2.1 PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO, dikatakan bahwa diabetes
mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang
jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor
dimana didapati defisiensi absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang di produksi secara efektif. Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit menahun yang dewasa ini prevalensinya makin meningkat. Diabetes
mellitus tipe 2 merupakan jenis diabetes mellitus yang paling sering ditemukan di
praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di
Indonesia.1
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM
pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2 %. Penelitian
terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
Tipe 2 sebesar 14,7%.1,2
1
2.2 HASIL STUDI KASUS
2.2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Umur : 64 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Bangsa/Suku : Indonesia/Bugis
Agama : Islam
Pekerjaan : IRT
Tanggal Pemeriksaan : Senin 25 Juni 2018
2
Pasien memiliki keluarga dengan keluhan yang sama yaitu ayah dan
saudara pasien.
e) Riwayat Sosio-Ekonomi
Pasien tinggal di rumah sendiri bersama anak-anak, menantu, dan cucu-
cucunya. Pasien sehari-hari hanya berada di lingkungan rumah, melakukan
urusan rumah dan berinteraksi dengan anggota keluarganya. Di antara
anggota keluarganya, hanya satu orang yang bekerja yaitu menantunya
sebagai karyawan swasta.
f) Riwayat Kebiasaan
Merokok : disangkal
Konsumsi alkohol : disangkal
Pasien memiliki kebiasaan konsumsi teh
g) Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
2.2.5 Diagnosis
Diabetes Mellitus tipe 2
2.2.7 Prognosis
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
6
2.3 HASIL KUNJUNGAN RUMAH
2.3.1 Profil Keluarga
Pasien Ny. S (64 tahun) tinggal serumah bersama keluarga anak
keduanya. Anggota keluarga Ny. S terdiri atas Ny. Fi (anak ketiga) dan
An. A (cucu dari anak ketiga). Sedangkan anggota keluarga Tn. B (suami
anak keempat) terdiri atas Ny. Fa (anak keempat pasien) dan An. M (cucu
dari anak keempat pasien). Status pendidikan tertinggi dalam keluarga
adalah S1. Hanya satu orang yang memiliki pekerjaan di dalam keluarga
yaitu menantu pasien.
7
2.3.5 Psikologi dalam Hubungan Antar Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang akrab dan harmonis dengan anak-
anak, menantu dan cucu-cucunya.
2.3.6 Lingkungan
Pemukiman pasien terdapat pada lingkungan yang padat penduduk.
9
2.4 TINJAUAN PUSTAKA
2.4.1 DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan
kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah.
Tingginya kadar gula karena kurang maksimalnya pemanfaatan gula oleh
tubuh sebagai sumber energi karena kurangnya hormon insulin yang
diproduksi oleh pankreas atau tidak berfungsinya hormon insulin dalam
menyerap gula secara maksimal.4
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes
Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.5
2.4.2 KLASIFIKASI4
Klasifikasi Diabetes Mellitus, yaitu:
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan
75% dari penderita DM tipe II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Mellitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
10
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional
2.4.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan jumlah penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2
%. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan
prevalensi DM Tipe 2 sebesar 14,7%.
11
2. Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
3. Riwayat DM pada keluarga derajat pertama (orangtua atau saudara
kandung)
4. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
5. Hipertensi (>140/90 mmHg) atau dislipidemia (kolesterol HDL <40
mg/dL atau kadar trigliserida >150 mg/dL)
6. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan anak dengan berat badan
lahir lebih dari 4 kg
7. Sindrom kista ovarium.
b) Faktor Agent
Penyakit Diabetes Melitus diduga terjadi akibat penurunan produksi
insulin ataupun resistensi reseptor insuin yang ada pada sel. Namun sampai
saat ini etiologi dari penyakit Diabetes Melitus masih belum diketahui
dengan jelas.3
c) Faktor Environment
Gaya hidup yang kebarat-baratan3:
1. Penghasilan per capita tinggi
2. Tersedianya banyak restoran makanan siap saji (Fast Food)
3. Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerakan badan.
Variabel Epidemiologi
1) Orang
Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA
2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara
itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15
tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.3
2) Tempat dan Waktu
Prevalensi terjadinya DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3
% dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensinya sedikit tinggi,
12
dikarenakan di daerah tersebut banyak perkawinan antara kerabat.
Sedangkan di Manado, disimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada
studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan
sukarela, jadi lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan
budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di
Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-
12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Penelitian terakhir
antara tahun 2006 dan 2011 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe
2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir mencapai
12,5%.2
2.4.6 DIAGNOSIS5
Diagnosis Diabetes Mellitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif.
Diagnosis klinis Diabetes Mellitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila
tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara
pada tabel.
15
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Pemeriksaan penyaringan8
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT
16
(Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya
DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai
berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat DM gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat
anti hipertensi).
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas,
akantosis nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.
17
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM
*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi,
polifagi dan berat badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria
18
diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan.
Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.
2.4.7 PENATALAKSANAAN
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe 2,
dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM
tipe 2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali
factor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik
beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Berikut penatalaksanaan secara
nonfarmakologis:9
a) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi
pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan
alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan
perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,
ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
b) Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,
19
lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup
serat sekitar 25g/hari.
c) Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.
d) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain10:
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada
sekresi insulin fase pertama.
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
20
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes
gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
Tiazolidindionlerticle
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer.
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.
Penghambat glukoneogenesis:
Biguanid (Metformin).
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta
pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.
2. Obat Suntikan
Insulin
• Insulin kerja cepat
• Insulin kerja pendek
• Insulin kerja menengah
• Insulin kerja panjang
• Insulin campuran tetap
Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami
bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua
pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus
menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan
melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat
terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan
GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.
22
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda
tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bias diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan
pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor
dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.11
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali
maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO
yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila
dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka
ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS
dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan
insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan
malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak
terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin
intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk
mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek
untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial..
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini
dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun.11
2.4.8 KOMPLIKASI
Komplikasi pada diabetes mellitus terbagi menjadi dua, komplikasi
metabolik akut dan komplikasi jangka panjang.12,13,14
a) Komplikasi Metabolik Akut
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2. Hyperglicemic Hyperosmolar State (HHS)
3. Hipoglikemia
23
b) Komplikasi Jangka Panjang
1. Lesi Mikrovaskular
Retinopati Diabetik, Nefropati Diabetik
2. Lesi Makrovaskular
Penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, ulkus diabetikum.
3. Neuropati diabetik
4. Katarak Diabetik
2.4.9 PENCEGAHAN15
a) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan
primer.6
b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan
terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan
selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet
dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang Diabetes.
24
c) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada
pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat
dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi
pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap,
misalnya pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi
dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pencegahan tersier.
25
LAMPIRAN DOKUMENTASI
27
Gambar 11. Ruang tamu sekaligus ruang keluarga
Segala aktivitas keluarga dilakukan di sini, seperti makan, menonton,
bercengkrama, menerima tamu, bermain anak, terkadang pula ada anggota
keluarga yang tidur siang di lantai ruangan ini.
28
Gambar 13. Jamban keluarga
Terdiri atas satu buah jamban yang kurang terjaga kebersihannya. Ventilasi dan
pencahayaannya pun kurang.
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Scobie I.N. Atlas of diabetes mellitus. 3rd. ed. Healthcare: Informa UK,
England. 2007
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2011/
3. Nainggolan, O. d.k.k. Determinan Diabetes Melitus. Jakarta : Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 2013
4. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
5. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000;
6. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses Edisi 6. Jakarta;2014;
7. Ndraha, S. Diabetes Melitus Tipe II dan Tatalaksana Terkini. Jakarta :
Medicinus. 2014.
8. Arifin, A.L. Panduan Terapi Diabetes Melitus Tipe II terkini. Bandung :
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2013
9. Haeria. Pelayanan Kefarmasian Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus.
Makassar : Jurnal Kesehatan. 2009.
10. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007;
11. Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas. Diabetes Melitus. Jakarta;
Departemen kesehatan R.I. 2007.
12. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infection in patients with diabetes mellitus:
a review of pathogenesis. Indian J Endocr Metab 2012;
13. Quan, Diana. 2014. Diabetic Neuropathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com
14. Bhavsar, Abdhish R. 2014. Diabetic Retinopathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com
30
15. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006;
31