Anda di halaman 1dari 6

Upaya Pemerintah Dalam Menurunkan Angka Kematian dan Kesakitan Bayi Dan Angka

Kematian dan Kesakitan Ibu

Meskipun kebijakan pembangunan kesehatan telah diarahkan dan diprioritaskan pada


upaya pelayanan kesehatan dasar, yang lebih menitik beratkan pada upaya pencegahan dan
penyuluhan kesehatan, akan tetapi persepsi masyarakat cenderung masih tetap berorientasi
pada upaya penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Peraturan Pemerintah Rl,
2005). Sedang upaya mentngkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menciptakan pola
hidup sehat (Paradigma Sehat) sulit dicapai, karena tidak ditunjang oleh faktor
sosialekonomi, tingkat pendidikan dan budaya masyarakat (Sumaryadi Nyoman, 2005).
Sedang sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai antara lain meningkatnya secara
bermakna umur harapan hidup, menurunnya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka
Kematian lbu (AKI), menurunnya angka kesakitan beberapa penyakit penting, menurunnya
angka kecacatan dan ketergantungan, meningkatnya status gizi masyarakat, dan menurunnya
angka fertilitas (Departemen Kesehatan, 1999) Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa daerah diberikan keleluasaan dalam
merencanakan, mengelola anggaran , dan menerbitkan serta melaksanakan kebijakan dengan
pedoman sebagaimana yang diatur dalam Undang-U ndang yang mendukungnya, juga
memberikan diskresi yang luas kepada daerah untuk menentukan jumlah dan membentuk
organisasi dan perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masingmasing
(Sumaryadi Nyoman, 2005). Selanjutnya dengan adanya Undang-Undang tersebut
diharapkan beberapa program kesehatan yang didaerahkan lebih mempunyai inovasi yaitu
dalam menurunkan AKI dan AKB serta tercapainya umur harapan hidup dan terpenuhi gizi
masyarakat, yang pada tahun 1997 telah diprakasai adanya proyek Mothercare (Azwar A,
2002).
Sejak berakhirnya MDGs pada 2015 dan berlakunya SDGs, upaya penurunan AKI
masih menjadi perhatian khusus di dunia. Salah satu perubahan mendasar yang dibawa oleh
SDGs adalah prinsip “tidak ada seorang pun yang ditinggalkan”. Artinya cakupan target dan
pelayanan dalam era SDGs lebih menyeluruh (100%) bila dibandingkan saat era MDGs yang
hanya setengahnya (50%). Mengingat banyaknya aspek yang ada dalam SDGs dan informasi
yang terlalu sedikit terkait SDGs di Indonesia, maka dibuatlah buku “Panduan SDGs untuk
Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku Kepentingan Daerah”. Buku
panduan ini menyajikan penjelasan mengenai SDGs, peranan pemerintah daerah, pengalaman
dan pembelajaran dari pelaksanaan MDGs, serta upaya– upaya yang diperlukan untuk
memulai pelaksanaan SDGs untuk kurun 2015–2030.
Sistem desentralisasi yang berlaku di Indonesia membuat dua pertiga nasib dan
kualitas hidup warga sangat ditentukan oleh baik buruknya kinerja pemerintah daerah. Mulai
dari kebersihan lingkungan, seperti pengelolaan sampah, hingga kualitas sekolah dan
pelayanan kesehatan, semuanya tergantung pada tinggi rendahnya mutu pelayanan publik di
daerah.

Pentingnya peran pemerintah daerah bukan hanya berlaku di Indonesia saja,


melainkan juga di seuruh dunia. Dalam bukunya If Major Ruled The World (2013), Benjamin
Barber meletakkan harapan kepada para wali kota untuk mengatasi masalah–masalah besar
dunia (perubahan iklim, pencegahan terorisme, pengurangan kemiskinan, tata niaga
perdagangan obat). Menurutnya pemerintah daerah merupakan tenaga dan energi perubahan.
Menurut Barber, ada tiga alasan yang mendasari pemikiran tersebut: (i) kota merupakan
hunian bagi lebih dari separuh penduduk dan karenanya merupakan mesin penggerak
ekonomi; (ii) kota telah menjadi rumah pencetus dan inkubator berbagai inovasi sosial,
ekonomi dan budaya; dan (iii) para pemimpin kota dan pemerintah daerah tidak terbebani
dengan isu kedaulatan serta batas–batas bangsa yang menghalangi mereka untuk bekerja
sama.

Keberhasilan SDGs tidak dapat dilepaskan dari peranan penting pemerintah daerah.
Pasalnya pemerintah kota dan kabupaten berada lebih dekat dengan warganya, memiliki
wewenang dan dana, dapat melakukan berbagai inovasi, serta ujung tombak penyedia
layanan publik dan berbagai kebijakan serta program pemerintah.

Dari pengalaman era MDGs (2000–2015), Indonesia ternyata belum berhasil


menurunkan angka kematian ibu, akses kepada sanitasi dan air minum, dan penurunan
prevalansi AIDS dan HIV. Hal ini disebabkan karena pemerintah daerah tidak aktif terlibat di
dalam pelaksanaan MDGs. Juga karena pemerintah daerah kurang didukung. Salah satu
upaya untuk mendorong keberhasilan SDGs di daerah adalah melalui penyediaan informasi
yang cukup bagi pemerintah daerah.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : HK.02.02/Menkes/52/2015 ditetapkan


Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019, yang mengacu pada Visi, Misi,
dan Nawacita Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2015-2019. Pembangunan kesehatan Indonesia pada periode 2015-2019 adalah
meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan
pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan
pelayanan kesehatan. Sasaran pokok RPJMN 2015-2019 antara lain :
1. Meningkatkan status kesehatan dan gizi ibu dan anak
2. Meningkatkan pengendalian penyakit
3. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan rujukan terutama di
daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan
4. Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia Sehat
dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan
5. Memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin
6. Meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.

Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada 2025 adalah meningkatnya derajat
kesehatan masyarakat yang ditunjukkan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup,
menurunnya Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya
prevalensi gizi kurang pada balita. Tujuan Renstra Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-
2019, yaitu :

1. Meningkatkan status kesehatan masyarakat


2. Meningkatkan daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap
risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.

Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua siklus kehidupan, mulai dari
bayi, balita, anak usia sekolah, remaja, kelompok usia kerja, maternal, dan kelompok lansia.
Dalam peningkatan status kesehatan masyarakat, indikator yang akan dicapai adalah:

1. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010), 346
menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012)
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sedangkan dalam rangka meningkatkan daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan


masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan, maka ukuran yang akan
dicapai adalah:

1. Menurunnya beban rumah tangga untuk membiayai pelayanan kesehatan setelah


memiliki jaminan kesehatan, dari 37% menjadi 10%
2. Meningkatnya indeks responsiveness terhadap pelayanan kesehatan dari 6,80 menjadi
8,00.
Beberapa wilayah di Indonesia masih mengalami kendala dalam menurunkan AKI.
Jawa Barat masih tercatat sebagai daerah di Jawa dengan AKI tertinggi pada 2013. Jawa
Tengah masih mengalami fluktuasi AKI tiap tahunnya, namun sudah berhasil menurunkan
711 kasus kematian ibu pada tahun 2014 menjadi 115 pada tahun 2015. Selain Jawa Barat
dan Jawa Tengah, Surabaya juga turut mengalami masalah dalam upaya penurunan AKI ini.
Dengan bantuan pemerintah daerah yang dinilai cukup tanggap, banyak relawan digerakkan
untuk melakukan pendampingan kepada para ibu hamil di wilayah Surabaya.

Pada 2006, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, merupakan salah satu kabupaten
dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terburuk di Provinsi Sulawesi Selatan. Di
kabupaten ini, rasio kematian ibu masih sangat tinggi, yaitu sebesar 300 per 100.000
kelahiran hidup. Salah satu penyebab tingginya AKI diduga akibat proses persalinan
tradisional yang hanya ditolong oleh dukun bayi atau dukun beranak yang tidak terlatih.

Untuk memecahkan masalah ini, pemerintah kabupaten menginisiasi program


Kemitraan Bidan dan Dukun (KBD) pada tahun 2007. Program ini secara umum berupaya
mengalihfungsikan peranan dukun bayi atau dukun beranak (sanro) dalam persalinan
tradisional kepada perawatan bayi dan ibu pasca–melahirkan. Selain dilatih, mereka diajak
untuk mendorong setiap ibu melahirkan agar dapat ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih
seperti bidan. Setiap dukun bayi mendapatkan insentif Rp 50.000 manakala merujuk upaya
persalinan ini ke bidan desa.

Tiga tahun kemudian, program KBD diperkuat melalui payung hukum Peraturan
Daerah No.2/2010. Adanya jaminan hukum melalui peraturan daerah, secara perlahan ikut
mendorong bidan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Sementara itu, dukun tetap
tidak kehilangan pekerjaan, bahkan mendapatkan tambahan penghasilan. Sebagai hasilnya,
indikator–indikator seperti K1 (kunjungan antenatal trimester pertama) naik lima kali lipat,
dari 23 persen (2006) menjadi 105 persen (2012), K4 (kunjungan antenatal trimester
keempat) naik dari 25,37 persen (2006) menjadi 97 persen (2012) dan persalinan ditolong
tenaga kesehatan meningkat menjadi 96,4 persen pada tahun 2011. Upaya tersebut juga telah
membuat angka kematian ibu di Takalar menurun hingga 0 pada kurun waktu 2009 – 2010.
Pada tahun 2012, di Kabupaten Takalar tidak ditemui lagi insiden kematian ibu.

Dari berbagai contoh kasus di atas, terlihat bahwa peran pemerintah daerah sangat
menentukan keberhasilan dalam upaya penurunan AKI. Semakin responsif/ tanggap suatu
pemerintah daerah makan penurunan AKI akan semakin mudah dicapai. Tentunya hal ini
juga diperngaruhi dengan sistem informasi/ pencatatan kejadian kematian ibu yang baik,
sehingga dapat membantu pemerintah dalam menentukan langkah atau kebijakan yang sesuai
dengan masalah yang ada dan target penurunan AKI bisa tercapai.

Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan untuk mengatasi persoalan kesehatan anak
dan ibu, khususnya untuk menurunkan angka kematian anak dan ibu, diantaranya sebagai
berikut:
1. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan pemerintah pelayanan kesehatan
Untuk meningkatkan mutu pelayanan serta pemerintahan pelayanan kesehatan yang ada
di masyarakat telah di lakukan berbagai upaya, salah satunya adalah dengan meletakkan
dasar pelayanan kesehatan pada sektor pelayanan dasar. Pelayanan dasar dapat dilakukan di
perpustakaaan induk, perpustakaan pembantu,posyandu,serta unit-unit yang berkaitan di
masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut dilakukan ndalam rangka jangkauan pemerataan
pelayanan kesehatan. Upaya pemerataan tersebut dapat dilakukan dengan penyabaran bidan
desa, perawat komuniksi, fasilitas balai kesehatan, pos kesehatan, desa, dan puskesmas
keliling.

2. Meningkatkan status gizi masyarakat


Meningkatkan status gizi masyarakat merupakan merupakan bagian dari upaya untuk
mendorong terciptanya perbaikan status kesehatan. Dengan pemerintah gizi yang baik
diharapkan pertumbuhan dan perkembangan anak akan baik pula, disamping dapat
memperbaiki status kesehatan anak. Upaya tersebut dapat dilakukan malalui berbagai
kegiatan, diantaranya upaya perbaikan gizi keluarga atau dikenal dengan nama UPKG.
Kegiatan UPKG tersebut didorong dan diarahkan pada peningkatan status gizi, khususnya
pada masyarakat yang rawan atau memiliki resiko tinggi terhadap kematian atau kesakitan.
Kelompok resiko tinggi terdiri anak balita, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan lansia
yang golongan ekonominya rendah. Melalui upaya tersebut. Peningkatan kesehatan akan
tercakup pada semua lapisan masyarakat khususnya pada kelompok resiko tinggi.

3. Meningkatkan peran serta masyarakat


Peningkatan peran serta masyarakat dalam membantu status kesehatan ini penting,
sebab upaya pemerintah dalam rangka menurunkan kematian bayi dan anak tidak dapat
dilakukan hanya oleh pemerintah, melainkan peran serta masyarakat dengan keterlibatan atau
partisipasi secara langsung. Upaya masyarakat tersebut sangat menentukan keberhasilan
proram pemerintah sehingga mampu mangatasi berbagai masalah kesehatan. Melalui peran
serta masyarakat diharapkan mampu pula bersifat efektif dan efisien dalam pelayanan
kesehatan. Upaya atau program kesehatan antara lain pelayanan imunisasi, penyedian air
bersih, sanitasi lingkungan, perbaikan gizi dan lain-lain. Upaya tersebut akan memudahkan
pelaksanaan program kesehatan yang tepat pada sasaran yang ada.

4. Meningkatkan manajemen kesehatan


Upaya meningkatan program pelayanan keshatan anak dapat berjalan dan berhasil dengan
baik bila didukung dengan perbaikan dalam pengelolaan pelayanan kesahatan. Dalam hal ini
adalah meningkatan manajemen pelayanan malalui pendayagunaan tenaga kesehatan
profesional yang mampu secara langsung mengatasi masalah kesehatan anak. Tenaga
kesehatan yang dimaksud antara lain tenaga perawat, bidan, dokter yang berada
diperpustakaan yang secara langsung berperan dalam pemberian pelayanan kesehata

Anda mungkin juga menyukai