Anda di halaman 1dari 6

Suatu metode diperlukan dalam penulisan kisah sejarah untuk mendapatkan tulisan yang

sistematik dan objektif. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sejarah. Menurut Gottschalk (1975:32) yang dimaksud dengan metode sejarah adalah proses
menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau (Lubis, 2011:2).
Peristiwa pada masa lampau dapat kita hadirkan kembali dengan cara merekonstruksi peristiwa itu
dari jejak – jejak masa lampau yang disebut sumber (historical sources) (Lubis, 2011:7). Sumber
sejarah menurut bentuknya digolongkan menjadi tiga, yakni sumber tertulis, sumber lisan, dan
sumber benda (artefak) (Gottschalk, 1975: 35-36; Kuntowijoyo, 1995: 94-96; dalam Lubis, 2011:
7). Adapun menurut asal usulnya, sumber sejarah digolongkan menjadi sumber primer,
sumber sekunder, dan sumber tersier (Garraghan, 1946: 107; Alfian, 2000: 9; dalam Lubis,
2011:9-10). Menghadirkan kembali periwtiwa pada masa lampau bukan berarti kita mengulang
atau menampilkan kembali peristiwa atau tokoh – tokoh peristiwa tersebut secara nyata, melainkan
menghadirkannya melalui tulisan, yakni tulisan kisah peristiwa pada masa lampau.
Dalam metode sejarah, terdapat empat tahapan yang harus dilewati. Keempat tahapan tersebut
yakni heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi, dan historiografi (Lubis, 2011: 15-16).
Heuristik[sunting | sunting sumber]
Tahapan yang pertama adalah heuristik. Heuristik berasal dari bahasa Yunani “heuriskein” yang
berarti menemukan atau memperoleh (Renier, 1997:113 dalam Lubis, 2011:17). Sejarawan Nina
Herlina Lubis (2011:15) mendefinisikan heuristik sebagai tahapan / kegiatan menemukan dan
menghimpun sumber, informasi, jejak masa lampau. Jadi, heuristik merupakan tahapan proses
mengumpulkan sumber – sumber sejarah. Di samping sumber tertulis, terdapat pula sumber lisan.
Menurut Sartono Kartodirjo, sejarah lisan merupakan cerita-cerita tentang pengalaman kolektif
yang disampaikan secara lisan (Dienaputra, 2006:12). Sejarah lisan diperlukan untuk melengkapi
sumber – sumber tertulis. Dalam sejarah lisan, terdapat informasi – informasi yang tidak tercantum
dalam sumber – sumber tertulis. Untuk mendapatkan informasi – informasi itu, penulis harus
melakukan wawancara dengan naarsumber yang disebut sebagai pengkisah dengan menggunakan
alat rekam dan kaset (Dienaputra,2006:35).
Kritik[sunting | sunting sumber]
Tahapan yang kedua adalah kritik. Sumber – sumber yang telah diperoleh melalui tahapan
heuristik, selanjutnya harus melalui tahapan verifikasi. Terdapat dua macam kritik, yakni kritik
ekstern untuk meneliti otentisitas atau keaslian sumber, dan kritik intern untuk meneliti kredibilitas
sumber (Kuntowijoyo, 2005: 100). Singkatnya, tahapan kritik ini merupakan tahapan untuk
memilih sumber – sumber asli dari sumber – sumber palsu. Untuk mendapatkan fakta sejarah,
perlu melakaukan proses koroborasi, yakni pendukungan suatu data dari suatu sumber sejarah
dengan sumber lain (dua atau lebih), dimana tidak ada hubungan kepentingn di antara sumber-
sumber tersebut, atau sumber bersifat merdeka (Herlina, 2011: 34).
Interpretasi[sunting | sunting sumber]
Tahapan yang ketiga adalah interpretasi. Interpretasi merupakan tahapan / kegiatan menafsirkan
fakta-fakta serta menetapkan makna dan saling hubungan daripada fakta-fakta yang diperoleh
(Herlina, 2011:15). Terdapat dua macam interpretasi, yakni analisis yang berarti menguraikan
dan sintesis yang berarti menyatukan. Melalui tahapan interpretasi ini lah, kemampuan intelektual
seorang sejarawan benar – benar diuji. Sejarawan dituntut untuk dapat berimajinasi
membayangkan bagaimana peristiwa pada masa lalu itu terjadi. Namun, bukan berarti imajinasi
yang bebas seperti seorang sastrawan. Imajinasi seorang sejarawan dibatasi oleh fakta – fakta
sejarah yang ada.
Historiografi[sunting | sunting sumber]
Tahapan yang keempat adalah historiografi. Historiografi (Gottschalk, 2006:39) adalah
rekonstruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperolah dengan
menempuh proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.
Dalam melakukan penulisan sejarah, terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan.
Pertama, penyeleksian atas fakta-fakta, untaian fakta-fakta, yang dipilihnya berdasarkan dua
kriteria: relevansi peristiwa-peristiwa dan kelayakannya. Kedua, imajinasi yang digunakan untuk
merangkai fakta-fakta yang dimaksudkan untuk merumuskan suatu hipotesis (Reiner, 1997:194
dalam Herlina, 2011:57). Ketiga, kronologis. Dalam tahapan historiografi ini lah, seluruh imajinasi
dari serangkaian fakta yang ada dituangkan ke dalam bentuk tulisan. Potongan – potongan fakta
sejarah ditulis hingga menjadi sebuah tulisan kisah sejarah yang kronologis. Tahapan – tahapan
metode sejarah mempermudah sejarawan dalam melakukan penelitian. Mulai dari proses
pengumpulan sumber – sumber, memilih sumber – sumber asli, menginterpretasikan sumber –
sumber, hingga penulisan sejarah.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai
sebuah fenomena. Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan
ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777),
seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak
nyata.
Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena,
sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan
fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund
Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini.
Tradisi fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman pribadi termasuk bagian dari individu –
individu yang ada saling memberikan pengalaman satu sama lainnya. Komunikasi di pandang
sebagai proses berbagi pengalaman atau informasi antar individu melalui dialog. Hubungan baik
antar individu mendapat kedudukan yang tinggi dalam tradisi ini. Dalam tradisi ini mengatakan
bahwa bahasa adalah mewakili suatu pemaknaan terhadap benda. Jadi, satu kata saja sudah dapat
memberikan pemaknaan pada suatu hal yang ingin di maknai.
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk
mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan oleh Littlejohn bahwa
fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Dalam konteks ini
ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman
hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut.Asumsi pokok fenomenologi adalah
manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu
yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna
atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif,
yakni tindakan menuju pemaknaan.
Manusia memiliki paradigma tersendiri dalam memaknai sebuah realitas. Pengertian paradigma
adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat
dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan sesuatu yang penting,
absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa
yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistimologis yang
panjang.
Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran.
Fenomenolog mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat
intersubyektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna
dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson menggunakan
istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran
manusia dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial.
Berdasar asumsi ontologis, penggunaan paradigma fenomeologi dalam memahami fenomena atau
realitas tertentu, akan menempatkan realitas sebagai konstruksi sosial kebenaran. Realitas juga
dipandang sebagai sesuatu yang sifatnya relatif, yaitu sesuai dengan konteks spesifik yang dinilai
relevan oleh para aktor sosial. Secara epistemologi, ada interaksi antara subjek dengan realitas
akan dikaji melalui sudut pandang interpretasi subjek. Sementara itu dari sisi aksiologis, nilai,
etika, dan pilihan moral menjadi bagian integral dalam pengungkapan makna akan interpretasi
subjek.

Jenis-Jenis Tradisi Fenomenologi[sunting | sunting sumber]


Inti dari tradisi fenomenologi adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang
alamiah. Tradisi memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka
sehingga mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung
dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah Pada bagaimana individu
mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman subyektifnya. Adapun varian dari
tradisi Fenomenologi ini adalah,:

1. Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan
pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya
tersendiri atau obyektif.
2. Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut
pandang yang berbeda – beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas,
atau bisa dikatakan lebih subyektif.
3. Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek
obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik
suatu kesimpulan.

Prinsip Dasar Fenomenologi[sunting | sunting sumber]


Stanley Deetz menyimpulkan tiga prinsip dasar fenomenologis:

 Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui
dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
 Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita
berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
 Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan
untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari
[1]
tentang interpretasi makna. Nama hermeneutika diambil dari kata kerja dalam bahasa
yunanihermeneuien yang berarti, menafsirkan, memberi pemahaman, atau menerjemahkan.[1] Jika
dirunut lebih lanjut, kata kerja tersebut diambil dari
nama Hermes, dewaPengetahuan dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pemberi
pemahaman kepada manusia terkait pesan yang disampaikan oleh para dewa-dewa di Olympus .[2]

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Sebagai istilah ilmiah, Hermeneutika diperkenalkan pertama kali sejak munculnya buku dasar-
dasar logika,Peri Hermeneias karya Aristoteles.[3] Sejak saat itu pula konseplogika dan
penggunaan rasionalitas diperkenalkan sebagai dasar tindakan hermeneutis.[3]
Konsep ini terbawa pada tradisi beberapa agama ketika memasuki abad pertengahan (medieval
age).[3] Hermeneutika diartikan sebagai tindakan memahami pesan yang
[1]
disampaikan Tuhan dalam kitab suci-Nya secara rasional. Dalam tradisi Kristen, sejak abad 3
M , Gereja yang kental dengan tradisi paripatetik menggunakan konsep tawaran Aristoteles ini
untuk menginterpretasikan Al-kitab.[3] Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam,
ulama kalam menggunakan istilah Takwil sebagai ganti dari hermeneutika, untuk menjelaskan
ayat-ayat Mutasyabbihat.[4]
Ketika Eropa memasuki masa pencerahan([rennaisance]), dari akhir abad 18 M sampai awal 19
M, kajian-kajian hermeneutika yang dilakukan pada abad pertengahan dinilai tidak berbeda sama
sekali dengan upaya para ahli Filologi Klasik.[1]Empat tingkatan interpretasi yang berkembang
pada abad pertengahan, yaitu, literal eksegesis,allegoris eksegesis, tropologikal eksegegis,
dan eskatologis eksegesis, direduksi menjadi Literal dan gramatikal eksegesis .[butuh
rujukan]
Pemahaman ini diawali oleh seorang ahli Filologi bernama Ernesti pada tahun 1761, dan
terus dikembangkan oleh Friederich August dan Friederich Ast.[1]
Hermeneutika kemudian keluar dari disiplin filologi bahkan melampaui maksud dari empat
tingkatan interpretasi abad pertengahan ketika Schleiermacher menyatakan bahwa proses
interpretasi jauh lebih umum dari sekedar mencari makna dari sebuah teks. Ia kemudian
menjadikan hermeneutika sebuah disiplin filsafat yang baru. [3][1]Hal tersebut disetujui dan
dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey di ujung abad 19 M.[1] Ia memadukan konsep sejarah dan
filsafat serta menjauhi dogma metafisika untuk melahirkan pemahaman yang baru terhadap
Hermeneutika.[1] Ia kemudian memahami bahwa proses hermeneutika adalah sesuatu yang
menyejarah, sehingga harus terus-menerus berproses di setiap generasi.[1] Walaupun melahirkan
pemahaman yang tumpang-tindih, hubungan keilmuan yang dinamis akan sangat berperan untuk
menyatukan kembali pemahaman dalam sudut pandang yang bersifat obyektif.[5]
hal yang perlu diperhatikan dalam menginterpretasi
Abad 20 M, ditandai sebagai era post-modern dalam sejarah filsafat barat, fenomenologi lahir
sebagai paham baru yang merambah dunia hermeneutika.[1] Adalah Martin Heidegger, yang
mengatakan bahwa proses Hermeneutis merupakan proses pengungkapan jati diri dan
permasalahan eksistensi manusia yang sesungguhnya. [1]Usahanya mendapat respon postif
dari Hans-Georg Gadamer yang kemudian memadukan Hermeneutika Heidegger dengan
konsep estetika.[1]Keduanya sama-sama sepakat bahwa Yang-Ada berusaha menunjukkan dirinya
sendiri melalui tindakan-tindakan yang dilakukan oleh manusia, terutama bahasa.[1]
Hermeneutika di akhir abad 20 M mengalami pembaharuan pembahasan ketika Paul
Ricoeur memperkenalkan teorinya. [5] Ia kembali mendefinisikan Hermeneutika sebagai cara
menginterpretasi teks, hanya saja, cara cakupan teks lebih luas dari yang dimaksudkan oleh
para cendikiawan abad pertengahan maupun modern dan sedikit lebih sempit jika dibandingkan
dengan yang dimaksudkan oleh Heidegger.[5] Teks yang dikaji dalam hermeneutik Ricoeur bisa
berupa teks baku sebagaimana umumnya, bisa berupa simbol, maupun mitos.[1] Tujuannya sangat
sederhana, yaitu memahami realitas yang sesungguhnya di balik keberadaan teks tersebut.[1]
https://id.wikipedia.org/wiki/Metode_sejarah
https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi
https://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika

Anda mungkin juga menyukai