Anda di halaman 1dari 51

PRESENTASI KASUS

Seorang Anak Perempuan Berusia 13 Tahun dengan Infeksi Saluran Kemih


Kompleks e.c Escherichia Coli, Agenesis Urethra, dan Gizi Buruk

Disusun Oleh:
Afifa Intifadha Habibatullah G99172026/M-6
Sotya Satmaka Adira G99172015/M-10

Pembimbing:
dr. Agustina Wulandari, Sp. A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2018

0
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi. Presentasi kasus dengan judul:

Seorang Anak Perempuan Berusia 13 Tahun dengan Infeksi Saluran Kemih


Kompleks e.c Escherichia Coli, Agenesis Urethra, dan Gizi Buruk

Hari, tanggal : Desember 2018

Oleh:
Afifa Intifadha Habibatullah G99172026/M-6
Sotya Satmaka Adira G99172015/M-10

Mengetahui dan menyetujui,


Pembimbing Presentasi Kasus

dr. Agustina Wulandari, Sp. A, M.Kes

1
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NAL
Usia : 13 Tahun
Tanggal Lahir : 18 April 2005
Berat Badan : 20 kg
Panjang Badan : 138 cm
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen
Alamat : Telogorejo RT/RW 02/08
Tanggal Pemeriksaan : 29 November 2018
Nomor Rekam Medis : 01 44 xx xx

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan terhadap pasien dan orang tua pasien saat pasien
hari pertama masuk rumah sakit di IGD Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Dr. Moewardi Surakarta.
1. Keluhan Utama
Nyeri perut bagian bawah
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien kontrol rutin Poli Anak yang dirujuk dari
Rumah Sakit Sukoharjo, dengan keluhan nyeri perut bagian bawah sejak satu
minggu SMRS. Nyeri perut dirasakan terus menerus, dan tidak mengganggu
aktivitas pasien. Nyeri perut makin memberat saat pasien BAK. Pasien
memeriksakan diri ke RS Sukoharjo untuk memperingan keluhannya dan
kemudian dirujuk ke RSDM Moewardi untuk dilakukan kultur urin serta
penanganan dengan antibiotik sesuai kultur.
Selain itu, pasien mempunyai keluhan sering mengompol. Keluhan
dialami pasien semenjak dari lahir hingga sekarang karena pasien didapatkan
saat lahir tidak terbentuk saluran kencing. Pasien dirawat jalan dan kontrol
2
rutin setiap seminggu sekali atas indikasi tersebut. Keluhan mengompol selama
satu minggu SMRS frekuensinya makin meningkat. Dalam sehari dapat BAK
sampai lebih dari 10x sebanyak 1 popok atau sekitar ±150cc. Warna BAK
merah kecoklatan, terkadang keluar lendir berwarna bening dan saat bangun
pada pagi hari urin berbau menyengat. Pasien setiap hari menggunakan popok
dan kesulitan dalam menahan kencing. Pasien menyangkal adanya sakit
sewaktu kencing, demam, muntah dan gangguan BAB. Pasien masih mau
minum banyak.
Pasien pernah dirawat inap di RS Sukoharjo dengan keluhan yang sama
sekitar satu tahun yang lalu, mondok selama satu minggu, dan diberikan obat
antibiotik Cefixime.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan serupa (Tahun 2017, ISK)
Riwayat rawat inap di rumah sakit (Tahun 2017 karena ISK)
Riwayat demam disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga dan Faktor Lingkungan
Riwayat keluarga :
Riwayat penyakit serupa disangkal
Riwayat demam disangkal
Riwayat DM, Asma, Alergi, disangkal.
Riwayat penyakit jantung, ginjal, liver disangkal.
Riwayat lingkungan :
Riwayat ISK di sekitar lingkungan disangkal
Riwayat demam di sekitar lingkungan disangkal.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta, ibu pasien adalah ibu
rumah tangga. Pasien periksa menggunakan fasilitas BPJS kelas III. Kesan
sosial ekonomi cukup.
6. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Status ibu G1P0A0, usia ibu saat hamil adalah 20 tahun. Ibu rutin
kontrol selama masa kehamilan di bidan dan menerima vitamin dan

3
suplemen. Riwayat penyakit saat kehamilan disangkal. Kesan kehamilan
normal.
Pasien lahir spontan, cukup bulan, dan berat lahir 2800 gram,
panjang badan 50 cm, langsung menangis kuat, tidak biru, gerak aktif, tidak
kuning. Kesan kelahiran normal.
7. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien : lengkap
0 bulan : HB 1, Polio 1, BCG
2 bulan : DPT 1, HB 2, Polio 2
3 bulan : DPT 2, HB 3, Polio 3
4 bulan : DPT 3, Polio 4
9 bulan : Campak
Kesan imunisasi lengkap sesuai jadwal Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 1059/Menkes/SK/IX/2004
8. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan :
- BB = 29 kg, TB 138 cm
Perkembangan :
- Perkembangan anak usia sekolah
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia.
9. Riwayat Nutrisi
Saat ini pasien mengkonsumsi nasi sayur dan lauk pauk 3x per hari.
Kesan nutrisi cukup.

4
10. Pohon Keluarga

II

III

An. NAL usia 13 tahun


Keterangan:
Laki-laki Pasien
Perempuan

PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Tampak baik, kesadaran composmentis (E4V5M6)
2. Tanda vital
Suhu : 36oC
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Denyut nadi : 81x/menit
Saturasi O2 : 99%
Frekuensi pernapasan : 22 x/menit
3. Kepala
Mesocephal, normocephal, ubun-ubun datar.
4. Mata
Pupil isokor 2mm/2mm, sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), refleks
cahaya (+/+) , mata cekung (-/-), air mata (+/+).
5. Telinga
Sekret (-), tidak ada nyeri tekan telinga

5
6. Hidung
NCH (-/-), sekret (-)
7. Mulut
Stomatitis (-), mukosa bibir basah, tonsil T1-T1, faring hiperemis (-),
pseudomembran (-), detritus (-)
8. Leher
Pembesaran KGB (-)
9. Thorax
Simetris, retraksi (-), normochest (+),
10. Cor
Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi Jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-)
11. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dinding dada kanan < kiri
Palpasi : fremitus raba sde
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara tambahan (-/-)
12. Abdomen
Inspeksi : dinding dada sejajar dinding peurt
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri (-),
undulasi (-), pekak alih (-), turgor kulit kembali cepat
Nyeri tekan simfisispubis (+), nyeri ketok sudut
costovertebral (-)
13. Ekstremitas
Akral dingin (-/ -), ADP teraba kuat, CRT < 2 detik, petekie (- / -)

6
14. Status gizi
Perhitungan Status Gizi
TB/U : TB/U<P5 : (138cm/157cm) x 100% = 88% (TB kurang)
BB/U : BB/U<P5 : (29kg/46kg) x 100%= 63% (BB kurang)
BB/TB : (29/33) x 100%= 88% (gizi kurang)

D. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Hematologi (22/11/2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi
rutin
Hemoglobin 13.9 g/dl 12.3 –
15.3
Hematokrit 41 % 33 - 45
Leukosit 7.1 ribu/ul 4.5 –
14.5
Trombosit 233 ribu/ul 150- 450
Eritrosit 5.20 juta/ul 3.80-5.80
Index
eritrosit
MCV 79.5 /um 80,0-96,0
MCH 26,8 Pg 28,0-33,0
MCHC 33.7 g/dl 33,0-36,0
RDW 11.7 % 11,6-14,6
MPV 6.3 Fl 7,2-11,1
PDW 19 % 25-65
Hitung jenis
Eosinofil 3.26 % 0,00-4,00
Basofil 0.71 % 0,00-1,00

7
Netrofil 58.12 % 29,00-
72,00
Limfosit 31.11 % 33,00-
48,00
Monosit 6.80 % 0,00-6,00
Kimia
Klinik
Creatinine 0.8 mg/dl 0.5 – 1.0
Ureum 26 mg/dl <48

Pemeriksaan Urin (22/11/2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Warna Yellow
Cloudy
Kimia Urin
Berat jenis 1.016 1.015 – 1.025
H 6.0
Leukosit 500 /ul Negatif
Nitrit ++ Negatif
Protein Negatif mg/dl Negatif
Glukosa Normal mg/dl Normal
Keton Negatif mg/dl NEgatif
Urobilinogen Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif mg/dl Negatif
Makroskopis
Leukosit 495.1 /LPB 0-12
Eptel
Epitel 4-6 /LPB Negatif
squamous

8
Epitel - /LPB Negatif
transisional
Epitel bulat - /LPB Negatif
Silinder
Hyline 0 /LPK 0-3
Granulated - /LPK Negatif
Lekosit - /LPK Negatif
Bakteri 30465.3 /ul 0.0 – 2150.0
Yeast like cell 0.0 /ul 0.0 – 0.0
Sensitivitas 24.8 mS/cm 3.0 – 32.0
Lain-lain Eritrosit 5-6 /LPB. Leukosit hampir memenuhi seluruh
lapang pandang. Bakteri (++++).

Pemeriksaan Lab Mikrobiologi Klinik (26/11/2018)


Organism : Escherichia Coli
Ceftriaxone : S (Sensitive)
Gentamicin : S (Sensitive0
Kesimpulan : Pola klinis pasien mendukung antibiotik yang disarankan
ceftriakson

USG Abdomen (Hepar), Lien, Pancreas, Ginjal (29/11/2018)


Kesimpulan :
1. Hidronefrosis sedang bilateral
2. suspek ektopik ren sinistra (posisi di hypochodriaca/ paraaorta)
3. secara USG menunjukan parenkim ren yang mengalami insufisiensi
4. Cystitis
5. Gangguan fungsi pengosongan buli (Volume buli post miksi > 30%)
6. Bentukan menyerupai distal ureter di paravesica bilateral yang
mengalami dilatasisuspek ureterocele dd/ uretral valve
Saran : BNO-IVP

9
Foto Rontgen Lumbosakral AP dan Lat (29/11/2018)
Kesimpulan :
1. Spina bifida pada corpus VL5; VS1-5
2. Paravertebrae muscle spasme

Pyelografi interna (BNO-IVP) (3/12/2018)


Kesimpulan :
1. Hidronefrosis dekstra grade 2-3 disertai dengan hidroureter dekstra
proksimal hingga distal
2. Non visualized ren dan ureter sinistra
3. Neurogenik bladder tipe spastik
4. Insidental finding : ginjal sinistra terletak di periumbilical sinistra (ren
ektopik sinistra – USG)

Hasil Pemeriksaan Lab (3/12/2018)


Jenis Hasil
pemeriksaan
Sekresi
Makroskopis
Warna Yellow
Jernih Clear
Kimia urin
Berat jenis 1.013
PH 6.0
Leukosit 3.9
Epitel
Squamous 2-5
Transisional 0-1
Bulat -
Silinder

10
Hyline 0
Granulated 0-1
Leukosit 0-1
Yeast like cell 0
Mukus 0
Sperma 0
Konduktivitas 16.6
Lain-lain Eritrosit 0-1/LPB, Leukosit 3-4/LPB, Bakteri (+),
Kristal amorf (+)
Expertise Xilinderuria, bakteriuria, kristaluria

E. DAFTAR MASALAH
Anak perempuan berusia 13 tahun, berat badan 29 kg dengan :
- Keluhan nyeri perut bagian bawah sejak 1 minggu SMRS,
- Pasien mengeluh mengompol sejak lahir, 1 minggu SMRS frekuensi
mengompol meningkat hingga lebih dari 10 kali/hari
- BAK warna merah kecoklatan, berbau menyengat saat pagi hari, setiap
kencing satu popok habis kurang lebih 150cc
- Pasien tampak sakit ringan, makan dan minum masih lahap
- Ubun-ubun datar, mata tidak cekung, air mata (+/+), mukosa mulut basah,
CRT <2 detik, turgor kembali cepat, arteri dorsalis pedis teraba kuat.
- Pasien minum ASI sejak 1 bulan pasca lahir, dan bulan berikutnya hanya
diberikan susu formula

F. DIAGNOSIS BANDING
- Infeksi saluran kemih kompleks dd simpleks
- Agenesis urethra

G. DIAGNOSIS KERJA
- Infeksi saluran kemih kompleks e.c agenesis uretra,
- Gizi kurang

11
H. PENATALAKSANAAN
- Stopcock
- Diet nasi lauk 1500 kkal/hr
- Injeksi Ceftriaxone (50mg/kg/12jam) = 1 gr/12jam (II)

I. PLANNING
- USG Urologi

J. MONITORING
- KUVS/8 jam
- Balance cairan/8 jam
- TD/8 jam

K. PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad sanationam : bonam
- Ad fungsionam : bonam

FOLLOW UP
Follow Up 30/11/2018 (DPH-1) 1/12/2018 (DPH-2) 2/12/2018 (DPH-3)
Subjektif Nyeri perut bawah (+) Nyeri perut bawah (+) Nyeri perut bawah (+)
BAK ngompol (+) BAK ngompol (+) BAK BAK ngompol (+)
BAK merah (+) demam merah (+) demam (-) BAK merah (+)
(-) nyeri pinggang (-) nyeri pinggang (-) demam (-) nyeri
pinggang (-)
Keadaan Tampak sakit sedang, Tampak sakit sedang, Tampak sakit sedang,
umum compos mentis compos mentis compos mentis
GCS E4V5M6 E4V5M6 E4V5M6
Tanda 1) HR: 67x/menit 1) HR: 86x/menit 1) HR: 89x/menit
Vital 2) RR: 20 x/menit 2) RR: 22 x/menit 2) RR: 20 x/menit

12
3) T: 36,7 0C 3) T: 37 0C 3) T: 36,4 0C
4) SiO2: 99% 4) SiO2: 99% 4) SiO2: 99%
5) TD: 100/70mmHg 5) TD: 90/60mmHg 5) TD: 100/60mmHg
BCD BC : +67 BC : +93,4 BC : -95
D: 1,56 ml/KgBB/jam D: 1,56 ml/KgBB/jam D: 1,03 ml/KgBB/jam
Kepala Mesocephal Mesocephal Mesocephal
Mata Konjungtiva anemis (-/- Konjungtiva anemis (-/- Konjungtiva anemis (-
), sklera ikterika (-/-), ), sklera ikterika (-/-), /-), sklera ikterika (-/-
mata cekung (-/-) mata cekung (-/-) ), mata cekung (-/-)
Hidung Nafas cuping hidung (- Nafas cuping hidung (-), Nafas cuping hidung
), sekret (-) sekret (-) (-), sekret (-)
Telinga Sekret (-/-),tidak nyeri Sekret (-/-),tidak nyeri Sekret (-/-),tidak nyeri
tekan tekan tekan
Mulut Mukosa basah , tonsil Mukosa basah , tonsil Mukosa basah , tonsil
T1-T1 T1-T1 T1-T1
Leher Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis Inspeksi : iktus cordis Inspeksi : iktus cordis
tak tampak tak tampak tak tampak
Palpasi : iktus Palpasi : iktus Palpasi : iktus
cordis tidak teraba cordis tidak teraba cordis tidak teraba
Perkusi : batas Perkusi : batas Perkusi : batas
jantung dalam batas jantung dalam batas jantung dalam batas
normal normal normal
Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi Auskultasi : Bunyi
Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas Jantung I-II intensitas
normal, regular, bising normal, regular, bising normal, regular, bising
(-) (-) (-)
Pulmo Inspeksi : Inspeksi : Inspeksi :
pengembangan dinding pengembangan dinding pengembangan
dada kanan = dada kiri dada kanan = dada kiri

13
Palpasi : fremitus raba Palpasi : fremitus raba dinding dada kanan =
kanan = kiri kanan = kiri dada kiri
Perkusi : Perkusi : Palpasi : fremitus raba
sonor/sonor sonor/sonor kanan = kiri
Auskultasi : SDV (+/+), Auskultasi : SDV (+/+), Perkusi :
suara tambahan (-/-) suara tambahan (-/-) sonor/sonor
Auskultasi : SDV
(+/+), suara tambahan
(-/-)
Abdomen Inspeksi: dinding perut Inspeksi: dinding perut = Inspeksi: dinding perut
= dinding dada dinding dada = dinding dada
Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising usus Auskultasi : Bising
(+) normal (+) normal usus (+) normal
Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar Palpasi : Supel, hepar Palpasi : Supel, hepar
dan lien tidak teraba dan lien tidak teraba dan lien tidak teraba
membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-), membesar, nyeri (-),
turgor kulit kembali turgor kulit kembali turgor kulit kembali
cepat, nyeri tekan (-), cepat, nyeri tekan (-), cepat, nyeri tekan (-),
nyeri tekan simfisis nyeri tekan simfisis nyeri tekan simfisis
pubis (+), nyeri ketok pubis (+), nyeri ketok pubis (+), nyeri ketok
sudut costovertebral (-) sudut costovertebral (-) sudut costovertebral (-
)

Ekstremita Akral hangat, ADP Akral hangat, ADP Akral hangat, ADP
s kuat, CRT < 2 detik, kuat, CRT < 2 detik, kuat, CRT < 2 detik,
- - edema ankle - - edema - - edema
- - joint - - - -

Petechiae Petechiae Petechiae


- - ankle joint - - ankle joint - - ankle joint
- - - - - -

14
GIT BAB (+) BAB (+) BAB (+)
NGT(-) NGT(-) NGT(-)
Muntah (-) Muntah (-) Muntah (-)
Asesment 1) ISK kompleks ec E. 1) ISK kompleks ec E. 1) ISK kompleks ec
Colli Colli E. Colli
2) Agenesis urethra 2) Agenesis urethra 2) Agenesis urethra
post OP sistotomi post OP sistotomi post OP sistotomi
3) Hidronefrosis ren 3) Hidronefrosis ren 3) Hidronefrosis ren
bilateral ec bilateral ec bilateral ec
neurogenic bladder neurogenic bladder neurogenic
4) Ectopic ren sinistra 4) Ectopic ren sinistra bladder
5) Gizi kurang 5) Gizi kurang 4) Ectopic ren
sinistra
5) Gizi kurang
Plan 1) BNO-IVP 1) BNO-IVP 1) BNO-IVP
2) Urinalisis 2) Urinalisis 2) Urinalisis

Terapi 1) Stopcock 1) Stopcock 1) Stopcock


2) Diet nasi lauk 1500 2) Diet nasi lauk 1500 2) Diet nasi lauk
kkal/hari kkal/hari 1500 kkal/hari
3) Inj. Ceftriaxone (50 3) Inj. Ceftriaxone (50 3) Inj. Ceftriaxone
mg/kgBB/12 jam) = mg/kgBB/12 jam) = (50 mg/kgBB/12
1 gram/12 jam 1 gram/12 jam jam) = 1 gram/12
jam
Monitoring 1) KUVS/8 jam 1) KUVS/8 jam 1) KUVS/8 jam
2) BCD/8 jam 2) BCD/8 jam 2) BCD/8 jam
3) TD/8 jam 3) TD/8 jam 3) TD/8 jam

15
Follow Up 3/12/2018 (DPH-4) 4/12/2018 (DPH-5)
Subjektif Nyeri perut bawah (-) BAK ngompol Nyeri perut bawah (-) BAK ngompol
(+) BAK merah (-) demam (-) nyeri (-) BAK merah (-) demam (-) nyeri
pinggang (-) pinggang (-)
Keadaan Tampak sakit sedang, compos Tampak sakit sedang, compos mentis
umum mentis
GCS E4V5M6 E4V5M6
Tanda 1) HR: 65x/menit 1) HR: 83x/menit
Vital 2) RR: 20 x/menit 2) RR: 24 x/menit
3) T: 36,5 0C 3) T: 36,5 0C
4) SiO2: 99% 4) SiO2: 99%
5) TD: 90/60mmHg 5) TD: 100/70mmHg
BCD BC : -87,3 BC : +112,7
D: 1,29 ml/KgBB/jam D: 1,25 ml/KgBB/jam
Kepala Mesocephal Mesocephal
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sklera Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterika (-/-), mata cekung (-/-) ikterika (-/-), mata cekung (-/-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-) Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Telinga Sekret (-/-),tidak nyeri tekan Sekret (-/-),tidak nyeri tekan
Mulut Mukosa basah , tonsil T1-T1 Mukosa basah , tonsil T1-T1
Leher Pembesaran KGB (-) Pembesaran KGB (-)
Thorax Simetris, retraksi (-) Simetris, retraksi (-)
Cor Inspeksi : iktus cordis tak tampak Inspeksi : iktus cordis tak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak Palpasi : iktus cordis tidak
teraba teraba
Perkusi : batas jantung dalam Perkusi : batas jantung dalam
batas normal batas normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I-II Auskultasi : Bunyi Jantung I-II
intensitas normal, regular, bising (-) intensitas normal, regular, bising (-)

16
Pulmo Inspeksi : pengembangan dinding Inspeksi : pengembangan dinding
dada kanan = dada kiri dada kanan = dada kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : SDV (+/+), suara Auskultasi : SDV (+/+), suara
tambahan (-/-) tambahan (-/-)
Abdomen Inspeksi: dinding perut = dinding Inspeksi: dinding perut = dinding
dada dada
Auskultasi : Bising usus (+) normal Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak
teraba membesar, nyeri (-), turgor teraba membesar, nyeri (-), turgor
kulit kembali cepat, nyeri tekan (-), kulit kembali cepat, nyeri tekan (-),
nyeri tekan simfisis pubis (+), nyeri nyeri tekan simfisis pubis (+), nyeri
ketok sudut costovertebral (-) ketok sudut costovertebral (-)

Ekstremita Akral hangat, ADP kuat, CRT < 2 Akral hangat, ADP kuat, CRT < 2
s detik, edema ankle joint detik, edema
- - - -
- - Petechiae ankle joint - -
- - Petechiae ankle joint
- - - -
- -
GIT BAB (+) BAB (+)
NGT(-) NGT(-)
Muntah (-) Muntah (-)
Asesment 1) ISK kompleks ec E. Colli 1) ISK kompleks ec E. Colli
2) Agenesis urethra post OP 2) Agenesis urethra post OP
sistotomi sistotomi
3) Hidronefrosis ren bilateral ec 3) Hidronefrosis ren bilateral ec
neurogenic bladder neurogenic bladder
4) Ectopic ren sinistra 4) Ectopic ren sinistra

17
5) Gizi kurang 5) Gizi kurang
Plan 1) BNO-IVP 1) Ambil hasil BNO-IVP
2) Urinalisis 2) BLPL  kontrol hari Rabu

Terapi 1) Stopcock 1) Stopcock


2) Diet nasi lauk 1500 kkal/hari 2) Diet nasi lauk 1500 kkal/hari
3) Inj. Ceftriaxone (50 mg/kgBB/12 3) Inj. Ceftriaxone (50 mg/kgBB/12
jam) = 1 gram/12 jam jam) = 1 gram/12 jam

Monitoring 1) KUVS/8 jam 1) KUVS/8 jam


2) BCD/8 jam 2) BCD/8 jam
3) TD/8 jam 3) TD/8 jam

18
BAB II
ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan keluhan nyeri perut bagian bawah sejak 1 minggu
SMRS. Nyeri tekan didapatkan di area simfisis pubis. Pasien juga mengeluhkan
BAK mengompol, berwarna merah kecoklatan, dan ada sedikit lender. Berdasarkan
anamnesis, pasien tersebut mengalami infeksi saluran kemih (ISK). Pada pasien
ISK perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: frekuensi BAK, adanya nyeri ketika
BAK, adanya nyeri perut, adanya nyeri pinggang, warna BAK, bau BAK, frekuensi
BAK, adanya demam, dan adanya mual muntah. Bila disertai muntah: volume dan
frekuensinya. BAB: biasa, berkurang, bercampur darah. Makanan dan minuman
yang diberikan. Kebiasaan menahan kencing, mencuci tangan sebelum dan setelah
BAK, dan kebiasaan lokasi berkemih. Pada pasien ini ditemukan BAK mengompol
setiap saat dan bervolume banyak sehingga pasien harus mengenakan popok, nyeri
ketika BAK disangkal, nyeri perut ada di perut bagian bawah, nyeri pinggang
disangkal, BAK berwarna merah kecoklatan disertai sedikit lendir, BAK berbau
menyengat, frekuensi sering 3-4 kali sehari, demam tidak ada, mual dan muntah
tidak ada. Pasien tidak bisa menahan kencing, selalu mencuci tangan sebelum dan
setelah BAK, dan berkemih di toilet yang bersih.
Sebelum pasien datang ke RSDM, orangtua pasien rutin kontrol ke RSUD
Sukoharjo dan mendapatkan terapi antibiotik cefixime. Pasien merupakan penderita
agenesis urethra sejak lahir dan selama ini selalu BAK mengompol karena tidak
dapat menahan kencing. Sejak satu minggu yang lalu, pasien merasakan nyeri perut
bagian bawah disertai BAK yang berwarna merah kecoklatan, sehingga pasien
dirujuk ke RSDM untuk melakukan kultur urine. Pasien dibawa ke Poli Anak sub
bagian Nefrologi dan dirawat di Bangsal Nefrologi Anak.
Pada hari masuk Rumah Sakit dari hasil pemeriksaan didapatkan keadaan
umum pasien sadar, tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas normal, dan tidak
ditemukan adanya dehidrasi.
Dari hasil anamnesis dan pemerikaan fisik pasien dimungkinkan mengalami
ISK Kompleks dengan suspek etiologi adalah E. Colli, agenesis urethra post OP
sistotomi dan gizi kurang.
19
Saat ini pasien berusia 13 tahun dengan berat badan 29 kg dan tinggi badan
138 cm. Pada antropometri didapatkan gizi kurang, BB kurang, dan TB kurang.
Pasien mengkonsumsi makanan dengan nasi dan lauk pauk serta sayuran dan buah-
buahan, makan 3x sehari, kesan makan dan minum cukup.
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk kejadian ISK
kompleks antara lain: adanya kelainan atau anomali pada saluran kemih seperti batu
saluran kemih, obstruksi, anomali saluran kemih, kista ginjal, buli-buli neurogenik,
benda asing, dan sebagainya. Selain itu adanya faktor-faktor kebiasaan buruk
seperti tidak mencuci tangan sebelum dan setelah BAK, BAK di sembarang tempat,
serta kurang minum air putih juga dapat menjadi faktor risiko. Pada pasien ini
ditemukan adanya anomali pada saluran kemih seperti agenesis urethra, ren
ektopik, neurogenik bladder, dan spina bifida.
Menurut Konsensus ISK IDAI, secara garis besar tatalaksana ISK terdiri atas:
1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan tatalaksana kelainan anatomi dan
fungsional pada ginjal dan saluran kemih, 3. Deteksi dan mencegah infeksi
berulang. Eradikasi infeksi akut dilakukan dengan pemberian antibiotik yang
kemungkinan paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin untuk kemudian
disesuaikan. Selain pemberian antibiotik, dapat diberikan asupan cairan. Deteksi
dan tatalaksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih
bertujuan untuk menemukan kelainan yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya ISK, dapat dilakukan dengan USG, IPV, MSU, CT-scan ataupun MRI.
Deteksi dan pencegahan infeksi berulang dapat dilakukan dengan pemeriksaan
biakan urin berkala, misalnya setiap bulan, yang kemudian diberikan terapi sesuai
hasil.
Pada pasien ini diberikan terapi antibiotik ceftriaxone 50 mg / kgBB / 12 jam
= 1 g /12 jam serta diet nasi lauk 1500 kkal. Pasien juga direncanakan untuk
pemeriksaan urinalisis, uji sensitivitas antibiotik, USG, dan BNO-IVP.
Nasihat kepada pasien pentingnya menjaga kebersihan dan mencuci tangan
sebelum dan sesudah BAK dan BAB, menjaga kebersihan toilet, dan mengganti
popok dengan rajin apabila masih mengompol. Selain itu, pasien dianjurkan untuk
banyak minum air putih. Pasien disarankan untuk segera periksa ke dokter apabila
ditemui gejala-gejala ISK.
20
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
ISK adalah keadaan adanya infeksi (pertumbuhan dan
perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim
ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang
bermakna (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).
Bakteriuria adalah ditemukannya bakteri dalam urin yang berasal dari
ISK ataukontaminasi dari uretra, vagina ataupun dari flora di periuretral.
Dalam keadaan normal, urin baru dan segar adalah steril. Bakteriuria
bermakna yaitu bila ditemukan jumlah koloni > 105/ml spesies yang sama pada
kultur urin dari sampel mid-stream urine. Ini merupakangold standard untuk
diagnostik ISK (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).

Tabel 1. Interpretasi Hasil Biakan Urin (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).


Cara penampungan Jumlah Koloni Kemungkinan Infeksi
Pungsi supra pubik Bakteri gram negatif : >99%
asal ada kuman
Kateterisasi kandung 95%
kemih Bakteri gram positif :
beberapa ribu Diperkirakan ISK
Urin pancar tengah
- Laki-laki > 105 Diragukan, ulangi
- Perempuan
104 - 105 Tidak ada ISK /
Kontaminasi
3 4
10 - 10
Diperkirakan ISK
3
< 10
95%
4
> 10
90%
5
3x biakan > 10
80%
5
2x biakan > 10
Diragukan, ulangi
5
1x biakan > 10
Diperkirakan ISK,
4 5
5 x 10 - 10 ulangi

21
104 – 5 x 104 : Tidak ada ISK

Klinis simtomatik Tidak ada ISK

Klinis asimtomatik

< 104

B. Epidemiologi
ISK terjadi pada 3-5% anak perempuan dan 1% dari anak laki-laki.
Pada anak perempuan, ISK pertama biasanya terjadi pada umur 5 tahun,
dengan puncaknya pada bayi dan anak-anak yang sedang toillete training.
Setelah ISK pertama, 60%-80% anak perempuan akan mengembangkan ISK
yang kedua dalam 18 bulan. Pada anak laki-laki, ISK paling banyak terjadi
selama tahun pertama kehidupan; ISK jauh lebih sering terjadi pada anak laki-
laki yang tidak disunat. Prevalensi ISK bervariasi berdasarkan usia. Selama
tahun pertama kehidupan, rasio penderita laki-laki: rasio wanita adalah 2,8-5,4
: 1. Sedangkan dalam tahun pertama sampai tahun kedua kehidupan, terjadi
perubahan yang mencolok, dimana rasio laki-laki: rasio perempuan adalah 1:10
(Elder JS, 2007).
Pada anak-anak prasekolah usia, prevalensi anak perempuan dengan
infeksi tanpa gejala yang akhirnya didiagnosa oleh aspirasi suprapubik adalah
0,8% dibandingkan dengan 0,2% pada anak laki-laki. Pada kelompok usia
sekolah, angka insidensi bakteriuria pada perempuan lebih banyak 30 kali
dibandingkan pada anak laki-laki (Fisher JD, et.al., 2011).
Remaja putri lebih cenderung memiliki vaginitis (35%) dibandingkan
ISK (17%). Selain itu, gadis remaja yang didiagnosis dengan sistitis sering
memiliki vaginitis bersamaan (Fisher JD, et.al., 2011).

22
C. Anatomi Saluran Kemih
Organ urinaria terdiri atas ginjal beserta salurannya, ureter, buli-buli
dan uretra (Purnomo BB, 2007).
Ginjal
Ginjal terletak diruang retroperitoneal antara vertebra torakal 12 atau
lumbal 1 dan lumbal 4. Panjang dan beratnya bervariasi yaitu lebih kurang 6
cm dan 24 gram pada bayi yang lahir cukup bulan. Pada bayi baru lahir ginjal
sering dapat diraba. Pada janin permukaan ginjal tidak rata, berlobus-lobus
yang kemudian akan menghilang dengan bertambahnya umur. Tiap ginjal
terdiri atas 8-12 lobus yang berbentuk piramid. Ginjal mempunyai lapisan luar,
yaitu korteks yang mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang
berkelok-kelok dan duktus koligens, serta lapisan dalam yaitu medula, yang
mengandung bagian tubulus yang lurus, ansa henle, vasa rekta, dan duktus
koligens terminal (Alatas H.,2002).
Puncak piramid medula menonjol ke dalam disebut papil ginjal yang
merupakan ujung kaliks minor. Beberapa duktus koligens bermuara pada
duktus papilaris Bellini yang ujungnya bermuara di papil ginjal dan
mengalirkan urin kedalam kaliks minor. Karena ada 18-24 lubang muara
duktus Bellini pada ujung papil maka daerah tersebut terlihat sebagai tapisan
beras dan disebut area kribrosa (Alatas H.,2002).
Antara dua piramid terdapat jaringan korteks tempat masuknya cabang-
cabang arteri renalis disebut kolumna Bertini. Beberapa kaliks minor
membentuk kaliks mayor yang bersatu menjadi piala (pelvis) ginjal yang
kemudian bermuara ke dalam ureter (Alatas H.,2002).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosis tipis dan mengkilat yang
disebut kapsul fibrosa (true capsule) ginjal dan diluar kapsul ini terdapat
jaringan lemak perineal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal
atau glandula adrenal/ suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal
bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perineal dibungkus oleh fasia gerota.
Fasia ini berfungsi sebagai barrier yang menghambat meluasnya perdarahan
dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi urine pada saat terjadi trauma
ginjal. Selain itu fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam
menghambat penyebaran infeksi atau menghambat metastasis tumor ginjal ke
organ sekitarnya. Di luar fasia gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal
atau diseebut jaringan lemak pararenal (Purnomo BB, 2007).
Disebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung yang
tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII, sedangkan disebelah anterior dilindungi
oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh hepar, kolon,

23
duodenum sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien, lambung, pankreas,
jejunum dan kolon (Purnomo BB, 2007).
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan
medula ginjal. Didalam korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan
didalam medula banyak terdapatduktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional
terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimalis, tubulus
kontortus distalis dan duktus kolegentes (Purnomo BB, 2007).
Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di
dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan
tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-zat hasil sisa metabolisme mengalami
sekresi bersama air membentuk urin. Urin yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramid ke sistem pelviokaliks ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter (Purnomo BB, 2007).
Sistem pelviokaliks ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum,
kaliks mayor dan pielum/ pelvis renalis. Mukosa sistem pelviokaliks terdiri
atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu
berkontraksi untuk mengalirkan urin sampai ke ureter (Purnomo BB, 2007).

Ureter
Ureter adalah organ yang berbentuk tabung kecil yang berfungsi
mengalirkan urin dari pielum ginjal ke dalam buli-buli. Dindingnya terdiri atas
mukosa yang dilapisi oleh sel-sel transisional, otot-otot polos sirkuler dan
longitudinal yang dapat melakukan gerakan peristaltik (berkontraksi) guna
mengeluarkan urin ke buli-buli (Purnomo BB, 2007).
Sepanjang perjalanan ureter dari pielum menuju buli-buli, secara
anatomis terdapat beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih
sempit daripada di tempat lain, sehingga batu atau benda-benda lain yang
berasal dari ginjal seringkali tersangkut ditempat itu. Tempat-tempat
penyempitan itu antara lain adalah (1) pada perbatasan antara pelvis renalis dan
ureter atau pelvicoureter junction (2) tempat ureter menyilang arteri iliaka di
rongga pelvis dan (3) pada saat ureter masuk ke buli-buli. Ureter masuk ke
buli-buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli (intramural) ;
keadaan ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urine dari buli-buli ke
ureter atau refluks vesiko-ureter pada saat buli-buli berkontraksi (Purnomo
BB, 2007).
Untuk kepentingan radiologi dan kepentingan pembedahan, ureter
dibagi menjadi dua bagian yaitu : ureter pars abdominalis yaitu yang berada
dari pelvis renalis sampai menyilang vasa iliaka dan ureter pars pelvika yaitu
mulai dari persilangan dengan vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli.

24
Disamping itu secara radiologis ureter dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) ureter
1/3 proksimal mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum (2) ureter 1/3
medial mulai dari batas atas sakrum sampai pada batas bawah sakrum dan (3)
ureter 1/3 distal mulai batas bawah sakrum sampai masuk ke buli-buli
(Purnomo BB, 2007).

Buli-buli
Buli-buli adalah organ berongga yang berdinding otot polos yang
terdiri dari dua bagian besar: (1) badan (korpus), merupakan bagian utama
kandung kemih dimana urin berkumpul, dan (2) leher (kollum) merupakan
lanjutan dari badan yang berbentuk corong, berjalan secara inferior dan
anterior kedalam daerah segitiga urogenital dan berhubungan dengan uretra.
Bagian yang lebih rendah dari leher kandung kemih disebut uretra posterior
karena hubungannya dengan uretra (Purnomo BB, 2007).
Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor. Serat-serat ototnya
meluas kesegala arah dan, bila berkontraksi, dapat meningkatkan tekanan
dalam kandung kemih. Dengan demikian, kontraksi otot detrusor adalah
langkah terpenting untuk mengosongkan kandung kemih.sel-sel otot polos dari
otot detrusor terangkai satu sama lain sehingga timbul aliran listrik
berhambatan rendah dari satu sel otot ke sel otot lain. Oleh karena itu, potensial
aksi dapat menyebar keseluruh otot detrusor, dari satu sel otot ke sel otot
berikutnya, sehingga terjadi kontraksi seluruh kandungan kemih dengan segera
(Wilson LM, 2006).
Buli-buli adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot detrusor
yang saling beranyaman. Disebelah dalam adalah otot longitudinal, ditengah
merupakan otot sirkuler, dan yang paling luar merupakan otot longitudinal.
Mukosa buli-buli terdiri atas sel-sel transisional yang sama seperti pada
mukosa-mukosa pada pelvis renalis, ureter, dan uretra posterior. Pada dasar
buli-buli kedua muara ureter dan meatus uretra internum membentuk suatu
segitiga yang disebut trigonum buli-buli (Purnomo BB, 2007).
Secara anatomi bentuk buli-buli terdiri atas 3 permukaan yaitu (1)
permukaan superior yang berbatasan dengan rongga peritoneum (2) dua
permukaan inferiolateral dan (3) permukaan posterior. Permukaan superior
merupakan lokus minoris (daerah terlemah) dinding buli-buli (Purnomo BB,
2007).
Buli-buli berfungsi menampung urin dari ureter dan kemudian
mengeluarkannya melalui uretra dalam mekanisme miksi (berkemih). Pada
anak, kapasitas buli-buli menurut formula dari Koff adalah (Purnomo BB,
2007). :

25
Kapasitas Buli-buli = {Umur (tahun) + 2}x 30 ml

Uretra
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urin ke luar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu
uretra posterior dan uretra anterior. Uretra dilengkapi dengan sfingter uretra
interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra
eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter
uretra interna terdiri dari otot polos yang dipersarafi oleh sistem saraf simpatik
sehingga pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna
terdiri atas otot bergaris yang dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat
diperintah sesuai dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini
terbuka dan tetap tertutup pada saat menahan kencing (Purnomo BB, 2007).

D. Fisiologi Saluran Kemih


Neonatus memiliki fungsi ginjal imatur saat kelahiran yang membuat
mudahnya kehilangan cairan, seperti kehilangan cairan lewat pernafasan yang
cepat atau kegagalan dalam pemasukan cairan. Berat ginjal neonatus sekitar 23
gram, berat ini akan menjadi dua kali lipat dari semula pada usia 6 bulan dan
meningkat pada akhir satu tahun pertama dan tumbuh seperti ginjal orang
dewasa pada saat pubertas yaitu 10 kali ukuran pada saat kelahiran (MacGregor
J., 2008).
Ketika bayi dilahirkan, maka ia akan kehilangan aliran darah dari
plasenta, diikuti dengan peningkatan yang tinggi dari aliran darah pada
ginjalnya sendiri, menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah pada
ginjal. Neonatus akan menghasilkan 20 – 35 ml dari urin sebanyak 4 kali sehari,
tapi ini akan meningkat sampai 100 – 200 ml sebanyak 10 kali sehari pada hari
kesepuluh setelah lahir. Urin saat produksi pertama memperlihatkan eksresi
urea yang sedikit karena pada saat ini protein lebih banyak digunakan pada bayi
dibandingkan dengan jumlah yang dipecah dalam hati (MacGregor J., 2008).
Resistensi dari anyaman kapiler ginjal berkurang pada minggu pertama
kehidupan, yang memungkinkan peningkatan kemampuan filtrasi glomerulus,
akan tetapi kapsul glomerulus saat lahir dibentuk dari epitel kubus dan belum
sepenuhnya digantikan oleh epitel berlapis gepeng dan baru berfungsi secara
penuh setelah tahun pertama. Nefron yang kecil dan immatur ini juga memiliki
Lengkung Henle yang pendek juga, dimana air dan natrium secara normal
diatur, garam (natrium) sebaiknya tidak ditambahkan ke diet bayi karena tidak
dapat diekskresikan dengan mudah dan natrium yang tersisa akan

26
mempertahankan arteri dan vena, meningkatkan tekanan darah dan dilatasi dari
jantung yang berkembang (MacGregor J., 2008).

Perkembangan Kontinensia
Bayi memiliki keadaan inkontinensia, kemampuan untuk mengontrol
pengeluaran urin tergantung pada sistem renal yang lengkap dan berfungsi,
kematangan saraf, kesempatan yang diberikan kepada anak untuk buang air
kecil dan kebiasaan. Anak dapat menjadi cemas dan melemah jika harapan yang
diberikan melebihi kemampuan dan kontrol mereka. Kematangan terhadap
mekanisme kontrol biasanya membutuhkan sekitar lima tahun untuk anak yang
sehat agar tetap terkontrol pada siang dan malam. Kandung kemih adalah organ
yang kompleks yang terbentuk dari lapisan otot dan dienervasikan oleh
kompleks refleks dari tulang belakang dan koordinasi dari otak. Perlu diingat
bahwa jika anak tidak mau buang air kecil, utuk alasan apapun, mereka dapat
memberikan pesan kepada otaknya dari kandung kemih mereka yang penuh itu
(MacGregor J., 2008).
Kemampuan untuk mengontrol pengosongan kandung kemih adalah
sebuah proses yang dipelajari biasanya pada awal masa kanak-kanak sebagai
hasil dari ‘toillete training’. Seorang bayi tidak mampu berlatih mengontrol
proses ini, karena pengosongan kandung kemih tergantung pada kerja kompleks
refleks. Kandung kemih mereka akan secara volunter mengosongkan diri saat
teregang pada volume 15 ml, seperti yang diketahui pada dewasa rangsangan
untuk buang air kecil pada volume 200 ml. Saat kandung kemih penuh dan
merangsang reseptor trigonal, dan hasilnya mengirimkan impuls ke area sakral
tulang belakang melalui sistem saraf otonom. Impuls motorik dari tulang
belakang lewat sistem saraf otonom menginisiasi relaksasi sfingter internal dan
kontraksi otot detrusor, yang selanjutnya mengakibatkan urin keluar dari
kandung kemih. Kapasitas kandung kemih anak bervariasi berdasarkan umur
(Tabel 1). Jumlah urin bervariasi pada neonatus dan anak (Tabel 2) (MacGregor
J., 2008).
Tabel 1. Frekuensi Rata-Rata Miksi Pada Bayi dan Anak (Alatas H., 1999).
Umur Frekuensi Miksi/ 24 Jam
3-6 bulan 20
6-12 bulan 16
1-2 tahun 12
2-3 tahun 10
3-4 tahun 9
12 tahun 4-6

27
Tabel 2. Jumlah Urin Pada Neonatus dan Anak (Alatas H., 1999).
Umur Jumlah Urin (ml)
1 hari 0-20
2 hari 20-50
3 hari 20-60
4 hari 30-70
5-7 hari 40-90
1 bulan 200-400
2 bulan 300-500
3 bulan 500-700
1-2 tahun 600-800
3-5 tahun 800-1200
6-10 tahun 800-1400
10-14 tahun 800-1500
Kematangan sistem saraf diperlukan untuk pengontrolan kandung
kemih, jadi impuls saraf dapat bergerak melalui tulang belakang menuju pusat
kontrol miksi di otak. Saat kewaspadaan untuk buang air kecil dan keinginan
untuk mengontrol miksi telah berkembang, bersama dengan kematangan
biologis dari sistem saraf dan perkembangan sosial si anak, menjadikan
aktivitas sistem saraf pusat mengambil alih kerja sistem refleks.Kontrol yang
baik dapat dimulai pada usia dua tahun saat anak dapat secara sadar
merelaksasikan otot dasar pinggul untuk buang air kecil (MacGregor J., 2008).
Kandung kemih yang sehat dapat dilatih dengan kebiasaan yang sehat.
Minum yang cukup mengeluarkan bakteri, tapi minum air soda dapat
mengiritasi kandung kemih. Ajarkan anak perempuan untuk membersihkan sia
urin dari depan ke belakang untuk menghindari kontaminasi sistem urinarius
bagian bawah oleh bakteri yang normalnya berada di rektum. Anak juga
sebaiknya dilatih untuk buang air kecil segera setelah mereka merasakan
keinginan untuk miksi, dan wanita yang sudah dewasa sebaiknya segera buang
air kecil setelah melakukan hubungan. Saat mulai sekolah, saat toilet dipakai
bersama dan waktu istirahat sudah ditentukan, hal ini menyebabkan beberapa
anak untuk menolak minum sepanjang hari dan menjaga urin sampai pulang ke
rumah. Anak dengan akses buang air kecil yang bebas selama di sekolahnya
memiliki tingkat konsumsi air yang secara signifikan lebih tinggi. Dalam
membantu orang tua untuk menolong anaknya mendapatkan kontinensia,
menemukan problem yang mendasarinya adalah hal yang vital. Pertanyaan
yang ditanyakan dapat meliputi umur, pekerjaan orang tua, kebiasaan dalam
keluarga dan riwayat kontinensia, keadaan kesehatan, perkembangan mental,

28
dan kejadian yang muncul pada kehidupan anak seperti pergantian sekolah,
fasilitas toilet seperti aksesibilitas dan keinginan untuk meminta izin buang air
kecil, pengobatan, dan asupan cairan. Manajemen tatalaksana akan tergantung
pada tajamnya anamnesa; beberapa poin diskusi dapat berupa penjelasan
mengenai kontinensia dan keyakinan bahwa masalah seperti ini bisa diatasi,
saran praktis berupa waterproof bed cover, menjalankan jadwal rutin untuk
buang air kecil (dengan kenyamanan) dan manajemen asupan cairan selama dua
puluh empat jam. Pada semua situasi, anak dan keluarga perlu untuk diberikan
motivasi untuk keberhasilan dan pujian terhadap usaha yang ada (MacGregor
J., 2008).

Mengompol – Enuresis Nokturnal


Mengompol pada malam hari adalah suatu pengalaman yang umum
pada awal masa anak-anak; sebuah gangguan pada fungsi neuromuskular yang
sering tidak berbahaya dan akan membaik sendiri. Akan tetapi, mengompol
dapat disebabkan oleh kesedihan yang sangat kuat pada kehidupan berkeluarga.
Diagnosis dari enuresis nokturnal timbul saat aliran involunter dari urin, saat
tidur, yang timbul pada anak usia lima tahun atau lebih, dengan tidak adanya
kelainan kongenital atau yang didapat oleh sistem saraf, ditemukan satu dari
banyak penyebab buruknya kontrol buang air kecil pada malam hari (termasuk
stres, riwayat keluarga, infeksi saluran kemih, dan hambatan perkembangan).
Hal itu menunjukkan bagaimana pengeluaran urin diatur, sebagai bagian dari
ritme sirkadia sehari-hari. Pada malam hari kita normalnya menurunkan kadar
ekskresi air, elektrolit, dan sisa-sisa sebagai persiapan menjelang tidur. Meski
begitu, beberapa anak membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan yang
lainnya untuk perkembangan ritme ini; 7% dari anak usia tujuh tahun
mengompol di malam hari. Diperkirakan bahwa pada beberapa anak, hal ini
tidak disebabkan oleh volume urin yang diproduksi pada malam hari atau
kandung kemih terlalu kecil untuk menampung, tapi ritme sirkadia ginjal
memiliki peranan dalam mengatur keseimbangan natrium pada awal pagi
(MacGregor J., 2008).

29
E. Etiologi
Penyebab terbanyak ISK pada anak (sekitar 80-90%), baik yang
simtomatikmaupun yang asimtomatik adalah kuman gram negatif Escherichia
coli (E. Coli). Penyebab lainnya adalah Klebsiella, Proteus,
Staphylococcus Saphrophyticus. ISK nosokomial sering disebabkan E. coli,
Pseudomonas sp, Coagualase-negatif Staphylococcus, Klebsiella sp,
Aerobacter sp jarang ditemukan (Rusdidjas, Ramayati R, 2002; Fisher JD,
et.al., 2011).
Pada uropati obstruktif dan pada kelainan struktur saluran kemih pada
anak laki-laki sering ditemukan Proteus. ISK nosokomial sering disebabkan
E.coli, Pseudomonas sp, coagulase-negative Staphylococcus, Klebsiella sp, dan
Aerobacter species (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).
Infeksi virus, terutama adenovirus,juga dapat terjadi, terutama sebagai
penyebab sistitis (Rusdidjas, Ramayati R, 2002; Elder JS, 2007).

Faktor Risiko
Bila ISK didiagnosis pada anak, upaya harus dilakukan untuk
mengidentifikasi faktor risiko pada anak (misalnya, anomali anatomi, disfungsi
berkemih, dan sembelit). Anak yang menerima antibiotik spektrum luas
(misalnya, amoxicillin, cephalexin) yang bisa mengganggu kondisi fisiologis
gastrointestinal (GI) dan periurethral flora, hal tersebut akan meningkatkan
risiko untuk ISK, karena obat ini mengganggu pertahanan alami saluran kemih
dalam menghadapi kolonisasi oleh bakteri patogen (Fisher JD, et.al., 2011).
Lamanya inkubasi urin dalam kandung kemih akibat beberapa hal
merupakan salah satu faktor terjadinya ISK. Inkubasi urin ini bisa terjadi akibat
anak memiliki disfungsi berkemih atau anak memilih untuk menahan pipisnya.
Berbagai keadaan bisa menjadi penyebab disfungsi berkemih. Sembelit, dengan
pembesaran rectum oleh feses merupakan penyebab penting terjadinya
disfungsi berkemih. Kelainan neurogenik atau kelainan anatomi kandung
kemih juga dapat menyebabkan disfungsi berkemih. Sedangkan kebiasaan
menahan pipis biasanya terjadi pada anak usia prasekolah dan sekolah (Fisher
JD, et.al., 2011; Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011).
Bayi laki-laki yang disunat bisa mengurangi risiko ISK sekitar 90%
khususnya selama tahun pertama kehidupan. Risiko ISK pada bayi disunat
adalah sekitar 1 dari 1000 jika mereka disunat selama tahun pertama,dan bayi
yang tidak disunat memiliki 1 dari 100 risiko terjadinya ISK. Secara
keseluruhan, tingkat ISK pada anak laki-laki yang telah disunat diperkirakan
0,2%-0,4%, dengan tingkat faktor risiko anak laki-laki tidak disunat menjadi 5-

30
20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki yang disunat (Fisher
JD, et.al., 2011).

F. Klasifikasi

- ISK Atas (upper UTI) merupakan ISK bagian atas terutama parenkim ginjal,
lazimnya disebut sebagai pielonefritis (Rusdidjas, Ramayati R, 2002;
Fisher JD, et.al., 2011).
- ISK bawah (lower UTI): bila infeksi di vesika urinaria (sistitis) atau uretra.
Batas antara atas dan bawah adalah hubungan vesikoureter. Untuk
membedakan ISK atas dengan bawah (Rusdidjas, Ramayati R, 2002;
Fisher JD, et.al., 2011).
- ISK simpleks: ISK sederhana (uncomplicated UTI), ada infeksi tetapi tanpa
penyulit (lesi) anatomik maupun fungsional saluran kemih (Rusdidjas,
Ramayati R, 2002)
- ISK kompleks: ISK dengan komplikasi (complicated UTI), adanya infeksi
disertai lesi anatomik ataupun fungsional, yang menyebabkan obstruksi
mekanik maupun fungsional saluran kemih, misalnya sumbatan muara
uretra, refluks vesikoureter, urolitiasis, parut ginjal, buli-buli neurogenik,
dan sebagainya. Dalam kelompok ini termasuk ISK pada neonatus dan
sebagian besar kasus dengan pielonefritis akut. (Rusdidjas, Ramayati R,
2002; )

G. Patogenesis
Patogenesis dari ISK ditentukan oleh mekanisme proteksi dan faktor
predisposisi. Mekanisme proteksi yaitu pengosongan vesika urinaria berkala
dan pertahanan tubuh penjamu. Faktor predisposisi termasuk pengosongan
vesika urinaria yang tidak komplit menyebabkan urin residu
(contohnya neurogenic bladder dan refluks vesikoureter), terapi antibiotik
sebelumnya (yang mana dapat mengeradikasi bakteri komensal dan
menyebabkan bakteri yang virulen dapat menyerang), anak laki-laki yang tidak
disirkumsisi (disebabkan kolonisasi bakteri di foreskin), dan faktor virulensi
uropatogen. Parut ginjal atau refluks nefropati telah ditemukan pada 12-58%
pasien yang diperiksa setelah tahap awal ISK. Faktor risiko parut termasuk:
uropati obstruktif,refluks vesikouretra khususnya dengan refluks intra renal,
ISK pada usia muda, diagnosis dan terapi yang lambat, ISK rekuren (Wong SN.,
2005).
Anak dengan traktus urinarius yang abnormal lebih banyak menderita
ISK yang disebabkan organisme dengan virulensi lebih rendah seperti

31
Pseudomonas atau Staphylococcus aureus. Bakteri-bakteri ini merupakan flora
yang sering mengkontaminasi genital dan kulit (Wong SN., 2005).
Anak yang terinfeksi bakteri Proteus memiliki risiko terbentuknya batu
di saluran urinarius. Ini terjadi karena bakteri memproduksi amoniak melalui
metabolisme urea. Hal ini meningkatkan pH urin, yang mana menyebabkan
pembentukan presipitat garam kalsium dan magnesium fosfat. Ini dapat muncul
pada mukus dan debris sel yang disebabkan proses inflamasi dan membuat
lendir tebal yang mengisi saluran drainase lalu presipitat kimia dapat
membuatnya menjadi lebih padat. Pada sistem pelvikaliks dapat menjadi stag-
horn calculi, dan pada ureter menjadi bentuk seperti date stone (Webb N.,
2003).
Bakteri patogen asalnya dari flora usus (E.coli) pasien sendiri yang
berkoloni di area periuretra. Lalu naik ke vesika urinaria dan memulai proses
proliferasi dan invasi jaringan. Toksin bakteri menyebabkan kemotaksis dan
mengaktivasi granulosit. Ini diikuti pelepasan radikal bebas dan produk
lisosomal yang mana menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian dan
fibrosis lanjut dan scarring (Wong SN., 2005).
Inti bakteri E.coli terdiri dari sitoplasma dan nukleus dari material DNA.
Materi genetik tambahan dapat muncul pada 1 plasmid atau lebih yang mana
seluruhnya terpisah dari inti sel. Plasmid-plasmid ini dapat mengkode resistensi
tipe antibiotik tertentu dan kepentingan klinis karena plasmid replikasi sendiri
dan dapat ditransmisi dari bakteri ke yang lain dan bahkan dari satu spesies ke
yang lain. Dinding sel mengelilingi sitoplasma. Antigen dinding sel telah
didesain “antigen O”. Ada lebih dari 150 antigen O. Antigen O terdiri dari
lapisan lemak, lipid A, yang mana melekat di membran, berkaitan dengan
lapisan polisakarida terluar bertanggung jawab pada serotip O individu. Bakteri
lisis berikut, lipid A dilpeaskan sebagai endotoksin. Roberts telah menunjukkan
endotoksin menurunkan peristaltik ureter. Ini aktivator penting untuk respon
inflamasi penjamu dan mengaktifasi alur komplemen klasik (Wong SN., 2005).
Dinding sel yang mengelilingi adalah kapsul polisakarida yang
bertanggung jawab pada antigenitas K. Antigen K dikaitkan dengan virulensi
E.coli pada pielonefritis akutdan infeksi lain. Bakteri pembawa antigen K lebih
dapat melakukan kolonisasi di vesika urinaria dan menginvasi ginjal daripada
bakteri yang lain (Edelmann CM., 2003)
Beberapa E. coli memiliki antigen “H” atau “flagella” yang membuat
organisme bergerak. Fimbriae juga penting untuk adhesi ke permukaan
(Edelmann CM., 2003)
Reseptor P terdapat pada membran mukosa manusia, termasuk sel epitel
vesika urinaria dan ureter. Fimbriae tipe 1 dapat menginisiasi kerusakan

32
respiratori dari leukosit polimorfonuklear dan pada penelitian hewan telah
menunjukkan dapat menyebabkan parut. Peran fimbriae tipe II yang terbentuk
dari M, S, dan X masih dalam penelitian (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).
Urin memiliki konsentrasi zat besi yang rendah dan menunjukkan
bahwa zat besi penting untuk perlengketan ke permukaan. Kolisin V adalah
plasmid yang juga memiliki kemampuan untuk meningkatkan ambilan zat besi
oleh bakteri (Edelmann CM., 2003)
Pada anak perempuan, bakteri gram negatif muncul pada area dari anus
ke uretra. Pada bayi laki-laki, di mana organisme berkolonisasi di prepusium,
kejadian ISK dapat diturunkan dengan sirkumsisi (Edelmann CM., 2003)
Mayoritas ISK pada bayi baru lahir menyebar melalui darah. Septikemia
akibat E.coli gram negatif sering terjadi pada masa ini. Manifestasi klinis akan
terlihat beberapa hari berupa bakteriuria. Immunoglobulin yang terdapat dalam
air susu ibu mempunyai efek proteksi dan masuknya organisme ini sering pada
bayi yang tidak disusui. Hal ini juga terjadi pada Salmonella, Tuberculosis,
Histoplasmosis, dan parasit (Edelmann CM., 2003).

H. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari ISK pada anak terbagi atas dua macam yaitu
manifestasi klinis yang berasal dari traktur urinarius serta manifestasi klinis
sistemiknya (Fisher JD, et.al., 2011).

Manifestasi klinis yang berasal dari traktus urinarius (Fisher JD, et.al., 2011;
Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011). :
 Disuria
 Perubahan frekuensi buang air kecil
 Mengompol padahal anak telah diajarkan toilete training
 Urin yang sangat berbau
 Hematuri
 Scoatting
 Nyeri abdomen atau supra pubik

Manifestasi klinis sistemik (Fisher JD, et.al., 2011; Ahmed SM, dan Swedlund
SK, 2011). :
 Demam
 Muntah/ diare
 Nyeri pinggang

33
Sedangkan manifestasi klinis menurut usia, bisa dibedakan atas:
1. Usia antara 1 bulan sampai kurang dari 1 tahun, tidak menunjukkan gejala
yang khas, dapat berupa (Rusdidjas, Ramayati R, 2002). :
 Demam
 Irritable
 Kelihatan sakit
 Nafsu makan berkurang
 Muntah, diare, dan lainnya
 Ikterus dan perut kembung bisa juga ditemukan.
2. Usia prasekolah dan sekolah gejala ISK umumnya terlokalisasi pada saluran
kemih.
ISK Bawah (Lower UTI) (Rusdidjas, Ramayati R, 2002). :
 Disuria
 Polakisuria
 Urgency.
ISK Atas (Upper UTI) (Rusdidjas, Ramayati R, 2002). :
 Enuresis diurnal ataupun nocturnal terutama pada anak wanita
 Sakit pinggang
 Demam
 Menggigil
 Sakit pada daerah sudut kostovertebra.

I. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada ISK pada anak bisa berdasarkan
gejala atau temuan pada urine, atau bahkan keduanya, tetapi kultur urin sangat
diperlukan untuk konfirmasi dan pemberian terapi yang sesuai (Elder JS,
2007).
Kecurigaan yang tinggi harus dipikirkan pada anak demam, terutama
ketika demam yang tidak jelas berlangsung selama dua sampai tiga hari, ini
bisa mengurangi angka kejadian ISK yang tidak terdeteksi. Pedoman terbaru
yang dikeluarkan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) untuk evaluasi
demam (39,0 ° C [102,2 ° F] atau lebih tinggi) yang tidak diketahui
penyebabnya dianjurkan melakukan pemeriksaan urinalisis dankultur urine
untuk semua kasus pada semua anak laki-laki dengan usia kurang dari enam
bulan dan semua anak perempuan dengan usia kurang dari dua tahun.
Diagnosis ISK yang tepat tergantung pada pengambilan sampel urin yang
tepat (Elder JS, 2007; Fisher JD, et.al., 2011).

34
Pengumpulan dan Analisa Urin
Standar kriteria untuk mendiagnosis ISK adalah isolasi kuman patogen
dari kultur urin yang diperoleh melalui aspirasi suprapubik. Meskipun aspirasi
suprapubik adalah metode kriteria standar untuk mendapatkan urin, namun
kateterisasi adalah teknik yang paling umum digunakan pada bayi dan anak-
anak muda. Selain untuk pengambilan urin, kateterisasi juga dapat digunakan
untuk mengetahui volume residu urin sehingga dapat mengetahui klinis pasien
seperti kemungkinan adanya neuropati bladder. Pengambilan spesimen urin
midstream untuk anak-anak yang lebih tua dinilai cukup adekuat untuk
menegakkan ISK. ISK didefenisikan jika ditemukan sejumlah 100.000 CFU/
mL dalam spesimen mid stream urine. Sedangkan pengambilan spesimen
melalui urine bag dinilai tidak cukup valid untuk menilai ISK pada anak
karena tingginya angka positif palsu (Faller A, 2004).
Meskipun kultur urin adalah standar kriteria untuk diagnosis UTI,
mungkin diperlukan waktu selama 48 jam untuk budaya menjadi positif. Oleh
karena itu, urine sering dibutuhkan untuk membantu membuat diagnosis awal
ISK (Fisher JD, et.al., 2011).
Untuk penapisan pertama adanya ISK atau untuk mengetahui adanya
ISK berulang dapat digunakan (Rusdidjas, Ramayati R, 2002) :
a. Cara dip slide yaitu suatu gelas objek yang dilapisi media biakan diatasnya,
direndam kedalam pot yang berisi urin didalamnya dan siintubasi sebelum
24 jam.
b. Plastik dip stick test (Multistix, Ames Company) yaitu suatu batang plastic
tipis yang pada ujungnya terdapat reagent pads.
1. Untuk mengetahui adanya nitrit dalam urin. Bakteri gram negatif dalam
urin di kandung kemih mengubah nitrat (yang berasal dari makanan)
menjadi nitrit. Nitrit paling baik ditemukan bila urin dalam kandung
kemih sudah tertahan lebih dari 4 jam (Rusdidjas, Ramayati R, 2002).
2. Menghitung bakteri gram negatif (bacteri count)
Leukosit granulosit mengandung esterase yang merupakan
katalisatorhydrolysis pyrole aminoacid ester yang menghasilkan 3-
hydroxy 5-phenyl pyrrole; pyrrole ini bereaksi dengan gram
diazonium, yang memberikan warna ungu pada reagent pads
(Rusdidjas, Ramayati R, 2002).
Dengan dip-stick ini diketahui 1,6% kulturnya positif palsu.
(IDAI)Penghitungan jumlah bakteri dari sediaan langsung urin tanpa
sentrifugasi yang diwarnai dengan pewarnaan gram dengan satu tetes

35
urin diletakkan diatas gelas objek dan sesudah kering diwarnai dengan
pewarnaan gram, memberikan korelasi yang tinggi dengan biakan
urin. Bila ditemukan suatu bakteri gram negatif/ lapang pandang
dengan minyak emersi (oil immersion field = oil); maka 88%
daripadanya ditemukan hasil biakan kuman yang bermakna
(significant bacteriuria). Weinberg menyatakan bila ditemukan dua
atau lebih bakteri/oif97,6% dari padanya ditemukan biakan bakteri
yang bermakna. Pyuria, proteinuria dan hematuria dapat terjadi
dengan atau tanpa ISK. Sebaliknya, ISK dapat terjadi tanpa pyuria
(Rusdidjas, Ramayati R, 2002; Fisher JD, et.al., 2011). Pada
Urinalisis terdapat sensitivitas dan spesifitas yang bervariasi (WHO,
2005).
Sebagian besar ISK disebabkan oleh organisme tunggal,
kehadiran dua atau lebih organisme biasanya menunjukkan adanya
kontaminasi. Sebuah kultur urin tidak wajib pada perempuan remaja,
khususnya dengan episode pertama. Pada episode ISK berulang,
episode yang gagal terapi dan pada anak perempuan dengan pyuria
tanpa bakteriuria, pemeriksaan kultur urin dianjurkan (Fisher JD,
et.al., 2011).

Pemeriksaan Pencitraan

Tujuan dari studi pencitraan pada anak-anak dengan ISK adalah mengidentifikasi
kelainan anatomi yang mempengaruhi terhadap infeksi. Namun pemilihan
pmeriksaan dengan imaging yang sesuai untuk ISK pada anak masih merupakan
kontroversi.
1. Ultrasonografi
Ultrasonografi telah menggeser urografi intravena sebagai pemeriksaan
awal untuk ISK pada anak. Ultrasonografi saja umumnya tidak adekuat
untuk investigasi ISK pada anak-anak, karena tidak dapat diandalkan dalam
mendeteksi refluks vesicoureteral, parut ginjal ataupun perubahan akibat
peradangan. Jika refluks atau kelainan morfologi dapat diidentifikasi, renal
scintigraphy and voiding cystourethrography dianjurkan untuk
pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kelainan ginjal atau jaringan parut
pada saluran kemih. Sebuah rekomendasi saat ini adalah bahwa USG harus
dihilangkan pada ISK pada anak-anak jika demam pada bayi dan anak-
anak menanggapi pengobatan (afebril dalam waktu 72 jam), hasil follow
up baik, dan tidak ada kelainan berkemih atau bahkan massa intra abdomen
(Fisher JD, et.al., 2011; Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011).

36
2. Urografi Intravena
Urografi Intravena menampilkan gambar anatomi yang tepat dari ginjal dan
dapat dengan mudah mengidentifikasi beberapa kelainan saluran kemih
(misalnya, kista, hidronefrosis).Kelemahan utama dari urografi intravena
adalah kurangnya sensitifitas dibandingkan dengan skintigrafi ginjal dalam
deteksi pielonefritis maupun jaringan parut pada ginjal. Tingginya dosis
radiasi dan respon tubuh terhadap kontras sangat perlu diperhatikan
khususnya pada anak-anak. Mengingat kelemahan tersebut, urografi
intravena tampaknya memiliki peran yang kecil dalam mendeteksi ISK pada
anak (Fisher JD, et.al., 2011).

3. Skintigrafi Kortikal Ginjal


Skintigrafi Kortikal Ginjal telah mengganti urografi intravena sebagai
teknik standar untuk mendeteksi peradangan ginjal dan adanya jaringan
parut pada ginjal. Skintigrafi Kortikal Ginjal dengan technetium-99m-
labeled glucoheptonate maupunDimercaptosuccinic Acid (DMSA) sangat
sensitif dan spesifik. Pemakaian DMSAmenawarkan keuntungan dalam
deteksi dini perubahan inflamasi akut dan luka yang permanen
dibandingkan dengan USG atau urografi intravena. Hal ini juga berguna
pada neonatus dan pasien dengan fungsi ginjal yang buruk. Computed
tomography (CT)sensitif dan spesifik untuk mendeteksi pielonefritis akut,
tetapi tidak ada studi yang membandingkan CT dan skintigrafi. Selain itu,
CT lebih mahal daripada skintigrafi, selain itu pemaparan radiasi pada
pasien juga lebih tinggi (Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011).

4. Voiding Cystourethrography
Karena refluks vesicoureteral merupakan faktor risiko dari nefropati refluks
dan pembentukan jaringan parut pada ginjal, identifikasi awal pada kelainan
ini sangat dianjurkan. VoidingCystourethrography harus ditunda sampai
infeksi saluran kencing telah terkendali, karena refluks vesicoureteral
mungkin merupakan efek sementara dari infeksi. Namun, karena kepekaan
dan spesifisitas yang rendah, dan
karena Voiding Cystourethrography melibatkan iradiasi gonad dan
kateterisasi, penggunaannya dalam mendiagnosis refluks vesicoureteral
masih dipertanyakan (Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011). Indikasi
untuk Voiding Cystourethrography) masih controversial dan sering
berubahKebanyakan dokter merekomendasikan pemeriksaan ini untuk
semua anak dengan demam oleh karena

37
ISK. Voiding Cystourethrography juga dianjurkan pada anak perempuan
yang telah mengalami ISK 2 atau 3 kali dalam jangka waktu 6 bulan, dan
untuk anak laki-laki dengan lebih dari satu
ISK. Voiding Cystourethrography juga harus dilakukan jika sonogram
ginjal menunjukkan kelainan signifikan, seperti hidronefrosis, kelainan
panjang ginjal, atau penebalan dinding kandung kemih. Temuan yang
paling umum adalah refluks vesicoureteral, yang diidentifikasi di sekitar
40% dari pasien. Waktu pemeriksaan Voiding Cystourethrography juga
masih kontroversial. Meskipun di beberapa pusat penelitian pemeriksaan ini
ditunda 2-6 minggu untuk meredakan peradangan pada kandung
kemih. Sehingga waktu yang tepat adalah pada sebelum anak keluar dari
rawatan dari rumah sakit, pemeriksaan ini sekaligus bisa mengevaluasi
keadaan anak. Jika tersedia, Voiding Cystourethrography radionuklida
daripada VoidingCystourethrography kontras dapat digunakan pada anak
perempuan; teknik ini membuatpaparan radiasi kurang pada gonad daripada
dengan kontras. Pada anak laki-laki, pemeriksaan radiografi dari uretra
merupakan hal yang penting, sehingga Voiding Cystourethrographykontras
direkomendasikan untuk pemeriksaan radiologis awal. Karena
kekhawatiran bahwaVoiding Cystourethrography mungkin akan menjadi
hal traumatis kepada anak, beberapa orangtua masih mempertanyakan
perlunya Voiding Cystourethrography jika ultrasonogram hasilnya normal.
Perlu diingat bahwa ultrasonografi tidak sensitif dalam mendeteksi refluks,
hanya 40% dari anak-anak dengan refluks memiliki kelainan pada
ultrasonogram tersebut (Elder JS, 2007; Fisher JD, et.al., 2011; Ahmed SM,
dan Swedlund SK, 2011).

5. Isotope Cystogram
Meskipun Isotope Cystogram menyebabkan ketidaknyamanan yang sama
seperti kateterisasi kandung kemih yang digunakan
dalam Voiding Cystourethrography , pemeriksaanini memiliki keunggulan
dilihat dari dosis radiasi ionisasi yang hanya 1% daripada yang digunakan
pada Voiding Cystourethrography, dan pemantauan terus menerus [ada
pemeriksaan ini juga lebih sensitif untuk mengidentifikasi adanya suatu
refluks dibandingkan pemeriksaan flourokopi sesekali yang dilakukan
pada Voiding Cystourethrography (Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011).

38
Tabel 3. Keuntungan dan Kerugian dari Pemeriksaan Radiologis dalam Evaluasi
ISK (Ahmed SM, dan Swedlund SK, 2011).

Imaging study Advantages Disadvantages

Ultrasound Measures renal size and Not reliable to detect


shape Identifies vesicoureteral reflux,
hydronephrosis, structural or renal scarring or
anatomic abnormalities and inflammatory changes
renal calculi
No radiation

Intravenous Precise anatomic image of Not as reliable to detect


urography the kidneys renal scarring or
Estimates renal function pyelonephritis
High radiation dose
Risk of reaction to
contrast medium
Poor detail in infants

Renal cortical Detects pyelonephritis and Does not evaluate


scintigraphy renal scarring even in early collecting system
stages Cannot detect
Useful in neonates obstruction
Little radiation
Useful in patients with poor
renal function

Computed Provides both anatomic and Expensive


tomography functional information about High radiation
the kidney Few clinical or
Possibly more sensitive in experimental data to
diagnosing pyelonephritis support its use at
present

Voiding Assesses the size and shape Gonadal radiation


cystourethrography of bladder Catheterization
Detects and grades
vesicoureteral reflux

39
Evaluates posterior urethral
anomalies in boys

J. Diagnosis banding pada anak yang dicurigai ISK (Ahmed SM, dan Swedlund
SK, 2011).
 Appendisitis pada anak
 Gastroenteritis
 Cacingan
 Batu ginjal
 Obstruksi saluran kemih
 Vaginitis
 Vulvovaginitis
 Tumor Wilms

K. Pengobatan
Hock-Boon (1988) mengemukakan beberapa prinsip penanggulangan ISK pada
anak (Rusdidjas, Ramayati R, 2002) :

1. Konfirmasi diagnosis ISK


2. Eradikasi infeksi pada waktu serangan atau relaps
3. Evaluasi saluran kemih
4. Perlu tindakan bedah pada uropati obstruktif, batu, buli-buli
neurogenik
5. Cegah infeksi berulang
6. Perlu tindak lanjut

Sistitis akut harus ditangani segera untuk mencegah perkembangan


mungkin untuk pielonefritis. Jika gejalanya berat, spesimen urine kandung
kemih diperoleh untuk kultur, dan pengobatan segera dimulai. Jika gejala yang
ringan atau diagnosis diragukan, perawatan dapat ditunda sampai hasil kultur
diketahui, dan kultur dapat diulang jika hasil tidak pasti. Jika pengobatan
dimulai sebelum hasil kultur dan sensitivitas yang tersedia, terapi dengan
trimetoprim-sulfametoksazol selama 5 hari efektif terhadap sebagian besar
strain E. coli. Nitrofurantoin (5-7 mg/kg/24 jam dalam 3 sampai 4 dosis terbagi)
juga efektif dan memiliki keuntungan yang aktif terhadap organisme-
Enterobacter Klebsiella. Amoksisilin (50 mg/kg/24 jam) juga efektif sebagai
pengobatan awal tetapi tidak memiliki keunggulan yang jelas atas sulfonamid
atau nitrofurantoin (Fisher JD, et.al., 2011).

40
Pada infeksi demam akut dengan kemungkinan pielonefritis,
penggunaan antibiotik spektrum luas selama 14 hari mampu mencapai tingkat
jaringan yang signifikan. Anak-anak yang dehidrasi, karena muntah, atau tidak
dapat minum cairan kemungkinan harus dirawat di rumah sakit untuk rehidrasi
intravena dan terapi antibiotik intravena. Pengobatan parenteral dengan
ceftriaxone (50-75 mg/kg/24 jam, tidak lebih dari 2 g) atau ampisilin (100
mg/kg/24 jam) dengan aminoglikosida seperti gentamisin (3-5 mg/kg/24 jam
dalam 1 untuk 3 dosis terbagi) adalah lebih baik. Potensi otoxicity dan
nefrotoksisitas dari aminoglikosida harus dipertimbangkan, dan kadar kreatinin
serum harus diperoleh sebelum memulai pengobatan dengan gentamisin harus
diperoleh sebelum memulai pengobatan. Pengobatan dengan aminoglikosida
terutama efektif terhadap Pseudomonas spp. Oral sefalosporin generasi ke-3
seperti cefixime efektif terhadap berbagai organisme gram negatif selain
Pseudomonas, dan obat ini dianggap oleh beberapa pihak menjadi pilihan
perawatan untuk terapi oral. Nitrofurantoin tidak boleh digunakan secara rutin
pada anak-anak dengan demam ISK karena tidak mencapai tingkat yang
signifikan terhadap jaringan ginjal. Ciprofloxacin yang merupakan
fluorokuinolon yang digunakan secara oral adalah agen alternatif untuk
mikroorganisme resisten, terutama Pseudomonas, pada pasien yang lebih tua
dari 17 tahun. Ini juga telah digunakan pada anak dengan cystic fibrosis dan
infeksi paru sekunder untuk Pseudomonas. Keamanan dan efektivitas
ciprofloxacin oral pada anak diteliti. Pada beberapa anak-anak dengan ISK
demam, injeksi intramuskular dosis loading ceftriaxone diikuti dengan terapi
oral dengan sefalosporin generasi ke-3 efektif (Fisher JD, et.al., 2011).
Anak dengan abses ginjal atau perirenal atau dengan infeksi pada
saluran kemih terhambat sering memerlukan drainase bedah atau perkutan
selain terapi antibiotik dan langkah-langkah pendukung lainnya.
Pada anak dengan ISK berulang, identifikasi faktor predisposisi sangat
bermanfaat. Profilaksis terhadap infeksi ulang, menggunakan-trimetoprim
sulfametoksazol, trimetoprim, atau nitrofurantoin pada ⅓ dari dosis terapi
normal sekali sehari, sering efektif (Fisher JD, et.al., 2011).
Padabayi dan anak usia 2 bulan sampai 2 tahun dengan demam pertam
a, dengan menampakkan gejala klinis ISK,
maka spesimen urine untuk urinalisis dan kultur harusdiperoleh
dengan aspirasi suprapubik atau kateterisasi sebelum pengobatan dimulai
(Fisher JD, et.al., 2011).
Beberapa bukti menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan dalamkeberhasilan antara terapi IV diberikan antibiotik selama 3 h
ari diikuti dengan terapi oralselama 11 hari dan 14 hari terapi oral. Data

41
ini didasarkan pada percobaan kontrol secara acak dari 306 anak usia 1-
24 bulan bahwa dibandingkan sefiksim oral selama 14 haridengan cefotaxime
IV selama 3 hari diikuti oleh sefiksim oral selama 11 hari. Tidak
adaperbedaan penting diamati pada hasil jangka pendek atau
jangka panjang. Jadi direkomendasi bahwa anak-
anak dengan demam ISK harus
menerima pengobatan oraldengan sefalosporin-kedua atau generasi
ketiga, amoksisilin klavulanat, atausulfametoksazol-trimetoprim (TMP-SMZ)
(Fisher JD, et.al., 2011).
Rawat Inap pengobatan anak-anak dengan pielonefritis rumit.
Berikan cairan parenteral yang tepat, biasanya pada 1-1,5 kali tingkat
pemeliharaan biasa, berikan pengobatan parenteral dengan sefalosporin
generasi ketiga, seperti ceftriaxone atau cefotaxime. Tambahkan ampisilin
jika terdapat cocci gram positif dalam sedimen urin atau jika tidak ada
organisme yang ditemukan. Gentamisin merupakan alternatif untuk bayi yang
lebih tua dari 7 hari, untuk anak-anak yang lebih tua, dan bagi remaja yang
alergi terhadap sefalosporin. Monitor fungsi ginjal dan pembuluh darah jika
obat ini diperlukan untuk lebih dari 48 jam (Fisher JD, et.al., 2011).
Hasil studi kultur urin dan sensitivitas biasanya tersedia dalam waktu
48 jam. Jika patogen sensitif terhadap antibiotik yang digunakan dan jika anak
itu membaik, maka teruskan pengobatan dengan rute parenteral sampai
anak tidak demam selama 24-36 jam.Pasien dirawat di rumah sakit
biasanya dapat pulang ke rumah setelah 48-72 jam. Lanjutkan dosis terapi
antibiotik selama 10-14 hari terapi antibiotik. Terapi antibakteri tetapharus
diberikan untuk mencegah infeksi ulang sampai hasil vesikouretrografi
diperoleh (Fisher JD, et.al., 2011).

Tabel 4. Antibiotik Agen untuk parenteral Pengobatan ISK (Fisher JD, et.al.,
2011).
Obat Dosis dan Rute Pemberian Keterangan
Ceftriaxone 50-75 mg/kg/d IV/IM sebagai dosis Tidak digunakan pada bayi <
tunggal atau dibagi setiap 12 jam. 6 minggu; antibiotic
parenteral dengan waktu
paruh panjang.
Cefotaxime 150 mg/kg/d IV/IM dibagi setiap 6-8 Aman digunakan pada bayi <
jam. 6 minggu, digunakan dengan
ampisilin pada bayi usia 2 – 8
minggu.

42
Ampicillin 100 mg/kg/d IV/IM dibagi setiap 8 Digunakan bersama
jam gentamisin pada neonatus <2
minggu, untuk kuman
enterokokus dan pasien yang
alergi dengan sefalosporin.
Gentamicin Neonatus < 7 hari: 3.5-5 Monitor darah dan fungsi
mg/kg/dosis IVsetiap 24 jam ginjal.
Bayi dan anak < 5 tahun: 2.5
mg/kg/dosis IVsetiap 8 jam atau dosis
tunggal dengan fungsi ginjal normal
yaitu 5-7.5 mg/kg/dosis IV setiap 24
jam

Anak =5 tahun: 2-2.5


mg/kg/dosis IV setiap 8 jam atau
dosis tunggal dengan fungsi ginjal
normal 5-7.5 mg/kg/dosis IV setiap
24 jam

Tabel 5. Agen antibiotik untuk Pengobatan Oral ISK (Fisher JD, et.al., 2011).
Agen Antibakteri Dosis Harian
Sulfisoxazole 120-150 mg/kg dibagi setiap 4–6 jam.
Sulfamethoxazole and trimethoprim 6-12 mg/kg TMP, 30-60 mg/kg SMZ,
dibagi stiap 12 jam
Amoxicillin and clavulanic acid 20-40 mg/kg dibagi tiap 8 jam
Cephalexin 20-50 mg/kg dibagi tiap 6 jam
Cefixime 8 mg/kg dibagi tiap 12-24 jam
Cefpodoxime 10 mg/kg dibagi tiap 12 jam
Nitrofurantoin* 5-7 mg/kg dibagi tiap 6 jam
*Nitrofurantoin dapat digunakan pada infeksi saluran saluran kemih bawah. Tapi,
karena daya penetrasi terhadap jaringan yang terbatas, nitrofurantoin tidak cocok
digunakan untuk pengobatan infeksi pada ginjal.

43
Tabel 6. Agen antibiotik untuk mencegah infeksi ulang (Fisher JD, et.al., 2011).
Agent Single Daily Dose
Nitrofurantoin 1-2 mg/kg PO
Sulfamethoxazole and trimethoprim 1-2 mg/kg TMP, 5-10 mg/kg SMZ PO
Trimethoprim 1-2 mg/kg PO

L. Komplikasi

Reaksi alergi terhadap terapi antibiotik seringterjadi pada anak-anak dengan


pielonefritis dapat terjadi radang lobar dariginjal (lobar atau nephronia lokal) atau
abses ginjal. Setiap peradangan pada parenkim ginjal dapat menyebabkan
pembentukan jaringan parut. Komplikasi jangka panjang pielonefritis adalah
hipertensi, gangguan fungsi ginjal, penyakit ginjal kronik, dan komplikasi
kehamilan (misalnya UTI hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan,
neonatus berat lahir rendah). Dehidrasi adalah komplikasi yang paling umum dari
ISK pada populasi anak-anak. Pengganti cairan intravena diperlukan dalam kasus
yang lebih parah (Hansson S., dan Jodal U., 2003).

Kesakitan terkait dengan pielonefritis ditandai dengan gejala sistemik


seperti demam, nyeri perut, muntah dan dehidrasi. Bakterimia dan sepsis dapat
terjadi. Anak dengan pielonefritis dapat juga terdapat sistitis. Kematian akibat ISK
jarang terjadi pada anak sehat pada negara berkembang (Hansson S., dan Jodal U.,
2003).

ISK menyebabkan morbiditas yang signifikan dan penderitaan untuk anak-


anak, ketidaknyamanan dan kecemasan bagi keluarga, dan kebutuhan pengobatan
yang cukup tinggi.Meskipun kebanyakan anak dengan ISK memiliki prognosis
jangka panjang yang sangat baik, ada risiko komplikasi yang serius dalam sebagian
kecil penderita, terutama pada mereka dengan anomali kongenital hipoplasia atau
displastik dan refluks melebar. Gangguan fungsi ginjal mungkin terjadi, kadang-
kadang menyebabkan gagal ginjal kronis dan bahkan end stage darirenal disease,
hipertensi, dan komplikasi kehamilan (Hansson S., dan Jodal U., 2003).

Gagal Ginjal Kronis

Pendekatan diagnostik dan terapi lebih agresif yang digunakan pada masa
bayi dan anak usia dini selama dekade terakhir tampaknya memiliki penurunan
risiko ISK menyebabkan gagal ginjal kronis. Sebuah laporan di Inggris

44
mencerminkan manajemen ISK tahun 1960-an dan 1970-an, penyebab utama
dari end stage renal failure adalah pielonefritis dengan atau tanpa adanya refluks
sebanyak 21% (60). Dalam studi Prancis dari tahun 1975 sampai 1990, pielonefritis
dengan refluks merupakan penyebab 12% anak dengan Gagal Ginjal Kronis. Untuk
periode 1986 sampai 1995, hanya 1 dari 102 anak-anak yang mencapai end stage
renal failure di Kansas memiliki diagnosis utama ISK dengan refluks. Di Swedia,
dengan total populasi 8,5 juta, situasinya bahkan lebih baik dimana tidak seorang
pun anak dengan insufisiensi ginjal kronis, yang didefinisikan dengan GFR di
bawah 30 mL/min/1.73 m2, karena ISK baru terdeteksi pada tahun 1986. Smellie
dan kawan-kawan. mempelajari suatu kelompok 226 orang dewasa setelah tindak
lanjut dari 10 sampai 35 tahun yang lalu. Mereka awalnya dirujuk ke klinik ISK
karena memiliki gejala ISK selama masa kanak-kanak. Sebagian besar telah
mengalami ISK yang berulang dan refluks vesicoureteral. Dari 226 pasien, 85 orang
memiliki temuan jaringan parut pada ginjal di hasil pemeriksaan radiologis pada
usia 10 tahun, dan tidak ada bekas luka yang terdeteksi setelahnya. Di antara 72
orang dewasa dengan jaringan parut ginjal yang diperiksa kembali pada usia rata-
rata 27 tahun, 18 (25%) orang mengalami peningkatan nilai plasma kreatinin; tiga
dari mereka telah mencapai end stage renal failure (Hansson S., dan Jodal U.,
2003).

Hipertensi
Dalam studi di Australia dan Inggris, pengembangan hipertensi ditunjukkan pada
10% dari anak-anak dan dewasa muda dengan pyelonephritic renal scarring (reflux
nephropathy).Risiko berhubungan dengan tingkat kerusakan; 15% sampai 30%
anak dengan hipertensi akibat jaringan parut bilateral dalam waktu 10 tahun. Dalam
studi 27 tahun setelah identifikasi jaringan parut ginjal nonobstructive focal, 30
orang dewasa diperiksa kembali ; 7 orang (23%) memiliki hipertensi > 140/90 mm
Hg. Smellie dan kawan-kawan, pada follow up jangka panjangmereka
menunjukkan adanya 14 orang (19%) dari 72 orang yang dari hasil pemeriksaan
radiologisnya memiliki jaringan parut pada ginjal. Sehingga paling tidak dalam
perspektif 20 tahun dari masa kanak-kanak, perawatan yang baik mungkin efektif
untuk meminimalkan risiko jangka panjang (Hansson S., dan Jodal U., 2003).

Komplikasi Kehamilan

Anak perempuan yang memiliki kecenderungan untuk ISK berulang sejak kecil
maka akan memiliki peningkatan risiko infeksi baru setelah dewasa khususnya
selama kehamilan.Perempuan dengan jaringan parut ginjal memiliki peningkatan
signifikan tekanan darah selama kehamilan. Pada wanita dengan refluks nefropati

45
yang parah sebagian besar memiliki gangguan selama masa kehamilan. Pasien
wanita dengan jaringan parut ginjal harus diikuti dengan hati-hati sampai dewasa
dan saat melalui masa reproduksi (Hansson S., dan Jodal U., 2003).

46
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

ISK merupakan salah satu penyakit infeksi terbanyak kedua pada anak
setelah infeksi pernapasan. Ditahun pertama kehidupan, penyakit ini banyak
diderita oleh anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan, dan sebaliknya
setelah tahun pertama kehidupan anak perempuan menderita penyakit ISK
dibandingkan anak laki-laki. Sirkumsisi bisa menurunkan risiko anak laki-laki
terkena penyakit ini.

Etiologi dari penyakit ISK ini utamanya adalah bakteri Eschericia


coli, namun tidak menutup kemungkinan bakteri patogen lainnya (yang bukan
merupakan bagian dari flora normal tubuh) bisa menjadi penyebab dari ISK pada
anak. Proses patogenesis dari ISK terbagi menjadi dua cara yaitu ascending
route dan bloodborne.

Gejala awal dari ISK pada anak sangatlah tidak khas, biasanya anak akan
mengalami demam hilang timbul yang tidak dapat diketahui darimana sumbernya.
Jarang sekali kasus yang disertai dengan gangguan dari traktus urinarius, sehingga
untuk menegakkan diagnosis ISK pada anak akan dibutuhkan analisis urin dan
kultur urin. Pada beberapa kasus yang meragukan, diagnostik imaging bisa
dilakukan untuk membantu diagnosis walaupun ampai sekarang pemeriksaan ini
masih kontroversial.

Pengobatan untuk ISK utamanya adalah dengan antibiotik. Deteksi dini dan
pengobatan segera akan sangat dibutuhkan agar komplikasi jangka panjang bisa
dihindari. Tapi tentu saja yang paling penting adalah pencegahan dengan cara
menjaga higien dan sebaiknya pasien yang pernah menderita ISK benar-benar
diperhatikan agar tidak terjadi ISK berulang.

47
B. Saran
1. Untuk orang tua dan pasien
a. Jaga kesehatan orang tua dan bayi. Usahakan cuci tangan dengan sabun
sebelum memegang bayi, hal ini bertujuan untuk membunuh kuman
yang ada ditangan.
b. Selain pemberian antibiotik, penderita ISK perlu mendapat asupan
cairan yang cukup,
c. Perawatan higiene daerah perineum dan periuretra, serta pencegahan
konstipasi.
d. Jagalah kebersihan tempat tidur anak, karena anak sering mengompol
dan resiko terkena ISK meningkat, disiplin dan rutin dalam mengganti
popok, sprei, dan membersihkan area tidur anak dapat menurunkan
serta mencegah terjadinya ISK.
e. Perhatikan jenis makanan yang diberikan pada anak, usahakan
makanan dimasak dengan sempurna dan bebas dari penyakit dan racun
dengan nutrisi yang cukup.
f. Segera bawa kedokter jika ISK yang diderita tak kunjung sembuh

2. Untuk dokter
a. Diharapkan dokter dapat lebih mempertajam kemampuan anamnesis
b. Diharapkan dapat melakukan pemeriksaan fisik dengan benar sehingga
dapat menyingkirkan diagnosis banding.

48
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. Dalam: Alatas H, Tambunan T,


Trihono PP, Sardevi SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta:
IDAI; 2002. h. 142-57.
2. Elder JS. Urinary tract infections. Dalam : Kliegman RM, Behrman RE, Jenson
HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatric. Edisi Ke-
18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
3. Fisher JD, Howes DS, Thornton SL. Pediatric urinary tract infection. Diunduh
darihttp://emedicine.medscape.com/article/. Diakses tanggal 7 Juni 2011.
4. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2007.
h. 1-15.
5. Alatas H. Anatomi dan fisiologi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono
PP, Sardevi SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta: IDAI;
2002. h. 1-3.
6. Wilson LM. Anatomi dan fisiologi ginjal dan saluran kemih. Dalam: Price SA,et
al, penyunting. Patofisiologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006. h. 867-91.
7. Faller A, Schünke M, Schünke G. The human body, an introduction to structure
and function. New York: Thieme; 2004. h. 444-8.
8. MacGregor J. Introduction to the anatomy and physiology of children, second
edition. Oxon: Routledge; 2008. h. 110-20.
9. Alatas H. Perkembangan fisiologi ginjal dan gangguan sistem kemih-kelamin
pada neonatus. Dalam: Markum AH, penyunting. Buku ajar ilmu kesehatan
anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 1999. h. 337-9.
10. Ahmed SM, Swedlund SK. Evaluation and treatment of urinary tract infection
in children. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/. Diakses tanggal 7 Juni 2011.
11. Wong SN. Practical pediatric nephrology: an update of current practices.
Taiwan; 2005.
12. Webb N. Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. New York: Oxford; 2003.
13. Edelmann CM. Pediatric kidney disease. Edisi ke-2. Volume II disease of the
kidney and urinary tract. Boston: Litle Brown and Company; 1978.

49
14. World Health Organization, Department of Child and Adolescent Health and
Development. Discussion papers on child health, urinary tract infection of infant
and children in developing countries in the context of IMCI. 2005.
15. White B. Diagnosis and treatment of urinary tract infection. American family
physician 2011; 83. Diunduh dari : www.aafp.org/ afp. Diakses tanggal 8 Juni
2011.
16. Hansson S, Jodal U. Urinary tract infection. Dalam: Avner ED, et al,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. New York: Oxford ; 2003.

50

Anda mungkin juga menyukai