Anda di halaman 1dari 7

TATA CARA MERAWAT ORANG SAKIT DAN SAKARATUL MAUT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. Sakit dalam Pandangan Islam


Dalam setiap perjalanan hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada tiga kondisi dan
situasi yakni sehat, sakit atau mati. Pada kondisi sehat, terkadang melupakan cara hidup sehat
dan mengabaikan perintah Allah SWT, sebaliknya pada kondisi sakit dianggap sebuah beban
penderitaan, malapetaka dan wujud kemurkaan Allah SWT.
Dalam Q.S. Saad: 27 Allah SWT selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu
ujian kepada hambanya pasti ada hikmah atau pelajaran dibalik itu semua.
‫ار‬ َ َ‫اط اًل ۚ َٰذَلِك‬
ِ َّ‫ظ ُّن الَّذِينَ َكفَ ُروا ۚ فَ َو ْي ٌل ِللَّذِينَ َكفَ ُروا ِمنَ الن‬ َ ‫س َما َء َو ْاْل َ ْر‬
ِ َ‫ض َو َما بَ ْينَ ُه َما ب‬ َّ ‫َو َما َخلَ ْقنَا ال‬
Artinya:
Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah.
Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu
karena mereka akan masuk neraka.

Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan oleh Allah
SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Sabda Rasulullah SAW yang artinya
“Dan sesungguhnya bila Allah SWT mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan.
Siapa yang ridha menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa
yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT”
(H.R. Ibnu Majah dan At Turmudzi).
Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap
manusia. Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga
obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra dari Nabi saw bersabda:
‫َّللاُ دَا اء ِإ ََّّل أ َ ْنزَ َل لَهُ ِشفَا اء‬
َّ ‫َما أ َ ْنزَ َل‬
Allah SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya
(HR Bukhari)
Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah SWT berupa penghapusan
dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebagaimana sebuah
hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, “Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit
atau perkara lain kecuali Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-
kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.”

2. Jenis Penyakit
a. Penyakit fisik/ lahir
b. Penyakit batin/ hati, seperti syirik, kufur, iri atau dengki, dan lain sebagainya

3. Macam-macam Orang Sakit


Orang yang sakit dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu:
a. Orang yang sakit ringan,
b. Orang yang sakit berat atau keras, dan
c. Orang yang sedang menghadapi sakaratul maut

4. Anjuran Bagi Orang yang Sakit


a. Berbaik sangka kepada Allah SWT
b. Bersabar atas apa yang menimpanya, tidak berputus asa
c. Menerima takdir Allah SWT atasnya
d. Bersyukur kepada Allah SWT
e. Memperbanyak istighfar
f. Memperbanyak doa
g. Banyak muhasabah diri
h. Senantiasa mengharapkan rahmat Allah SWT atasnya
i. Tawakkal
j. Tetap menjalankan ibadah sesuai kemampuan
k. Membaca buku-buku agama untuk menguatkan batinnya
l. Mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Quran
m. Tidak boleh mengharapkan kematian bagi dirinya
n. Hendaklah segera menunaikan segala tanggungan-tanggungan (utang) kepada orang lain atau
memberi wasiat kepada keluarganya atau yang lainnya

5. Sifat-Sifat Perawat Orang Sakit


a. Ikhlas
b. Penuh kasih sayang
c. Pemaaf
d. Cermat/ teliti
e. Penuh tanggung jawab
f. Patuh pada peraturan
g. Menyimpan rahasia

6. Perawatan Bagi Orang Sakit


a. Pengobatan Medis
b. Pengobatan Non Medis, meliputi:
 Doa-doa
 Mendengarkan ayat-ayat al-Qur’an
c. Pengobatan alternatif lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam

7. Pendampingan Terhadap Orang Sakit


Orang sakit biasanya mengalami krisis psikologis dalam dirinya, oleh karena itu
hendaknya didampingi dan diberi perhatian lebih, serta dorongan motivasi untuk
kesembuhannya. Doa-doa serta dzikir dirasa mampu mengurangi rasa sakit orang yang
merasakannya. Karena dalam doa dan dzikir tersebut terdapat ilmu ikhlas sebagai hamba Allah
swt yang tidak mempunyai daya dan upaya dihadapan-Nya. Kita dapat mendampinginya sebagai
wujud bertawaqal dan menyerahkan diri kepada Allah swt dan menyadari segalanya kembali atas
kehendaknya.

8. Pengertian Sakaratul Maut


a. Sakaratun jamak dari sakratun = ‘keadaan mabuk’
b. Naza’ = mencabut, mencopot, melepaskan, menghilangkan
c. Wafat (wafaa) = sempurna/ lengkap (tamma)
d. Ajal = batas waktu, akhir waktu

Imam Al Gazali berbicara tentang maut, “sesungguhnya diketahui dari jalan-jalan yang
menjadi pedoman dan al-quranul karim menyatakannya pula bahwa maut tidak lebih perubahan
keadaan manusia semata. Setelah berpisahnya jasad, wujudnya tetap, hanya masalahnya dia
tersiksa atau didalam nikmat allah”. Arti perpisahan dengan jasad adalah berakhirnya kekuasaan
atas jasad bersamaan dengan keluarnya roh dari jasad tersebut atas kehendak masa yang telah
ditetapkan baginya. Anggota badan merupakan alat bagi manusia, seperti tangan dipergunakan
untuk memukul dan perbuatan-perbuatan lainnya, telinga untuk mendengar, mata untuk melihat,
dan yang sebenarnya untuk memahami segala sesuatu adalah hati. Hati disini diibaratkan sebagai
roh karena itu disebut hati rohani bukan hati jasmani, dan roh dengan sendirinya dapat
mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan alat atau indera.

9. Tanda-Tanda Orang yang Sakaratul Maut


a. Kakinya terasa lebih dingin
b. Jari kaki dan tangan nampak hijau kebiru-biruan
c. Mata membalik
d. Denyut nadi mulai tidak teraba
e. Telinganya tampak lemas (pipih)
f. Sekali-kali merasa panas, minta dikipasi
g. Tampak kesehatannya lebih baik, kadang minta makan atau minum

10. Bimbingan Terhadap Pasien yang Sakaratul Maut


a. Mendampinginya dengan tegar
Apabila diperkenankan, membisikkan kalimat atau bacaan Tauhid ditelinga pasien dan di doakan
b. Pasrah dan ikhlas atas segala yang terjadi, serta menyadari bahwa semua takdir yang terjadi
merupakan kehendak-Nya
c. Adapun bimbingan bagi keluarga pasien yang sakaratul maut:
*Mengajak keluarga untuk tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk pasien sakaratul maut
dengan ridho dan ikhlas atas apa yang terjadi
*Menghimbau untuk menciptakan suasana yang tenang
*Ajak untuk berdoa bersama serta pasrah dengan apa yang akan terjadi dan menyadari bahwa
semata-mata atas kehendak-Nya

11. Tuntunan Merawat Orang Sekarat


Kepercayaan Spiritual dan Keagamaan
Penanganan penyakit secara serius pada klien biasanya melibatkan intervensi medis
untuk memulihkan atau menjaga kesehatan. Sebagai rangkaian praktik kedua, strategi yang
transformatif, mengakui keterbatasan hidup, dan membantu individu yang sekarat menemukan
arti dalam penderitaan sehingga mereka dapat melampaui atau melangkah lebih ke depan,
keberadaan diri mereka. Praktik yang transformatif dihubungkan dengan penyembuhan,
komunikasi, dan kepercayaan spiritual atau keagamaan (Myers,2003). Sumber daya spiritual
termasuk kepercayan pada kekuatan tertinggi, komunitas pendukung, teman-teman, rasa
pengharapan dan arti hidup, dan praktik keagamaan. Spiritualitas klien dan anggota keluarga
memengaruhi kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap rasa kehilangan. Individu yang
memiliki hubungan yang kuat dengan kekuatan tertinggi menunjukan ketabahan dan kemampuan
untuk mengalami pemulihan dari rasa kehilangan (Matheis, Tulsky, dan Matheis,2006).
Integrasi spiritual terjadi ketika individu mencapai kata sepakat dengan kehidupannya
dan meletakkan potongan-potongan kehidupannya bersama-sama dalam suatu cara yang sesuai
dengan seluruh kehidupannya. Mendekati akhir kehidupan, integrasi tersebut membantu individu
memperbaiki hubungan yang rusak atau menyelesaikan urusan yang belum terselesaikan
(O’gorman, 2002).
Fiqih Islam memberikan tuntunan terkait tindakan yang dilakukan terhadap orang yang
sakit keras/ sekarat (muhtadlir). Apabila nampak tanda-tanda ajalnya sudah tiba, maka tindakan
yang sunah dilakukan oleh orang yang sedang menungguinya adalah:
1. Membaringkan muhtadlir pada lambung sebelah kanan untuk menghadapkannya ke arah kiblat.
Jika tidak memungkinkan, misalnya disebabkan karena tempatnya terlalu sempit atau ada
semacam gangguan pada lambung kanannya, maka ia dibaringkan pada lambung sebelah kiri.
Dan jika masih tidak memungkinkan, maka tidurkanlah dengan melentangkan menghadap kiblat
dengan memberi ganjalan di bawah kepala agar wajahnya bisa lurus menghadap ke arah tersebut.
2. Membaca surat Yasin dengan agak keras dan al-Ro’du dengan suara yang pelan. Faidah
pembacaan Surat ini kata al-Qulyubi, adalah mempermudah keluarnya ruh, disamping ada
sebuah hadits yang menjelaskan, bahwa ia akan mati, masuk dan bangkit dari alam kubur dalam
keadaan segar bugar. Dalam Nihayah Az-Zain, Syaikh Nawawi Banten menambahkan, jika tidak
mungkin membaca keduanya, maka surat yang dibaca disesuaikan dengan keadaan muhtadlir.
Yakni apabila masih ada kesadaran dalam diri muhtadlir, maka surat Yasin-lah yang dibaca. Dan
jika sudah tidak ada, maka yang dibaca adalah surat al-Ro’du karena surat ini berfaedah
mempermudah keluarnya ruh.
3. Men-talqin dengan kalimat Tahlil secara santun (lembut) tidak menampakkan kesan memaksa.
Misalnya, mulaqqin (orang yang mentalqin) mengingatkan disampingnya dengan ucapan: “
dzikir kepada Alloh itu amat diberkahi”, atau mengajak hadirin dzikir bersama. Dalam talqinnya,
Mulaqqin tidak perlu menambahkan lafadz Asyhadu kecuali muhtadlir bukan seorang mukmin
dan ada harapan ia masuk Islam, maka talqinnya disamping harus mencantumkan lafadz tersebut
juga harus disempurnakan menjadi dua kalimat syahadat agar ia meninggal dalam keadaan
Islam. Talqin ini tidak usah diulang kembali jika muhtadlir telah mampu mengucapkannya,
selama ia tidak berbicara lagi dan menurut Ulama’ Jumhur, walaupun mengenai hal-hal yang
berkenaan dengan akhirat. Karena tujuan talqin ini, agar kalimat Tahlil menjadi penutup kalimat
yang terucap dari mulutnya. Rosululloh bersabda :
‫آخ ُر ك َََل ِم ِه ََل ِإلَهَ إِ اَل هللا َد َخ َل ا ْل َجنا َة‬
ِ َ‫َم ْن كَان‬
Barang siapa yang akhir perkataannya adalah “Laa ilaaha illallâh”, maka dia masuk sorga.
4. Sunah memberi minum, jika nampak gejala ia menginginkannya. Karena dalam kondisi seperti
itu, syaitan bisa saja menawarkan minuman yang akan ditukar dengan keimanannya.

Sesaat Setelah Ajal Tiba


Setelah muhtadhir telah melalui kematiannya, seperti adanya tanda-tanda mengendurnya
telapak tangan dan kaki, cekungnya pelipis dan hidung yang tampak lemas, tindakan berikutnya
yang sunah dilalukan adalah:
1. Memejamkan kedua matanya
Jika sampai terlambat hingga kedua matanya tidak bisa dipejamkan, maka cara memejamkannya
dengan menarik kedua lengan serta kedua ibu jari kakinya secara bersamaan, niscaya kedua mata
tersebut akan terpejam dengan sendirinya.
2. Mengikat rahangnya ke atas kepala dengan memakai kain yang agak lebar agar mulutnya tidak
terbuka.
3. Melemaskan sendi-sendi tulangnya dengan melipat tangan ke siku, lutut ke paha dan paha ke
perut. Setelah itu dibujurkan kembali, kemudian jari-jari tangannya dilemaskan. Jika agak
terlambat sehingga tubuhnya sudah kaku, maka sunah dilemaskan memakai minyak. Hikmah
dari pelemasan ini agar mempermudah proses pemandian dan pengkafanannya nanti.
4. Melepaskan pakaiannya secara perlahan. Kemudian disedekapkan lalu mengganti pakaian
tersebut dengan kain tipis, (izar misalnya) yang ujungnya diselipkan di bawah kepala dan kedua
kakinya (menutupi semua tubuh). Kecuali jika ia sedang menunaikan ibadah Ihram, maka
kepalanya harus dibiarkan tetap terbuka.
5. Meletakkan beban seberat 20 dirham (20gr x 2,75gr = 54,300 gr) atau secukupnya di atas
perutnya dengan dibujurkan dan diikat agar perutnya tidak membesar.
6. Membebaskan segala tanggungan hutang atau lainnya. Dan jika tidak mungkin dilakukan pada
saat itu, maka segeralah ahli warinya malakukan aqad Hawalah (pelimpahan tanggungan hutang)
dengan orang-orang yang bersangkutan. Dan sunah bagi mereka menerima tawaran tersebut.

Anda mungkin juga menyukai