Anda di halaman 1dari 2

Nama : Yorghi Liesapali

NIM : 18011101088

Guru Dibully Siswa, Gagalnya Pendidikan Karakter Anak Bangsa


Publik kembali dikejutkan dengan adanya kasus kekerasan di dalam dunia pendidikan. Namun kali
ini, bukan anak atau siswa yang mendapatkan perlakuan tak baik dari gurunya di lingkungan sekolah,
melainkan guru yang mendapatkan perlakuan tak pantas dari siswanya. Kasus tersebut mencuat setelah
video yang memperlihatkan murid sedang membully gurunya beredar viral.

Peristiwa itu terjadi di wilayah Gresik, Jawa Timur. Dalam video yang beredar terlihat seorang murid
berseragam pramuka dan mengenakan topi, merokok di dalam kelas. Saat gurunya menghampiri, siswa
tersebut terlihat menantang gurunya untuk berkelahi, meskipun tak ada perlawanan apapun dari guru yang
bersangkutan. Sedangkan siswa lainnya ikut tertawa dan merekam kejadian itu, seolah-olah hal itu lucu.

Kejadian serupa juga pernah terjadi di Kendal, dimana dalam video yang viral memperlihatkan
setidaknya ada lima orang murid yang sedang melakukan perundungan terhadap gurunya. Kejadian itu
berawal ketika para murid sedang saling melempar kertas, dan salah satunya mengenai guru yang pada
saat itu tengah mengajar.

Bahkan diawal tahun 2018, dunia pendidikan dihebohkan dengan tewasnya seorang guru honorer
setelah dianiaya oleh muridnya sendiri. Penganiayaan itu terjadi ketika pelaku merasa tidak terima setelah
ditegur oleh korban karena tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Miris memang melihat kenyataan guru
tak lagi dihormati dan dihargai oleh muridnya. Pertanyaannya, apa penyebab tak adanya lagi batasan
antara murid dan guru?

Selama ini kedekatan antara murid dan guru kerap disalahgunakan. Berawal dari candaan dan
berujung pada kekerasaan. Meski tak ada kekerasan secara langsung, bully yang dilakukan oleh murid ke
guru bukanlah perbuatan yang sepatutnya dilakukan dan merupakan perilaku yang sangat tidak sopan.
Guru yang mendapatkan perlakuan tak pantas dari siswanya juga tak dapat melakukan perlawanan, karena
anak-anak dilindungi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak. Sementara jika guru hanya diam, maka
kasus serupa akan kembali terulang. Lantas, hukuman seperti apa yang pantas diberikan kepada siswa yang
melakukan perundungan terhadap gurunya agar memiliki efek jera?

Tidak menutup kemungkinan kasus tersebut terjadi di beberapa sekolah lainnya. Hal itu karena
hubungan antara guru dan murid sudah tak lagi seperti dulu. Lalu, siapa yang salah dan siapa yang harus
bertanggungjawab atas kejadian tersebut? Bagaimana seharusnya pihak sekolah dan orangtua dalam
mengambil sikap?

Kita semua sepakat bahwa guru dan murid harus memiliki hubungan yang dekat. Hubungan dekat
antara guru dan murid memang dapat memudahkan proses belajar. Akan tetapi, hubungan ini harus tetap
mementingkan posisi guru sebagai pengajar yang harus dihargai dan dihormati. Pendidikan adalah hal
terpenting bagi setiap negara untuk dapat berkembang pesat. Negara yang hebat akan menempatkan
pendidikan sebagai prioritas pertamanya, karena dengan pendidikan, kemiskinan pada rakyat di negara
tersebut akan dapat tergantikan menjadi kesejahteraan.

Sekolah-sekolah memang melahirkan manusia cerdas, namun kurang memiliki kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai moral dan sopan santun dalam hidup bermasyarakat. Ini tampak dalam kasus
tawuran antarsekolah, antarfakultas, antarperguruan tinggi dan tindakan kekerasan yang hidup di dunia
pendidikan formal. Lulusan perguruan tinggi yang mulai bekerja, tergiur berbuat tidak jujur karena tidak
punya pegangan kebajikan. Sebagian mahasiswa kita merasa bangga jika kuliah tidak ada dosennya,
perpustakaan banyak kosong, internet digunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji, alergi buku yang
berbahasa asing, suka meniru skripsi orang lain alias plagiator. Jadi, dalam kondisi kehidupan bangsa di
mana nilai kemanusiaan mengalami krisis, bila dunia pendidikan formal hanya mencerdaskan kehidupan
bangsa, tanpa diimbangi penanaman nilai-nilai keluhuran martabat manusia, belum memberikan
sumbangan besar bagi perwujudan masyarakat adil dan makmur. Predikat bangsa Indonesia yang ramah
dan sopan menjadi kehilangan makna, manakala pembangunan karakter bangsa menjadi kabur dilanda isu
kekerasan dan korupsi. Pendidikan Karakter adalah proses pemberian tuntunan peserta/anak didik agar
menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.
Pendidikan karakter dimulai dari keluarga. Bagaimanapun, dalam perkembangannya, pendidikan di
Indonesia senantiasa harus menghadapi beberapa masalah di setiap tahapnya. Masalah-masalah tersebut
hanya dapat diselesaikan dengan partisipasi dari semua pihak yang terkait di dalam sistem pendidikan,
seperti orangtua, guru-guru, kepala sekolah, masyarakat, dan juga peserta didik itu sendiri.

Kesalahan pertama paling mendasar pada pendidikan dalam lingkungan keluarga adalah kurangnya
perhatian dari orangtua siswa terhadap penanaman nilai-nilai baik, terutama nilai kepemimpinan.
Terkadang orang tua menyekolahkan anak hanya demi peningkatan derajat yang diharapkan dapat
bertambah seiring gelar yang tercantum pada nama si anak, tanpa orangtua memberikan contoh dari
perilaku mereka sehari-hari. Pelimpahan tanggung jawab pendidikan oleh orang tua kepada pihak sekolah
adalah sumber kesalahan sistem pendidikan di Indonesia. Orangtualah yang seharusnya memegang andil
lebih besar terhadap perkembangan kecerdasan intelejensi dan emosi anak-anaknya. Orangtua yang
seharusnya mempunyai lebih banyak waktu untuk memperkenalkan nilai-nilai baik kepada anaknya.
Orangtua adalah pendidik utama yang dapat membentuk karakter anak sedari dini.

Sekolah ibarat ladang ilmu, tempat guru menyemai ilmu dan tempat peserta didik menuai ilmu.
Antara guru dan peserta didiknya ada simbiosis mutualisme. Sejatinya, guru mengajar sekaligus belajar dari
peserta didiknya, begitu pun sebaliknya peserta didik. Tetapi permasalahan di ranah sekolah kadang malah
membuat peserta didik cerdas secara kognitif saja, dan mengkesampingkan ranah afektif dan
psikomotoriknya. Anak dapat menjadi pintar, tapi belum tentu dapat menjadi baik. Salah satu masalah
utama di sekolah yaitu kurangnya kemampuan guru dalam mengendalikan dan membimbing kelas yang
diajarnya sehingga berujung pada aksi pelajar yang tak terkontrol hingga bahkan di luar akal sehat dan
kurangnya pemahaman guru terhadap pentingnya pendidikan karakter.

Dampak terburuk dari gagalnya pendidikan karakter yaitu martabat kemanusiaan bangsa Indonesia
dapat terpuruk ke jurang paling dalam, mendekati tingkat kebinatangan. Kekerasan demi kekerasan yang
terjadi di Indonesia merupakan suatu indikasi bahwa masyarakat kita sudah terkondisi dalam budaya tanpa
hukum. Timbul aneka kekerasan tanpa ada yang bisa mencegah. Maka ketika terjadi kekerasan demi
kekerasan yang dilakukan sekelompok front atau laskar, masyarakat menganggapnya biasa-biasa saja.
Banyak korban yang telah jatuh karena berbagai konflik politik, etnis, dan agama. Semua ini
mengindikasikan, kekerasan telah diterima oleh sebagian masyarakat kita sebagai suatu kebiasaan, yang
bukan kejahatan, tetapi dijadikan santapan sehari-hari dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Masyarakat kita, akhir-akhir ini, mudah meledak karena sebab sepele, tidak sabar, agresif, mudah rusuh.
Konflik rumah tangga kian banyak, hubungan interpersonal kian rapuh. Sebaliknya, banyak yang tampak
lebih apatis, tak mau tahu atau tak berdaya menghadapi masa depan, semangat kerja anjlok, sulit
memusatkan pikiran atau mengambil keputusan akurat. Belum lagi meningkatnya laporan bunuh diri. Oleh
karena itu, pendidikan kita harus peduli terhadap upaya untuk mencegah perilaku kekerasan atau perilaku
tidak terpuji lainnya secara dini melalui program pendidikan karakter agar budaya damai, sikap toleransi,
empati, dan sebagainya, dapat ditanamkan kepada peserta didik semenjak mereka berada di tingkat
pendidikan pra sekolah maupun pada tingkat pendidikan dasar hingga tingkat lanjut sehingga terbentuk
manusia berakal sehat demi kemajuan bangsa.

Langkah-langkah dalam memperbaiki gagalnya pendidikan karakter dapat dimulai dari keluarga.
Pemimpin di keluarga adalah ayah sebagai kepala keluarga, dibantu ibu sebagai manajer rumah tangga.
Kerjasama yang kompak antara ayah dan ibu akan menjadi sinergi pembelajaran yang berharga buat anak.
Orangtua dalam memperkenalkan nilai kepemimpinan bisa dengan hal-hal sepele, seperti membiasakan
menggunakan kata “tolong” saat meminta bantuan, “terimakasih” saat diberi bantuan, dan “maaf” jika
melakukan kesalahan. Membiasakan membuang sampah, walaupun hanya satu bungkus permen, pada
tempatnya mengajarkan kepada anak untuk tidak boleh menyepelekan hal kecil. Membiasakan menegur
atau memberi salam kepada orang lain, mengajarkan anak untuk bersikap hormat kepada siapa saja. Hal-
hal sederhana tersebut dapat menjadi cikal bakal tumbuhnya jiwa kepemimpinan dalam diri si anak. Dalam
lingkup persekolahan dapat dimulai dari penguatan pemahaman guru terhadap pentingnya penanaman
nilai moral pada pelajar sejak dini dan perlunya kurikulum pendidikan yang berbasis moral atau karakter
yang tepat sasaran, dimana selain mementingkan aspek kognitif juga memperhatikan aspek moral pelajar.

Anda mungkin juga menyukai