Anda di halaman 1dari 18

Makalah Keperawatan Anak

Asuhan Keperawatan Anak Autisme

Disusun Oleh : Kelompok 7

1. Adela Sari
2. Nidya Okdwiana
3. Nyimas Maryama
4. Putri Sri Utami

Dosen : Ns. Luci Fransisca, S.Kep., M.Kep.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBNG
JURUSAN DIV KEPERAWATAN
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kata autis berasal dari bahasa Yunani "auto" berarti sendiri yang ditujukan
pada seseorang yang menunjukkan gejala "hidup dalam dunianya sendiri". Pada
umumnya penyandang autisma mengacuhkan suara, penglihatan ataupun kejadian
yang melibatkan mereka. Jika ada reaksi biasanya reaksi ini tidak sesuai dengan
situasi atau malahan tidak ada reaksi sama sekali. Mereka menghindari atau tidak
berespon terhadap kontak sosial (pandangan mata, sentuhan kasih sayang,
bermain dengan anak lain dan sebagainya).
Pemakaian istilah autis kepada penyandang diperkenalkan pertama kali
oleh Leo Kanner, seorang psikiater dari Harvard (Kanner, Austistic Disturbance of
Affective Contact) pada tahun 1943 berdasarkan pengamatan terhadap 11
penyandang yang menunjukkan gejala kesulitan berhubungan dengan orang lain,
mengisolasi diri, perilaku yang tidak biasa dan cara berkomunikasi yang aneh.
Autis dapat terjadi pada semua kelompok masyarakat kaya miskin, di desa dikota,
berpendidikan maupun tidak serta pada semua kelompok etnis dan budaya di
dunia. Sekalipun demikian anak-anak di negara maju pada umumnya memiliki
kesempatan terdiagnosis lebih awal sehingga memungkinkan tatalaksana yang
lebih dini dengan hasil yang lebih baik.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah ini sebagai berikut:
1) Apa konsep medis autisme pada anak?
2) Bagaimana asuhan keperawatan autisme pada anak?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini agar mahasiswa mampu untuk:
1) Konsep medis autisme anak.
2) Asuhan keperawatan autisme anak.

BAB II
TINJUAN TEORITIS
2.1. Pengertian
Secara harfiah autisme berasal dari kata autos ( diri ) sedangkan isme
( paham/aliran ). Autisme secara etimologi adalah anak yang memiliki gangguan
perkembangan dalam dunianya sendiri. Beberapa pengartian autis menurut para
ahli adalah sebagai berikut:
a. Autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak,
mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri. (Leo kanker handojo,
2003 )
b. Autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang
mengalami kondisi menutup diri. Dimana gangguan ini mengakibatkan
anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan
perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak
Austistik”. ( American Psychiatic Association 2000 )
c. Autisme adalah adanya gangguan dalam bidang Interaksi sosial,
komunikasi, perilaku, emosi, dan pola bermain, gangguan sensoris dan
perkembangan terlambat atau tidak normal. Autisme mulai tampak sejak
lahir atau saat masi bayi ( biasanya sebulum usia 3 tahun ). “Sumber dari
Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)

2.2. Etiologi
Penyebab Autisme diantaranya :
a) Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot)
terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan
kemampuan bicara).
b) Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
c) Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
d) Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum,
keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan
perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus
otak depan.
e) Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan
gangguan sensori serta kejang epilepsi.
f) Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak

Gambaran Autisme pada masa perkembangan anak dipengaruhi oleh


Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak
berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata,
memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan
rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi
dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak.
Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang
abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada
suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka
yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi
telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung
menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan
kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu
lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat
menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika
mengeksplorais lingkungannya.

2.3. Faktor Risiko


Autisme mempengaruhi anak-anak dari semua ras dan bangsa, tetapi
faktor tertentu meningkatkan risiko. Antara lain:
a) Anak laki-laki tiga atau empat kali lebih mungkin terkena autisme

daripada anak perempuan.


b) Keluarga yang memiliki satu anak dengan autisme mengalami peningkatan
risiko memiliki anak lain dengan gangguan ini.
c) Anak dengan kondisi medis tertentu memiliki risiko lebih tinggi
mengalami autisme. Kondisi tersebut antara lain fragile X syndrome,
faktor keturunan yang menyebabkan masalah kecerdasan, tuberous
sclerosis, kondisi dimana tumor jinak terjadi di otak, gangguan
neurological Tourette syndrome dan epilepsi yang menyebabkan kejang.
d) Memiliki anak pada usia tua meningkatkan risiko memiliki anak dengan
autisme.
2.4. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu (korteks).
Akson dibungkus selaput bernama mielin, terletak di bagian otak berwarna putih.
Sel saraf berhubungan satu sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Pada
trimester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun.
Setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa
bertambah dan berkurangnya struktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini
dipengaruhi secara genetik melalui sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain
growth factors dan proses belajar anak.
Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas. Pembentukan akson,
dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada stimulasi dari lingkungan. Bagian otak
yang digunakan dalam belajar menunjukkan pertambahan akson, dendrit, dan
sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan menunjukkan kematian sel,
berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat
dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut. Sehingga
akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Pada pemeriksaan darah bayi-bayi yang baru lahir, diketahui pertumbuhan
abnormal pada penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan
neuropeptida otak (brain-derived neurotrophic factor, neurotrophin-4, vasoactive
intestinal peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak
yang bertanggung jawab untuk mengatur penambahan sel saraf, migrasi,
diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Brain growth
factors ini penting bagi pertumbuhan otak.
Pertumbuhan abnormal bagian otak tertentu menekan pertumbuhan sel
saraf lain. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel Purkinye (sel
saraf tempat keluar hasil pemrosesan indera dan impuls saraf) di otak kecil pada
autisme. Berkurangnya sel Purkinye diduga merangsang pertumbuhan akson, glia
(jaringan penunjang pada sistem saraf pusat), dan mielin sehingga terjadi
pertumbuhan otak secara abnormal atau sebaliknya, pertumbuhan akson secara
abnormal mematikan sel Purkinye. Gangguan pada sel Purkinye dapat terjadi
secara primer atau sekunder. Bila autisme disebabkan faktor genetik, gangguan sel
Purkinye merupakan gangguan primer yang terjadi sejak awal masa kehamilan
karena ibu mengkomsumsi makanan yang mengandung logam berat.
Degenerasi sekunder terjadi bila sel Purkinye sudah berkembang,
kemudian terjadi gangguan yang menyebabkan kerusakan sel Purkinye.
Kerusakan terjadi jika dalam masa kehamilan ibu minum alkohol berlebihan atau
obat seperti thalidomide.
Pembesaran otak secara abnormal juga terjadi pada otak besar bagian
depan yang dikenal sebagai lobus frontalis. Menurut kemper dan Bauman
menemukan berkurangnya ukuran sel neuron di hipokampus (bagian depan otak
besar yang berperan dalam fungsi luhur dan proses memori) dan amigdala (bagian
samping depan otak besar yang berperan dalam proses memori).
Faktor lingkungan yang menentukan perkembangan otak antara lain
kecukupan oksigen, protein, energi, serta zat gizi mikro seperti zat besi, seng,
yodium, hormon tiroid, asam lemak esensial, serta asam folat.Adapun hal yang
merusak atau mengganggu perkembangan otak antara lain alkohol, keracunan
timah hitam, aluminium serta metilmerkuri, infeksi yang diderita ibu pada masa
kehamilan.

WOC
2.5. Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a) Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non
verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat
menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya
sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara,
gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial
abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes
non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih
dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai.
Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat
orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk
bermain sendiri.
b) Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat
yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c) Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada
objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa
dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d) Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk
memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak
menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat
diramalkan .
e) Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f) Kontak mata minimal atau tidak ada.
g) Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda,
dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan
sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap
nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak
menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h) Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional
i) Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara
tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang
tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol.
Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa,
kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j) Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi
secara fungsional.
k) Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan
mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan
berjingkat-jingkat.

 Ciri yang khas pada anak yang austik :


1. Defisit keteraturan verbal.
2. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
3. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau
dipikirkan orang lain).

 Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah:
1. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
2. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
3. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak
fleksibel dan tidak imajinatif.
4. Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.

2.6. Pengobatan
Umunya terapi yang diberikan ialah terhadap gejala, edukasi dan
penerangan kepada keluarga, serta penanganan perilaku dan edukasi bagi anak.
Manajemen yang efektif dapat mempengaruhi outcome. Intervensi farmakologi,
yang saat ini dievaluasi, mencakup obat fenfluramine, lithium, haloperidol dan
naltrexone. Terhadap gejala yang menyertai. Terapi anak dengan autisme
membutuhkan identifikasi diri. Intervensi edukasi yang intensif, lingkungan yang
terstruktur, atensi individual, staf yang terlatih baik, peran serta orang tua dapat
meningkat prognosis.
Terapi untuk mengatasi autisme:
1) Terapi perilaku
Terapi perilaku sangat penting untuk membantu para anak autis
untuk lebih bisa menyesuaikan diri dalam masyarakat. Bukan saja guru
yang harus menerapkan terapi perilaku pada saat belajar, namun setiap
anggota keluarga di rumah harus bersikap sama dan konsisten dalam
menghadapi anak autis.
Terapi peilaku terdiri dari:
a) Terapi wicara
b) Terapi okupasi
c) menghilangkan perilaku yang asosial.

2) Terapi farmakologi
Dinyatakan belum ada obat atau terapi khusus yang
menyembuhkan kelainan ini. Medikasi (terapi obat) berguna terhadap
gejala yang menyertai, misalnya haloperidol, risperidone dan obat anti-
psikotik teradap perilaku agresif, ledakan-ledakan perilaku, instabilitas
mood (suasana hati). Obat antidepresi jenis SSRI dapat digunakan
terhadap ansietas, kecemasan, mengurangi stereotip dan perilaku
perseveratif dan mengurangi ansietas dan fluktuasi mood. Perilaku
mencederai diri sendiri dan mengamuk kadang dapat diatasi dengan obat
naltrexone.

3) Pendekatan terapeutik
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak
austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan
pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran
berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan
menagement perilaku. Latihan dan pendidikan dengan menggunakan
pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan
hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat,
mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran
diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat. Neuroleptik dapat
digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang
mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik,
selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan
menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt
digunakan. Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau
melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.
Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti
kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan.
Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit
bebas aditif atau pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme
dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi yang
menyeluruh dan terpadu.

 Penatalaksanaan anak pada autisme bertujuan untuk:


1. Mengurangi masalah perilaku.
2. Meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangan terutama
bahasa.
3. Anak bisa mandiri.
4. Anak bisa bersosialisasi.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK AUTISME

3.1. Pengkajian

a. Identitas klien
Meliputi nama, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.

b. Riwayat kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa,
keterlambatan atau sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi
dalam waktu singkat, tidak senang atau menolak dipeluk. Saat bermain
bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan dengan benda tertentu
seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang dibawa kemana
saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan lainnya.
sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang tertentu
pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend
apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ
dibawah 70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun
sekitar 5% mempunyai IQ diatas 100.
 Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan ( riwayat kesehatan
dahulu)
 Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
 Cidera otak
 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit
serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau
keturunan. Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.

c. Status perkembangan anak.


 Anak kurang merespon orang lain.
 Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
 Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
 Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.
 Keterbatasan kognitif.

d. Pemeriksaan fisik
 Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/sentuhan).
 Terdapat ekolalia.
 Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.
 Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.
 Peka terhadap bau.

e. Psikososial
 Menarik diri dan tidak responsif terhadap orang tua
 Memiliki sikap menolak perubahan secara ekstrem
 Keterikatan yang tidak pada tempatnya dengan objek
 Perilaku menstimulasi diri
 Pola tidur tidak teratur
 Permainan stereotip
 Perilaku destruktif terhadap diri sendiri dan orang lain
 Tantrum yang sering
 Peka terhadap suara-suara yang lembut bukan pada suatu pembicaraan
 Kemampuan bertutur kata menurun
 Menolak mengkonsumsi makanan yang tidak halus

f. Neurologis
 Respons yang tidak sesuai terhadap stimulus
 Refleks mengisap buruk
 Tidak mampu menangis ketika lapar

3.2. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan


keterlambatan dalam berbahasa.
2. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan sensitif terhadap
penglihatan
3. Resiko tinggi infeksi behubungan dengan mikroorganisme ( jamur )

3.3. Intervensi Keperawatan

N Diagnosa Tujuan/ Kriteria Intervensi Rasional


O keperawatan Hasil

1. Gangguan Tujuan: Agar pasien Mandiri :


 Mintalah pasien untuk  Mengidentifikasi
komunikasi verbal dapat meng-indikasi-
mengucapkan suara adanya disatria sesuai
dan non verbal kan pemaham-an
sederhana seperti “sh” komponan motorik
berhubungan tentang maslah
atau “pus” dari bicara ( seperti
dengan komunikasi
Kriteria hasil: lidah, gerakan bibir,
keterlambatan
 Mengindiksikan
kontrol napas ) yang
dalam berbahasa
pemahaman
dapat mem-pengaruhi
tentang masalah
artikulasi dan
komunikasi
mungkin juga tidak
 Membuat metode
desertai afasia
komunikasi di
motorik
mana kebutuh-an
dapat
 Membantu
diekspresikan
 Menggunakan  Kaji tipe/derajat menentukan daerah
sumber-sumber disfungsi, seperti dan derajat kerusakan
dengan tepat pasien tidak tampak serebal yang terjadi
memahami kata atau dan kesuliatan pasien
mengalami kesulitan dalam beberapa atau
berbicara seluruh tahap
komunikasi, dengan
mengucap-kan kata-
kata dengan benar

 Pasien mungkin
kehilangan
 Perhatikan kesalahan
kemampuan untuk
dalam komunikasi dan
memantau ucapan
berikan umpan balik
yang keluar dan tidak
menyadari bahwa
komunikasi yang
diucapkan tidak nyata

 Bicaralah dengan nada  Pasien tidak perlu


normal dan hindari merusak pendengaran
percakapan yang cepat, dan meninggikan
berikan pasien jarak suara dapat
waktu untuk merespon menimbul-kan marah
pasien/men-yebabkan
kepedihan.
Memfokus-kan
respons dapat
mengabitkan frustasi
dan mungkin
menyebab-kan pasien
 Hargai kemampuan
pasien sebelum terjadi terpaksa untuk bicara
penyakit, hindari “pem- “otomatis”, seperti
bicaraan yang me-mutarbalikan kata,
merendah-kan” pada berbicara, kasar/kotor
pasien
 Kemampuan pasien
untuk merasakan
harga diri, sebab
kemampuan
intelektual pasien
seringkali tetap baik

2. Perubahan persepsi Tujuan: Agar pasien Mandiri :


 Evaluasi adanya  Munculnya gangguan
sensori dapat peka terhadap
behubungan gangguan penglihatan, penglihatan dapat
penglihatan
dengan sensitif Kriteria hasil: catat penurunan lapang berdampak negatif
 Memulai atau mem-
terhadap pandang, perubahan terhadap kemampuan
pertahan-kan
penglihatan ketajaman persepsi dan pasien untuk
tingkat kesadaran
adanya pandangan menerima lingkungan
dan fungsi per-
ganda dan mempelajari
septual
kembali keterampilan
 Mengakui perubah-
sensorik dan
an dalam
 Dekati pasien
meningkatkan
kemampuan dan dari daerah penglihatan
terjadinya cidera
adanya yang normal, biarkan
Men-trasikan
lampu menyala,  Pemberian
perilaku untuk
letakkan benda dalam pengenalan terhadap
mengkompensasi jangkauan lapang
adanya oranag/benda
terhadap defisit hasil penglihatan yang
dapat membantu
normal
masalah persepsi,
mencegah pasien dari
terkejut. Pe-nutupan
mata mungkin dapat
menurunkan
kebingungan karena
 Ciptakan lingkungan
adanya pandangan
yang sederhana,
ganda
pindahkan perabot
 Menurunkan atau
yang membahayakan
membatasi jumlah
stimulus penglihatan
yang mungkin dapat
menimbulkan
kebingungan terhadap
intepretasi
lingkungan;
menurunkan
 Bicara terjadinya kecelakaan
dengan tenang, per-
lahan dengan  Pasien mungkin
mengguna-kan mengalami
kalimat yang pendek, keterbatasan dalam
dengan rentang perhatiana
mempertahankan atau masalah
kontak mata pemahaman
 Anjurkan pasien
untuk mengamati
kakinya bila perlu dan
menyadari posisi  Penggunaan stimulus
bagian tubuh tertentu penglihatan dan
sentuhan mem-bantu
dalam mengintregasi-
kan sisi yang sakit
dan memungkinkan
pasien untuk
mengalami kelalaian
sensasi dan pola
gerakan normal
3. Resiko tinggi Tujuan: Mandiri :
infeksi behubungan
Rasa nyeri pada  Berikan perawatan  Cara pertama untuk
dengan mikro-
pasien dapat teratasi anti-sesptik, menghindari infeksi
organisme (jamur)
pertahankan cuci
Kriteria hasil:
tangan yang baik
 Observasi daerah
Mem-pert
ahankan nomoter yang mengalami
 Deteksi dini
dari tanda-tanda kerusakan
perkembangan infeksi
infeksi
memungkinkan untuk
Men-capai melakukan tindakan
penyembuhan luka dengan segera dan
pada waktu-nya pencegahan tehadap
komplikasinya
 Dapat
mengindikasikan
perkembangan yang
selanjutnya
 Pantau suhu tubuh memerlukan tindakan
secara teratur dengan segera
 Menurunkan
kemungkinan
terjadinya
pertumbuhan infeksi
mikroorganisme

 Berikan perawatan
parienal
Daftar Pustaka
Velley, A. (tahun). Asuhan keperawatan autis pada anak. 30 Oktober 2015.

https://www.academia.edu/9502794/asuhan_keperawatan_autis_padaanak.

Ester, M. (1998). Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri:


Pedoman untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai