Anda di halaman 1dari 5

BAB V

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini didapatkan hubungan positif antara lama

penundaan preparasi spesimen darah terhadap perubahan morfologi leukosit

darah. Hasil penelitian ini sesuai dengan studi yang telah dilakukan Wians

(2009), dimana kesalahan pengambilan spesimen pada fase pra-analitik dari

pemeriksaan darah tepi merupakan faktor penting dalam perubahan

morfologi leukosit darah.

Pemeriksaan darah tepi merupakan salah satu pemeriksaan yang

paling mudah, praktis, dan cepat dalam menentukan diagnosis penyakit

yang berkaitan dengan morfologi dan jumlah sel pada darah pasien (Longo,

2012). Namun, hasil dari pemeriksaan darah tepi sangat rentan terhadap

faktor eksternal. Kelainan yang terjadi pada hasil pemeriksaan darah tepi

dapat terjadi pada eritrosit, trombosit, dan leukosit (Corwin, 2010; Shagana,

2014). Menurut Gandasoebrata (2009) pada pemeriksaan apusan darah

sebaiknya dilakukan tidak lebih dari 2 jam setelah spesimen diambil. Hal

tersebut juga didukung oleh pernyataan Adewoyin dan Nwogoh (2014)

bahwa pemeriksaan darah tepi dapat dilakukan maksimal 2 jam setelah

spesimen dikeluarkan dari tubuh. Apabila pemeriksaan dilakukan lebih dari

2 jam, maka spesimen yang telah diambil dapat mengalami degenerasi

elemen darah, termasuk leukosit.

Menurut Shagana (2014), kelainan leukosit terdiri dari

hipergranulasi netrofil, leukositosis, leukopenia, vakuolisasi sitoplasma dan

39
40

lain lain. Pada penelitian ini, kelainan leukosit yang ditemukan adalah

adanya vakuolisasi sitoplasma pada spesimen darah tepi yang telah ditunda

pemeriksaannya sampai menit ke-120, menit ke-180, dan menit ke-240 dari

pengambilan sampel. Apabila dikaitkan dengan lama penundaan preparasi

spesimen darah, morfologi leukosit dapat dipengaruhi oleh sifat EDTA yang

mengikat kalsium pada leukosit. Apabila penyimpanan darah dengan EDTA

diperpanjang, maka menyebabkan penurunan kalsium pada leukosit. Hal ini

disebabkan karena sifat EDTA sebagai agen pengikat kalsium (chelating

agent). Menurunnya kalsium pada sel mempengaruhi penurunan adenosine

triphosphate (ATP) yang juga dapat menyebabkan penurunan sintesis

fosfolipid yang merupakan salah satu komposisi membran sel. Kehilangan

fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan membran. Apabila membran

rusak, maka cairan ekstrasel akan masuk dan tertimbun di dalam sel. Hal ini

menyebabkan timbulnya vakuol-vakuol jernih dalam sitoplasma yang

disebut dengan vakuolisasi sitoplasma.

Gambar 5.1. Vakuolisasi sitoplasma


41

Pada gambar 5.1 terlihat bahwa terjadi vakuolisasi sitoplasma pada

neutrofil. Pada pengamatan terlihat sel yang paling banyak mengalami

vakuolisasi adalah neutrofil, hal tersebut sangat lazim terjadi, karena apabila

dilihat dari komposisi leukosit, 70% leukosit terdiri dari neutrofil dan 30%

lainnya merupakan limfosit, monosit, basofil dan eusinofil. Selain

vakuolisasi, terdapat beberapa jenis kerusakan morfologi leukosit, yaitu

irreguler margin dan pecahnya membran sel dari leukosit. Pecahnya

memban sel pada leukosit kemungkinan dapat disebabkan penekanan yang

terlalu keras pada proses pembuatan apusan darah tepi. Irreguler margin

dan pecahnya membran sel dapat dilihat pada gambar 5.2 dan gambar 5.3.

Gambar 5.2. Irreguler margin

Gambar 5.3. Leukosit pecah


42

Abnormalitas morfologi leukosit, terutama vakuolisasi sitoplasma

sering terjadi pada sampel darah yang mengalami infeksi berat yang

disebabkan bakteri dan parasit. Timbulnya vakuolisasi dapat disebabkan

oleh bakteri atau parasit yang difagositosis oleh leukosit, sisa sisa dari

protein bakteri atau parasit yang difagositosis oleh leukosit dapat

menimbulkan vakuolisasi. Selain itu, munculnya vakuolisasi dapat

disebabkan oleh patogen yang mengeluarkan toksin (Henics dan Wheatley,

2007).

Nilai rujukan untuk jumlah leukosit berjumlah 4.400 – 11.300/µL.

Ketika leukosit melebihi batas atas nilai rujukan ini, seorang individu akan

dianggap mengalami leukositosis. Leukositosis adalah kondisi dimana nilai

leukosit terletak diatas 11.300/µL, tetapi nilai yang terletak diantara 11.300-

15.000/µL dapat dianggap normal karena keadaan ini dapat disebabkan oleh

berbagai macam hal, seperti berkeringat, lelah, capai, status mental yang

kurang baik atau stress, atau berat badan yang sedang menurun (Lyrad dan

Ruppert, 2015).

Salah satu spesimen yang digunakan untuk sampel dalam penelitian

ini berasal dari individu berusia 7-22 hari. Hal ini tidak memengaruhi hasil

penelitian karena morfologi pada individu berusia 7-22 hari sudah dapat

dianggap sama seperti individu dewasa. Perbedaan sel darah putih pada

individu dewasa dan individu berusia 7-22 hari terletak pada jumlah sel

darah putih, dimana pada neonatus nilai normal sel darah putih adalah 9.000

-30.000/µL (Kemenkes RI, 2011).


43

Ada beberapa hal yang dapat memengaruhi hasil dari penelitian ini,

salah satunya adalah pembuatan spesimen apusan darah yang kurang teliti.

Jika pembuatan spesimen apusan darah tepi tidak teliti dan rapi, maka akan

menyebabkan perubahan morfologi darah pada apusan darah tepi.

Perubahan morfologi ini akan mengacaukan diagnosis banding jika ingin

menentukan diagnosis penyakit pada pasien (Mello et al., 2014). Hal

lainnya yang dapat mempengaruhi hasil penelitian ini adalah pemakaian

EDTA yang berlebihan. Pemakaian EDTA termasuk dalam salah satu

prosedur penyimpaan spesimen darah, yang secara tidak langsung

merupakan salah satu tahap dari pembuatan apusan darah tepi. Pemakaian

EDTA sebagai antikoagulan yang berlebihan dapat mempengaruhi

morfologi leukosit dalam spesimen darah yang akan diperiksa (Sukorini et

al., 2007).

Anda mungkin juga menyukai