Anda di halaman 1dari 13

Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Minat Ibu dalam Pemberian ASI Eksklusif

pada Bayi Usia 0-6 Bulan


KTI SKRIPSI
HUBUNGAN TINGKAT EKONOMI DENGAN MINAT IBU DALAM PEMBERIAN ASI
EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 0-6 BULAN

ABSTRAK
ASI berarti memberi zat – zat gizi yang bernilai tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat – zat kekebalan terhadap penyakit dan ikatan
emosional antara ibu dan bayinya. Dengan adanya peningkatan iklan susu buatan yang secara
gencar memasarkan produk susunya, maka ibu dengan tingkat ekonomi keluarga yang tinggi,
lebih berminat untuk pemberian susu formula dibandingkan memberikan ASI terutama ASI
Eksklusif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi
dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif. Desain penelitian cross sectional, dengan
melakukan observasi terhadap variabel dependen dan independen secara bersamaan. Hasil
penelitian, menunjukkan bahwa ρ hitung sebesar 0,0167 sebesar 0,05, sehingga terdapat
hubungan antara tingkat ekonomidan dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif.
Diharapkan para ibu menyusui yang mempunyai tingkat ekonomi tinggi maupun rendah untuk
memberikan bayinya ASI Eksklusif, dan juga kepada tenaga – tenaga kesehatan ditempat
penelitian untuk menambah pemberian informasi.
Kata kunci : ASI Eksklusif, Ibu, Minat, Tingkat Ekonomi

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa menyusui merupakan masa yang sangat membahagiakan bagi ibu dan bayi. Ketika bayi
menghisap ASI melalui puting susu, rasa kehangatan dan kasih sayang ibu akan tercurah pada
sibuah hati (Diah, 2000). ASI mengandung banyak faktor non nutrisi yang membantu melindungi
dan merawat bayi selama bulan-bulan pertama kehidupan (Moody, 2006). Pemberian ASI berarti
memberi zat-zat gizi yang bernilai tinggi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
perkembangan syaraf dan otak, memberikan zat – zat kekebalan terhadap penyakit dan ikatan
emosional antara ibu dan bayinya (www.ghozansehat, 2007).
Seorang ibu dikodratkan untuk dapat memberikan air susunya kepada bayi yang telah
dilahirkannya, dimana kodrat ini merupakan suatu tugas yang mulia bagi ibu itu sendiri demi
keselamatan dari bayi dikemudian hari (Manuaba, 1998). Sejak seorang wanita memasuki
kehidupan keluarga, padanya harus sudah tertanam suatu keyakinan : ”Saya harus menyusui bayi
saya, karena menyusui adalah realisasi dari tugas yang wajar dan mulia dari seorang ibu “.
Sayang sekali keyakinan diatas, khususnya di kota-kota besar, terlihat adanya tendensi
penurunan pemberian ASI, yang dikhawatirkan akan meluas ke pedesaan (Soetjiningsih, 1997).
Menurut WHO pemberian ASI Eksklusif 6 bulan disejumlah kota besar di Indonesia ternyata
masih rendah. Pemberian ASI Eksklusif pada bayi sampai usia sebulan setelah kelahirannya
hanya 25 % – 80 %. Menurut Dinas Kesehatan Kota, pemberian ASI Eksklusif pada bayi sampai
usia sebulan setelah kelahirannya di Jawa Timur tahun 2007 hanya 42,6% (Dinas Kesehatan,
2007). Lebih buruk lagi di daerah kumuh perkotaan (Jakarta, Makasar, Surabaya), pemberian itu
hanya sampai 40 %. Bahkan ada bayi yang baru berumur 2 minggu sudah diberikan makanan
lain. Proporsi pemberian ASI pada bayi kelompok usia 0 bulan sebesar 73,1 %, 1 bulan 55,5 %, 2
bulan 43 %, 3 bulan 36 % dan kelompok usia 4 bulan 16,7 %. Dengan bertambahnya usia bayi
terjadi penurunan pola pemberian ASI sebesar 1,3 kali atau sebesar 77,2 %. Menurut hasil data
Survey Sosial Ekonomi Nasional tahun di hanya 12,50 % pemberian ASI Eksklusif pada bayi
sampai usia sebulan setelah kelahirannaya (Badan Pusat Statistik, 2006).
Hal ini kemungkinan karena ibu – ibu dalam masa kini banyak melakukan kegiatan untuk
memperoleh tambahan pendapatan keluarga. Dengan adanya peningkatan iklan susu buatan yang
secara gencar memasarkan produk susunya (www.tempo.co.id/medika). Maka ibu dengan
bertambahnya pendapatan keluarga atau status sosial ekonomi tinggi, ibu lebih berminat untuk
pemberian susu botol dan melupakan kodratnya untuk memberikan air susunya. Hal ini
memberikan adanya hubungan antara pemberian ASI dengan sosial ekonomi ibu dimana ibu
yang mempunyai sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI
dibanding dengan sosial ekonomi tinggi (www.ridwanamirruddin.wardpress.com.2007).
Berdasarkan PKL pada tanggal 10 Maret-29 Maret di Desa, wilayah kerja Puskesmas terdapat 72
bayi berusia 0-12 bulan. Yang mendapat ASI Eksklusif ada 52 bayi atau sebesar 72%. Sedangkan
dari 34 bayi yang berusia 0-6 bulan, jumlah ibu yang menyusui bayinya ada 14 orang atau
sebesar 41%. Hal ini belum sesuai dengan target yang diharapkan oleh Departemen Kesehatan
RI dimana ditargetkan pada tahun 2005 80 % wanita di Indonesia sudah memberikan ASI
Eksklusif.
Dari uraian diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubungan tingkat
ekonomi dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Desa
Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas maka dapat dirumuskan permasalahan : “Adakah hubungan tingkat
ekonomi dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Desa
Kabupaten?”

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara tingkat ekonomi dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif
pada bayi usia 0-6 bulan di Desa Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat ekonomi ibu menyusui yang mempunyai bayi usia 0 – 6 bulan di
Desa Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.
b. Mengidentifikasi minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan di Desa
Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.
c. Menganalisis tingkat ekonomi dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi
usia 0-6 bulan di Desa Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti mengenai hubungan tingkat ekonomi dengan minat ibu dalam
pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan.

1.4.2 Bagi Institusi


Sebagai bahan pertimbangan penelitian selanjutnya terutama yang berkaitan dengan hubungan
tingkat ekonomi dengan minat ibu dalam pemberian ASI Eksklusif pada bayi usia 0-6 bulan.
1.4.3 Bagi Tempat Peneliti
Hasil penelitian dapat menjadi masukan atau evaluasi pada Desa wilayah kerja Puskesmas
Kabupaten sehingga dapat menindak lanjuti hasil penelitian ini.

Sumber Skripsipedia.com: Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Minat Ibu dalam Pemberian ASI
Eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan http://www.skripsipedia.com/2012/10/hubungan-tingkat-
ekonomi-dengan-minat-ibu-dalam-pemberian-asi-eksklusif-pada-bayi-usia-0-6-
bulan.html#ixzz2IHjhR5NW
kti skripsi kesehatan hanya di http://www.skripsipedia.com/
Follow us: @skripsipedia on Twitter | skripsipedia on Facebook

Hubungan Pola Asuh Orang Tua dalam Pemberian Makanan Tambahan Balita
dengan Status Gizi Balita

KTI SKRIPSI
HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DALAM PEMBERIAN MAKANAN
TAMBAHAN BALITA DENGAN STATUS GIZI BALITA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di negara berkembang kesakitan dan kematian pada anak balita banyak dipengaruhi oleh
keadaan gizi dengan demikian angka kesakitan dan kematian pada periode ini dapat dijadikan
informasi yang berguna mengenai keadaan kurang gizi di masyarakat (Supariasa, 2001).
Gangguan gizi pada anak balita merupakan dampak komulatif dari berbagai faktor baik yang
berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap gizi anak (Moehji S, 2003). Anak balita
merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat sehingga memerlukan
zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya. Anak balita merupakan kelompok umur yang
paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Djaeni, 2000). Untuk itu status gizi balita perlu
diperhatikan dalam status gizi baik dengan cara memberikan makanan bergizi seimbang yang
sangat penting untuk pertumbuhan (Paath, 2004).
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2003 angka prevalensi gizi
kurang adalah 19,20% dan status gizi buruk 8,30% (Depkes RI, 2004). Data dari Dinas
Kesehatan RI yang mengacu pada aksi pangan dan gizi tahun 200 1-2005 sasaran gizi kurang
dari 20% dan gizi buruk 5% (Depkes RI, 2002). Menurut hasil pemantauan status gizi pada balita
di Propinsi Jatim pada tahun 2005, dari 8.012 balita yang disurvei terdapat 6,5% balita
mengalami gizi buruk dan 20% mengalami gizi kurang (Sugeng Iwan, 2008). Menurut hasil
pemantauan status gizi balita Kabupaten Bojonegoro tahun 2008 ditinjau dari BB/U 70.749
balita terdapat 1,32% balita dengan status gizi buruk, balita dengan gizi kurang sebanyak 13,15%
balita, 83,63% balita dengan status gizi baik dan gizi lebih sebanyak 1,90% balita, sedangkan
pada pemantauan status gizi balita di Wilayah Kerja Puskesmas Temayang tahun 2008, dari 1.78
1 balita terdapat 1,46% balita mengalami gizi buruk 16,79% balita dengan gizi kurang 80,17%
balita dengan gizi baik dan 1,09% mengalami gizi lebih. Berdasarkan hasil pencatatan
pemantauan status gizi balita tahun 2008 oleh bidan Desa diperoleh data dari 150 balita yang
mengalami gizi buruk 3,3% balita, 22,6% balita dengan gizi kurang, 73,3% balita dengan gizi
baik dan 0,6% balita yang mengalami gizi lebih.
Menurut Menkes, ada 3 faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah gizi
dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tinhgkat rumah tangga. Kedua, pola
asuhan gizi atau makanan keluarga. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan (Depkes RI,
2007). Gizi kurang dan gizi buruk berdampak serius terhadap kualitas generasi mendatang. Anak
yang menderita gizi kurang akan mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan perkembangan
mental (Depkes RI, 2002). Pada usia sebelum 6 bulan sistem pencernaan belum siap untuk
menerima makanan selain ASI kebutuhan bayi akan makanan sudah cukup terpenuhi dengan ASI
namun pasca usia tersebut ia memerlukan makanan tambahan yang dapat menunjang tumbuh
kembangnya. Pada usia ini jika hanya diberi ASI saja kebutuhan asuhan gizi bayi masih belum
terpenuhi sepenuhnya. Dan jika memberikan makanan pendamping terlalu awal (sebelum 6
bulan) berdampak kurang baik terhadap kesehatannya (Akhmad Saifudin A, 2008). Masalah gizi
pada balita akan bertambah negatif pada obesitas (gizi lebih) pada masa anak bila terus berlanjut
sampai dewasa dapat mengakibatkan hipertensi, hiperlipidemia, paterosklerosis, penyakit
jantung koroner dan maturitas seksual lebih awal (Soetjiningsih, 2004).
Upaya penanggulangan gizi kurang yang sudah dilakukan adalah peningkatan pelayanan gizi
terpadu dan sistem rujukan dimulai dari tingkat pos pelayanan terpadu (posyandu) hingga
puskesmas dan rumah sakit, peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi dibidang pangan
dan gizi masyarakat dan intervensi langsung kepada sasaran melalui Pemberian Makanan
Tambahan (PMT) (Almatsier S, 2006). Untuk mengatasi kasus kurang gizi memerlukan peranan
dari keluarga khususnya para ibu harus memiliki kesabaran bila anaknya mengalami problema
makan dan lebih memperhatikan asupan makanan sehari-hari bagi anaknya
(http://www.iyoiye.com diakses tanggal 20 mei 2009).
Dari uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan pola asuh
orang tua dalam pemberian makanan balita dengan status gizi balita di Desa.

B. Rumusan Masalah
1. Sejauh mana pola asuh orang tua dalam pemberian makanan balita di Desa ?
2. Sejauh mana status gizi balita di Desa ?
3. Bagaimana hubungan pola asuh orang tua dalam pemberian makanan balita dengan status
gizi balita di Desa ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui hubungan antara pola asuh orang tua dalam pemberian makanan balita dengan status
gizi balita.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden di Desa.
b. Mengidentifikasi pola asuh orang tua dalam pemberian makanan balita di Desa.
c. Mengidentifikasi status gizi pada balita di Desa.

Sumber Skripsipedia.com: Hubungan Pola Asuh Orang Tua dalam Pemberian Makanan
Tambahan Balita dengan Status Gizi Balita http://www.skripsipedia.com/2012/10/hubungan-
pola-asuh-orang-tua-dalam-pemberian-makanan-tambahan-balita-dengan-status-gizi-
balita.html#ixzz2IHk0JVPG
kti skripsi kesehatan hanya di http://www.skripsipedia.com/
Follow us: @skripsipedia on Twitter | skripsipedia on Facebook

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi


Suntikan di Desa

KTI SKRIPSI
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENGGUNAAN ALAT
KONTRASEPSI SUNTIKAN DI DESA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Program Keluarga Berencana Nasional telah diawali dan dicanangkan oleh pemerintah pada
tahun 1974. Tujuan dari pada pemerintah tersebut untuk mengurangi jumlah penduduk dan juga
untuk mengurangi tingkat kematian pada ibu hamil dan bayi yang dilahirkan.
Keluarga Berencana (KB) merupakan salah satu pelayanan kesehatan preventif yang paling dasar
dan utama bagi wanita, meskipun tidak selalu diakui demikian. Untuk optimalisasi manfaat
kesehatan KB, pelayanan tersebut harus disediakan bagi wanita dengan cara menggabungkan dan
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi utama dan yang lain. Juga responsif
terhadap berbagai tahap kehidupan reproduksi wanita. Peningkatan dan perluasan pelayanan
keluarga berencana merupakan salah satu usaha untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian ibu yang sedemikian tinggi akibat kehamilan yang dialami oleh wanita (Herti, 2008 :
16). Sembilan puluh sembilan persen (99%) kesakitan pada wanita yang mengalami kehamilan
terjadi di negara berkembang dan hampir 500 juta jiwa yang meninggal setiap tahunnya akibat
komplikasi kehamilan (Koblinsky 1997:151–153).
Banyak wanita harus menentukan pilihan kontrasepsi yang sulit. Tidak hanya karena terbatasnya
jumlah metode yang tersedia, tetapi juga karena metode-metode tersebut mungkin tidak dapat
diterima sehubungan dengan kebijakan nasional KB, kesehatan individual, dan seksualitas
wanita atau biaya untuk memperoleh kontrasepsi. Dalam memilih suatu metode, wanita harus
menimbang berbagai faktor, termasuk status kesehatan mereka, efek samping potensial suatu
metode, konsekuensi terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, besarnya keluarga yang
diinginkan, kerjasama pasangan, dan norma budaya mengenai kemampuan mempunyai anak
(Maryani, 2008 : 1).
Keluarga Berencana adalah merupakan suatu perencanaan kehamilan yang diinginkan untuk
menjadikan norma keluarga kecil, bahagia dan sejahtera dan pada hakikatnya keluarga berencana
adalah upaya untuk menjarangkan kelahiran dan menghentikan kehamilan, bila ibu sudah
melahirkan anak yang banyak. Secara tidak langsung Keluarga Berencana dapat menyehatkan
fisik dan kondisi, sehat ekonomi keluarga dan meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak
(DEPKES RI 1996:88-89).
Menurut data dari kantor BKKBN Sulawesi Tengah tahun 2005 bulan April, jumlah peserta
akseptor KB di Sulawesi Tengah adalah 278.288 jiwa (62,6%) dari 43 5.000 jiwa pasangan usia
subur (PUS).
Pada saat sekarang ini telah banyak beredar berbagai macam alat kontrasepsi, khususnya alat
kontrasepsi metode efektif yaitu: pil, suntik, IUD implant. Alat kontrasepsi hendaknya memenuhi
syarat yaitu aman pemakaiannya dan dapat dipercaya, efek samping yang merugikan tidak ada,
lama kerjanya dapat diatur menurut keinginan, tidak mengganggu hubungan seksual, harganya
murah dan dapat diterima oleh pasangan suami istri (Mochtar, 1998:255–256).
Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan. Namun demikian, meskipun telah
mempertimbangkan untung rugi semua kontrasepsi yang tersedia, tetap saja terdapat kesulitan
untuk mengontrol fertilitas secara aman, efektif, dengan metode yang dapat diterima, baik secara
perseorangan maupun budaya pada berbagai tingkat reproduksi. Tidaklah mengejutkan apabila
banyak wanita merasa bahwa penggunaan kontrasepsi terkadang problematis dan mungkin
terpaksa memilih metode yang tidak cocok dengan konsekuensi yang merugikan atau tidak
menggunakan metode KB sama sekali.
Pemakaian alat kontrasepsi di Palu yang paling tinggi adalah pil (42,6%), suntik (36,8%) dan
IUD (10,6%) dari metode efektif yang ada. Sedangkan di desa, kontrasepsi yang paling banyak
digunakan adalah suntik (7 6%), pil (20%) dan IUD (4%). Menurut data dari Pustu Desa , sejak
Januari – April
jumlah akseptor 120 orang. Dengan demikian dapat dilihat bahwa cukup banyak ibu memilih
menggunakan kontrasepsi suntik dibandingkan alat kontrasepsi lainnya.
Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul
“Faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi suntikan di desa”.
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia dan negara-negara lain relatif tinggi, hingga mencapai 307 per
100.000 kelahiran hidup (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2002/2003). Penurunan AKI serta
peningkatan derajat kesehatan ibu menjadi prioritas utama dalam pembangunan, bidang kesehatan di
Indonesia. Adapun salah satu upaya yang dapat dilakukan dapat terwujud dalam bentuk safe
motherhood atau disebut juga penyelamat ibu dan bayi (Sarwono, 2002).
Masalah kematian ibu adalah masalah yang sangat kompleks seperti status wanita dan pendidikan.
Masalah tersebut juga diperbaiki sejak awal. Tetapi kurang realistis apabila mengharapkan perubahan
drastis dalam waktu yang singkat, (Sarwono 2002). Tingginya angka kelahiran berkaitan erat dengan usia
wanita pada saat perkawinan pertama. Secara nasional, meskipun usia kawin pertama umum 25-49
tahun, telah ada peningkatan. Namun umur kawin yang pertama menunjukkan angka yang relatif rendah,
yakni 19,2 tahun, median umur kawin di pedesaan 18,3 tahun dan di perkotaan 20,3 tahun (SDKI, 2002-
2003).
Pelayanan KB yang berkualitas belum sepenuhnya menjangkau seluruh wilayah nusantara. Pada saat
sekarang ini paradigma program KB telah mempunyai visi dari mewujudkan NKKBS menjadi visi untuk
mewujudkan keluarga berencana yang berkualitas tahun 2015. Keluarga yang berkualitas adalah keluarga
yang sejahtera, sehat, maju, mandiri, memilih jumlah anak yang ideal. berwawasan ke depan,
bertanggung jawab dan harmonis. Visi tersebut dijabarkan dalam 6 visi yaitu memberdayakan
masyarakat, menggalang kemitraan, dalam peningkatan kesejahtera-an, kemandirian dan ketahanan
keluarga. Meningkatkan kegiatan khusus kualitas KB dan kesehatan reproduksi, meningkatkan promosi,
perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi dan meningkatkan upaya pemberdayaan
perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender melalui program KB serta
mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sejak pembuahan dan kandungan sampai pada
usia lanjut (Hanafi Hartanto, 2002).
Banyak perempuan yang mengalami kesulitan dalam menentukan pilihan jenis kontrasepsi. Hal ini tidak
hanya karena terbatasnya metode yang tersedia, tetapi juga oleh ketidaktahuan mereka tentang
persyaratan dan keamanan metode kontrasepsi tersebut. Berbagai faktor harus dipertimbangkan
termasuk status kesehatan, efek samping, potensial, konsekwensi kegagalan/kehamilan yang tidak
diinginkan. Besar keluarga yang direncanakan, persetujuan pasangan bahkan norma budaya lingkungan
integral yang sangat tinggi dalam pelayanan KB.
Angka kematian ibu dan perinatal merupakan ukuran penting dalam menilai keberhasilan pelayanan
kesehatan dan keluarga berencana di suatu negara. Tingkat kesejahteraan juga dapat ditentukan
terhadap seberapa jauh gerakan keluarga berencana dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat.
Salah satu bagian dari program KB nasional adalah KB implant. Kontrasepsi untuk kebutuhan KB yang
terus berkembang dari tahun ketahun. Pemasangan norplant (susuk KB), sederhana dan dapat diajarkan,
tetapi masalah mencabut susuk KB memerlukan perhatian karena sulit dicari metode yang mudah dan
aman (Manuaba, 1998).
Meskipun program KB dinyatakan cukup berhasil di Indonesia, namun dalam pelaksanaanya hingga saat
ini juga masih mengalami hambatan-hambatan yang dirasakan antara lain adalah masih banyak Pasangan
Usia Subur (PUS) yang masih belum menjadi peserta KB. Disinyalir ada beberapa faktor penyebab
mengapa wanita PUS enggan menggunakan alat maupun kontrasepsi. Faktor-faktor tersebut dapat
ditinjau dari berbagai segi yaitu: segi pelayanan KB, segi kesediaan alat kontrasepsi, segi penyampaian
konseling maupun KIE dan hambatan budaya (Sumber Advokasi KB, 2005). Dari hasil SDKI (2002-2003)
diketahui banyak alasan yang dikemukakan oleh wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi adalah
karena alasan fertilitas. Selain alasan fertilitas, alasan lain yang banyak disebut adalah berkaitan dengan
alat/cara KB yaitu: masalah kesehatan, takut efek samping, alasan karena pasangannya menolak dan
alasan yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi yaitu biaya terlalu mahal.
Bidan yang mempunyai peranan penting sebagai pendamping disepanjang siklus kehidupan wanita sejak
periode perinatal, bayi, remaja, dewasa, kehamilan, persalinan, nifas dan menopause. Haruslah faham
serta mengerti terhadap berbagai perubahan yang dihadapi wanita demi menuju kehidupan yang sehat.
Pemerintah terus menekan laju pertambahan jumlah penduduk melalui program Keluarga Berencana
(KB). Sebab jika tidak meningkatkan peserta KB maka jumlah penduduk Indonesia akan mengalami
peningkatan, apabila kesetaraan ber KB, pertahun, angkanya tetap sama (60,3%) maka jumlah penduduk
Indonesia tahun 2015 menjadi sekitar 2555,5 juta (Sumarjati Arjoso, 2000). Terkait program KB nasional
menurut kepala BKKBN pusat ternyata cukup menggembirakan yaitu kesetaraan ber KB berdasarkan SDKI
2002, tercatat 61,4% dari Pasangan Usia Subur (PUS) yang ada naik menjadi 65,97% (Susenas, 2005).
Demikian juga angka kelahiran total dari 2,7 (SDKI 2005) turun menjadi 2,5 (Susenas, 2004). Sedangkan
laju pertambahan penduduk menunjukan angka penurunan dari 2,86% (Sarwono Prawirohardjo, 1990)
menjadi 1,17% (Sarwono Prawirohardjo, 2000) (http: //situs kespro-info/kb/aju/ 2006/kb 01 html).
Berdasarkan hasil SDKI jumlah penduduk Indonesia tahun 2000 mencapai 206,4 juta jiwa (102,8 juta
perempuan dan 103,4 juta laki-laki). Sedangkan untuk jumlah PUS sekitar 34 juta pasangan. Presentasi
KB aktif 60% (SDKI 2002-2003). Berdasarkan fakta utama KB, proporsi wanita PUS yang tidak ber KB
masih cukup besar (40%) dan alasan utama wanita pus tidak ber KB adalah tidak subur (17%), masalah
kesehatan (12%) dan takut efek samping (10%) (Sumber Advokasi KB, 2005). Jumlah peserta KB
berdasarkan SDKI 2002-2003 meliputi peserta KB Suntik 27,8%, PIL KB 13,2%, IUD 6,2% susuk KB 4,3%,
MOW 3,7% MOP 0,4% dan Kondom 0,9% dan metode amenore laktasi (MAL) 0,1%, dan sisanya
merupakan peserta KB tradisional yang masing-masing menggunakan cara pantang berkala 1,6%,
senggama terputus 1,5% dan cara lain 0,5%.
Jumlah WUS di Propinsi Lampung 1.868.903 orang. Hasil presurvey di BBKBN (2004) terdapat peserta KB
implant sebanyak 9.730 orang (4,81%), sedangkan KB aktif yang menggunakan KB lainnya sebanyak
188.282 orang (95,09%).
Berdasarkan data jumlah penduduk yang ada di Desa .............. Kecamatan ......... .......
Kabupaten ............ ........ sebanyak 1.003 KK. Sedangkan untuk jumlah PUS, sebanyak 810 orang. Yang
terbagi menjadi 5 dusun yaitu Dusun I sebanyak 180 PUS, 275 Wanita Usia Subur (WUS), Dusun II
sebanyak 152 PUS, 203 WUS, Dusun III sebanyak 160 PUS, 223 WUS, Dusun IV sebanyak 169 PUS, 269
WUS, Dusun V sebanyak 149 PUS, 194 WUS, jumlah akseptor KB di wilayah ini tahun 2006 adalah
akseptor KB PIL 156 orang (13,4%) Suntik 345 (29,6%) Implant 4 orang (0,3%), MOW 1 orang (0,08%) dan
MOP 4 orang (0,3%).
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi minat ibu terhadap pemakaian kontrasepsi implant
di desa .............. Kecamatan ......... ....... Kabupaten ............ ........ tahun 2006.
Pengembangan manusia seutuhnya sebagai hakikat pembangunan nasional dicapai dengan
berhasilnya salah satu sektor yakni pembangunan kesehatan dan juga dipengaruhi oleh
terkendalinya pertumbuhan penduduk. Sebagai generasi penerus yang akan melanjutkan
pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur, proses pertumbuhan
penduduk harus dipantau dan dikendalikan salah satunya dengan pengadaan program Keluarga
Berencana (KB). Program KB nasional bertujuan ganda yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan
ibu dan anak serta mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera melalui pengendalian kelahiran
dan pengendalian pertumbuhan penduduk. Dalam upaya menjunjung keberhasilan Program KB
Nasional yaitu tercapainya kondisi pertumbuhan penduduk seimbang.
Gerakan KB tahap kedua sekarang ini sedang berusaha meningkatkan mutu para pelaksana,
pengelola dan peserta KB disemua lini lapangan di pedesaan baik di kota maupun di desa. Begitu
juga dengan para akseptor KB diharapkan memiliki pengetahuan yang cukup tentang alat
kontrasepsi yang digunakannya (Hartanto, 2002). Tujuan Gerakan KB Nasional ialah
mewujudkan keluarga kecil bahagia sejahtera yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat
yang sejahtera melalaui pengendalian kelahiran dan pertumbuhan penduduk Indonesia. Sasaran
gerakan KB Nasional ialah :
1. Pasangan Usia Subur dengan prioritas PUS muda dengan paritas rendah
2. Generasi muda
3. Pelaksana dan pengelola KB
4. Sasaran wilayah
(Manuaba, 1998)

Dalam hal pelayanan kontrasepsi dalam Pelita V ini diambil kebijaksanaan sebagai berikut :
1. Perluasan jangkauan pelayanan kontrasepsi
2. Pembinaan mutu pelayanan kontrasepsi dan pengayoman medis
3. Perkembangan pelayanan kontrasepsi mandiri oleh masyarakat agar sesuai dengan standar
pelayanan baku
4. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kontrasepsi maupun
dalam mengelola pelayanan kontrasepsi.
(Winkjosastro, 1999)
menurut Hanafi Hartanto (2002) metode kontrasepsi yang ada antara lain : metode sederhana,
kondom, pil, suntik, implant,metode operatif wanita (MOW),metode operatif pria (MOP), dan
intra uterin device (IUD). Kontrasepsi suntikan yang baru merupakan senyawa ester berasal dari
NET atau Levanolgestrol, antara lain :
1. DMPA (Depot Medroxyprogesterone asetat) = depo provera
Dosisnya 150 mg diberikan sekali setiap 3 bulan
2. NET-EN (Norethindrone enanthate) = Noristerat
Diberikan dalam dosis 200 mg sekali setiap 8 minggu atau sekali setiap 8 minggu untuk 6 bulan
pertama kemudian selanjutnya sekali setiap 12 minggu.
3. Kontrasepsi Suntikan Setiap 1 bulan / Cycloprovera/Cyclofem
Kontrasepsi ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan kontrasepsi suntikan yang biasa
yaitu :
a. Menimbulkan perdarahan teratur setiap bulan
b. Kurang menimbulkan perdarahan –bercak atau perdarahan ireguler lainnya.
c. Kurang menimbulkan amenore
d. Efek samping lebih cepat menghilang setelah suntikan dihentikan.
Kontrasepsi ini juga memiliki kerugian, antara lain :
a. Penyuntikan lebih sering
b. Biaya keseluruhan lebih tinggi
c. Kemungkinan efek samping karena estrogennya
Data propinsi lampung sampai dengan bulan Desember 2003 Pasangan Usia Subur (PUS) yang
berhasil dibina menjadi peserta KB aktif sebanyak 937.841 (70,79%) dari total PUS sebanyak
1.324.747. Alat kontrasepsi yang digunakan dipropinsi Lampung adalah : obat Vaginal 53
(0,01%), kondom 2673 (0,29%),pil 337.816 (36,02%), suntikan 320.359 (34,16%), implant
124.834 (13,31%), MOW 14.528 (1,55%), MOP 12.380 (1,32%), IUD 125.198 (13,35%).
Sedangkan untuk tingkat kabupaten Lampung Tengah PUS yang berhasil dibina menjadi peserta
KB aktif sebanyak 149.727. Alat kontrasepsi yang digunakan di kabupaten Lampung Tengah
adalah obat Vaginal 28 (0,02%), kondom 473 (0,32%), pil 49.222 (32,87%) suntikan 46.616
(31,13%), implant 17.551 (11,72%), MOW 2437 (1,63%), MOP 2856 (1,91%), IUD 30.544
(20,40%)
Kemudian untuk tingkat kecamatan Rumbia PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif
sebanyak 6765. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (%), pil
2571 (38,0%), suntik 728 (10,76%), implant 851 (12,57 %), MOW 251 (3,71%), MOP 90
(1,33%), IUD 2274 (33, 61%).
Kemudian untuk tingkat desa Rukti Basuki PUS yang berhasil dibina menjadi peserta KB aktif
sebanyak 827. Alat kontrasepsi yang digunakan adalah obat vaginal 0 (0%), kondom 0 (0%), pil
250 (30,23%), suntik 252 (30,47%), implant 75 (9,06%), MOW 25 (3,03%), MOP 10 (1,21%),
IUD 215 (25,99%).
Dari data-data diatas terlihat bahwa kontrasepsi suntik untuk propinsi Lampung mandapat urutan
kedua (34,16%), kabupaten Lampung Tengah mendapat urutan kedua (31,13%), Kecamatan
Rumbia mendapat urutan keempat (10,76%) dan desa Rukti Basuki mendapat urutan pertama
(30,47%).
Berdasarkan pra survey di BKBN dan di Puskesmas Rumbia, penulis mendapatkan data tentang
KB Tahun 2003.
Tabel 1. Data KB di Kecamatan Rumbia Tahun 2003
Pasangan Usia Subur
Jumlah PUS Jumlah PUS Mnrt Umur Istri Jumlah Peserta KB Jumlah PUS Bukan Peserta KB
Menurut Jalur Pelayanan Hamil Tidak Hamil
<20> 30 th Pemerin-tah (Puskes-mas) Swasta Jumlah Ingin Anak Tidak Ingin Anak
9687 196 3814 5677 4043 2720 6763 204 821 1899
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia,tahun 2003
Tabel 2. Data Pembinaan Kesertaan BerKB Berdasarkan Jenis KB di Kecamatan Rumbia Tahun
2004
No Jenis KB Jumlah %
1 IUD 2.274 33,61%
2 MOP 90 1,33%
3 MOW 251 3,71%
4 Implant 851 12,57%
5 Suntik 728 10,76%
6 Pil 2.571 38%
7 Kondom - -
8 Obat Vaginal - -
Jumlah 6765 100%
Sumber : BKKBN Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004.
Tabel 3. Data Akseptor KB Suntik berdasarkan jenis obat
No Jenis Obat Jumlah %
1 Cyclofem - -
2 Noristerat - -
3 Depo Provera 48 100
Jumlah 48 100%
Sumber : BKKBN Desa Rukti Basuki Kecamatan Rumbia bulan Maret 2004
http://mypondokiklan.blogspot.com/2010/09/gambaran-faktor-faktor-yang_19.html
Paradigma baru program Keluarga Berencana Nasional telah diubah visinya dari mewujudkan

NKKBS (Norma Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera) menjadi “Keluarga Berkualitas Tahun

2015”. Dan misinya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas sejak

peranannya dalam kandungan sampai dengan usia lanjut (Saifuddin, 2003). Program baru dari

keluarga berencana nasional adalah untuk mewujudkan keluarga berkualitas tahun 2015.

Keluarga yang berkualitas adalah keluarga yang sejahtera dan keluarga berencana nasional pada

paradigma baru adalah menekankan pentingnya upaya menghormati hak-hak reproduksi sebagai

integral dalam meningkatkan kualitas keluarga. Keluarga adalah salah satu dan lima matra

kependudukan yang sangat mempengaruhi terwujudnya penduduk yang berkualitas (Hanifa,

2007).

Sudah lebih dari tiga dasa warsa, program KB telah berjalan dan dilaksanakan dengan

baik. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari menurunnya angka fertilitas yang semula 5,6 per

wanita pada tahun 1980 menjadi 2,6 anak wanita usia subur. Hal ini menunjukkan bahwa

program KB telah diterima dan membudaya di masyarakat. Pencapaian program KB dari waktu

ke waktu terus meningkat, pada tahun 1997 yaitu 56,4% dan sangat meningkat menjadi 60,3%

pada tahun 2003. Dari pencapaian tersebut, masyarakat lebih memilih alat kontrasepsi yang

sifatnya praktis dan efektifitas tinggi seperti pil dan suntik (BKKBN, 2007).
Pemerintah Indonesia mulai menerima gagasan KB (Keluarga berencana) sejak tahun

1970 dengan membentuk badan koordinator KB Nasional yang pada dasarnya langsung di bawah

presiden, sehingga lebih mantap dalam pelaksanaannya, perkembangan menunjukkan bahwa

Indonesia dianggap telah berhasil melaksanakan gerakan Nasionalnya dengan mengikutsertakan

semua komponen bangsa (Manuaba, 2008). Yang paling meningkat pada penggunaan alat

kontrasepsi adalah injeksi atau suntik (Ilyas, 2007).

Dari data Dinkes Provinsi NAD Tahun 2009 disebutkan bahwa PUS ada 623.148

pasangan, yang mengikuti program KB sebagai peserta KB baru adalah 74.982 pasangan

(12.03%) dengan pemakaian IUD 956 jiwa (1.20%). Metode Operasi Pria (MOP) atau Metode

Operasi Wanita (MOW) 303 jiwa (0.38%), Implant 1.275 jiwa (1.59%), Suntik 42.295 jiwa

(52.88%), pil 32.036 jiwa (40.05%), kondom 2.996 jiwa (3.75%), Obat vagina 29 jiwa (0.04%),

dan lain-lain 4,52 jiwa (0.12%). Sedangkan yang mengikuti program KB sebagai peserta KB

aktif adalah sebesar 328.447 pasangan (52.71%) dengan pemakaian IUD 5.632 jiwa (1.51%),

Metode Operasi Pria (MOP)/Metode Operasi Wanita (MOW) 3.950 jiwa (1.06%), Implant 5.726

jiwa (1.54%), Suntik 177.510 jiwa (47.73%), Pil 171.635 jiwa (46.15%), Kondom 9.126 jiwa

(2.45%), Obat vagina 39 jiwa (0.01%) dan lain-lain 86 jiwa (0%) (Dinkes NAD 2009).

Data dari Dinkes Kabupaten Aceh Besar tahun 2009 disebutkan bahwa PUS ada

28.860 pasangan, yang mengikuti program KB sebagai peserta KB baru adalah 6.521 pasangan

(22.60%), dengan pemakaian IUD 21 jiwa (0.32%), Metode Operasi Wanita (MOW) 15 jiwa

(0.23%), implant 32 jiwa (0.49%), suntik 2.943 jiwa (44.99%), PIL 3.399 jiwa (52.12%),

kondom 120 jiwa (1.84%). Sedangkan yang mengikuti program KB sebagai peserta KB aktif

adalah 14.858 pasangan (51.48%) dengan pemakaian IUD 397 jiwa (2.67%), Metode Operasi

Wanita (MOW) 978 jiwa (6.58%), implant 726 jiwa (4.89%), suntik 7.151 jiwa (48.13%), PIL

4.642 jiwa (31.24%), kondom 964 jiwa (6.49%) (Dinkes Kabupaten/Kota 2009).
Data yang diperoleh dari Puskesmas Darul Imarah tahun 2009 jumlah PUS (Pasangan

Usia Subur) seluruhnya 838 orang, akseptor KB lama seluruhnya 659 orang, yang terbagi dalam

akseptor yang menggunakan pil 393 orang, suntik 320 orang, yang IUD 1 orang, implant 1 orang

dan kondom 44 orang. Sedangkan akseptor KB baru seluruhnya 179 orang, yang terbagi dalam

akseptor yang menggunakan pil 58 orang, akseptor yang menggunakan suntik 88 orang, yang

menggunakan IUD 2 Orang, Implant 1 orang dan kondom sebanyak 30 orang. Hal ini

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang besar antara akseptor KB yang menggunakan

kontrasepsi pil, suntik, IUD dan implant. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

besar antara akseptor KB yang menggunakan kontrasepsi pil, suntik, IUD dan implant

(Puskesmas Darul Imarah, 2009).

Faktor yang sangat menentukan dalam pola pengambilan keputusan dan menerima

informasi dalam hal pemakaian kontrasepsi adalah pendidikan, seseorang yang berpendidikan

rendah dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan jenis kontrasepsi yang secara tidak langsung

akan mempengaruhi kelangsungan pemakaiannya (Ilyas, 2007).

http://kekenstyle-keken.blogspot.com/2011/02/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-ibu.html

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan antara umur ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntikan di desa ?
2. Apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi
suntikan di desa?
3. Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi
suntikan di desa?
4. Apakah ada hubungan antara tingkat pendapatan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi
suntikan di desa

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan berhubungan penggunaan alat koontrasepsi
suntikan di desa.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya hubungan umur ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntikan di desa
Sibowi.
b. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntikan
di desa.
c. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan penggunaan alat kontrasepsi suntikan
di desa.

D. Manfaat Penelitian
1. Untuk Desa /BKKBN/Dinas Kesehatan
Memberikan gambaran tentang hal-hal yang behubungan dengan penggunaan alat kontrasepsi
terutama alat kontrasepsi suntikan.
2. Untuk peneliti lainnya yaitu sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya.
3. Untuk penulis yaitu merupakan pengalaman yang nyata serta dialami oleh penulis dalam
melakukan penelitian sederhana.

E. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan di desa pada bulan Juli.

Sumber Skripsipedia.com: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat


Kontrasepsi Suntikan di Desa http://www.skripsipedia.com/2012/10/faktor-faktor-yang-
berhubungan-dengan-penggunaan-alat-kontrasepsi-suntikan-di-desa.html#ixzz2IHkjgV8s
kti skripsi kesehatan hanya di http://www.skripsipedia.com/
Follow us: @skripsipedia on Twitter | skripsipedia on Facebook

Anda mungkin juga menyukai