Anda di halaman 1dari 11

KEDUDUKAN WALI HAKIM

DALAM PERNIKAHAN ANTARA TEORI DAN REALITA


H.Ridwan

ABSTRAK
Kepala KUA Kecamatan adalah sosok yang paling bertanggung jawab
dalam masalah Nikah dan Rujuk. Beradasarkan KMA Nomor 30 tahun 2005
tentang wali Hakim, pasal 1 ayat (2) Menteri Agama RI menunjuk Kepala
KUA Kecamatan untuk menjadi wali hakim bagi mereka yang mempunyai
wali. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pasal 23 ayat (2)
menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bertindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada, atau tidak mungkin menghadirkanya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghoib dan atau adhal
(enggan). Bagaimana cara menetapkan wali nikah dengan wali hakim?,
Apakah cukup dengan pengakuan calon pengantin perempuan atau
keluarganya bahwa walinya tidak bisa hadir, gha ib atau enggan menikahkan.
Ternyata tidak cukup dengan pengakuan saja. Kepala KUA Kecamatan yang
notabene sebagai penghulu yang diberikan tugas tugas tambahan mereka
harus berhati-hati untuk menyelidiki kebernaran fakta yang
sesungguhnyabahwa seorang wali nasab tidak bisa melaksanakan
perwalianya. Maka seorang petugas ketika akan menetapkan nikah dengan
wali hakim harus berhati-hati dan penuh pertimbangan dari sisi hukum
Syari’iyah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, agar
pernikahan yang dilakukan sah dalam tataran agama dan tercatat menurut
undang-undang.Disamping itu untuk menghindari tuntutan dikemudian hari.
Diera saat ini berbagai cara masyarakat untuk mengelabuhi petugas dengan
berbagai upaya yang penting bisa nikah.

Kata Kunci ; Kepala KUA Kecamatan dan wali hakim.

Pendahuluan

Perkawinan adalah perjanjian sakral, oleh karena itu institusi perkawinan harus
dihormati, dilaksanakan dan dilestarikan oleh umat Islam sebagai bentuk
pengejawantahan rasa cinta umatnya terhadap sunnah Nabi Muhammad SAW.
Sebagai Institusi yang sakral, perkawinan dalam ajaran Islam sarat dengan aturan
aturan syariat yang sudah baku , yang terdiri dariu syarat-syarat dan rukun nikah yang
telah diajarkan oleh Rasulullah SAW , yang harus diikuti dan dipedimani oleh setiap
mengaku dirinya muslim.

Pada hakekatnya, masing-masing agama memiliki aturan-aturan tersendiri


dalam melegitimasi keabsahan sebuah perkawinan. Untuk umat Islam. Keabsahan
perkawinan harus ditinjau dari aspek hukum Islam. Sama halnya denga a agama lain,
seprti Katholik, Kresten, Hindu, Budha dan Kong Huchu. Hal ini sesuai dengan pasal 2
ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi,
Perkawian adalah sah apabula dilakukan menurut hukum masing-masing agamnya dan
kepercayaanya itu. (Alwi, t.t.)
Rumusan yang tertuang pada pasal 2 ayat (1) tersebut di atas memberikan
penjelasan bahwa keabsahan suatu perkawinan ditentukan oleh masing-masing
agama. Oleh karena itu , setiap warga negara Indonesia harus saling menghormati dan
menghargai isntitusi masing-masing agama tersebut. Dengan ketentuan bahwa bagi
yang beragama Islam harus tunduk kepada hukum Islam dan bagi warga negara yang
non muslim tunduk dengan ketentuan hukum yang dianutnya.
Agar suatu perkawinan memiliki kekuatan hukum maka perkawinan harus dicatat
menurut undang-undang yang berlaku di Indonesia. Pencatatan perkawinan bagi warga
negara yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan dan untuk
warga negara yang bergama lain dicatat di Kantor Catatan Sipil (KCS). Tanpa
pencatatan oleh fihak yang berwenang maka suatu perkawinan dianggap tidak
memiliki kekuatan hukum karena tidak mengikuti peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Ketentuan ini sesuai denga pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Pekawinan,” tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan peru dang-
undangan yang berlaku.”
Diawal makalah ini telah dijelaskan, bahwa perkawinan dalam Islam sudah
memiliki aturan-aturan yang baku.Dalam istilah fiqhiyah . disebut sebagai syarat dan
rukun nikah. Sebagai contoh salah satu rukun nikah adalam adanya Wali nikah. Tanpa
wali nikah, jelas tidak akan terjadi suatu pernikahan, sebab wali adalah orang yang
akan menikahkan (mengawinkan) mempelai perempuan kepada calon suami.
Ketentuan ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW dalam hadits dibawah ini;

‫اَل ِن اكا اح ِإ اَل ِب او ِلي‬


Artinya ; Dari Abu musa , bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda,” nikah tidak sah
apabila tanpa wali (HR. Imam Ahmad dan Imam empat).(Bulughul Maram Ibnu
Hajar Al Atsqolani || Malay || Australian Islamic Library, t.t.)
Hadits di atas memebrikan isyarat bahwa setiap perkawinan (pernikahan) dalam
Islam darus ada wali nikah. Dengan demikian dapat difahami bahwa kedudukan wali
nikah dalam perkawinan mutlak harus ada.
Dalam fiqh klasik maupun kontemporer terdapat kesamaan pandangan bahwa
dalam menentukan wali nikah mengklasifikasikan wali nikah menjadi dua yakni wali
nasab dan wali hakim. Ketika pernikahan dilaksanakan dengan wali nasab, jarang
menimbulkan masalah. Tetapi ketika nikah menggunakan wali hakim . kadang-kadang
menuai maslah . Oleh karena itu, para ahli fiqh ( pakar hukum Islam) berbeda
pandangan dalam menetapkan fatwa menikah dengan wali hakim.
Searah dengan permasalahan tersebut di atas, maka tulisan ini akan mencoba
menganalisis tentang “ Kedudukan wali Hakim Dalam Perkawinan antara Teori dan
Realisasinya”. Kehadiran tulisan ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan
para praktisi dibidang pernikahan termasuk para penghulu, peneliti dan akademisi
dalam pengembangan Pemikiran Hukum Islam di era kekinian.
Permasalahan
Agar pembahasan makalah ini tetap focus pada permasalahan, penulis mencoba
menawarkan dua masalah yang akan menjadi bahan acuan dan pertimbangan dalam
pengembangan pemikiran hukum Islam di era saat ini. Rumusan permasalahan
tersebut sebagai berikut;
1) Apa alasan dilaksanakan dengan wali hakim ?
2) Apakah ada kesesuaian antara teori dan realita dalam praktek pelaksanaan wali
hakim yang dilakukan oleh Petugas (Penghulu) selama ini?
Pembahasan
A. Pengertian Wali Hakim
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kedudukan wali hakim dalam
perkawinan antara teori dan realita , perlu diketahui terlebih dahulu pengertian wali
hakim. Agar lebih jelas, perlu kita ketahui terlebih dahulu arti kata perwalian.. Kata
Wali berasal dari bahasa Arab berasal kata Wali artinya
1. Wakil
2. Tuan/Kepala
3. Orang yang mengurus perkara seseorang
4. Penanggungjawab, Kepala , Pimpinan. (“Kamus kontemporer Arab-Indonesia /
penyusun, Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor | OPAC Perpustakaan Nasional RI.,”
t.t.)
Dan kata wali menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan menurut para
ahli bahasa. Arti kata Wali artinya;
1. Orang yg menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak
yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa: penjualan tanah itu tidak dapat
disahkan krn pemiliknya belum dewasa
2. orang yg menjadi penjamin dl pengurusan dan pengasuhan anak: yang menjadi
anak tersebut adalah pamannya karena anak itu tinggal bersama pamannya;
3. pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yg melakukan janji
nikah dng pengantin laki-laki): karena ayahnya telah meninggal
4. orang saleh (suci); penyebar agama: -Wali songo
5. kepala pemerintah dsb:
Dalam terminology Fiqh lainya para ahli fiqh memberikan pengertian wali
sebagai berikut ; “Tindakan orang dewasa yang cakap bertindak atas nama orang
laian yang tidak mampu mengurus segala kepentingan diri dan hartanya(“Jurjānī,
ʻAlī ibn Muḥammad, al-Sayyid al-Sharīf, 1340-1413 - Fihrist,” t.t.)
Sedangkan pengertian wali hakim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) diartikan sebagai “ pengasuh pengantin perempuan pada waktu akad nikah
yaitu orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki karena ayahnya
telah meninggal dunia “(“Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga / 2001,” t.t.)
Wali Hakim berdasarkan PMA Nomor 30 tahun 2005 Tentang wali hakim , pasal
1 ayat (2) Wali Hakim, adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang
ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon
mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.(“PMA 30 TAHUN 2005 TENTANG
WALI HAKIM.pdf - Kantor Urusan Agama,” t.t.)
Dalam pengertian lain wali hakim diartikan orang yang diangkat oleh pemerintah
atau biasa disebut dengan nama ahlul halla wal aqdi untuk menjadi qodi yang diberi
wewenang untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan (Departemen
Agama RI , 2000 hlm.61)
Rumusan PMA ini senada dengan bunyi ketentuan Hadits Rasulullah yang
menyatakan yang artinya “ Pengusan adalah wali bagi orang yang tidak punya wali”
Jadi Wali Hakim adalah orang yang ditunjuk atau ditetapkan (menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku) untuk bertindak sebagai wali dalam
perkawinan disebabkan wali nasabnya tidak ada atau menolak mengawinkan,
dengan kata lain orang-orang yang dapat bertindak sebagai wali hakim harus
berdasarkan undang-undang.
B. Alasan-alasan wali hakim
Dalam menetapkan suatu pernikahan wali hakim tidak serta merta
menentukan begitu saja tetapi melalui prosedur pemeriksaan tentang wali.
Sebagai bahan penulis untuk mengungkap hal tersebut di atas ada beberapa
referensi yang bisa dijadikan rujukan dalam tulisan ini. Seperti yang ditulis oleh
HSN Al Hamdani, dalam bukunya Risalah Nikah, bahwa jika wali tidak mau
menikahkan , dapat dilihat dari alasan syar’i atau tidak sya’i , perempuan
tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan belum dibatalkan, tetapi calon
suaminya orang kafir (non muslim)atau orang fasik (pemabuk, penjudi, dll) Jika
wali menolak untuk menikahkan anak gadisnya berdasarkan syar;i seperti itu,
maka wali wajib ditaati dan perwalianya tidak pindah kepada yang lain.(“Abu
Muhammad al-Hasan al-Hamdani - Wikiwand,” t.t.) Jika penyebabnya karena
alasan tersebut di atas , maka nikahnya dianggap tidak syah meskipun
dinikahkan dengan wali hakim. Sebab hal ini bersandar dengan Hadits
Rasulullah SAW,” Tidak sah nikah kecuali dengan wali”.
Tetapi ada kasus lain yang berbeda. Ada kalanya wali menolak
menikahkan dengan alasan tidak syar’I seperti calon sauaminya laki-laki yang
miskin, tidak sarjana, atau istilah fiqhiyahnya tidak tidak sekufu.
Jika walinya menolak menikahkan anaknya dengan alasan yang tidak
syar’I seperti ini, berarti walinnya Adhal . Jika walinya adhal, maka Syeh
Taqiuddin An Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa wali yang enggan
menikahkan anak perempuanya, hukumya haram (“Abu Muhammad al-Hasan al-
Hamdani - Wikiwand,” t.t.)
Pendapat ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang ada dalam
Kompilasi Hukm Islam (Fiqh Munakahat ala Indonesia), dalam pasal 23 ayat (2)
yang menyatakan bahwa seorang wali hakim baru bisa bentindak sebagai wali
nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkanya atau
tidak diketahui tempat tinggalnya atau walinya ghoib atau adhal (enggan).
(Departemen Agama RI, 2000.hlm.22).
Kemudian Imam Syafi’I memberikan fatwa tentang urutan wali, yaitu ayah,
kakek dari fihak ayah, saudara laki-laki kandung, saudara lai-laki seayah, anak
laki-laki dari saudara laki-laki, paman (saudara ayah), anak paman, dan
seterusnya, apabila wali yang disebutkan tidak ada , maka perwalianya beralih
ke tangan hakim.
Dalam masalah menetapkan nikah wali hakim ini, Imam Syafi’I
nampaknya terkesan sangat berhati-hati. Kehati-hatian beliau ini dilakukan
semata-mata untuk menegakkan syariat Islam agar terhindar dari kesalahan
dalam menetapkan hukum. Sebab jika terjadi kesalahan dalam menentukan wali
nikah , akibat hukumnya akan berdampak pada sah atau tidaknya suatu
perkawinan, yang juga berdampak pada status campurnya suami istri dan status
anak yang dihasilkan dari perkawinannya itu. .(Mughniyah, 2000.hlm.349).
Berbeda dengan Imam Malik, beliau berpendapat bahwa, apabila tidak
ada wali yang dekat , maka haki berhak mengawinkan anak laki-laki dan
perempuan kecil, orang gila laki-laki dan perempuan dengan orang sekufu, serta
mengawinkan wanita dewasa dan waras dengan izin mereka.(“Fiqih Lima
Mazhab by Muhammad Jawad Mughniyah,” t.t.)
Disamping alasan tersebut di atas. Dalam Buku Pedoman Pegawai
Pencatat Nikah, dijelaskan bahwa alasan wali hakim, salah satunya karena wali
berada ditempat yang jaraknya sejauh Masafatul Qasri (sejauh perjalanan yang
membolehkan shalat qashar 92,5. (Departemen Agama RI, 2000 .hlm.34)
Menurut hemat penulis alasan masafatul qashri ini, perlu dikaji kembali.
Analisanya begini. Apakah ada hubungan wali nikah dengan Shalat Qoshar?
Ternyata tidak ada hubungan. Disisi lain, ranah bahasa fiqhnya berbeda. Yang
satu ranah fiqh ibadah mahdhah dan lainya ranah fiqh munakahat. Disamping
itu, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era saat ini menjadi
niscaya. Jarak yang jauh tidah bisa dijadikan patokan, karena jarak tersebut
dapat dijangkau dalam yang relative singkat. Contoh jarak tempuh Palembang -
Jakarta , dapat dijangkau + 45 menit. Jadi jarak (masafah) tersebut adalah
relative.
Dengan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih
dan modern maka setidaknya harus membuka mata bagi para penghulu sebagai
bahan ibrah . Baru-baru ini pernah kita saksikan di media televise dan media
cetak, suatu prosesi akad nikah yang dilakukan antara pengantin laki-laki dan
perempuan dengan menggunakan LCD layar lebar semacam teleconference.
Wali dan saksi berada ditempat, pengantin perempuan berada di Indonesia ,
sedangkan calon pengantin laki-laki berada di USA. Dengan demikian, alasan
jarak tersebut di atas sudah tidak relevan lagi dalam era kekinian.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh klasik
maupun kontemporer di atas, apabila diambil benang merahnya, pada intinya
alasan nikah wali hakim sebagai berikut ;
1. Tidak mempunyai wali nasab sama sekali (Wali terputus), atau
2. Walinya mafqud artinya walinya tidak diketahui rimbanya, atau
3. Wali sendiri yang akan menjadi pengantin laki-laki, sedang wali sedrajat
dengan dia tidak ada; atau
4. Wali berada di tempat yang jaraknya sejauh masafatul qashri (sejauh
perjalanan yang membolehkan seseorang melakukan shalat qashar)
yaitu 92,5 km; atau
5. Wali dalam penjara/tahanan yang tidak boleh dijumpai; atau
6. Walinya Adal, artinya tidak bersedia /menolak untuk menikahkan; atau
7. Walinya sedang melakukan haji atau umrah.
C. Prosedur Pelaksanaan wali hakim
Sebagai seorang yang pernah bertugas dan berpengalaman di bidang
kepenghuluan, penulis yang saat ini berprofesi sebagai Widyiswara di Balai Diklat
Keagamaan Palembang, bukan berarti menggurui dan memberikan justifikasi
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh seorang petugas(Penghulu). Tetapi
tulisan ini sebagai sarana untuk sharing pendapat dan tukar fikiran serta
pengalaman penulis selama berkecimpung sebagai Kasubsi Kepenghuluan, Kepala
KUA Kecamatan Seberang Ulu.I, Kepala KUA Kecamatan Ilir Timur.II dan Kepala
KUA Kecamata Bukit Kecil yang notabene juga seorang Penghulu.
Menurut hemat penulis , dalam menyelesaikan wali hakim, para petugas
(penghulu) perlu berhati-hati. Karena kehati-hatian dalam menyelesaikan masalah
merupakan salah satu kunci untuk meminimalisir akibat dari suatui problem, agar
tidak berdampak merugikan pihak-pihak lain.
Ketika calon pengantin perempuan tidak mempunyai wali nikah, penulis
melakukan Standar Oprasional Prosedur (SOP) dengan langkah-langkah sebagai
berikut ;
Pertama, Calon pengantin setelah memenuhi persyaratan cesara syar’I dan
adminstrasi (tidak ada halangan nikah dan persyaratan N1,N2.N3 dan N4, N5 kalau
Kurang Umur, N6 ditinggal mati suami/istri, TNI/Polri izin atasan dan Akte cerai
(cerai Hidup) kemudian didaftarkan dan selanjutnya calon pengantin perempuan
untuk membuat surat permohonan wali hakim ditujukan ke Kepala KUA Kecamatan
untuk dinkahkan dengan Wali Hakim
Kedua, memanggil dan memeriksa calon pengantin perempuan, ibu
kandungnya atau orang terdekat yang ada hubungan keluarga dengan calon
pengantin perempuan (mungkin ibu angkat, bapak angkat atau tetangga) yang bisa
memberikan keterangan dan penjelasan terkait dengan susunan urutan perwalian.
Setelah mendapatkan keterangan dan penjelasan yang lengkap dari semua saksi-
saksi yang dapat memperkuat verbal tersebut , selanjutnya data tersebut
dimasukkan dalam berita acara pemeriksaan Wali Hakim , kemudian yang
bersangkutan diminta untuk membubuhkan tanda tangan pada berita acara
tersebut.
Sebagai pengalaman penulis , hampir tekecoh mengapa? Kerena ternyata
pengantin calon perempuan sangat pandai dalam bersandiwara dan mengemas
kata-kata yang menyentuh hati hingga penulis terbawa rayuan dan bujukannya.
Namun sebagai seorang petugas harus jeli dan waspada, seperti Calon pengantin
perempuan dan saksi mengecoh dan mengelabuhi petugas, dengan menjelaskan
bahwa walinya jauh di kota lain dan sulit untuk dihubungi. Maka petugas
(Penghulu) harus gigih untuk memburu keterangan yang benar. Secara tidak sadar
terkadang terucap dan akhirnya memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal ini
dilakukan karena malu untuk mengungkapkanya kepada Petugas (Pengulu)
karena kedua orang tuanya sudah lama cerai. Setelah digali dengan sabar,
akhirnya pengakuan terungkap. Ternyata walinya ada tidak jauh dari calon
pengantin perempuan dan bisa dihubungi kemudian pernikahan dilaksanakan
dengan wali nasab (berwakil kepada Pamannya) Kasus ini berbeda dengan kasus
wali yang terputus, walinya beda agama, atau tidak diketahui rimbanya, termasuk
walinya sedang melakukan ibadah haji dan umrah.
Setelah diketahui secara pasti bahwa calon pengantin perempuan tidak
mempunyai wali yang berhak, kemudian baru mengambil langkah yang
selanjutnya.
Ketiga, dengan mempersilahkan calon pengantin perempuan membuat surat
pernyataan dihadapan kedua orang saksi dan diteketahui pejabat setempat (ketua
RT dan Lurah) berdasarkan hasil verbal yang sudah ada. Hal ini dilakukan untuk
memperkuat verbal itu sendiri. Apabila dikemudian hari timbul permasalahan yang
tidak diinginkan, surat pernyataan akan berfungsi sebagai bahan pertimbangan
dalam menyelesaikan masalah.
Apabila langkah pertama sampai dengan ketiga selesai, kemudian dari hasil
pemeriksaan secara seksama menyimpulkan bahwa syarat dan rukun nikah telah
terpenuhi, berkas administrasi telah lengkap sesuai dengan peraturan yang
berlaku , maka langkah selanjutnya mengumumkan pembertahuan kehendak
nikah ( Selama 10 kerja). Kemudian setelah diumumkan dan tidak ada pihak-pihak
yang mencegah pernikahan tersebut, maka baru bisa dilaksanakan pernikahanya.
Langkah-langkah penyelesaian masalah seperti yang diuraikan di atas,
berbeda dengan masalah wali adhal. Untuk menyelesaikan kasus wali adhal,
disamping petugas (penghulu) melakukan langkah-langkah yang tersebut di atas,
setelah diperiksa ternyata memang benar orang tuanya enggan menikahkan
(adhalnya wali), maka langkah selanjutnya Petugas (Kepala KUA sebagai
penghulu) Kecamatan yang mewilayahi membuat surat pemberihuan adanya
kekurangan syarat (N.8) dan apabila catin perempuan dan laki-laki tidak bisa
memenuhi persyaratan tersebut maka Kepala KUA Kecamatan memberikan
penolakan (N.9). Kemudian selanjutnya catin laki-laki dan perempuan mengadu ke
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya untuk mohon penetapan
wali hakim adhal. Apabila sudah ada ketetapan hukum yang sah, dan telah
memenuhi persyaratan dan rukun nikah serta lengkap administrasinya, baru
Penghulu dapat melaksanakan akad nikah dan pencatatannya.
Mohon maaf terkadang di lapangan tekadang masih ada petugas (penghulu)
yang mengabaikan prinsip kehati-hatian seperti ini. Tanpa mempertimbangkan
manfaat dan madharatnya. Apalagi kalau petugas (penghulu) tergiur dengan iming-
iming financial dan lain sebagainya.Yang penting: Nikah. Seperti kasus nikah wali
hakim dengan alasan walinya jauh. Apabila ada seorang cati perempuan
memberikan walinya jauh atau enggan, seyogianya seorang petugas (penghulu)
jangan mudah percaya. Perlu pemeriksaan lebih teliti, siapa tahu orang tunya
masih ada. Atau, jika masih mumungkinkan , perlu dicarikan solusi lain untuk
menyelesaikanya. Salah satunya dengan cara wali berwakil, bukan dengan wali
hakim. Karena nikah dengan wali hakim alasan walinya jauh, dikemudian hari dapat
dituntut oleh orang tuanya (walinya). Jika ada tuntutan dari walinya, nikahnya dapat
dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
yang berbunyi : “ Perkawinan dapat dibatalkan , apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perwakawinan.(Alwi, t.t.)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, nikah wali hakim adalah
merupak solusi terakhir ketika wali nikah terputus, berbeda agama, tidak diketahui
rimbanya , walinya ada dipenjara yang tidak mungkin ditemui, walinya sedang
melakukan haji dan umrah dan Adhanya wali.

D. Penutup
Pernikahan adalah suatu peristiwa yang suci dan sakral, oleh karena itu
pernikahan dalam Islam merupakan cara untuk mengesahkan hubungan suami istri
yang akan hidup berumah tangga. Dalam fiqh munakahad seseorang yang akan
nikah harus memenuhi syarat dan rukunnya, termasuk di dalamnya pernikahan wali
hakim. Pernikahan wali hakim ada 2 (dua) pertama wali hakim adhal dan kedua
wali hakim lain adhal. Pernikahan wali hakim adhal merupakan pernikahan yang
walinya enggan menikahkan oleh karena itu kepala KUA sebagai wali hakim bisa
melaksanakan setelah ada keputusan dari Pengadilan Agama. Sedangkan
pernikahan wali hakim adhal yang menentukan adalah Penghulu/Kepala KUA oleh
karena itu harus cermat dan berhati-hati dalam menentukannya. Tetapi apabila
terjadi kesalahan dalam menetapkan maka akan berakibat fatal sehingga
pernikahannya tidak sah.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Muhammad al-Hasan al-Hamdani - Wikiwand. (t.t.). Diambil 14 November 2018,


dari http://www.wikiwand.com/en/Abu_Muhammad_al-Hasan_al-Hamdani
Alwi, M. (t.t.). Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 | m-alwi.com. Diambil 12
November 2018, dari http://m-alwi.com/undang-undang-perkawinan-no-1-tahun-
1974.html, http://m-alwi.com/
Bulughul Maram Ibnu Hajar Al Atsqolani || Malay || Australian Islamic Library. (t.t.).
Diambil dari http://archive.org/details/BulughulMaramIbnuHajarAlAtsqolani

Fiqih Lima Mazhab by Muhammad Jawad Mughniyah. (t.t.). Diambil 14 November


2018, dari https://www.goodreads.com/book/show/2394023.Fiqih_

Lima_MazhabJurjānī, ʻAlī ibn Muḥammad, al-Sayyid al-Sharīf, 1340-1413 - Fihrist. (t.t.).


Diambil 14 November 2018
darihttps://www.fihrist.org.uk/catalog/person_19930855

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga / 2001. (t.t.). Diambil 9 November 2018,
darihttps://perpustakaan.bapeten.go.id/opac//index.php?p=show_detail&id=5667
Kamus kontemporer Arab-Indonesia / penyusun, Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor |
OPAC Perpustakaan Nasional RI. (t.t.). Diambil 14 November 2018, dari
http://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=74385

PMA 30 TAHUN 2005 TENTANG WALI HAKIM.pdf - Kantor Urusan Agama. (t.t.).
Diambil 14 November 2018, dari
http://kuakecamatan.blogspot.com/2013/04/pma-30-tahun-2005-tentang-wali-
hakimpdf.html

Anda mungkin juga menyukai