Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LAPORAN KASUS NON INFEKSI

2.1 PENDAHULUAN
Diabetes mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut WHO, dikatakan bahwa diabetes
mellitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang
jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan
problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor
dimana didapati defisiensi absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Diabetes mellitus merupakan penyakit gangguan metabolik menahun akibat
pankreas tidak memproduksi cukup insulin atau tubuh tidak dapat menggunakan
insulin yang di produksi secara efektif. Diabetes Mellitus (DM) merupakan
penyakit menahun yang dewasa ini prevalensinya makin meningkat. Diabetes
mellitus tipe 2 merupakan jenis diabetes mellitus yang paling sering ditemukan di
praktek, diperkirakan sekitar 90% dan semua penderita diabetes melitus di
Indonesia.1
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia
yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa, dengan prevalensi DM
pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2 %. Penelitian
terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM
Tipe 2 sebesar 14,7%.1,2

1
2.2 HASIL STUDI KASUS
2.2.1 Identitas Pasien
 Nama : Ny. S
 Umur : 64 tahun
 Jenis kelamin : Perempuan
 Bangsa/Suku : Indonesia/Bugis
 Agama : Islam
 Pekerjaan : IRT
 Tanggal Pemeriksaan : Senin 25 Juni 2018

2.2.2 Anamnesis (Autoanamnesis)


a) Keluhan Utama
Kesemutan pada kedua tangan
b) Anamnesis Terpimpin
Kesemutan pada kedua tangan dirasakan sejak ±1 minggu yang lalu.
Keluhan ini dirasakan terus menerus. Selain itu, pasien juga mengeluh
sering terbangun pada malam hari karena bolak-balik ke WC untuk buang
air kecil. Dalam semalam bisa 4-5 kali ke WC untuk buang air kecil.
Keluhan ini sudah dialami sejak bulan Desember dan disertai rasa gatal di
seluruh badan, rasa sering haus dan sering lapar namun berat badan terasa
terus menurun sejak bulan Oktober. Saat ini nyeri kepala (-), demam (-),
pilek (-), batuk (-), sesak napas (-), mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-),
BAB sekali sehari berwarna kuning konsistensi padat lunak, dan BAK
lancar berwarna kuning.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit yang sama sebelumnya : disangkal
 Riwayat penyakit kronis (seperti hipertensi) : disangkal
 Riwayat trauma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
d) Riwayat Penyakit Keluarga

2
Pasien memiliki keluarga dengan keluhan yang sama yaitu ayah dan
saudara pasien.
e) Riwayat Sosio-Ekonomi
Pasien tinggal di rumah sendiri bersama anak-anak, menantu, dan cucu-
cucunya. Pasien sehari-hari hanya berada di lingkungan rumah, melakukan
urusan rumah dan berinteraksi dengan anggota keluarganya. Di antara
anggota keluarganya, hanya satu orang yang bekerja yaitu menantunya
sebagai karyawan swasta.
f) Riwayat Kebiasaan
 Merokok : disangkal
 Konsumsi alkohol : disangkal
 Pasien memiliki kebiasaan konsumsi teh
g) Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.

2.2.3 Pemeriksaan Fisis


a) Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, gizi lebih, dan kesadaran compos mentis.
 Tinggi Badan : 150 cm
 Berat Badan : 53 kg
 IMT : 23,5 kg/m2 (overweight)
b) Tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Pernapasan : 18 x/menit
 Suhu : 36,5 oC
c) Status Generalis:
 Kepala
Ukuran : Normocephal
Ekspresi : Normal
Simetris muka : Simetris kiri dan kanan
3
Rambut : Hitam-beruban, lurus, sulit dicabut
 Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Kelopak Mata : Edema palpebra (-), ptosis (-)
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Kornea : Jernih
Pupil : Bulat, isokor, ∅2,5mm/2,5mm,
 Telinga
Deformitas : (-)
Sekret : (-)
Pendengaran : Menurun
NT di Proc. Mastoideus : (-)
 Hidung
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
 Mulut
Bibir : Kering (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Gigi Geligi : Caries (-)
Lidah : Kotor (-)
Faring : Hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
 Leher
Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran, nyeri tekan (-)
Kelenjar gondok : Tidak teraba pembesaran, nyeri tekan (-)
 Dada
Inspeksi : Simetris hemithoraks kiri dan kanan
Bentuk : Normochest
Buah Dada : Tidak ada kelainan
Sela Iga : Tidak ada pelebaran
4
Massa Tumor : (-)
 Thorax
Palpasi :
Fremitus Raba : Kiri = Kanan
Nyeri tekan : (-)
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru hepar : ICS VI Dextra Anterior
Batas paru belakang kanan : V Th IX Dextra Posterior
Batas paru belakang kiri : V Th X Sinistra Posterior
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler
Bunyi tambahan : Rhonki (-/-); Wheezing (-/-)
 Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Pekak, batas jantung kesan normal
Auskultasi :
Bunyi Jantung I/II : Murni reguler
Bunyi Tambahan : Bising (-)
 Abdomen
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas
Palpasi : Massa tumor (-), nyeri tekan epigastrik (-)
Hati : Tidak teraba
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Lain-lain : Kulit tidak ada kelainan
Perkusi : Timpani (+), Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
 Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan
5
 Anus dan Rektum : Tidak dilakukan pemeriksaan
 Punggung
Inspeksi : Skoliosis (-), Kifosis (-), Lordosis (-)
Palpasi : Gibbus (-)
Nyeri Ketok : (-)
Auskultasi : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Gerakan : Dalam batas normal
 Ekstremitas
Regio manus : Edema (-), eritema (-), nyeri tekan (-).
Regio pedis : Edema (-), eritema (-), nyeri tekan (+)

2.2.4 Pemeriksaan Penunjang


GDS = 378 mg/dl

2.2.5 Diagnosis
Diabetes Mellitus tipe 2

2.2.6 Penatalaksanaan dan Edukasi


a) Penatalaksanaan
Farmakologis: Metformin tab 500 mg 2x1
Vit. B1B6B12 1x1
b) Edukasi
- Diet rendah karbohidrat untuk menjaga gula darah dalam batas normal
- Istirahat cukup dan rajin berolahraga
- Rutin mengonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
- Rutin kontrol ke dokter

2.2.7 Prognosis
- Ad vitam : bonam
- Ad functionam : bonam
- Ad sanationam : bonam
6
2.3 HASIL KUNJUNGAN RUMAH
2.3.1 Profil Keluarga
Pasien Ny. S (64 tahun) tinggal serumah bersama keluarga anak
keduanya. Anggota keluarga Ny. S terdiri atas Ny. Fi (anak ketiga) dan
An. A (cucu dari anak ketiga). Sedangkan anggota keluarga Tn. B (suami
anak keempat) terdiri atas Ny. Fa (anak keempat pasien) dan An. M (cucu
dari anak keempat pasien). Status pendidikan tertinggi dalam keluarga
adalah S1. Hanya satu orang yang memiliki pekerjaan di dalam keluarga
yaitu menantu pasien.

2.3.2 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Keluarga


Pekerjaan sehari-hari Ny. S adalah ibu rumah tangga. Suaminya sudah
meninggal. Kedua anaknya tidak memiliki pekerjaan. Hanya menantunya
yang memiliki pekerjaan yaitu sebagai karyawan swasta dengan
pendapatan setiap bulan (±2,5 juta) yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari keluarganya. Pasien ini tinggal di rumah yang
terletak di Jl. Andi Tonro 3 No. 21 B. Rumah pasien dalam kondisi
kurang baik dengan ventilasi dan penerangan yang tidak cukup dan
lingkungan rumah yang padat.

2.3.3 Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah kandung dan saudara Ny.S menderita diabetes mellitus.

2.3.4 Pola Konsumsi Makanan Keluarga


Keluarga pasien Ny.S memiliki kebiasaan makan 3 kali dalam sehari
dengan nasi putih sebagai makanan pokok setiap hari. Keluarga ini suka
mengonsumsi ikan, telur, tahu dan tempe sebagai lauk utama. Selain itu
mereka juga mengonsumsi sayur hijau setiap hari. Terkadang pula mereka
mengonsumsi teh dan kue sebagai pengganti sarapan pagi hari.

7
2.3.5 Psikologi dalam Hubungan Antar Keluarga
Pasien memiliki hubungan yang akrab dan harmonis dengan anak-
anak, menantu dan cucu-cucunya.

2.3.6 Lingkungan
Pemukiman pasien terdapat pada lingkungan yang padat penduduk.

2.3.7 Anamnesis Holistik


 Aspek Personal
Ny. S, wanita 64 tahun datang dengan keluhan kesemutan pada
kedua tangan dirasakan sejak ±1 minggu yang lalu. Keluhan ini
dirasakan terus menerus. Selain itu, pasien juga mengeluh sering
terbangun pada malam hari karena bolak-balik ke WC untuk buang air
kecil. Dalam semalam bisa 4-5 kali ke WC untuk buang air kecil.
Keluhan ini sudah dialami sejak bulan Desember dan disertai rasa gatal
di seluruh badan, rasa sering haus dan sering lapar namun berat badan
terasa terus menurun sejak bulan Oktober. Di keluarga pasien ada yang
menderita kencing manis yaitu ayah dan saudara pasien. Kekhawatiran
pasien adalah pasien takut penyakitnya memburuk. Harapan pasien
adalah gula darah dapat terkontrol dan terhidar dari komplikasi.
 Aspek Klinik
- Berdasarkan hasil anamnesis terdapat gejala klasik diabetes
mellitus yaitu poliuri, polidipsi, dan polifagi. Selain itu terdapat
penuruna berat badan dan kesemutan pada kedua tangan yang
merupakan salah satu gejala tidak khas pada diabetes mellitus.
- Pada pemeriksaan penunjang didapatkan GDS: 378 mg/dl
(hiperglikemia).
- Mengacu pada kriteria diagnosis diabetes mellitus, didapatkannya
keluhan khas diabetes mellitus + GDS ≥ 200 mg/dl sehingga dapat
ditegakkan diagnosis diabetes mellitus tipe II.
 Aspek Faktor Risiko Internal
8
- Riwayat DM pada keluarga derajat pertama yaitu ayah dan saudara
kandung.
- Kurangnya pengetahuan tentang diabetes mellitus.
- Pasien tidak menjaga diet dengan baik.
- Pasien tidak bekerja dan lingkup kerja hanya sekitar rumah
sehingga kurang aktivitas fisik.
 Aspek Faktor Risiko Eksternal
Kurangnya pengetahuan keluarga mengenai diabetes mellitus.
 Aspek Fungsional
Sejauh ini Ny. S tidak merasakan adanya gangguan dalam
melakukan aktivitasnya, hanya saja kadang-kadang merasa kelelahan
jika bekerja berlebihan. Ny. S menjalankan fungsi sosial dengan baik.
 Derajat Fungsional
Sejauh ini Ny. S tidak merasakan adanya gangguan dalam
melakukan aktivitasnya, hanya saja kadang-kadang merasa kelelahan
jika bekerja berlebihan. Ny. S menjalankan fungsi sosial dengan baik
dan dapat hidup mandiri (derajat fungsional 1).

2.3.8 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum baik. Tanda-tanda vital dalam batas normal. Tidak
didapatkan kelainan klinis yang bermakna.

2.3.9 Pemeriksaan Penunjang


GDS = 378 mg/dl

2.3.10 Diagnosis Holistik (Biopsikososial)


 Diagnosa Klinis: Diabetes Mellitus tipe 2.
 Diagnosa Psikososial:
- Kurangnya kesadaran untuk menjaga pola makan yang baik.
- Kecemasan dan kekhawatiran tentang penyakit yang diderita.

9
2.4 TINJAUAN PUSTAKA
2.4.1 DEFINISI
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan
kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah.
Tingginya kadar gula karena kurang maksimalnya pemanfaatan gula oleh
tubuh sebagai sumber energi karena kurangnya hormon insulin yang
diproduksi oleh pankreas atau tidak berfungsinya hormon insulin dalam
menyerap gula secara maksimal.4
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes
Mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,
kerja insulin atau kedua-duanya.5
2.4.2 KLASIFIKASI4
Klasifikasi Diabetes Mellitus, yaitu:
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi
akibat kerusakan dari sel beta pankreas. Gejala yang menonjol adalah
sering kencing (terutama malam hari), sering lapar dan sering haus,
sebagian besar penderita DM tipe ini berat badannya normal atau kurus.
Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
DM ini disebabkan insulin yang ada tidak dapat bekerja dengan baik,
kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi fungsi
insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang. Akibatnya
glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi hiperglikemia, dan
75% dari penderita DM tipe II ini dengan obesitas atau kegemukan dan
biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.
3. Diabetes Mellitus Tipe lain
a. Defek genetik pada fungsi sel beta
b. Defek genetik pada kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
10
d. Endokrinopati
e. Diinduksi obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Imunologi
4. DM Gestasional

2.4.3 EPIDEMIOLOGI
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular yang
mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO memprediksi
kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan jumlah penduduk
Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133 juta jiwa, dengan
prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2
%. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan
prevalensi DM Tipe 2 sebesar 14,7%.

Epidemiologi Diabetes Mellitus Berdasarkan Trias Epidemiologi:


a) Faktor Host
Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2), etiologi pada
pasien dapat berupa kelainan familial yang diturunkan. Pasien dengan DM
memiliki setidaknya 40% resiko terkena diabetes apabila memiliki saudara
kandung dengan diabetes, dan 33% untuk cucunya nanti.2
Beberapa gen telah diketahui berhubungan erat dengan kejadian DM tipe
2 dengan pola familial yang kuat. Kerusakan gen-gen tersebut menyebabkan
dua mekanisme utama dalam DM tipe 2, yaitu resistensi insulin dan sekresi
inadekuat insulin.4
Faktor resiko utama dalam perkembangan DM tipe 2 pada seseorang
dapat:5
1. Umur lebih dari 45 tahun (walaupun sekarang sudah mulai mengalami
pergeseran, dimana usia lebih muda juga dapat mengalami DM tipe 2)

11
2. Berat badan lebih dari 120% berat badan ideal
3. Riwayat DM pada keluarga derajat pertama (orangtua atau saudara
kandung)
4. Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
5. Hipertensi (>140/90 mmHg) atau dislipidemia (kolesterol HDL <40
mg/dL atau kadar trigliserida >150 mg/dL)
6. Riwayat diabetes gestasional atau melahirkan anak dengan berat badan
lahir lebih dari 4 kg
7. Sindrom kista ovarium.
b) Faktor Agent
Penyakit Diabetes Melitus diduga terjadi akibat penurunan produksi
insulin ataupun resistensi reseptor insuin yang ada pada sel. Namun sampai
saat ini etiologi dari penyakit Diabetes Melitus masih belum diketahui
dengan jelas.3
c) Faktor Environment
Gaya hidup yang kebarat-baratan3:
1. Penghasilan per capita tinggi
2. Tersedianya banyak restoran makanan siap saji (Fast Food)
3. Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerakan badan.

Variabel Epidemiologi
1) Orang
Berdasarkan kriteria American Diabetes Asociation tahun 2012 (ADA
2012), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat menderita DM. Sementara
itu, di Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15
tahun,bahkan di daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%.3
2) Tempat dan Waktu
Prevalensi terjadinya DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %,
kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3
% dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensinya sedikit tinggi,

12
dikarenakan di daerah tersebut banyak perkawinan antara kerabat.
Sedangkan di Manado, disimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada
studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan
sukarela, jadi lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan
budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di
Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-
12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Penelitian terakhir
antara tahun 2006 dan 2011 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe
2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir mencapai
12,5%.2

2.4.4 PATOGENESIS DIABETES MELLITUS6


Mekanisme utama patofisiologi DM tipe 2 adalah terjadinya resistensi
insulin dan insufisiensi sekresi insulin. Resistensi insulin berhubungan erat
dengan kondisi obesitas, dimana obesitas akan menyebabkan peningkatan kadar
sitokin proinflamasi sistemik, menyebabkan sel-sel tidak peka terhadap insulin.
Mekanisme persisnya yang menyebabkan sitokin proinflamasi dapat
menyebabkan penurunan kepekaan sel terhadap insulin masih belum dapat
diketahui pasti.
Karena resistensi insulin, maka sel beta pankreas akan meningkatkan
produksi insulin untuk menyesuaikan keadaan glukosa darah dan kebutuhan
relatif sel akan insulin dimana kepekaannya telah berkurang. Oleh karena itu,
pada keadaan prediabetik, akan ditemukan keadaan hiperinsulinemia dengan
kadar glukosa darah yang masih normal. Namun kemampuan pankreas untuk
mempertahankan sekresi insulin yang tinggi tersebut terbatas, dan semakin lama
resistensi insulin yang semakin meningkat akan meningkatkan stres sel beta
pankreas memproduksi insulin, sehingga pelan-pelan sel-sel beta akan
mengalami kemunduran produksi insulin, dan terjadilah keadaan insufisiensi
sekresi insulin.
Saat resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin terjadi, maka terjadilah
keadaan diabetes. Gula darah akan meningkat, dan mekanisme lain untuk
13
mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap dalam kadar normal diambil
alih oleh ginjal. Ginjal akan mengekskresikan glukosa, sehingga akan timbul
glikosuria. Kadar glukosa yang tinggi di urin inilah yang menjadi alasan
diabetes mellitus juga disebut penyakit “kencing manis”.
Glikosuria akan menyebabkan peningkatan tekanan osmotik urin. Hal ini
akan menyebabkan plasma darah yang melewati ginjal akan ditarik ke nefron
sehingga kadar air yang diekskresikan ginjal bertambah, menyebabkan poliuria.
Poliuria kemudian akan menyebabkan kadar cairan tubuh berkurang, sehingga
mekanisme fisiologis akan dehidrasi bekerja, menyebabkan rasa haus dan
polidipsia. Glikosuria menyebabkan sumber energi tubuh (glukosa) terbuang,
ditambah dengan ketidakmampuan relatif sel-sel tubuh mengonsumsi glukosa
karena resistensi insulin dan insufisiensi sekresi insulin, menyebabkan rasa
lapar, polifagia, mudah lelah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya pada pasien DM tipe 2. Oleh karena itu, poliuria,
polidipsia, dan polifagia adalah gejala klasik DM yang paling awal.
Ginjal tidak dapat menyekresikan glukosa hingga pada kadar yang normal,
sehingga walaupun sudah terjadi glikosuria dan poliuria, kadar glukosa darah
tetap tinggi. Kadar glukosa darah yang tinggi ini akan menyebabkan gangguan
metabolik dan penumpukan “produk glukosa” sistemik, yang terutama akan
menumpuk pada pembuluh darah dan neuron. Apabila keadaan hiperglikemia
tetap dibiarkan kronis, maka komplikasi metabolik akut, vaskular, dan
neurologis DM akan terjadi.

2.4.5 GEJALA KLINIS7


 Penderita pada umumnya mengalami poliuria (banyak berkemih),
polidipsia (banyak minum), dan polifagia (banyak makan).
 Penderita sering mengeluh lemah, kadang-kadang terasa kesemutan atau
rasa baal serta gatal yang kronis.
 Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan.
 Selain itu penderita merasa sangat haus, kehilangan energy, rasa lemas
dan cepat lelah
14
 Pada keadaan lanjut mungkin terjadi penurunan ketajaman penglihatan,
penyembuhan luka yang buruk,disfungsi ereksi pada pria, serta
pruritus vulvae pada pasien wanita.

2.4.6 DIAGNOSIS5
Diagnosis Diabetes Mellitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar
glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.
Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Penggunaan bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat
dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang
berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Mellitus (DM) dan
pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang
menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang
mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan
kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk
memastikan diagnosis definitif.
Diagnosis klinis Diabetes Mellitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila
ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal
satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila
tidak ditemukan gejala khas DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan
glukosa darah abnormal. Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara
pada tabel.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM

15
1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu
hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

2. Atau, gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L)


TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang
setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI) 2 :


 Tiga (3) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat
cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti yang biasa
dilakukan
 Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa gula diperbolehkan
 Diperiksa kadar glukosa darah puasa
 Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB
(anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15
menit
 Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan
2 jam setelah minum larutan glukosa selesai
 Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa
 Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan
tidak merokok.

Pemeriksaan penyaringan8
Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko
Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT
16
(Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa
Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan
TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara
menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya
DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada semua individu dewasa dengan
Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 Kg/m2 dengan faktor resiko lain sebagai
berikut
1. Aktivitas fisik kurang
2. Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
3. Masuk kelompok etnik risiko tinggi (African American, Latino, Native
American, Asian American, Pasific Islander)
4. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4000 gram atau
riwayat DM gestasional (DMG)
5. Hipertensi (tekanan darah > 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat
anti hipertensi).
6. Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL
7. Wanita dengan sindrim polikistik ovarium
8. Riwayat Toleransi glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa darah puasa
terganggu (GDPT)
9. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas,
akantosis nigrikans)
10. Riwayat penyakit kardiovaskular.

17
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa
Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dL)
Bukan Belum pasti DM
DM DM

Kadar glukosa darah Plasma < 110 110-199 > 200


sewaktu (mg/dl) vena

Darah < 90 90-199 > 200


kapiler

Kadar glukosa darah Plasma < 110 110-125 > 126


puasa (mg/dl) vena

Darah < 90 90-199 > 110


kapiler

Tabel 3. Kriteria diagnostik diabetes mellitus* dan


gangguan toleransi glukosa
1. Konsentrasi glukosa darah sewaktu (plasma vena)  200
mg/dl
2. Konsentrasi glukosa darah puasa > 126 mg/dL atau
3. Kadar glukosa plasma  200 mg/dl pada dua jam sesudah
beban glukosa 75 gram pada TTGO **

*
Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi,
polifagi dan berat badan menurun cepat.
**
Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria

18
diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan.
Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.4.7 PENATALAKSANAAN
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe 2,
dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM
tipe 2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali
factor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
DM tipe 2 di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik
beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Berikut penatalaksanaan secara
nonfarmakologis:9
a) Edukasi
Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang
memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi
dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi
pasien untuk memiliki perilaku sehat. Tujuan dari edukasi diabetes adalah
mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan
alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/
komplikasi yang mungkin timbul secara dini/ saat masih reversible, ketaatan
perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan
perubahan perilaku/kebiasaan kesehatan yang diperlukan. Edukasi pada
penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan kaki,
ketaatan pengunaan obat-obatan, berhenti merokok, meningkatkan aktifitas
fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak.
b) Terapi Gizi Medis
Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang
seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan
memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan.
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%,

19
lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup
serat sekitar 25g/hari.
c) Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama
kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobic
seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
meningkatkan sensitifitas insulin.
d) Intervensi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan
pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri
dari obat oral dan bentuk suntikan. Obat yang saat ini ada antara lain10:
1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO)
Pemicu sekresi insulin:
 Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
• Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang
• Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua,
gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi
 Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid
• Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada
sekresi insulin fase pertama.
• Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial

Peningkat sensitivitas insulin:


 Biguanid
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah
Metformin.

20
• Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin,
dan menurunkan produksi glukosa hati.
• Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes
gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin.
 Tiazolidindionlerticle
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah
protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan
glukosa perifer.
• Tiazolidindion dikontraindikasikan pada gagal jantung karena
meningkatkan retensi cairan.

Penghambat glukoneogenesis:
 Biguanid (Metformin).
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi
produksi glukosa hati.
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal
dengan kreatinin serum > 1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta
pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis
• Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonylurea.
• Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual)
namun bisa diatasi dengan pemberian sesudah makan.

Penghambat glukosidase alfa:


 Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus.
• Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti
golongan sulfonilurea.
• Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu
kembung dan flatulens.
21
• Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like
peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormone peptide yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada
makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi
insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat
diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4.
Penghambat DPP-4 dapat meningkatkan penglepasan insulin dan
menghambat penglepasan glucagon.

2. Obat Suntikan
 Insulin
• Insulin kerja cepat
• Insulin kerja pendek
• Insulin kerja menengah
• Insulin kerja panjang
• Insulin campuran tetap
 Agonis GLP-1/incretin mimetik
• Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa
menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat penglepasan
glukagon
• Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea
• Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual
muntah

Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami
bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua
pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus
menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan
melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat
terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan
GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO.

22
Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap
sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda
tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid
diberikan sesaat sebelum makan. Metformin bias diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan
pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor
dapat diberikan saat makan atau sebelum makan.11
Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali
maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO
yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila
dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka
ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS
dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan
insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan
malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak
terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin
intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk
mengendalikan glukosa darah puasa, dan insulin kerja cepat atau kerja pendek
untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan
prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial..
Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan
untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini
dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun.11

2.4.8 KOMPLIKASI
Komplikasi pada diabetes mellitus terbagi menjadi dua, komplikasi
metabolik akut dan komplikasi jangka panjang.12,13,14
a) Komplikasi Metabolik Akut
1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)
2. Hyperglicemic Hyperosmolar State (HHS)
3. Hipoglikemia
23
b) Komplikasi Jangka Panjang
1. Lesi Mikrovaskular
Retinopati Diabetik, Nefropati Diabetik
2. Lesi Makrovaskular
Penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, ulkus diabetikum.
3. Neuropati diabetik
4. Katarak Diabetik

2.4.9 PENCEGAHAN15
a) Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yang
memiliki faktor resiko, yakni mereka yang belum terkena tetapi berpotensi
untuk mendapat DM dan kelompok intoleransi glukosa. Materi penyuluhan
meliputi program penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani dan
menghentikan kebiasaan merokok. Perencanaan kebijakan kesehatan ini
tentunya diharapkan memahami dampak sosio-ekonomi penyakit ini,
pentingnya menyediakan fasilitas yang memadai dalam upaya pencegahan
primer.6

b) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya
penyulit pada pasien yang telah menderita DM. Program ini dapat dilakukan
dengan pemberian pengobatan yang cukup dan tindakan deteksi dini
penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Penyulihan ditujukan
terutama bagi pasien baru, yang dilakukan sejak pertemuan pertama dan
selalu diulang pada setiap pertemuan berikutnya. Pemberian antiplatelet
dapat menurunkan resiko timbulnya kelainan kardiovaskular pada
penyandang Diabetes.

24
c) Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier ditujukan pada kelompok penyandang diabetes yang
telah mengalami penyulit dalam upaya mencegah terjadinya kecacatan lebih
menlanjut. Pada pencegahan tersier tetap dilakukan penyuluhan kepada
pasien dan juga kelurganya dengan materi upaya rehabilitasi yang dapat
dilakakukan untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Upaya rehabilitasi
pada pasien dilakukan sedini mungkin sebelum kecacatan menetap,
misalnya pemberian aspirin dosis rendah 80-325 mg/hari untuk mengurangi
dampak mikroangiopati. Kolaborasi yang baik antar para ahli di berbagai
disiplin, jantung, ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah vaskular, radiologi,
rehabilitasi medik, gizi, pediatrist dll sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pencegahan tersier.

25
LAMPIRAN DOKUMENTASI

Gambar 7. Wawancara dengan pasien


Bertempat di ruang tamu yang berfungsi juga sebagai ruang keluarga. Ventilasi
dan pencahayaan cukup namun tidak terdapat kursi dan meja. Selain itu ruangan
ini juga ditempati untuk menjemur pakaian bila sedang hujan.

Gambar 8. Kepadatan lingkungan rumah


Lingkungan sekitar rumah pasien sangat padat. Tidak ada jarak dari rumah ke
rumah. Rumah pasien terletak di dalam jalan setapak sempit yang hanya bisa
dilalui oleh sepeda motor. Apabila hujan deras selokan dangkal di depan rumah
pasien dapat meluap dan membuat banjir di depan rumah pasien.
26
Gambar 9. Tampak depan rumah pasien
Pasien tidak memiliki halaman rumah karena pagar rumah tepat berada satu meter
setelah tangga rumah. Tampak bunga-bunga yang tertata rapi dan di samping
tangga tampak jemuran.

Gambar 10. Kondisi 4 Kamar Tidur


Keempat kamar tidur sangat sempit hanya muat untuk satu tempat tidur (2x2
meter) dengan ventilasi dan pencahayaan yang sangat kurang.

27
Gambar 11. Ruang tamu sekaligus ruang keluarga
Segala aktivitas keluarga dilakukan di sini, seperti makan, menonton,
bercengkrama, menerima tamu, bermain anak, terkadang pula ada anggota
keluarga yang tidur siang di lantai ruangan ini.

Gambar 12. Dapur sekaligus tempat cuci piring


Pencahayaan dan ventilasi sangat kurang. Barang-barang tidak tertata rapi dan
tampak jemuran di dalam ruangan ini.

28
Gambar 13. Jamban keluarga
Terdiri atas satu buah jamban yang kurang terjaga kebersihannya. Ventilasi dan
pencahayaannya pun kurang.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Scobie I.N. Atlas of diabetes mellitus. 3rd. ed. Healthcare: Informa UK,
England. 2007
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di
Indonesia. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta.
2011/
3. Nainggolan, O. d.k.k. Determinan Diabetes Melitus. Jakarta : Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 2013
4. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006
5. Foster DW. Diabetes melitus. Dalam : Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit
dalam. Asdie, A, editor. Volume 5. Jakarta : EGC, 2000;
6. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses Edisi 6. Jakarta;2014;
7. Ndraha, S. Diabetes Melitus Tipe II dan Tatalaksana Terkini. Jakarta :
Medicinus. 2014.
8. Arifin, A.L. Panduan Terapi Diabetes Melitus Tipe II terkini. Bandung :
Fakultas Kedokteran UNPAD. 2013
9. Haeria. Pelayanan Kefarmasian Dalam Penatalaksanaan Diabetes Melitus.
Makassar : Jurnal Kesehatan. 2009.
10. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007;
11. Pedoman Pengobatan Dasar Puskesmas. Diabetes Melitus. Jakarta;
Departemen kesehatan R.I. 2007.
12. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infection in patients with diabetes mellitus:
a review of pathogenesis. Indian J Endocr Metab 2012;
13. Quan, Diana. 2014. Diabetic Neuropathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com
14. Bhavsar, Abdhish R. 2014. Diabetic Retinopathy. Diunduh di
www.emedicine.medscape.com
30
15. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes : mekanisme terjadinya, diagnosis
dan strategi pengelolaannya. Dalam : buku ajar ilmu penyakit dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I dkk, editor. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : balai
penerbit FKUI, 2006;

31

Anda mungkin juga menyukai