Anda di halaman 1dari 4

Analisis Mix Policy: Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) untuk

Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dalam Krisis Moneter di Indonesia

Krisis keuangan global di Indonesia pada tahun 2008/ 2009 lalu merupakan
salah satu bukti kurangnya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di Indonesia dan
makroprudensial dari Bank Sentral yang ada. Kasus ini merupakan krisis dari boom
kredit, property bubbles, dan akumulasi hutang luar negeri swasta yang berlebihan.
Krisis keuangan itu sendiri masih berlangsung hingga saat ini terbukti dari semakin
banyaknya hutang Indonesia dan juga semakin banyaknya investor yang masuk
sehingga mengakibatkan booming credit.
Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk mitigasi risiko sistemik yang
timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk
mengikuti siklus ekonomi (Procylical) sehingga memperbesar risiko sistemik
(Working Group G-20, 2010: 4). Sedangkan menurut Internasional Monetary Fund
(IMF) (2011: 3) bahwa kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki
tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan
melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. Kemudian menurut Galati dan
Richhild (2011: 4), kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk
membatasi risiko dan biaya krisis sitemik. Bank of England (2009: 3) juga
mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk
memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran,
intermediasi kredit, dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian.
Kebijakan makroprudensial merupakan bagian kebijakan utama yang
diterapkan dan dilaksanankan oleh Bank Indonesia (BI) untuk mencegah dan
mengurangi risiko sitemik. Dimana risiko sistemik ini sendiri yaitu suatu potensi
kerusakan atau terganggunya sistem keuangan negara baik sebagian atau seluruh
akibat adanya faktor-faktor yang menyebabkan ketergangguan tersebut.
Di Indonesia, Bank Indonesia memiliki tugas yang penting untuk menjaga
stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter yaitu melalui instrumen suku
bunga dalam operasi pasar terbuka. Kemudian, untuk menciptakan stabilitas
moneter, kemudian Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut
dengan inflation targeting framework.
Untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) di Indonesia yang
stabil dan sehat, perlu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu: 1) lingungan
ekonomi makro yang stabil, 2) lembaga keuangan yang dikelola dengan baik, 3)
pengwasan institusi keuangan yang efektif, dan 4) sistem pembayaran yang aman
dan handal.
Permasalahan keuangan sendiri, menjadi sebuah hal besar yang ditakutkan
dan dihadapi Indonesia hingga saat ini. Gejolak pasar uang, pasar valas, dan pasar
modal serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengakibatkan
semakin memburuknya adverse selection dan moral hazard yang pada gilirannya
mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan.
Sektor keuangan di Indonesia didominasi oleh perbankan, sehingga bila
terjadi guncangan pada perbankan maka akan berdampak pada sektor keuangan
secara keseluruhan. Oleh karena itu kebijakan makroprudensial diperlukan agar
dapat tercipta sektor keuangan yang sehat dan kuat. Penyaluran kredit perbankan
dipengaruhi oleh kondisi perekonomian makro. Ketika perekonomian sedang
membaik (booming), pihak perbankan akan cenderung meningkatkan penyaluran
kredit dan sebaliknya bila perekonomian dalam keadaan menurun, perbankan akan
menahan pemberian kredit. Kondisi ini dapat memperbesar simpangan siklus
ekonomi yakni memperdalam economic downturn atau mempertinggi economic
upturn.
Pada kenyataannya, di Indonesia sendiri hingga saat ini belum tercipta SSK
yang kompleks. Hal ini dikarenakan jumlah hutang Indonesia terhadap luar negeri
yang banyak dan bahkan semakin bertambah setiap tahunnya dengan bunga yang
mungkin tidak akan bisa diselesaikan dalam satu dekade. Kemudian boom kredit
yang dilakukan Indonesia dalam hal kerja sama pembangunan. Indonesia yang
notabene menjadi salah satu negara berkembang, menginginkan perkembangan
dan kemajuan di berbagai sektor, sehingga Indonesia melakukan kerjasama di
berbagai bidang dan melakukan kredit bahan baku dari luar negeri seperti Jepang,
Cina, Korea, Amerika untuk dapat melakukan pembangunan yang diinginkan. Hal ini
menjadi penyebab krisis moneter yang sejak dahulu terjadi, meskipun sudah
berganti kepemimpinan. Hutang Indonesia dari masa jabatan Soeharto sebanyak Rp
551,4 triliun atau US$68,7 miliar hingga masa jabatan presiden SBY sebanyak Rp
2.608,8 triliun atau US$ 209,7 miliar dengan rasio hutang sebanyak 24,7%.
Pengalaman krisis tersebut bagi Indonesia dan juga Bank Indonesia dapat
dijadikan suatu pelajaran penting bahwa tugas bank sentral sebagai penjaga
stabilitas moneter (otoritas moneter) tidak cukup tanpa dukungan stabilitas sistem
keuangan yang sehat. Gejolak dalam lembaga keuangan khususnya bank,
merupakan salah satu sumber instabilitas. Oleh karena itu, krisi perbankan harus
dicegah atau ditangani untuk menghindarkan gangguan terhadap sistem
pembayaran atau arus kredit dalam perekonomian. Kebijakan Makroprudensial yang
menjadi wewenang dari Bank Indonesia harus bekerja sama dengan OJK yang
menangani masalah kebijakan mikroprudensial dalam mencipakan Stabilitas Sistem
Keuangan (SSK).

Kesimpulan
Dengan demikian, perlu adanya upaya membangun sistem keuangan yang
stabil dengan adanya perangkat aturan hukum (legal framework) yang mampu
menjadi landasan bagi penyelenggaraan fungsi bank sentral secara utuh. Terkait
dengan penyelesaian krisis masa lalu, terdapat dua hal yang perlu dirumuskan
sebagai politik hukum atas upaya yang telah diambil Bank Indonesia dan
Pemerintah dalam penyelamatan sistem perbankan nasional di masa krisis, yaitu:
Pertama, politik hukum berkenaan dengan perlunya penyusunan perangkat
aturan yang ditujukan untuk menanggulangi krisis atau systemic risk yang norma
hukumnya dirumuskan secara berbeda dari perangkat aturan yang mengatur
kegiatan usaha bank dalam keadaan normal. Sebagaimana telah dikemukakan
bahwa sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki perangkat aturan yang
ditujukan untuk menanggulangi krisis atau systematic risk yang normanya berbeda
dari perangkat aturan yang mengatur kegiatan usaha bank dalam keadaan normal.
Perangkat hukum di bidang keuangan dan perbankan yang ada hanya dapat
digunakan sebagai aturan dalam keadaan normal saja.
Agar tindakan yang diambil oleh otoritas yang berwenang dalam mengatasi
krisis dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, maka selain perangkat hukum
yang mengatur kondisi normal perlu disusun pula perangkat hukum yang melandasi
kerangka kerja (framework) manajemen krisis yang bersifat strategis (crisis strategy
management)
Kedua, politik hukum terhadap fungsi lender of last resort (LOLR) oleh Bank
Indonesia dengan ditempuhnya kebijakan pemberian BLBI sebagai upaya
penyelamatan sistem perbankan dan perekonomian nasional. Selain diperlukannya
penyusunan perangkat hukum dalam kerangka kerja manajemen krisis, kiranya
perlu dirumuskan pula komitmen politik hukum berkenaan dengan tindakan yang
telah diambil Bank Indonesia dan Pemerintah dalam rangka penyelamatan sistem
perbankan nasional di masa krisis. Hal ini penting agar tindakan/ kebijakan yang
telah diambil yang bersifat emergency pada masa abnormal (krisis perbankan)
dengan tujuan untuk menyelamatkan sistem perbankan/ perekonomian dapat
dihilangkan sifat melawan hukumnya.
Pelaksanaan yang ada dilapangan sudah sesuai dengan teori dan penjelasan
yang ada. Permasalahan yang ada hingga saat ini adalah kebijakan tersebut belum
sepenuhnya diterapkan di Indonesia, mengingat banyaknya utang luar negeri dan
belanja negara serta booming credit pada pihak investor yang semakin hari semakin
meningkat.

Referensi:
Anwar Nasution. Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Impllkasi Hukum, Dan
Agenda Kedepan. Disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional-
DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia Rl. tanggal 14-18 Juli di
Denpasar. (http://www.lfip.org/english/pdf/bali-
seminar/Masalah%20sistem%20keuangan%20dan%20perbankan%20-
%20anwar%20nasution.pdf)
Casmudi. 2014. Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) untuk Menjaga
Stabilitas Sistem Keuangan (SSK).
http://www.kompasiana.com/casmudi/kebijakan-makroprudensial-bank-
indonesia-bi-untuk-menjaga-stabilitas-sistem-keuangan-
ssk_54f4309c745513932b6c8861
Dian Indah Sari. (2015). Analisis Terhadap Peranan Dan Strategi Bank Indonesia
Serta Pemerintah Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Di Indonesia.
MONETER, VOL. II NO. 1 APRIL 2015
ki Ariyanti. (2017). Ini Rasio Utang Pemerintah RI dari Era Soeharto hingga Jokowi.
http://bisnis.liputan6.com/read/2854387/ini-rasio-utang-pemerintah-ri-dari-era-
soeharto-hingga-jokowi
Galati, Gabriele dan Richhild Moessner. 2011. Macroprudential Policy-A Literature
Review. Working Paper No. 337. Bank for International Settlements, Februari
International Monetary Fund. (2011). World Economic and Financial Surveys
Regional Economic Outlook Middle East and Central Asia. Washington D.C
Perry Warjiyo. (2016). Bauran Kebijakan Bank Sentral: Konsepsi Pokok dan
Pengalaman Bank Indonesia. Jakarta: BI Institute

Anda mungkin juga menyukai