi pada anterior atau
posterior. Dislokasi posterior dianggap lebih serius, karena hal tersebut dapat
menyebabkan cedera pada pembuluh darah mediastinum, trakea, dan
kerongkongan (48,49). Dislokasi ini biasanya diakibatkan oleh pukulan posterior
ke bahu atau pukulan ke klavikula medial, sehingga menyebabkan caput klavikula
bergeser ke posterior relatif terhadap manubrium (Gambar 17). Dislokasi
sternoklavikula posterior mungkin sangat kecil dan tidak dapat divisualisasikan
pada radiografi konvensional. Oleh karena itu, ketika ada kecurigaan klinis untuk
entitas ini, CT dengan pemberian bahan kontras intravena dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis dan mengevaluasi kemungkinan cedera vaskular
terkait. Dislokasi sternoklavikular anterior biasanya terjadi akibat pukulan anterior
ke bahu. Dislokasi ini dapat dengan jelas teraba pada palpasi karena kepala
klavikula terkilir dan menonjol ke anterior. Dislokasi anterior lebih umum terjadi
daripada dislokasi posterior. Selain itu, cedera ini biasanya lebih mudah, dan
perawatan konservatif biasanya dibenarkan. Namun, mereka dapat menyebabkan
nyeri kronis, ankylosis, dan kelainan bentuk (50).

Gambar 17. Dislokasi sternoklavikular posterior. Gambar CT aksial (a) dan 3D


(b, c) menunjukkan dislokasi posterior caput klavikula kiri relatif terhadap
manubrium (panah).
Kesimpulan
Multidetector CT dapat dengan cepat dan akurat membantu mendiagnosis
berbagai cedera toraks pada pasien trauma. Cedera ini dapat ditampilkan dengan
jelas dengan reformasi multiplanar dan volumetrik.
Referensi
1. The American College of Surgeons Committee on Trauma Leadership. In: Clark DE, Fantus RJ, eds.
National Trauma Data Bank (NTDB) Annual Report 2007. Chicago, Ill: American College of Surgeons,
2007; 1–64.

2. Gaillard M, Hervé C, Mandin L, Raynaud P. Mortality prognostic factors in chest injury. J Trauma
1990;30:93–96.

3. Report on injuries in America: all unintentional injuries, 2005. Available at:


http://www.nsc.org/library/report_table_1.htm. Accessed December 9, 2007.

4. Exadaktylos AK, Sclabas G, Schmid SW, Schaller B, Zimmermann H. Do we really need routine
computed tomographic scanning in the primary evaluation of blunt chest trauma in patients with “normal”
chest radiograph? J Trauma 2001;51:1173–1176.

5. Omert L, Yeaney WW, Protetch J. Effcacy of thoracic computerized tomography in blunt chest trauma.
Am Surg 2001;67:660–664.

6. Livingston DH, Haurer CJ. Trauma to the chest wall and lung. In: Moore EE, Feliciano DV, Mattox KL,
eds. Trauma. 5th ed. Philadelphia, Pa: McGraw-Hill, 2004; 507–537.

7. Downing SW, Sperling J, Mirvis SE, et al. Experience with spiral CT scanning as the sole diagnostic
method for traumatic aortic rupture. Ann Thorac Surg 2001;72:495–501.

8. Mayberry JC. Imaging in thoracic trauma: the trauma surgeon’s perspective. J Thorac Imaging
2000;15:76–86.

9. Miller LA. Chest wall, lung, and pleural space trauma. Radiol Clin North Am 2006;44:213–224.

10. De Moya MA, Seaver C, Spaniolas K, et al. Occult pneumothorax in trauma patients: development of an
objective scoring system. J Trauma 2007;63:13–17.

11. Wagner RB, Crawford WO Jr, Schimpf PP. Classifcation of parenchymal injuries of the lung. Radiology
1988;167:77–82.

12. Cohn SM. Pulmonary contusion: review of the clinical entity. J Trauma 1997;42:973–979.

13. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: flail chest, pulmonary contusion, and blast injury. Crit
Care Clin 2004;20:71–81.

14. Riley RD, Miller PR, Meredith JW. Injury to the esophagus, trachea and bronchus. In: Moore EE,
Feliciano DV, Mattox KL, eds. Trauma. 5th ed. Philadelphia, Pa: McGraw-Hill, 2004; 539–552.

15. Euathrongchit J, Thoongsuwan N, Stern EJ. Nonvascular mediastinal trauma. Radiol Clin North Am
2006;44:251–258.

16. Chen JD, Shanmuganathan K, Mirvis SE, Killeen KL, Dutton RP. Using CT to diagnose tracheal rupture.
AJR Am J Roentgenol 2001;176:1273–1280.

Anda mungkin juga menyukai