Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Berbagai masalah yang timbul berkaitan dengan sikap peserta


didik,terlebih yang sedang menginjak masa pubertas seperti emosi yang suka
meledak-ledak, selalu ingin di perhatikan, motivasi belajar rendah, prestasi belajar
menurun, kerap melakukan hal-hal indisipliner dan lain-lain.

Masalah-masalah tersebut bisa dilatar belakangi oleh faktor-faktor internal


karena bawaan seperti tingkat kecerdasan, bakat dan hasil belajar, motif, sikap,
perasaan, keinginan dan lain-lain. atau faktor eksternal yang diterima dari
lingkungan di luar dirinya. Disinilah peranan seorang konselor sangat diperlukan
untuk membantu mengatasi masalah-masalah tersebut dengan memaksimalkan
proses bimbingan dan konseling.

Selain sebagai makhluk individual, seorang peserta didik juga akan


merambah hidupnya dimasa yang akan datang ke dalam ranah sosial yang lebih
luas dan penuh dengan tantangan. Kontak sosial dengan manusia lain yang plural
akan memberikan stimulus pemikiran dan memaksa mereka untuk memilih jalan
hidupnya sendiri.

Bukan tidak mungkin jika satu saat seorang peserta didik akan berhadapan
dengan maraknya perilaku amoral, free seks dan bahaya narkoba, tawuran massal,
aksi provokasi dengan isu-isu yang menyesatkan dan lain-lain. Kompleksitas
kehidupan manusia seperti inilah yang menjadi tantangan bagi para generasi
penerus, juga sebagai bukti bahwa kehadiran bimbingan dan konseling
mutlak diperlukan.

Untuk mengoptimalkan perkembangan dan potensi peserta didik, perlu


diberikan bimbingan yang terarah. Pelaksanaan bimbingan tersebut sebaiknya
menggunakan metode dan tehnik-tehnik bimbingan yang biasa digunakan dalam
proses bimbingan dan konseling.

1
Penerapan metode dan tehnik-tehnik bimbingan dan konseling ini,
memungkinkan tercapainya tujuan perkembangan dan potensi peserta didik
dengan optimal. Sebab disamping metode dan tehnik-tehnik, kegiatan bimbingan
dan konseling biasa diikuti oleh berbagai pendekatan yang variatif, baik
yang bersifat informatif, adjustif maupun terapis. Dan hendaknya proses ini
ditangani oleh orang yang berkompeten di bidangnya yaitu seorang Konselor,
Guru BK.atau ahli lain yang ditunjuk khusus.

Metode dan tehnik-tehnik bimbingan dan konseling juga berfungsi untuk


memahami potensi dan kemampuan anak, mengembangkan ke arah
perkembangan yang sesuai potensinya, mengoptimalkan melalui bantuan-bantuan
pengarahan untuk menjadi bimbingan dan konseling di sekolah tak ubahnya
“polisi sekolah” yang dalam prakteknya identik menangani peserta didik yang
nakal atau kerap melakukan perilaku indisipliner.

Oleh sebab itu maka penulis akan membahas mengenai tehnik bimbingan
konseling Direktif, non direktif dan Eklektif agar bisa menambah pengetahuan
mendalam mengenai bimbingan dan konseling pada anak didik sehingga akan
menjadi pencerahan tersendiri.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Konseling

Secara Etimologis Istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu


“consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan
“menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa Anglo-Saxon, istilah
konseling berasal dari “sellen” yang berarti “menyerahkan” atau menyampaikan”1

Pengertian konseling secara umum dikemukakan beberapa definisi


konseling oleh para pakar secara umum, yaitu sebagai berikut:

1) Menurut Drs. Dewa Ketut Sukardi


Konseling adalah suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan
empat mata atau tatap muka antara konselor dan konseli yang berisi
usaha yang laras, unik, human (manusiawi), yang dilakukan dalam
suasana keahlian dan yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku,
agar memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam
memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang
akan datang”
2) Prof. DR. Prayitno dan Erman Amti
“Konseling adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui
wawancara konseling oleh seorang ahli (disebut konselor) kepada individu
yang sedang mengalami sesuatu masalah (disebut konseli) yang bermuara
pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh konseli”
3) Prof. DR. Hasan Langgulung
“Konseling adalah proses yang bertujuan menolong seseorang yang
mengidap goncangan psikologis atau goncangan akal agar ia dapat
menghindari diri sendiri dari padanya”
4) Koestoer Partowisastro, S. Psy
“Memberikan devinisi konseling adalah suatu hubungan yang sengaja
dilakukan dengan manusia lain, dengan maksud agar dengan pelbagai cara
psikologi, sehingga dapat mempengaruhi beberapa facet kepribadiannya”
5) Bruce Shartzer dan Shelley C. Stone
“Counseling is a proses which takes place in a one-to-one relationship
between an individual troubled by problems with which he cannot cope
alone, and a professional worker whose training and experience have
qualified him to help ather reach solution to various types of personal
difficulties” (Konseling adalah sebuah proses pengambilan tempat
(hati) dalam seorang kepada orang lain berhubungan dengan
permasalahan individual dimana masalah itu tidak dapat dipecahkan

3
sendiri, dan pekerja profesional (konselor) yang ahli dan
berpengalaman punya ijasah membantu yang lain (konseli) mencapai
solusi dari berbagai macam kesulitan atau permasalahan personal)
Dari pendapat para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa konseling
adalah sebuah proses pemberian batuan dengan cara wawancara antara seorang
konselor dengan seorang konseli yang sedang mengalami suatu masalah
psikologis dengan tujuan konseli memahami masalahnya tersebut dan dapat
menyelesaikannya sendiri.

B. Konseling Direktif

Konseling direktif disebut juga counselor centered approach yakni


konseling yang pendekatannya terpusat pada konselor (Prayitno, 1999). Dalam
konseling direktif, konselor lebih aktif dan berperan dari pada konseli. Konselor
mengambil peran besar selama proses konseling, termasuk dalam mengambil
inisiatif dan pemecahan masalah, sementara peran konseli sangat kecil, tidak
banyak mengeluarkan pendapat dan pandangannya berkaitan dengan masalah
yang sedang dihadapi. Selama proses konseling aktivitas lebih banyak didominasi
oleh konselor sebagai penentu arah konseling dan pengambil keputusan.

Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Edmond G. Willamson


J.G. Darley . Williamson menegaskan bahwa dalam pendekatan ini konselor
menyatakan pendapatnya dengan tegas dan terus terang. Darley menguraikan
bahwa konseling model ini seperti situasi jual beli karena konselor berusaha
menjual gagasannya mengenai keadaan konseli, serta perubahan-perubahan yang
diharapkan (Yeo, 2007). Guru BK yang menggunakan pendekatan direktif
menempatkan konselor sekolah sebagai „master educator’, yang membantu siswa
mengatasi masalah dengan sumber-sumber intelektual dan kemampuan yang
dimiliki.

4
Tujuan konseling yang utama adalah membantu siswa untuk merubah
tingkah lakunya yang emosional dan impulsif dengan tingkah laku rasional,
dengan sengaja, secara teliti dan berhati-hati. Lahirnya konseling direktif
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa konseli adalah orang yang mempunyai
masalah dan membutuhkan bantuan orang lain. Adakalanya seseorang yang
sedang bermasalah tidak bisa menemukan apa penyebab ketidaknyamanan yang
dirasakan, tidak bisa mengetahui apa yang sumber konflik yang sedang dialami
dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Dalam kondisi demikian
diperlukan orang lain yang dapat melihat secara objektif masalah yang sedang
dirasakan serta memberikan tawaran-tawaran jalan keluar yang bisa ditempuh.
Konselor dapat memberikan pandangan tentang keluar dari suatu masalah atau
menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan konseli.
Konseling direktif disebut juga counselor centered approach yakni
konseling yang pendekatannya terpusat pada konselor (Prayitno, 1999). Dalam
konseling direktif, konselor lebih aktif dan berperan dari pada konseli. Konselor
mengambil peran besar selama proses konseling, termasuk dalam mengambil
inisiatif dan pemecahan masalah, sementara peran konseli sangat kecil, tidak
banyak mengeluarkan pendapat dan pandangannya berkaitan dengan masalah
yang sedang dihadapi. Selama proses konseling aktivitas lebih banyak didominasi
oleh konselor sebagai penentu arah konseling dan pengambil keputusan.
Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan oleh Edmond G. Willamson
J.G. Darley . Williamson menegaskan bahwa dalam pendekatan ini konselor
menyatakan pendapatnya dengan tegas dan terus terang. Darley menguraikan
bahwa konseling model ini seperti situasi jual beli karena konselor berusaha
menjual gagasannya mengenai keadaan konseli, serta perubahan-perubahan yang
diharapkan (Yeo, 2007). Guru BK yang menggunakan pendekatan direktif
menempatkan konselor sekolah sebagai „master educator’, yang membantu siswa
mengatasi masalah dengan sumber-sumber intelektual dan kemampuan yang
dimiliki.

5
Tujuan konseling yang utama adalah membantu siswa untuk merubah
tingkah lakunya yang emosional dan impulsif dengan tingkah laku rasional,
dengan sengaja, secara teliti dan berhati-hati. Lahirnya konseling direktif
dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa konseli adalah orang yang mempunyai
masalah dan membutuhkan bantuan orang lain. Adakalanya seseorang yang
sedang bermasalah tidak bisa menemukan apa penyebab ketidaknyamanan yang
dirasakan, tidak bisa mengetahui apa yang sumber konflik yang sedang dialami
dan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan. Dalam kondisi demikian
diperlukan orang lain yang dapat melihat secara objektif masalah yang sedang
dirasakan serta memberikan tawaran-tawaran jalan keluar yang bisa ditempuh.
Konselor dapat memberikan pandangan tentang keluar dari suatu masalah atau
menjelaskan apa yang sebaiknya dilakukan konseling.
Konseling direktif yang karena proses dan dinamika pengentasan
masalahnya mirip “penyembuhan penyakit”, pernah juga disebut “konseling
klinis” (clinical counseling). Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa konseli tidak
mampu mengatasi sendiri masalah yang dihadapinya. Karena itu, konseli
membutuhkan bantuan dari orang lain, yaitu konselor. Dalam konseling direktif,
konseli bersifat pasif, dan yang aktif adalah konselor.
Dengan demikian, inisiatif dan peranan utama pemecahan masalah lebih
banyak dilakukan oleh konselor. Konseli bersifat menerima perlakuan dan
keputusan yang dibuat oleh konselor. Dalam konseling direktif diperlukan data
yang lengkap tentang konseli untuk dipergunakan dalam usaha pemberian
bantuan.
1. Teknik dan Langkah Konseling Direktif

Konsep direktif lahir dari anggapan dasar bahwa konseli membutuhkan


bantuan dan konselor membantu menemukan apa yang menjadi
masalahnya dan apa yang mesti kerjakan. Untuk mendapatkan hasil yang
optimal, konseling direktif bisa menggunakan beberapa tehnik. Teknik-
teknik yang bisa digunakan antara lain :

6
o Menggali informasi tentang diri konsele. Tehnik ini dapat dilakukan
mengkonfrontasikan antara informasi dengan kenyataan yang
sebenarnya dalam diri konsele. Dengan cara ini diharapkan konseli
dapat mengevaluasi kembali sikap dan pandangannya
o Case history, digunakan sebagai alat diagnosa dan teraputik dengan
tujuan membantu dalam ”rapport”, mengembangkan kartasis,
memberikan keyakinan kembali dan kembali mengembangkan
”insight”
o Pengungkapan konflik, situasi konflik sengaja ditimbulkan, konseli
dihadapkan pada situasi yang memancing sikapnya dalam
menghadapi realita dan konseli di motivasi untuk memecahkanya

Teknik-teknik utama yang digunakan dalam konseling “Ciri dan faktor”


(Trait and Factor), adalah:

 Memperkuat kesesuaian antara konselor dengan klien (forcing


conformity).
Dalam teknik ini konselor senantiasa berusaha menjaga atau
memelihara bahkan memperkuat adanya kesesuaian antara dirinya
dengan klien.
 Mengubah lingkungan klien (changing environment).
Dalam teknik ini konselor menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi klien dengan cara mengubah lingkungan klien sedemikian
rupa sehingga klien menjadi lebih cocok dan merasa “enjoy”
berada di lingkungan tersebut.
 Memilihkan atau menempatkan klien pada lingkungan yang sesuai
(selecting appropriate environment).
Dalam teknik ini konselor tidak menyarankan klien untuk bertahan
di lingkungan klien yang sekarang, melainkan menyarankan pindah
tempat atau lingkungan yang kondusif.
 Mendorong klien belajar keterampilan-keterampilan yang
diperlukan (learning needed skills).

7
Dalam teknik ini, konselor mendorong klien untuk lebih proaktif
belajar keterampilan yang sesuai untuk pemecahan masalahnya
maupun keterampilan hidup lainnya.
 Mengubah sikap klien (changing attitudes).
Dalam teknik ini, atas pertimbangan yang tepat konselor bukannya
mengubah lingkungan klien ataupun memindahkan klien ke
lingkungan yang lain, melainkan justru mengubah sikap-sikap
klien yang tidak tepat agar terjadi perubahan sedemikian rupa
sehingga selanjutnya klien merasakan kebahagiaan (happiness).

2. Percakapan Konseling Direktif

CONTOH 2 :

Konselor : GURU BK

Kenseli : ARIN (siswi kelas 2 SMA)

Lokasi : Ruang BK

Waktu : 09.00 wib s/d 9.30 wib

Tanggal : 18 November

Permasalahan : Jarang masuk sekolah ( Sakit 10 hari + Alpa 10 hari )

Data sekolah :

Arin anak tunggal yang baru pindah kota dari A, karena pekerjaan orang
tuanya mengharuskan pindah ke kota B. Orang tuanya bekerja sebagai
pengusaha dibidang konstruksi.

=====================================================

ARIN : Permisi bu... (kepala nya sambil melonggok kedalam


ruangan yang pintu nya sudah terbuka sedikit)

8
GURU BK : Masuk rin, istirahat ya ?

ARIN : iya bu... ada apa bu saya dipanggil ?

GURU BK : Gini lho... ibu dapat laporan, Arin kamu jarang masuk
sekolah ya ? apa betul ?

ARIN : hehe....

GURU BK : kenapa ?

ARIN : Sakit bu

GURU BK : Sakit apa ?

ARIN : Typus bu

GURU BK : Surat dokter ini hanya 10 hari, tapi kenapa di absen kamu
sudah 20 hari tidak masuk sekolah, malah yang 10 hari ini kamu tidak ada
keterangan ? kenapa sebenarnya ?

Hmmm....sejenak arin terdiam...

ARIN : Saya sering pusing aja bu jadi kalo mau berangkat sekolah
nggak kuat

GURU BK : Memang sudah berapa lama kamu sering pusing ?

ARIN : dari kelas 2 bu

GURU BK : Kamu sudah periksa darah di dokter belum ?

ARIN : sudah bu...

GURU BK : Trus hasil nya bagaimana ?

ARIN : tensi darah saya tinggi bu...

GURU BK : Berapa ?

9
ARIN : 140/90

GURU BK : Ha.... kok bisa ? kamu kan masih muda kenapa bisa kena
darah tinggi ? kamu jarang olah raga ya ?

ARIN : hehe....iya bu

GURU BK : kalo pola makan kamu bagaimana ?

ARIN : biasa aja bu

GURU BK : biasa nya kalo pulang sekolah kamu ngapain ?

ARIN : pulang sekolah ya...makan trus tidur siang bu

GURU BK : Bangun jam berapa ?

ARIN : jam 6 sore bu...trus mandi

GURU BK : trus malam nya kamu tidur jam berapa ?

ARIN : susah tidur bu, kadang jam 3 baru bisa tidur

GURU BK : Memang kamu nggak ikut les ?

ARIN : Les fisika dan kimia bu

GURU BK : trus kalo les bagaimana ?

ARIN : ya les aja kayak biasa

GURU BK : nggak ngantuk ?

ARIN : Ya....sebenarnya ya..ngantuk hehe....

GURU BK : Nah...itu dia masalah nya, kamu usahakan habis makan


jangan dibiasakan langsung tidur siang tapi melakukan aktifitas dulu, trus
minimal 1 atau 2 jam kemudian baru kamu bisa tidur siang dan itu pun
juga jangan terlalu lama, maksimal 1 jam untuk tidur siang

10
ARIN : iya bu..

GURU BK : kamu bilang iya, tapi bener dijalankan, jangan bilang iya
aja lho... karena kamu masih muda jaga kesehatan dan pola hidup yang
benar terutama pola tidur kamu... dengan pola tidur siang kamu yang
terlalu lama, makanya kamu malam hari susah tidur dan pagi waktu jam
sekolah kamu jadi pusing kan ?

ARIN : iya sih bu...

GURU BK : kamu tahu nggak, bahwa anak seusia kamu kalo


kebanyakan jam tidur akan membuat diri kamu jadi malas melakukan
aktifitas, pengen nya rebahan aja kan ? dan kamu sudah terbiasa mengikuti
rasa malas kamu, jadi pengen nya tidur dan tidur aja....

ARIN : menggangguk..

GURU BK : memang orang tua kamu nggak melarang kalo kamu tidur
terus ?

ARIN : kan mereka nggak tau bu...

GURU BK : memang nya orang tua kamu jarang dirumah kemana ?


kok sampai nggak tahu kebiasaan tidur kamu ?

ARIN : Ayah dan ibu kan kalo pulang kerja sukanya malam hari
paling cepet jam 10 malam, dan mereka juga sering keluar kota. Paling
saya dirumah berdua sama mbak win (pembantunya)

GURU BK : Oh...gitu, ya udah kalo begitu dari diri kamu dulu punya
motivasi untuk merubah kebiasaan tidur nya. Apalagi kamu kan
cewek..dan apa kamu juga nggak pengen suskses kayak orang tua kamu ?

ARIN : ya pengen sih... (sambil tersenyum malu)

GURU BK : makanya coba dari hari ini nanti pulang sekolah dan
setelah makan jangan langsung tidur, tapi coba kamu belajar dulu apa yang

11
sudah didapat disekolahan hari ini... biar kamu nggak lupa dengan
pelajaran disekolah hari ini, karena kalo kebanyakan tidur ingat ..tadi ibu
bilang apa ? jadi jadi malas gerak kan ? dan itu juga yang membuat kamu
kena kolesterol dan mengakibatkan darah tinggi di usia kamu yang masih
muda... Apa kamu nggak takut nanti tuanya ? kalo sekang aja kamu udah
kena kolesterol ?

ARIN : hehe.....

GURU BK : kamu tahu kan akibat darah tinggi itu akan berlanjut
bagaimana ?

ARIN : stroke

GURU BK : Nah itu kamu harus pikirkan, apa kamu mau kena stroke
dini ?

ARIN : nggak (sambil geleng kepala )

GURU BK : makanya mulai hari ini kamu belajar atur kegiatan, jangan
diikutu rasa malas kamu, nanti lama-lama kamu juga akan terbiasa ...

ARIN : iya bu

GURU BK : besok jumat kamu datang lagi ke ruangan ibu ya...

ARIN : kenapa lagi bu ?

GURU BK : ibu pengen lihat kamu mau berubah atau tidak, jika kamu
benar-benar ingin berubah maka kamu pasti menuruti apa yang sudah ibu
sampaikan tadi ...

ARIN : hehe... iya bu

GURU BK : jangan lupa hari senin minggu depan dibawa jadwal


kegiatan nya ini ya...tapi ibu minta sudah ditanda tangani sama orang tua
kamu

12
ARIN : iya..

GURU BK : ini semua juga buat kesehatan dan kebaikan kamu, nanti
yang merasakan perubahan itu adalah kamu sendiri bukan ibu.... saya
hanya bisa melihat saja kamu berubah ibu sudah senang.

GURU BK : berdiri dan menjabat merangkul arin sembari


membimbing ke arah pintu, karena bel masuk sudah berdentang tanda jam
istirahat sudah selesai.

=====================================================

Hasil wawancara menunjukkan bahwa perilaku membolos sekolah saudara


Arin disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:

1. Faktor internal
Faktor kebiasaan malas, dalam hal ini adalah ketidakmampuan subjek
bersikap disiplin dalam mengontrol kebiasaan tidur sesudah makan
siang dan waktu tidur yang lama, sehingga hal ini mengakibatkan pola
hidup yang malas dalam beraktifitas dan dampak pada kondisi fisik
subjek adalah terkena tekanan darah tinggi, pusing kepala yang
membuat subjek harus sering membolos sekolah.
2. Faktor eksternal
Pola asuh keluarga yang Pola asuh Permisif : Pola asuh ini
memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan
kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan
yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau
memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat
sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka.
3. Solusi dari sekolah bagi subjek adalah :
 Guru BK memberikan pengarahan dan bimbingan yang intens
kepada subjek untuk lebih displin dalam menjalankan kegiatan
sekolah, memberikan gambaran dampak kedepan dari kebiasaan

13
malas nya sekarang, memberikan jadwal kegitan yang dapat
dipantau oleh pihak sekolah khusus nya guru BK.
 Memberikan informasi kepada orang tua subjek dan pengarahan
agar lebih memperhatikan perkembangan dan kebiasaan anak yang
berdampak pada sikap malas dan kondisi subjek yang terjadi
sekarang.

C. Konseling Non-Direktif

Konseling non-direktif merupakan upaya bantuan pemecahan masalah


yang berpusat pada konseli. Melalui pendekatan ini, konseli diberi
kesempatan mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran- pikirannya secara
bebas. Pendekatan ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai
masalah pada dasarnya tetap memiliki potensi dan mampu mengatasi
masalahnya sendiri. Tetapi moleh karena sesuatu hambatan, potensi dan
kmampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk mengembangkan dan memfungsikan kembali kemampuannya itu konseli
memerlukan bantuan.

Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka dalam konseling ini, inisiatif
dan peranan utama pemecahan masalah diletakkan di pundak konseli sendiri.
Sedangkan kewajiban dan peranan utama konselor adalah menyiapkan suasana
agar potensi dan kemampuan yang ada pada diri konseli itu berkembang secara
optimal, dengan jalan menciptakan hubungan konseling yang gangat dan permisif.
Suasana seperti ini akan memungkinkan konseli mampu memecahkan sendiri
masalahnya.

Client-Centered Therapy atau Psikoterapi Non-Direktif adalah suatu


metode perawatan psikis yang dilakukan dengan cara berdialog antara konselor
dengan klien, agar tercapai gambaran yang serasi antara ideal self (diri klien yang
ideal) dengan actual self (diri klien sesuai kenyataan yang sebenarnya).

14
Ciri-ciri Hubungan Non-Direktif

 Menempatkan klien pada kedudukan sentral, klien aktif untuk


mengungkapkan dan mencari pemecahan masalah. Jadi, hubungan ini
menekankan pada aktivitas klien dan tanggung jawab klien sendiri.
 Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi
yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi,
konselor berperan membantu klien dalam merefleksikan sikap dan
perasaan-perasaannya.

Ciri-ciri hubungan otoriter:

 Klien atau siswa adalah merupakan objek dari subjek yang memegang
otoritas (guru, orang tua, atau konselor). Sedangkan siswa/klien harus
mengikuti dan taat kepada apa yang digariskan oleh pemegang
otoritas.
 Pemegang otoritas adalah orang yang paling tahu segala hal, dialah
yang menunjukkan, mencarikan atau memberikan jalan pada klien.
Jadi, pemegang otoritas adalah berperan sebagai faktor penentu bagi
klien.

Konseling non-direktif sering pula disebut “client-centered counseling”,


yang memberikan suatu gambaran bahwa proses konseling yang menjadi pusatnya
adalah klien, dan bukan konselor. Karena itu, dalam proses konseling ini kegiatan
sebagian besar diletakkan di pundak klien itu sendiri. Dalam pemecahan masalah,
maka klien itu sendiri didorong oleh konselor untuk mencari serta menemukan
cara yang terbaik dalam pemecahan masalahnya.

Konseling non-direktif dikembangkan oleh Carl R. Rogers guru besar


dalam Psikologi dan Psikiatri, Universitas Wisconsin, dan dipandang sebagai
Bapak Konseling Non-Direktif (client-centered counseling).

a. Dasar filsafat Rogers mengenai manusia


Dasar filsafat Rogers mengenai manusia berorientasi kepada filosofi
humanistic. Dasar filsafat Rogers dimaksud ialah bahwa:

15
1) Inti sifat manusia adalah positif, sosial, menuju ke muka, dan
realistic
2) Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif, dan dapat
dipercaya.
3) Manusia mempunyai tendensi dan usaha dasar untuk
mengaktualisasi pribadi, berprestasi dan mempertahankan diri.
4) Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang
benar, dan membuat pemilihan yang benar, apabila ia diberi situasi
yang bebas dari ancaman.
b. Pokok-pokok teori Rogers
Ada tiga pokok teori mengenai kepribadian yang di kemukakan oleh
Rogers yang mendasari teknik konselingnya. Di antaranya adalah sebagai
berikut :
1) Organisme
Organisme yaitu totalitas inividu yanf memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
a. Bereaksi secara keseluruhan sebagai satu kesatuan yang teratur
terhadap medan phenomenal untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhannya.
b. Memiliki motif dasar, yaitu mengaktualisasi, mempertahankan
dan mengembangkan diri.
c. Organisme kemungkinan melambangkan pengalaman-
pengalaman, sehingga menjadi disadari atau menolak untuk
melambangkan pengalaman-pengalaman tersebut sehingga
tetap tidak disadari, atau kemungkinan tidak memperdulikan
pengalaman tersebut.
2) Medan phenomenal
Medan phenomenal adalah keseluruhan pengalaman yang pernah
dialami. Pengalaman tersebut disadari atau tidak tergantung dari
apakah pengalaman tersebut disimbolkan atau tidak. Medan
phenomenal hanya dapat mengetahui pengalaman seseorang melalui
kesimpulan atas dasar empatik (empatic inference). Kesadaran
tercapai kalau pengalaman itu disimbolisasikan.
Menurut Rogers, pengalaman terdiri dari :
a. Pengalaman yang tersimbolisasikan, dan
b. Pengalaman yang tidak tersimbolisasikan.

16
Organisme bereaksi terhadap kedua hal tersebut. Kemungkinan ada
bahwa pengalaman tidak dapat dites dengan kenyataan, sehingga
mungkin dilaksanakan tindakan yang tak realistis.
3) Self
Self merupakan bagian yang terpisah dari medan phenomenal, yang
berisi pola pengalaman dari penilaian yang sadar dari subjek. Dari
pengalaman-pengalaman, seseorang akan dapat membentuk pola
pengamatan dan penilaian terhadap diri sendiri secara sadar baik
orang tersebut sebagai objek. Self ini juga dinamakan juga self-
concept (konsep diri).
Berkaitan dengan client-centered counseling dari Carl R. Rogers
menyatakan bahwa konseling yang berpusat pada klien haruslah
dilandasi pada pemahaman klien tentang dirinya. Atau dengan kata
lain pendekatan. Rogers mentitikberatkan kepada kemampuan klien
untuk menentukan sendiri masalah-masalah yang terpenting bagi
dirinya dan memecahkan sendiri masalahnya. Campur tangan
konselor sedikit sekali. Klien akan mampu menghadapi sifat-sifat
dirinya yang tidak dapat diterima lingkungannya tanpa ada perasaan
terancam dan cemas, sehingga ia menuju kearah menerima dirinya
dan nilai-nilai yang selama ini dimiliki dan dianutnya, serta mampu
mengubah aspek-aspek dirinya sebagai sesuatu yang dirasakan perlu
diubah.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep diri (self-concept or
self structure) adalah merupakan gambaran seseorang tentang dirinya
sendiri. Gambaran yang lengkap tentang dirinya meliputi berbagai
kemampuan, kelemahan, sifat-sifatnya, dan bagaimana hubungan dirinya
dengan lingkungannya. Jadi, konsep diri adalah bagaimana inividu
menyadari dirinya sendiri, dan mengenal dirinya sendiri.
c. Teori kepribadian Rogers
Rogers memandang manusia sebagai makhluk sosial, maju terus,
rasional, dan realistik. Manusia bukan robot atau mesin, bukan pula
kumpulan dan reaksi-reaksi terhadap berbagai respon dan bukan objek.
Manusia itu adalah subjek yang utuh, aktif dan unik. Pendapat Carl R.

17
Rogers dirumuskan dalam 19 dalil (Carl R. Rogers Ph.D., Client-
Centered Therapy, Houghton-Mifflin Company, Boston 1962, halaman
483-424) diartikan sebagai berikut:
1) Tiap inividu ada dalam dua pengalamannya yang selalu berubah-
ubah, yang pusatnya adalah dia. Manusia selalu ada dalam
dunianya, yang dunia sebagaimana dihayatinya. Maknanya pada
inividu bersangkutan. Karena itu sumber informasi yang paling
tepat mengenai seseorang adalah orang yang bersangkutan itu
sendiri.
2) Organisme bereaksi terhadap medan termpat dia ada menurut
penghayatannya mengenai medan itu. Medan persepsi itu adalah
realistas bagi inividu yang bersangkutan. Sesuatu hal yang secara
objektif sama mungkin berarti berbeda bagi inividu lain atau bagi
inividu yang sam dalam kondisi yang berlainan.
3) Organisme bereaksi terhadap medan phenomenal sebagai suatu
kesatuan yang terorganisasi. Apa yang dilakukan inividu dalam
sesuatu keseluruhan, meliputi keseluruhan kepribadiannya.
4) Organisasi mempunyai satu kencenderungan, dan dorongan dasar,
yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan meningkatkan
organisme yang menghayati. Pada diri inividu terdapat dorongan
untuk maju dan dorongan untuk mengejar perkembangan yang
lebih lanjut dan meningkat, yang pada akhirnya mencapai
aktualisasi diri, yaitu pribadi yang dalam taraf optimal.
5) Perilaku pada dasarnya adalah terarah kepada tujuan, yang
dilakukan oleh inividu untuk memuaskan kebutuhannya
sebagaimana dihayatinya dalam dunianya, yaitu dunia menurut
penghayatannya.
6) Emosi menyertai dan pada umumnya menunjang perilaku yang
terarah pada tujuan itu. Emosi ada sebagai dari reaksi total
organisme terhadap phenomenalnya. Dengan arti lain dapat
dikatakan bahwa kebanyakan cara-cara bertingkah laku yang
diambil oleh inividu adalah sesuai dengan konsep dirinya (self-

18
concept). Sehingga cara yang terbaik untuk mengubah perilaku
adalah dengan terlebih dahulu mengubah konsep mengenai dirinya.
7) Sudut pandang terbaik untuk memahami perilaku inividu adalah
kerangka acuan yang ada dalam diri inividu yang bersangkutan.
Dengan arti lain bahwa untuk memahami perilaku inividu ialah
dengan cara memahami kerangka orientasinya (bagaimana inividu
memandang dunia sekitarnya)
8) Suatu bagian dari medan penghidupan secara keseluruhan secara
berangsur-angsur terdefinisikan menjadi diri atau self.
9) Sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan, terutama sebagai
hasil dari interaksi evaluasi dengan orang-orang lain, terbentuklah
“diri” itu, yaitu suatu konsep pola kehidupan aku yang kenyal dan
konsisten, yang padanya terletak pola sistem nilai. Atau dengan
kata lain “konsep diri” itu terbentuk karena inividu berinteraksi
dengan lingkungan.
10) Nilai-nilai yang terletak pada pengalaman, dan nilai-nilai yang
merupakan bagian dari struktur diri, adalah nilai-nilai yang
dihayati langsung oleh inividu atau yang diintrojeksikan dari
penghayatan orang lain, tetapi yang telah diwarnai oleh makna
yang diberikan oleh inividu yang bersangkutan. Jadi, nilai-nilai
yang membentuk konsep diri itu diperoleh inividu secara langsung
atau dari orang lain.
11) Hal-hal dalam dunia pengalaman seseorang itu ditangkap oleh
orang yang bersangkutan dalam tiga cara, yaitu :
a. Dilambangkan, dihayati, dan diorganisasikan ke dalam
hubungan tertentu dengan diri,
b. Diabaikan karena tidak ada terlihat hubungan dengan struktur
diri, atau
c. Ditolak atau dilambangkan dengan perubahan karena hal yang
dihadapi itu tidak konsisten dengan struktur diri.
Jadi, pengalaman yang diperoleh inividu, mungkin akan
diterima dan dihubungkan dengan konsep diri, mungkin pula
ditolak, dibuang, atau disingkirkan karena tidak cocok dengan
konsep diri.

19
12) Kebanyakan cara-cara berperilaku yang dijalankan oleh inividu
adalah perilaku yang konsisten dengan konsep diri. Perilaku
seseorang itu sejalan dengan konsep tentang dirinya.
13) Dalam beberapa hal perilaku mungkin ditimbulkan oleh
pengalaman organik atau kebutuhan yang belum dilambangkan.
Perilaku yang demikian itu tidak konsisten dengan struktur diri,
tetapi yang demikian itu sebenarnya perilaku menjadi “bagian” dari
inividu yang bersangkutan atau perilaku itu dapat berasal dari
pengalaman dan dapat pula berasal dari kebutuhan yang belum
diketahui.
14) Penyesuaian psikologis yang tidak baik terjadi bilamana
organisme menolak menyadari pengalaman-pengalaman dan
viseral yang penting, yang karenanya dilambangkan dan
diorganisasikan ke dalam struktur diri. Apabila hal yang demikian
ini berlangsung, maka akan terjadi ketegangan psikologis.
Ganguan psikologis (mental) terjadi apabila inividu menolak
kenyataan yang tidak sesuai dengan konsep dirinya.
15) Penyesuainan psikologis yang baik terjadi apabila diri itu
memungkinkan semua pengalaman sensoris dan viseral organisme
dapat diasimilasikan dengan simbolik kedalam relasasi yang
konsisten dengan konsep diri.
16) Setiap pengalaman yang tidak konsisten dengan organisasi atau
struktur diri mungkin diamati sebagai ancaman, dan semakin
banyak struktur pengalaman yang demikian kukuhlah diri itu
diorganissasikan, untuk mempertahankan diri.
17) Pada kondisi-kondisi tertentu, bila sama sekali tidak menimbulkan
ancaman terhadap struktur diri, maka pengalaman-pengalaman
yang tidak konsisten dengan struktur diri itu mungkin diamati,
diuji, dan struktur diri direvisi agar dapat mengasimilasi dan
mencakup pengalaman-pengalaman yang demikian itu. Dengan
demikian, dapat dikatakan apabila pengalaman baru itu tidak
menimbulkan ancaman, maka pengalaman ini akan diterima dan
dapat merubah atau memperbaiki konsep diri.

20
18) Apabila inividu mengamati dan menerima semua pengalamannya
yang sensoris dan viseral kedalam suatu integral, maka ia akan
dapat lebih memahami dan menerima orang lain. Dengan arti kata
lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa apabila pengalaman sosial
diterima dan membentuk konsep diri, kemudian inividu dapat
memahami inividu lainnya, maka ia pun akan lebih diterima oleh
lingkungannya.
19) Apabila inividu mengamati dan menerima lebih banyak
pengalaman organismenya, maka ia akan menyadari bahwa ia
sedang menggantikan sistem nilai-nilainya yang sekarang dengan
baru, dengan suatu proses evaluasi organis.
Teori Rogers ini telah menjadi dasar pengembangan konseling non-
direktif dan usaha-usaha lain yang bertujuan membantu inividu untuk
mengembangkan apa yang telah ada pada dirinya. Dengan memahami
teori ini, maka akan dipahami pula hubungan dunia kehidupan –
pengalaman - konsep diri – penerimaan lingkungan – kondisi sehat
mental.

d. Karakteristik Konseling Non-direktif


Peran klien yang besar dibandingkan dengan konselornya dalam
hubungan konseling adalah merupakan karakterisisik utama dari
konseling non-direktif.
Karakteristik untuk dari konseling non-direktif, masing-masing
menekankan pada:
1. Tanggung jawab dan kemampuan klien dalam menghadapi
kenyataan.
Seseorang berfungsi sempurna apabila memiliki pemahaman tentang
dirinya sendiri, terbuka terhadap pengalaman baru. Untuk
memperoleh pemahaman akan dirinya, terbuka hal-hal yang baru itu
haruslan diberikan suatu kesempatan, pengalaman dan tanggung
jawab untuk menghadapi kenyataan. Kenyataan itu pada hakikatnya
adalah sesuatu yang diamati dan dialami inividu (Carl R. Rogers).
Jadi, klien didorong untuk menentukan pilihan dan keputusan serta
tanggung jawab atas pilihan dan keputusan yang telah di ambilnya

21
2. Pengalaman-pengalaman sekarang.
Konseling non-direktif tidak beorientasi pada pengalaman masa lalu,
tetapi menitikberatkan pada pengalaman-pengalaman sekarang.
Untuk mengungkapkan pengalaman dan permasalahannya yang
dihadapi sekarang ini (saat ini), konselor mendorong klien untuk
mengungkapkannya dengan sikap yang empatik, terbuka, asli (tidak
berpura-pura), dan permisif.
3. Konseling non-direktif tidak bersifat dogmatis.
Konseling non-direktif bukanlah suatu bentuk hubungan atau
pendekatan yang bersifat kaku atau merupakan suatu dogma. Tetapi
merupakan suatu pola kehidupan yang berisikan penukaran
pengalaman, dimana konselor dan klien memperlihatkan sifat-sifat
kemanusiaan dan berpartisipasi dalam menemukan berbagai
pengalaman baru.
4. Konseling non-direktif menekankan kepada persepsi klien.
Konseling ini mengutamakan dunia fenomenal dari klien. Konselor
berusaha memahami keseluruhan pengalaman yang pernah dialami
(dunia fenomenal) dari klien dari sudut pandang persepsi klien
sendiri, apakah itu berupa persepsi klien tentang dirinya sendiri
maupun tentang dunia luar.
5. Tujuan konseling non-direktif ada pada diri klien dan tidak ditentukan
oleh konselor.
Konseling non-direktif ini menempatkan klien pada kedudukan
sentral, sedangkan konselor berusaha membantu klien mengungkap
dan menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Jadi, tujuan
konseling dengan sendirinya ada dan di tentukan oleh klien itu
sendiri.

Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi


oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut :

a. Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.

Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh


penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa

22
memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan terciptanya hubungan
yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-ketegangan,
perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien. Menciptakan hubungan
permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.

b. Mendorong pertumbuhan pribadi

Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien


untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari
itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahan yang fundamental
(terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di sini adalah proses
untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.

c. Mendorong kemampuan memecahkan masalah.

Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien


agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan
demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasikan diri
klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.

Persyaratan Sifat dan Sikap Seorang Konselor Non-Direktif. Beberapa


persyaratan yang berhubungan dengan sifat dan sikap agar dapat melaksanakan
hubungan konseling non-direktif, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Kemampuan berempati.

Empati pada dasarnya adalah mengerti dan dapat merasakan orang lain
(klien). Empati ini akan lebih lengkap dan sempurna apabila diiringi oleh
pengertian dan penerimaan konselor tentang apa yang dipikirkan oleh klien.
Empati adalah saling hubungan akan dua orang, dan kuat lemahnya empati itu
sangat bergantung pada saling pengertian dan penerimaan terhadap suasana yang
diutarakan oleh klien. Empati yang dalam, dapat dirasakan oleh kedua belah
pihak, yaitu baik oleh konselor maupun oleh klien itu sendiri

23
b. Kemampuan menerima klien.

Kemampuan konselor untuk benar-benar menerima klien sebagaimana


adanya adalah memegang peran penting dalam hubungan konseling. Dasar dari
kemampuan ini adalah penghargaan terhadap orang lain (dalam diri kllien)
sebagai seorang yang pada dasarnya baik. Dalam menerima klien ini ada dua
unsur yang perlu diingat ialah :

- Konselor berkehendak untuk membiarkan adanya perbedaan antara konselor


dengan klien
- Konselor menyadari bahwa pengalaman yang akan dilalui oleh klien ada usaha
yang penuh dengan perjuangan, pembinaan, dan perasaan.

Penerimaan konselor terhadap klien secara langsung bersangkut paut dengan


kemampuan konselor untuk tidak memberikan penilaian tertentu terhadap klien.

c. Kemampuan untuk menghargai klien.

Seorang konselor non-direktif harus menghargai pribadi klien tanpa syarat


apapun. Apabila rasa dihargai dirasakan oleh klien, maka timbullah rasa percaya
bahwa dirinya mempunyai harga sebagai individu (tidak dipandang rendah/tidak
berarti), maka klien akan berani mengemukakan segala masalahnya, maka timbul
pula keinginan bahwa dirinya berharga untuk mengambil keputusan bagi dirinya
sendiri. Konselor harus dapat menerima klien sebagaimana adanya. Dengan sikap
dan kemampuan yang dimiliki konselor untuk menghargai klien tanpa syarat, serta
menerima klien apa adanya secara langsung akan membina hubungan yang akrab
penuh rasa persahabatan, hangat, terbuka dengan kliennya.

d. Kemampuan untuk memperhatikan.

Kemampuan memperhatikan menuntut keterlibatan sepenuhnya dari


konselor terhadap segala sesuatu yang dikemukakan oleh klien. Kemampuan ini
memerlukan keterampilan dalam mendengarkan dan mengamati untuk dapat

24
mengetahui dan mengerti inti dari isi dan suasana perasaan bagaimana yang
diungkapkan klien. Melalui mendengarkan dan mengamati itu konselor tidak
hanya menangkap dan mengerti apa yang dikemukakan oleh klien, tetapi juga
bagaimana klien menyampaikan hal itu. Bagaimanapun juga, suka atau tidak suka,
klien menginginkan perhatian penuh terhadap apa yang diungkapkan oleh klien,
baik melalui kata-kata (verbal) maupun isyarat (non-verbal).

e. Kemampuan membina keakraban.

Keakraban merupakan syarat yang sangat penting demi terbinanya


hubungan yang nyaman dan serasi antara konselor dan klien. Keakraban ini akan
tumbuh terus-menerus dan terbina dengan baik apabila konselor benar-benar
menaruh perhatian dan menerima klien dengan permisif. Perhatian dan
penerimaan yang murni (tidak semu dan palsu) ini sebenarnya tidak dipaksakan,
direncanakan ataupun dibuat-buat. Seorang konselor yang memaksakan dirinya
menaruh perhatian dan menerima klien, maka wujud perhatian itu tidak akan
wajar, ketidakwajaran itu sendiri akan mewarnai hubungan tersebut. Keakraban
yang murni dan wajar diwarnai oleh adanya perhatian, tanggapan, dan keterlibatan
perasaan secara tulus dan tanpa pamrih. Keakraban itu adalah lebih dalam dari
hanya sekadar ucapan salam atau mengenakkan hati klien. Lebih jauh dari itu
keakraban itu merupakan kesatuan suasana hubungan yang ditandai oleh rasa
saling percaya mempercayai, kerjasama, kesungguhan, ketulusan hati, dan
perhatian.

f. Sifat keaslian (genuin)

Seorang konselor non-direktif harus memperlihatkan sifat keaslian dan


tidak berpura-pura. Kepura-puraan dalam hubungan konseling menyebabkan klien
menutup diri. Jadi, proses konseling non-direktif mengharapkan keterbukaan dari
klien. Klien akan terbuka apabila konselor dapat dipercaya dan bersungguh-
sungguh.

25
g. Sikap terbuka

Konselin non-direktif mengharapkan adanya keterbukaan dari klien baik


untuk mengemukakan segala masalahnya maupun untuk menerima pengalaman-
pengalaman. Keterbukaan dari klien akan terwujud apabila ada keterbukaan dari
konselor pula.

Adapun Kelemahan dan Kelebihan konseling Non-Direktif

a. Kelemahan
Penggunaan pendekatan konseling Non-Direktif memiliki beberapa
keterbatasan:
1) Cara Pendekatan yang berpusat pada klien sedangkan waktu yang
tersedia terbatas. Sehingga bila konselor tidak mampu mengatur
arah pembicaraan, maka akan menyita banyak waktu dalam
wawancara.
2) Keterbatasan kemampuan dan keberanian klien dalam
menyampaikan permasalahannya secara verbal.
3) Kesukaran klien dalam memahami kesukarannya sendiri
4) Pendekatannya menuntut kedewasaan klien dalam bersikap untuk
memahami dirinya dan memecahkan masalahnya sendiri.
5) Keterbatasan konselor dalam menghadapi masalah klinis akibat
konselor belum terlatih dalam masalah psikologis.
b. Kelebihan
Pendekatan konseling Non-Direktif biasanya banyak membantu dalam
proses konseling, terutama bila :
1) Klien dalam kondisi emosional yang labil sehingga sulit berpikir
logis
2) Konselor memiliki kemampuan yang cukup tinggi dalam
menangkap emosi yang ditonjolkan klien dan merefleksikan
kembali ke klien dalam bahasa dan tindakan yang sesuai.
3) Klien mampu merefleksikan dirinya baik itu perasaan maupun
pikirannya melalui penyampaian secara verbal.

26
4) Pendekatan ini sangat cocok dipergunakan sebab masalah klien tetap
menjadi tanggung jawab klien, sekalipun konselor memberikan
beberapa bantuan berupa pertanyaan penggali (probbing), namun
penekanan tetap berpusat pada kemampuan refleksi diri klien
terhadap masalahnya.

D. Konseling Eklektif

Teori konseling Eklektif menunjuk pada suatu sistematika dalam konseling


yang berpegang pada pandangan teoritis dan pendekatan, yang merupakan
perpaduan dari berbagai unsur yang diambil atau dipilih dari beberapa konsepsi
serta pendekatan.

Konselor yang berpegang pada pola Eklektif berpendapat bahwa


mengikuti satu orientasi teoritis serta menerapkan satu pendekatan terlalu
membatasi ruang gerak konselor sebaliknya konselor ingin menggunakan variasi
dalam sudut pandangan, prosedur dan teknik sehingga dapat melayani masing-
masing konseli sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai dengan ciri khas masalah-
masalah yang dihadapi. Ini tidak berarti bahwa konselor berpikir dan bertindak
seperti orang yang bersikap opportunis, dalam arti diterapkan saja pandangan,
prosedur dan teknik yang kebetulan membawa hasil yang paling baik tanpa
berpegang pada prinsip-prinsip tertentu. Konselor yang berpegang pada pola
Eklektif menguasai sejumlah prosedur dan teknik serta memilih dari prosedur-
prosedur dan teknik-teknik yang tersedia, mana yang dianggapnya paling sesuai
dalam melayani konseli tertentu. (Winkel & MM. Sri Hastuti)

Teori konseling Eklektif seperti yang dipersepsikan oleh Thorne


membutuhkan tanggapan dari klien tentang sejarah masa lalu mereka, situasi saat
ini, dan kemungkinan di masa yang akan datang, dengan memanfaatkan
pengetahuan perkembangan kepribadian dari ilmu biologi dan sosial. Oleh karena

27
itu, konselor perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang perwujudan diri
individu.

Teori konseling Eklektif dibangun atas kebutuhan akan memaksimalkan


intelektual individu sebagai sumber daya untuk mengembangkan pemecahan
masalah. Penyesuaian yang salah diyakini sebagai hasil dari kegagalan klien
dalam belajar menggunakan sumber daya intelektual.

Menurut Thorne, konseling dan psikoterapi dipahami sebagai proses


pembelajaran yang meliputi :

1. Mendiagnosis faktor-faktor psikodinamika etiologi dalam rangka untuk


merumuskan masalah yang akan dipelajari.

2. Menyusun suasana kondusif untuk pembelajaran.

3. Menguraikan dan membimbing langkah-langkah pendidikan.

4. Menyediakan kesempatan untuk praktik.

5. Memberi wawasan terhadap proses yang alami dan hasilnya untuk


meningkatkan motivasi belajar.

Dalam kenyataan praktek konseling, menunjukkan bahwa tidak semua


masalah dapat dientaskan secara baik hanya dengan satu pendekatan atau
teori saja. Ada masalah yang lebih cocok diatasi dengan pendekatan direktif, dan
ada pula yang lebih cocok dengan pendekatan non-direktif atau dengan teori
khusus tertentu. Dengan perkataan lain, tidaklah dapat ditetapkan bahwa setiap
masalah harus diatasi dengan salah satu pendekatan atau teori saja. Pendekatan
atau teori mana yang cocok digunakan sangat ditentukan oleh beberapa faktor,
antara lain:

a. Sifat masalah yang dihadapi (misalnya tingkat kesulitan dan


kekomplekannya).

28
b. Kemampuan konseli dalam memainkan peranan dalam proses
konseling.
c. Kemampuan konselor sendiri, baik pengetahuan maupun ketrampilan
dalam menggunakan masing-masing pendekatan atau teori konseling.
Mereka yang mempelajari pendekatan ini mungkin ada yang terterik dan
merasa dirinya lebih cocok untuk mendalami dan mempraktekkan satu
pendekatan tertentu saja. Dan mungkin ad pula yang berusaha
“menggabungkan” antara kedua pendekatan tersebut. Kebanyakan
diantara mereka bersikap Eklektif yang mengambil berbagai kebaikan dari
kedua pendekatan konseling yang ada itu, mengembangkan dan
menerapkannya dalam praktek sesuai dengan permasalahan konseli. Sikap
Eklektif ini telah ada sejak lama dan bahkan dianggap lebih tepat dan
sesuai dengan filsafat atau tujuan konseling daripada sikap yang hanya
mengandalkan satu pendekatan saja.

Dengan adanya metode dan pendekatan tersebut di atas, maka


seorang konselor akan dapat memilih metode dan pendekatan yang cocok untuk
diterapkan dalam proses konseling sesuai dengan sifat permasalahan dan
kepribadian seorang konseli.

29
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

a. Konseling direktif (directive counseling)

Konseling yang menggunakan teknik ini, dalam prosesnya yang aktif atau
paling berperan adalah konselor. Dalam praktiknya konselor berusaha
mengarahkan klien sesuai dengan masalahnya. Selain itu, konselor juga
memberikan saran, anjuran dan nasihat kepada klien. Praktik konseling yang
dilakukan oleh para penganut teori behavioral counseling umumnya menerapkan
cara – cara di atas dalam konselingnya. Karena praktik yang demikian, konseling
ini juga dikenal dengan konseling yang berpusat pada konselor.

Praktik konseling direktif mendapat kritik terutama dari para penganut


paham bahwa tujuan utama dalam konseling adalah kemandirian klien (siswa).
Apabila klien masih dinasihati dan diarahkan berarti belum mandiri; sehingga
tujuan utama konseling belum tercapai. Oleh sebab itu, para penganut paham ini
menganjurkan konseling yang berpusat pada siswa ( client centered ).

b. Konseling nondirektif ( non – directive counseling )

Seperti telah di sebutkan di atas, konseling nondirektif atau konseling yang


berpusat pada siswa muncul akibat kritik terhadap konseling direktif (konseling
berpusat pada konselor). Konselor nondirektif di kembangkan berdasarkan teori
client centered ( konseling yang berpusat pada klien atau siswa ). Dalam praktik
konseling nondirektif, konselor hanya menampung pembicaraan, yang berperan
adalah konselor. Klien atau konseli bebas berbicara sedangkan konselor
menampung dan mengarahkan. Teknik ini tertentu sulit di terapkan kepada
kepribadian tertutup ( introvert ), karena klien ( siswa ) dengan kepribadian
tertutup biasanya pendiam dan sulit diajak bicara. Cara ini juga belum bisa
diterapkan secara efektif untuk murid sekolah dasar dan dalam keadaan siswa

30
SMP. Teknik ini bisa diterapkan secara efektif untuk siswa SMA dan mahasiswa
di perguruan tinggi.

c. Konseling Eklektif (Eclective counseling)

Kenyataan bahwa semua teori cocok untuk semua individu, semua


masalah siswa, dan semua situasi konseling. Siswa disekolah atau di madrasah
memiliki tipe – tipe kepribadian yang tidak sama. Oleh sebab itu, tidak mungkin
di terapkan teknik konseling direktif saja atau non direktif saja. Agar konseling
berhasil secara efektif dan efesien, tertentu harus melihat siapa siswa ( klien )
yang akan di bantu atau di bimbing dan melihat masalah yang dihadapi siswa dan
melihat situasi konseling.

Apabila terhadap siswa tertentu tidak bisa di terapkan teknik derektif,


maka mungkin bisa diterapkan metode nondirektif begitu juga sebaliknya. Atau
apabila mungkin adalah dengan cara menggabungkan kedua metode di atas.
Penggabungan kedua teknik konseling di atas disebut teknik eklektif (eclective
counseling). Penerapan teknik dalam konseling adalah dalam keadaan tertentu
konselor menasihati dan mengarahkan konseli ( siswa ) sesuai dengan
masalahnya, dan dalam keadaan yang lain konselor memberikan kebebasan
kepada konseli ( siswa ) untuk berbicara sedangkan konselor mengarahkan saja.

31
DAFTAR PUSTAKA

Bruce Shartzer dan Shelley C. Stone, 1968, Fundamentals of Counseling,


New York: Houghton Mifflin Company,
Eddy Wibowo. Mungin, 2003, Teknik Bimbingan dan Konseling
jilid I, Jakarta : Tugu Publisher

Dewa Ketut Sukardi, 2000, Pengantar Pelaksanaan program Bimbingan dan


Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta
Hasan Langgulung, 1991, Teor-teori Kesehatan Mental, Jakarta: Pustaka Al-
Husna
Hurlock., E. B., 1993, Psikologi Perkembangan Edisi ke-5, Jakarta:Erlangga.
Kartono., Kartini, 1998, Patologi Sosial 2, Jakarta:Radja Grafindo Persada
Koestoer Partowisastro, 198, Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Jilid
II, Jakarta: Erlangga
Monks., F.J., dkk, 2002, Psikologi Perkembangan, Yogyakarta:Gadjah Mada
University Press.
Mulyono., Y. Bambang, 1995, Pendekatan Analisis Kenakalan Remaja dan
Penanggulangannya, Yogyakarta:Kanisius.
Nana Syaodih Sukmadinata, 2004, Landasan Psikologi Proses Pendidikan,
Bandung, PT. Remaja Rosdakarya
Priyatno, Erman Amti,, 1999 Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta:
Rineka Cipta
Saad., Hasbullah M., 2003, Perkelahian Pelajar;Potret Siswa SMU di DKI
Jakarta, Yogyakarta:Galang Press.
Santrock., John W., 1995, Perkembangan Masa Hidup jilid 2. Terjemahan oleh
Juda Damanika & Ach. Chusairi, Jakarta:Erlangga.
Sudarsono, 1995, Kenakalan Remaja, Jakarta:Rineka Cipta.

32

Anda mungkin juga menyukai