Sap Trauma
Sap Trauma
Pengantar
Pokok Bahasan : Trauma Tulang Belakang
Sub Pokok Bahasan : Trauma Cervikal
Sasaran : Keluarga Tn St
Target : Tn St
Hari/Tanggal : Senin, 9 Agustus 2004
Waktu : 1 x 30 Menit
Penyaji : Ayu Khuzaimah Kurniawati
Tempat : Rumah keluarga Tn St
Rajeg Wetan (RT 02), Tirtoadi, Mlati, Sleman
A. LATAR BELAKANG
Berdasarkan hasil pengkajian pada keluarga Tn St, didapatkan bahwa Tn St
menderita kelumpuhan anggota gerak badan karena kecelakaan lalu lintas pada
bulan Februari 2004 yang lalu, dan dokter mendiagnosa Tn St sebagai trauma
cervikal. Tn St masih rutin kontrol ke RS Panti Rapih Yogyakarta dan dianjurkan
minum obat serta latihan gerak (fisioterapi). Tn St dan keluarga menyatakan belum
mengetahui sepenuhnya tentang trauma tersebut mengapa dapat menyebabkan
kelumpuhan, serta bagaimana perawatannya di rumah. Berdasarkan data di atas,
maka pendidikan kesehatan mengenai trauma cervikal dan cara perawatannya di
rumah perlu disampaikan kepada Tn St dan keluarga.
B. TUJUAN
Setelah selesai mengikuti penyuluhan tentang trauma cervikal selama 1x30 menit,
Tn St dan keluarga memahami dan mampu melakukan perawatan pada trauma
cervikal secara mandiri.
1. Pendahuluan
2. Penjelasan materi
a. Pengertian trauma cervikal
b. Manifestasi klinis trauma cervikal
c. Komplikasi trauma cervikal
d. Perawatan pada penderita trauma cervikal sesuai manifestasi klinis yang muncul.
3. Penutup
D. PELAKSANAAN KEGIATAN
WAKTU
NO PENYULUH RESPON KELUARGA
1. Pembukaan 5 Menit
a. Salam pembukaan Menjawab salam
b. Perkenalan Memperhatikan
c. Apersepsi Berpartisipasi aktif
d. Mengkomunikasikan tujuan Memperhatikan
E. METODE
1. Ceramah
2. Tanya jawab
1. Leaflet
2. Hand Out
G. SUMBER
H. EVALUASI
Lampiran Materi
KLASIFIKASI
Sebelum membicarakan macam-macam cedera tulang belakang serta kord spinal
secara khusus, akan dibicarakan dulu secara garis besar. Harus diingat bahwa
cedera tulang belakang mempunyai komponen tulang dan komponen saraf
hingga pengelolaan akan ditentukan oleh faktor-faktor dari kedua aspek tersebut.
A. CEDERA TULANG
a. Stabil
Cedera yang stabil adalah bila fragmen tulang tidak mempunyai kemampuan untuk
bergeser lebih jauh selain yang terjadi pada saat cedera.
Komponen arkus neura intak, serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang
belakang, terutama ligamen longitudinal posterior, tidak robek. Cedera stabil
diakibatkan oleh tenaga fleksi,ekstensi dan kompresi yang sederhana terhadap
kolumna tulang belakang dan tersering tampak pada daerah toraks bawah serta
lumbar. Fraktura baji badan ruas tulang belakang yang diakibatkan oleh fleksi akut
pada tulang belakang adalah contoh yang umum dari fraktura stabil.
b. Tak stabil
Fraktura mempunyai kemampuan untuk bergerak lebih jauh. Kelainan ini
disebabkan oleh adanya elemen rotari terhadap cedera fleksi atau ekstensi yang
cukup untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan arkus neural, baik akibat fraktura pada pedikel dan lamina, maupun oleh
dislokasi sendi apofiseal.
B. CEDERA NEUROLOGIS
a. Tanpa defisit neurologis
Pemeriksaan klinis tak menunjukkan adanya kelainan neurologis.
b. Dengan defisit neurologis
Kerusakan neurologis yang terjadi saat kecelakaan dapatlengkap dengan hilangnya
fungsi dibawah tingkat cedera atau tidak lengkap. Defisit neurologis paling mungkin
terjadi setelah cedera pada daerah punggung karena kanal spinal tersempit
didaerah ini. Adanya spondilosis servikal memperberat kerusakan neurologis bahkan
karena cedera minor sekalipun pada orang tua. Ancaman terhadap leher juga
bertambah karena artritis rematoid.
Harus selalu diingat bahwa tulang belakang toraks
adalah daerah utama terjadinya fraktura patologis karena proses metastatik.
TEMUAN KLINIS
Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus
dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan
pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak
tampak pada pasien yang juga mengalami
cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera
bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera
tulang belakang.
PEMERIKSAAN RADIOLOGIS
Karena alasan diatas, perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang
servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil
di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap
diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk
tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada
fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk
memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero-posterior.
PENGELOLAAN
Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,
memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai,
dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan neural. Reduksi
atas subluksasi untuk mendekompres kord spinal dan tindakan immobilisasi tulang
belakang untuk melindungi kord spinal adalah merupakan dasar dari tindakan.
Operasi lebih awal diindikasikan untuk dekompresi neural, fiksasi internal, atau
debridemen luka terbuka. Pasien dengan kelainan patologis kompresif dan defisit
neurologis tidak lengkap atau dengan defisit neurologis
progresif adalah kandidat operasi dekompresi gawat darurat.
Fiksasi internal elektif dilakukan pada pasien dengan ketidakstabilan tulang belakang,
cedera ligamen tanpa fraktura, deformitas tulang belakang progresif, cedera yang tak
dapat direduksi, fraktur yang nonunion. Mediator sekunder dari cedera adalah perubahan
metabolik serta patofisiologik yang berperan terhadap progresi dari respons cedera kord
spinal setelah cedera primer atau mekanikal. Cedera jaringan menyebabkan
perubahan biokimia, seluler, serta perubahan jaringan yang akan menimbulkan iskemia
jaringan. Iskemia dan infarksi kord spinal pasca cedera adalah mekanisme
kunci. Iskemia pasca cedera mempunyai efek lokal dan sistemik. Secara sistemik
terjadi pengurangan curah jantung, hipotensi dan vasodilatasi
simpatetik. Secaralokal, autoregulasi dapat hilang serta mikrosirkulasi pada dan sekitar
segmen kord spinal yang cedera bisa berkurang. Efek vaskuler pasca
cedera harus ditindak untuk mengoptimalkan pemulihan. Ekspansi volume dan vaso-
presor digunakan untuk memperbaiki keadaan normo-
tensif. Aliran darah kord spinal dapat diperbaiki dengan cara ekspansi volume, steroid,
nimodipin, atau dopamin. Dosis tinggi metilprednisolon (bolus 30mg/kg diikuti
5.4mg/kg/jam untuk 23 jam berikutnya) yang bila diberikan dalam 8 jam sejak
cedera akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan
memperbaiki pemulihan setelah cedera kord spinal. Penilaian keadaan neurologis setiap
jam termasuk pengamatan fungsi sensori, motori dan refleks penting
untuk melacak defisit yang progresif atau asenden. Mempertahankan perfusi jaringan
yang adekuat, fungsi ventilasi dan melacak keadaan dekompensasi merupakan hal yang
vital.
Pengelolaan Hemodinamik
Bila pasien hipotensif, cari sumber perdarahannya dan atasi. Syok neurogenik
mungkin tertutupi oleh syok hemoragik. Syok neurogenik disebabkan oleh
hilangnya aliran adrenergik dari sistema saraf simpatetik pada jantung dan vaskulatur
perifer setelah cedera diatas tingkat T6. Terjadi hipotensi, bradikardia, dan hipotermi.
Syok neurogenik akan lebih mengganggu distribusi volume intravaskuler dari pada
menyebabkan hipovolemi sejati. Atropin, dopamin, atau fenilefrin harus dipertimbangkan
untuk mengobati syok neurogenik, yang tak berreaksi atas penggantian volume
intravaskuler. Syok spinal berbeda dari sindroma fisiologik syok neurogenik. Syok spinal
menunjukkan kehilangan lengkap aktifitas motori, sensori dan refleks segmental dengan
flaksiditas dibawah tingkat cedera. Keadaan ini mungkin berakhir setelah 6 minggu. Bila
syok spinal bertahan lebih dari 24 jam, prognosis untuk ambulasi betul-betul tidak ada.
Akhir dari syok spinal akan ditunjukkan oleh kembalinya refleks spinal, namun
fenomena ini belum dimengerti.
Selama fase akut setelah cedera, beberapa jalur intravena perifer ukuran besar (no.
16) dan pengamat tekanan darah melalui jalur arteri dipasang, dan resusitasi air
dimulai. Bila pasiennya hipotensif dan tak berreaksi atas cairan atau produk
darah intravena, kateterisasi pada arteri pulmoner merupakan pembantu diagnostik untuk
membimbing manipulasi terapeutik dan untuk membedakan antara mekanisme
hipovolemik, kardio-genik dan neurogenik.
Pengelolaan Respiratori
Disfungsi respirasi bisa terjadi karena kegagalan
ventilatori akibat hilangnya fungsi neural dengan paralisis muskulatur toraks. Mungkin
juga karena atau eksaserbasi dari beberapa faktor parenkhimal. Tindakan
terhadap kelainan patologi dan pencegahan terhadap kelainan pulmoner sekunder atau
didapat sangat penting. Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk,
pernafasan dalam, spirometri insentif, dan pernafasan bertekanan positif yang sinambung
dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas
residual fungsional. Tekanan pernafasan positif yang sinambung dengan masker
merupakan cara optimal untuk mempertahankan kapasitas residual fungsional pada
pasien yang tidak diintubasi. Cara ini digunakan dalam usaha mencegah pamakaian
ventilasi mekanik. Pasien dengan saraf frenik intak (C3,4,5) dengan trauma kord spinal
servikal tengah atau toraks mungkin semula tampil dengan gas darah normal dan
memburuk atau mengalami dekompensata secara akut dengan kegagalan pernafasan.
Hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot interkostal menimbulkan
gangguan pengembangan toraks dan menyebabkan atelektasis progresif. Dada
fungsinya menjadi inkompeten dan kurang compliant. Gangguan fungsi ventilatori, sekret,
dan infeksi bronkhopulmoner, serta keadaan lain yang menyebabkan
eksaserbasi insufisiensi respirasi haruslah ditindak efektif. Trakheostomi dilakukan bila
pasien tak mungkin dilepaskan dari ventilator. Umumnya bila ventilasi diperlukan, lebih
dari dua minggu.
Gangguan Koagulasi
Koagulopati intravaskuler diseminata jarang terjadi pada cedera kord spinal
terbatas, bila dibandingkan dengan cedera kepala berat. Namun pasien paralisis
mempunyai risiko besar atas terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru-paru.
Heparin dosis mini (5000 U subkutan, 2-3 kali
sehari), ranjang yang berosilasi, ekspansi volume, stoking elastik setinggi paha, stoking
pneumatik anti emboli, antiplatelet serta anti koagulasi dianjurkan untuk pencegahan,
namun belum ada cara yang superior.
Pengelolaan Genitourinari
Setelah cedera, kandung kemih menjadi atonik secara akut. Kateter Foley yang
indwelling harus sejak semula digunakan untuk mengamati output cairan dan untuk
mencegah distensi kandung kemih. Kateterisasi berkala kandung kemih dimulai setelah
keadaan medikal pasien stabil dan dilakukan untuk mempertahankan volume kandung
kencing dibawah 400ml. Kateterisasi intermiten dan bersih mengurangi risiko sistitis dan
pielonefritis pada pasien dengan kandung kemih neurogenik. Antibiotik profilaktik tidak
dianjurkan, namun infeksi spesifik harus segera diobati.
Ulkus Dekubitus
Segera terbentuk pada pasien paralisis akibat tekanan langsung pada dermal,
kurangnya perfusi jaringan, dan kurangnya mobilitas. Busa atau kulit kambing penyangga
tonjolan tulang, pemutaran tubuh berulang, perawatan kulit yang baik, dan ranjang
berosilasi atau udara, dapat membantu pencegahan ulkus dekubitus. Pencegahan
komplikasi kulit adalah sangat penting.
1. Respirasi. Peran utama saraf frenik adalah pada tingkat C4 dan cedera servikal
tengah dapat berpengaruh pada fungsi diafragma baik pada satu maupun kedua sisi. Defisit
yang ditimbulkannya bisa temporer atau menetap. Pada tahap awal pasien mungkin
memerlukan ventilasi dan tube endotrakheal yang dipasang sebagai tindakan gawat
darurat harus diganti dengan trakheostomi sesegera mungkin. Sebagai tambahan
pada pernafasan artifisial adalah kemungkinan aspirasi yang efisien terhadap
sekresi paru-paru dan mencegah terjadinya bronkho-pneumonia. Perbaikan
keadaan neurologis memungkinkan pasien untuk dilepas dari ventilator untuk selanjutnya
menutup trakheostomi.
2. Kulit. Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik menyebabkan sakrum, trokhanter
major dan tumit cepat menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar. Pikirkan
bahwa semua bed sores dapat dicegah bila tidak ada defek intrinsik pada kulit yang akan
menjadi sumber luka. Pasien harus dibalik setiap dua jam dan apapun cara yang
digunakan untuk mengimmobilisasi pasien pada fraktura tak stabil, harus tetap efektif saat
merubah posisi.
3. Kandung kemih. Cedera akut kord spinal mengakibatkan periode syok spinal yang
berakhir dalam beberapa hari hingga beberapa minggu, disaat mana aktifitas semua
refleks dibawah tingkat lesi akan menghilang. Kandung kencing berekspansi tanpa disertai
adanya nyeri dengan tiadanya refleks untuk mengosongkannya hingga terjadi
inkontinensia overflow dan dribbling. Bila syok spinal berlalu, aktifitas refleks pulih
dan sebagian usaha untuk mengosongkan kandung kemih dimulai. Bila kauda
ekuina mengalami transeksi, maka tidak ada harapan pengosongan secara refleks
karena muskulatur kandung kemih terputus dari pusat refleks dikord spinal bawah.
Harapan diberikan pada sebagian aktifitas otot detrusor intrinsik, digabung dengan
kompresi manual yang akan mengosongkan kandung kemih secara lengkap dan teratur.
Sasaran semua cara perawatan dini kandung kemih pada pasien paraplegik adalah agar
pasien dengan jalur kencing yang steril mampu mengosongkan kandung kencing
secara sempurna pada selang waktu yang sesuai tanpa adanya stasis atau retensi air
kencing yang mungkin akan menimbulkan hidronefrosis atau pielonefritis. Ada dua cara
selain yang dijelaskan diatas untuk pengelolaan dini pada kandung kencing paraplegik:
a. Kateterisasi intermiten dilakukan dalam cara steril menggunakan teknik aseptik (sering
oleh dokter) tiga kali sehari hingga refleks atau pengosongan manual yang efektif dapat
dicapai.
b. Kateter indwelling kecil dan non iritan dipasang dan sistem tertutup penampungan
kencing secara sinambung atau berkala dilakukan hingga risiko infeksi asenden
dapat ditekan. Tindakan bedah kemudian atas leher kandung kencing
serta sfingter eksternal mungkin diperlukan untuk mendapatkan pengosongan yang
efektif. Bila ternyata tidak mungkin didapat dengan cara ini, mungkin perlu
untuk melakukan cara lain untuk mengalirkan dan menampung air kencing seperti
ureterostomi atau aliran keileal.
5. Anggota gerak. Penting bahwa anggota yang paralisa harus secara teratur
mendapatkan pergerakan pasif untuk mencegah kekakuan sendi.
Kontraktur yang disebabkan perbedaan spastisitas kelompok otot berlawanan harus
dicegah dengan latihan sesuai, medikasi, akhirnya pemisahan tendo tertentu.
6. Nutrisi umum. Perlu mempertahankan masukan berkalori tinggi untuk mencoba dan
menekan akibat dari keadaan katabolik yang tak dapat dielakkan yang terjadi pada
pasien bersangkutan pada masa segera setelah cedera.
1. Rehabilitasi fisik
Meningkatkan penggunaan kelompok otot yang berfungsi:
a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas
dan batang tubuh.
b. Pembiasaan terhadap alat dan perangkat rumah tangga hingga mereka dapat
memanipulasinya dengan cara-cara tertentu.
c. Perlengkapan splint dan kaliper.
d. Transplantasi tendon.
Perbaikan mobilitas:
a. Latihan dengan kaliper dan kruk untuk pasien cedera tulang belakang bawah.
b. Latihan kursi roda untuk pasien dengan otot tulang belakang dan tungkai tak
berfungsi.
c. Kendaraan khusus untuk dijalan raya.
2. Rehabilitasi psikologis
Pertama dimulai agar pasien segera menerima ketidak-mampuannya dan merancang
kembali keinginan dan rencana. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan
harga diri datang dari ketidakpastian finansial, sosial serta seksual yang semuanya
memerlukan semangat, hal-hal yang menjamin dan bantuan.
3. Penerimaan dirumah
Pelebaran pintu, pengadaan ram dan bahkan perancangan kembali rumah agar
memudahkan pasien dengan kursi roda. Perubahan paling sederhana adalah pada
kamar mandi dan dapur hingga menghilangkan ketergantunag pada orang lain.