Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis cryptococcus merupakan infeksi oportunistik pada pasien imunosupresif


terutama pada penderita HIV/AIDS. Namun, infeksi ini juga dapat menyerang pasien yang
imunokompeten, terutama mereka yang menetap di daerah yang beriklim torpis. Meningitis
cryptococcus menginfeksi sekitar 957.900 orang per tahun, merupakan infeksi yang banyak
ditemukan pada daerah Afrika dan Asia Tenggara, dimana tingkat mortalitasnya sama atau
bahkan melebihi penyakit tuberkulosis.

Meningitis cryptococcus adalah infeksi yang disebabkan oleh Cryptococcus spp.


Merupakan penyebab utama meningitis dan penyebab utama kematian pada pasien dengan
HIV/AIDS di Afrika. Deteksi antigen cryptococcus, beberapa minggu sebelum adanya gejala
yang jelas dari infeksi meningitis, dapat memungkinkan terdeteksinya infeksi ini lebih awal.
Melakukan screening pada pasien yang terinfeksi HIV yang tidak menampakkan gejala
infeksi cryptococcus juga dapat dilakukan untuk melakukan penangan yang tepat dan
mecegah kematian.

Insiden terjadinya meningitis karena jamur, terutama meningitis cryptococcus


meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Faktor pencetus terjadinya infeksi ini juga
meningkat seperti peningkatan penderita AIDS, penggunaan kortikosteroid pada penyakit
autoimun, penggunaan radioterapi dan kemoterapi pada pasien kanker, serta penggunaan
imunosupresan dalam jangka waktu yang lama setelah transplantasi organ. 6,7,10,11
BAB II

PEMBAHASAN

I. ANATOMI
Meningens merupakan selaput atau membran yang terdiri atas jaringan
ikat yang melapisi dan melindungi otak. Selaput otak atau meningens terdiri
dari tiga bagian yaitu
1. Durameter
Dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara konvensional durameter ini
terdiriatas dua lapis, yaitu endosteal dan lapisan meningeal. Kedua lapisan
ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang tempat-tempat tertentu,
terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan endosteal
sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi
permukaan dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan
durameter yang sebenarnya, sering disebut dengan cranial durameter.
Lapisan meningeal ini terdiri atas jaringan fibrous padat dan kuat yang
membungkus otak dan melanjutkan menjadi durameter spinalis setelah
melewati foramen magnum yang berakhir sampai segmen kedua dari
ossacrum. Lapisan meningeal membentuk septum ke dalam, membagi
rongga cranium menjadi ruang-ruang yang saling berhubungan dengan
bebas dan menampung bagian-bagian otak. Fungsi septum ini adalah untuk
menahan pergeseran otak. Adapun empat septum itu antara lain:
 Falx cerebri adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit yang
terletak pada garis tengah diantara kedua hemisfer cerebri. Ujung
bagian anterior melekat pada crista galli.Bagian posterior melebar,
menyatu dengan permukaan atas tentorium cerebelli.
 Tentorium cerebelli adalah lipatan durameter berbentuk bulan sabit
yang menutupi fossacrania posterior. Septum ini menutupi permukaan
atas cerebellum dan menopang lobusoccipitalis cerebri.
 Falx cerebelli adalah lipatan durameter yang melekat pada
protuberantia occipitalisinterna.
 Diapharma sellae adalah lipatan sirkuler kecil dari durameter, yang
mmenutupi sellaturcica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis.
Diafragma ini memisahkan pituitarygland dari hypothalamus dan
chiasma opticum. Pada bagian tengah terdapat lubang yangdilalui oleh
tangkai hypophyse.

Pada pemisahan dua lapisan durameter ini, terdapat sinus duramatris


yang berisi darah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima darah
dari drainase vena pada otak dan mengalir menuju vena jugularis
interna. Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium.
Sinus pada calvaria yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior,
sinus transverses dan sinus sigmoidea. Sinus pada basis crania antara lain:
sinus occipitalis, sinussphenoidalis, sinus cavernosus, dan sinus petrosus.
Pada lapisan durameter ini terdapat banyak cabang-cabang pembuluh
darah yang berasaldari arteri carotis interna, a. maxilaris,
a.pharyngeus ascendens,a.occipitalis dana.vertebralis. Dari sudut klinis,
yang terpenting adalah a. meningea media (cabang daria.maxillaris) karena
arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma capitis.
Padadurameter terdapat banyak ujung-ujung saraf sensorik, dan peka
terhadapa rgangan sehinggajika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat
menimbulkan sakit kepala yang hebat

2. Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membran yang impermeable halus, yang
menutupi otakdan terletak diantara piameter dan durameter. Mebran ini
dipisahkan dari durameter olehruang potensial yaitu spatium subdurale dan
dari piameter oleh cavum subarachnoid yangberisi cerebrospinal fluid.
Cavum subarachnoid (subarachnoid space) merupakan suatu rongga/
ruangan yang dibatasi oleh arachnoid dibagian luar dan piameter pada
bagian dalam. Dinding subarachnoid space ini ditutupi oleh mesothelial
cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol ke dalam
sinus venosus membentuk villi arachnoidales.Agregasi ini berfungsi
sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid ke dalam aliran
darah.Arachnodi berhubungan dengan piameter melalui untaian jaringan
fibrosa halus yangmelintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur
yang berjalan dari dan ke otak menuju cranium atau foraminanya harus
melalui cavum subarachnoid.
3. Piameter Lapisan piameter berhubungan erat dengan otak dan
sum-sum tulang belakang,mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piameter ini
merupakan lapisan dengan banyak pembuluhdarah dan terdiri atas jaringan
penyambung yang halus serta dilalui pemmbuluh darah yangmemberi
nutrisi pada jaringan saraf.Astrosit susunan saraf pusat mempunyai ujung-
ujung yang berakhir sebagai end feetdalam piameter untuk membentuk
selaput pia-glia Selaput ini berfungsi untuk mencegahmasuknya bahan-
bahan yang merugikan ke dalam susunan saraf pusat.Piameter membentuk
tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus dan menyatudengan
ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus lateralis,
tertius dan quartus.
Encephalon adalah bagian sistem saraf pusat yang terdapat di dalam
cranium;terdiri atas proencephalon (disebut juga forebrain yaitu bagian dari
otak yang berkembang dari anterior tiga vesikel primer terdiri atas
diensefalon dan telensefalon); mesencephalon (disebut juga brainstem yaitu
bagian dari otak yang berkembang dari bagian tengah tiga vesikel
primer,terdiri atas tektum dan pedunculus); dan rhombencephalon (disebut
juga hindbrain,terdiri atas metensefalon (serebelum dan pons) dan
mielensefalon (medulla oblongata)

II. DEFINISI
Meningitis berasal dari bahasa latin yaitu Meninga dan Yunani Menix
yang berarti membran. Sedangkan dalam bahasa medis, akhiran -itis berati
peradangan. Selaput yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang
secara kolektif disebut menings. Sehingga, meningitis adalah peradangan pada
menings. Meningitis atau radang selaput otak adalah infeksi pada cairan
sebrosipinal (CSS) disertai radang pada pia dan araknoid, ruang subaraknoid,
jaringan superfisial otak dan medulla spinalis. Meningitis cryptococcus adalah
infeksi jamur yang disebabkan oleh Cryptococcus spp, biasanya ditemukan
pada tanah yang telah terkontaminasi dengan kotoran burung. Jamur tersebut
bisanya dihirup melalui paru-paru dan menetap (dorman) di dalam tubuh
dalam beberapa tahun. Reaktivasi yang terjadi terutama pada individu dengan
daya tahan tubuh menurun, seperti orang dengan HIV/AIDS.6

III. ETIOLOGI
Meningitis cryptococcus merupakan infeksi jamur yang disebabkan
oleh Cryptococcus spp, merupakan kasus terbanyak penyebab meningitis
dengan tingkat kematian yang tinggi pada penderita HIV/ AIDS di sub-Sahara
Afrika. Cryptococcus adalah jamur bentuk bulat atau oval, diameter 4-6 mm
dengan kapsul berukuran 1-30 mm. Berdasarkan pemeriksaan serologi
Cryptococcus ssp dapat diklasifikasikan menjadi Cryptococcus neoformans
var. neoformans (Serotype D), Cryptococcus neoformans var. grubii (Serotype
A) dan Cryptococcus neoformans var. gatii (Serotype B dan C). Kasus
terbanyak dari meningitis melibatkan serotype A, terutama pada pasien yang
hidup di negara dengan penghasilan perkapita rendah termasuk penderita
HIV/AIDS. Sedangkan serotype D lebih dominan ditemukan di Eropa dan
infeksi ini jarang ditemukan. C. gatii merupakan penyebab 70-80% infeksi
cryptococcal pada manusia dengan imunokompeten dan dapat terisolasi pada
spesies tertentu. Infeksi ini terutama ditemukan pada daerah tropis dan sub-
tropis dimana penyakit klinis jarang ditemukan. Isolasi jamur dapat dilakukan
dengan membuat sediaan cairan serebrospinal yang dicampur dengan tinta
india kemudian diperiksa pada mikroskop. 3,6
IV. PATOFISIOLOGI
Infeksi berkembang dalam tubuh hewan maupun manusia. Telah
tercatat dalam penelitian transmisi kuman bukan hanya dari hewan ke hewan,
namun juga transmisi hewan ke manusia, maupun manusia ke manusia lainnya
melalui kontak langsung melalui saluran pernafasan. Organisme ini menular
dan bertransmisi dari seseorang ke yang lainnya melalui saluran pernafasan.
Manusia dapat terinfeksi hanya dengan menghirup udara yang terkontaminasi
akan organisme tersebut. Setelah terjadinya inhalasi, spora dari jamur akan
menempati alveoli paru, dimana mereka akan difagositosis oleh makrofag
dalam alveoli, namun tidak semua jamur dapat difagositosis, beberapa dari
jamur yang berkapsul resisten terhadap fagositosis, oleh karena antifagositas
dan properti imunosupresif akan kapsul polisakarida, yang mampu
menghambat makrofag untuk memfagosit dan juga mencegah migrasi sel
darah putih ke daerah tempat jamur tersebut bereplikasi. Respon inang
terhadap infeksi cryptococcus dapat melibatkan komponen-komponen sistem
imunitas seluler maupun humoral, yaitu Natural Killer Sel, Limfosit T,
makrofag, dan anti-Cryptococcal antibody.3
Infeksi C. Neoformans terkadang ditandai dengan disfungsi organ, lesi
tipikal berupa sekelompok jamur berbentuk kista dengan respon inflamasi
yang tidak tampak dan berbentuk granuloma. Infeksi awal pada paru pada
umumnya asimtomatik, pada pasien yang imunokompeten, tidak akan tampak
seperti terinfeksi dan menjadi infeksi laten ataupun berbentuk pneumonia.
Sebaliknya, pada pasien yang imunosupresif, terutama dengan kerusakan pada
fungsi sel T, infeksi tersebut dapat berkembang menjadi meningitis maupun
meningoencefalitis dan juga penyakit lainnya yang lebih luas, yang merupakan
hasil dari reaktivasi dari infeksi laten paru. Kenyataannya, jamur cryptococcus
dapat menyebar ke seluruh tubuh secara hematogen dan limfogen (reaksi dari
primary lung lymph node complex, dorman dan menyebar pada limfenodus
torakal) serta dapat menginfeksi organ lainnya yang pada umumnya adalah
saraf pusat, tulang, prostat, mata dan juga kulit. 3,4
Jamur ini akan berproliferasi di ruang subarakhnoid. Respon dari
makrofag menyebabkan terbentuknya giant sel serta fokal granuloma. C.
neoformans juga akan mengisi ruang Virchow Robin yang menyebabkan
pelebaran ruang perivaskular.
Respon imun selular sangat berperan melawan
jamur ini, termasuk di dalamnya CD4 dan CD8.
Infeksi jamur cryptococcus
banyak ditemukan pada mereka yang memiliki kadar CD4 di bawah 100 sel/µl
dan dapat muncul bersamaan dengan infeksi oportunistik lainnya.4,5,6,7
Infeksi cryptococcus merupakan infeksi jamur yang merupakan infeksi
oportunistik utama pada pasien penderita HIV-AIDS di Negara berkembang.
Infeksi limfosit CD4 oleh virus HIV dengan menempel pada reseptor CD4
dipermukaan sel membuat sel yang terinfeksi mati. Pada manusia, reseptor
CD4 diekspresikan oleh beberapa sel bahkan oleh neuron dan sel glia di otak,
namun tidak ditemukan bukti terjadi replikasi virus selain di sel limfosit,
makrofag, monosit dan sel turunan lainnya. Pada penderita HIV-AIDS dengan
infeksi oportunistik ini, ditemukan jumlah sel-T (CD4) <100. 5,6

V. MANIFESTASI KLINIS
Sistem saraf pusat merupakan target infeksi utama oleh jamur
cryptococcus, baik inang yang terinfeksi merupakan imunokompeten maupun
imunosupresif. Infeksi pada umumnya melibatkan menings dan otak,
menyebabkan suatu penyakit kronik yang difus terkadang menjadi sub akut.
Inang yang imunokompeten kurang beresiko untuk terinfeksi meningitis
daripada yang imunosupresif. Pada penderita kriptokokoma dapat terjadi defek
neurologis.3
Manifestasi klinis dari meningitis kriptokokosis sangat bervariasi
tergantung dari kondisi medis yang mendasari dan status imunologis dari
inang, namun gejala yang paling umum adalah: sakit kepala, perubahan status
mental (perubahan karakter, kehilangan memori, menurunnya tingkat
kesadaran, confusion, letargi, dan juga koma), mual dan muntah (terkadang
disebabkan oleh meningkatnya tekanan intracranial), dan juga paralisis nervus
kranialis. Gejala lain yang juga dapat ditemukan termasuk ataxia, afasia, defek
pendengaran, dan pergerakan koreoatetosis. Gejala pada okular termasuk
pandangan kabur, fotofobia ataupun diplopia yang dapat terjadi akibat
araknoiditis, papilledema, neuritis nervus optikus, ataupun korioretinitis.3
Demam dan kaku kuduk jarang ditemukan oleh karena respon
inflamasi yang terbatas yang disebabkan oleh jamur yang berkapsul.
Beberapa pasien dengan HIV positif terkadang memiliki gejala yang sangat
minim, bahkan tidak menunjukkan gejala febris, hal yang seperti ini dapat
menyebabkan keterlambatan penanganan.3
Pada kasus penyakit SSP, lesi cryptococcus harus diperiksa dengan
seksama di bagian tubuh atau orang lainnya, terutama pada pasien
imunosupresif seperti pada penderita AIDS. Organ virtual dapat terlibat,
seperti pneumonia tanpa gejala yang khas maupun lesi pada kulit yang terlihat
seperti moluskum kontagiosum.3

VI. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
tambahan. Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi
jamur melalui prosedur yang kompatibel. Spesimen yang dapat digunakan
berupa cairan serebrospinal, darah, feses, dan sputum jika memungkinkan. 3
Pada pemeriksaan laboratorium rutin, tidak memberikan hasil yang
khas, hasil yang nampak hanya berupa gejala infeksi pada umumnya meliputi
meningkatnya sel darah putih (leukositosis). Pemeriksaan kultur juga
dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi jamur yang biasanya
dibiakkan dalam agar seboraud.3,4
Setelah itu dilanjutkan dengan pemeriksaan tambahan meliputi
pemeriksaan cairan serebrospinal. Gambaran cairan serebrospinal infeksi
Cryptococcus sama dengan meningitis tuberkulosa. Tekanan biasanya
meningkat, terdapat peningkatan jumlah sel dari 10-500 sel/mm3, jumlah
protein dan limfosit yang meningkat dan glukosa menurun biasanya sekitar
15-35 mg, warna terlihat keruh oleh karena meningkatnya jumlah sel termauk
leukosit polimorfonuklear. 3,14
Diagnosis definitif dapat melalui observasi dari cairan serebrospinal
menggunakan preparat tinta india (tingkat sensitifitas 75-85%), pewarnaan ini
bukan untuk mewarnai mikroba, tetapi mewarnai latar belakangnya menjadi
gelap. Caranya secara umum dengan mencampur mikroba dalam setetes tinta
india (negrosin) lalu meyebarkan diatas kaca objek yang bersih, kemudian
dilihat di bawah mikroskop. Pewarnaan ini menyebabkan mikroba kelihatan
transparan (tembus pandang) dan tampak jelas pisah diatara medan yang gelap
karena pewarnaan ini berguna untuk menentukan morfologi dan ukuran sel.
Berbeda dengan metode pewarnaan yang lain, pada pewarnaan negative tidak
mengalami pemanasan atau perlakuan lain dengan dengan bahan kimia. 3,4,13,14
Adapun pemeriksaan yang lebih dikembangkan, meliputi pemeriksaan
antigen menggunakan Latex Agglutination (LA) ataupun Enzyme
Immunoassay (EA). Pemeriksaan LA relatif mudah dan memiliki tingkat
sensitivitas (95%) dan spesifisitas yang tinggi namun harga relatif mahal,
sehingga di negara-negara berkembang agak susah untuk dilakukan.
Penemuan baru yaitu Lateral Flow Immunoassay (LFA) sedang dikembangkan
untuk mengidentifikasi kriptokokosis (immunomikologi), cara kerjanya sama
seperti menggunakan strip tes kehamilan. Relatif lebih murah dengan tingkat
sensitivitas yang tinggi, namun saat ini sedang ditinjau oleh pihak Food and
Drug Administration (FDA). 6,8
Pemeriksaan radiologi mungkin dapat memberikan informasi dalam
menunjang diagnosis, namun dalam kasus meningitis cryptococcus, tidak
menunjukkan gambaran yang patognomik pada pemeriksaan. Pada foto polos
toraks, tidak ditemukannya gejala yang patognomik. Terkadang menunjukkan
lesi soliter, infiltrasi pneumonia, gejala yang tidak khas, dapat juga
menyerupai tuberculosis miliar. Pada pemeriksaan CT-Scan, gambaran
hidrosefalus dapat muncul oleh karena eksudat meningeal akut namun juga
dapat muncul terlambat disebabkan oleh adhesi meningeal, pseudokista yang
kecil. Pada pemeriksaan MRI, akan tampak lesi multiple hipointens T1 dan
hiperintens T2. Tampilan dari kluster dari kista di ganglia basalis dan thalamus
merupakan tanda yang khas.4,6,14

VII. PENATALAKSANAAN
Jika tidak ditindak-lanjuti, meningitis cyrptococcus dapat berhasil
fatal. Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan keadaan penderita.
Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa terapi kombinasi awal
dengan amfoterisin B dan flusitosin selama 2 minggu dikaitkan dengan
penurunan mortalitas di antara pasien dengan HIV terkait meningitis
cryptococcus, dibandingkan dengan 4 minggu amfoterisin B monoterapi.
Terapi kombinasi dengan flukonazol selama 2 minggu tidak ditemukan
banyak manfaat. Meningkatkan flucytocine memiliki potensi untuk
mengurangi jumlah kematian dari penyakit ini. 9
Kesesuaian pemilihan terapi dengan keadaan klinis penderita
berdampak baik pada prognosis akhir. Penatalaksanaan yang sesuai dengan
kondisi pasien berupa:12
 Pada pasien yang terinfeksi HIV
o Terapi utama : induksi dan konsolidasi
 Amphotericin B deoxycholate (AmBd; 0.7-0.1
mg/kg/hari/IV + flucytosine (100 mg/kg/hari diminum
dibagi menjadi 4 dosis ; paling tidak selama 2 minggu,
diikuti flukonazol (400 mg [6 mg/kg]per hari diminum)
minimal selama 8 minggu Lipid formulation of AmB
(LFAmb), disertai liposomal AmB (3-4 mg/kg per hari
IV) dan AmB lipid complex (ABLC; 5 mg/kg perhari
IV) paling tidak selama 2 minggu, dapat diganti dengan
AmBd untuk pasien yang mempunyai kecendurangan
gagal ginjal
o Terapi utama; regimen alternative untuk induksi dan
konsolidasi
 AmBd (0.7-1.0 mg/kg perhari IV), liposomal AmB (3-4
mg/kg per hari IV), atau ABLC (5 mg/kg perhari IV)
untuk 4-6 minggu (A-II). Liposomal AmB telah
diberikan secara aman sebanyak 6 mg/kg perhari IV
pada cryptococcal meningoencephalitis dan dapat
dianggap gagal perawatan atau beban penyakit fungal
yang tinggi
 AmBd (0.7 mg/kg per hari IV) ditambah flukonazol
(800 mg/kg per hari diminum) selama 2 minggu, diikuti
flukonazol (800 mg/kg perhari diminum) selama
minimal 8 minggu (B-I).
 Flukonazol (≥ 800 mg/KgBB/hari) ditambah flucytosine
(100 mg/KgBB/ hari) selama 6 minggu
 Flukonazol (800-2000 mg per hari) selama 10-12
minggu, dosis ≥12oo mg disarankan jika hanya
menggunakan flukonazol

o Perawatan profilaksis
 Flukonazol (200mg perhari)
 Itraconazole (200mg 2 kali sehari diminum; memonitor
drug-level sangat disarankan).
 Initiate HAART selama 2-10 minggu setelah permulaan
perawatan antifungal
 Untuk asymptomatic antigenemic, lakukan lumbal
pungsi dan blood culture; jika hasilnya positif, rawat
seperti symptomatic meningoencephalitis, rawat dengan
flukonazol (400 mg perhari diminum) sampai immune
reconstitution
 Antifungal prophylaxis utama untuk cryptococcosis
sering tidak disarankan pada pasien yang terinfeksi HIV
di amerika dan eropa, tetapi pada area mempunya
keterbatasan HAART, kekebalan terhadap high level of
antiretroviral, dan beban penyakit yang tinggi mungkin
dapat menjadi pertimbangan atau strategi pencegahan
dengan pengujian cryptococcal antigen serum untuk
asymptomatic antigenemia
VIII. KOMPLIKASI
 Persisten dan relaps
Infeksi yang persisten ditandai dengan hasil kultur cairan
serebrospinal yang positif setelah 4 minggu pengobatan anti jamur
secara efektif, sedangkan relaps ditandai dengan munculnya kembali
jamur Cryptococcus pada tempat yang pada awalnya telah di sterilisasi
dan kambuhnya gejala manifestasi klinis setelah dilakukan pengobatan
awal. Kebanyakan kasus relaps terjadi oleh karena terapi awal yang
tidak adekuat baik dalam pemberian dosis maupun penetapan durasi
pengobatan, ataupun karena pasien yang kurang disiplin dalam
pengobatan.
 Meningkatnya tekanan serebrospinal dan intracranial
Tekanan cairan serebrospinal yang terkontrol adalah salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi hasil akhir dalam kasus meningitis
Cryptococcus, oleh karena peningkatan tekanan serebrospinal
berhubungan dengan akumulasi mikroorganisme jamur yang lebih
tinggi pada sistem saraf pusat, yang dapat meningkatkan morbiditas
dan mortalitas.
 Sindrom Inflamasi Rekonstusi Imun (IRIS)
Sindrom inflamasi rekonstitusi imun (IRIS) atau sindrom rekonstitusi
imun (IRS) merupakan sebuah kondisi yang ditemukan pada beberapa
kasus AIDS atau imunosupresi, dimana sistem imun mulai pulih, tetapi
kemudian merespon terhadap infeksi oportunis yang didapatkan
sebelumnya dengan respons inflamasi yang menjadikan gejala infeksi
semakin buruk.
 Cryptococcoma serebri
Ditandai dengan massa pada otak yang menyerupai tumor pada
hemisfer serebri. Pada umumnya ditemukan pada pasien imunosupresif
dengan infeksi oportunistik tahap lanjut

IX. DIAGNOSIS BANDING


 Toksoplasmosis enchepalitis
Tanda dan gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, demam, pusing,
kejang +/-, gangguan bicara, disfungsi cerebellar, abnormal nervus
cranial, gangguan pergerakan, gangguan sensorik, gangguan lapang
pandang. Pada tes antibody IgG toxoplasma memberikan hasil positiv,
tetapi dapat juga negative pada 15% pasien. Pada pemeriksaan Ct scan/
MRI memberikan gambaran; lesi multiple, ganglia basalis dan
corticomedullary junction sering terlibat, gambaran ring-enhacing,
serta edema.1,2
 Meningitis Tuberkulosis
Tanda dan gejala yang ditemukan adalah demam, sakit kepala,
perubahan sensorik, meningismus, (+/-) TB pulmonal aktif (tampak
pada 40% kasus), kesadaran berkabut. Pada meriksaan radilogi Ct
scan/ MRI, tampak gambaran peningkatan basal meningeal serta dapat
juga memberikan gambaran tuberculoma. 1,2

X. PROGNOSIS
Meningitis kriptokokkus merupakan penyebab kematian dan kecatatan yang
signifikan pada penderita HIV/AIDS. Cryptococcus spp menginfeksi sekitar
1.000.000 orang pertahun dan tingkat mortalitas sekitar 625.000 setiap tahun.
Prognosis akan sangat bergantung pada ketepatan waktu mendiagnosis,
memberi penatalaksanaan, dan pengobatan yang tepat.6
XI. ALGORITMA DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis cryptococcus adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh Cryptococcus


spp, biasanya ditemukan pada tanah yang telah terkontaminasi dengan kotoran burung. Jamur
tersebut bisanya dihirup melalui paru-paru dan menetap (dorman) di dalam tubuh dalam
beberapa tahun. Reaktivasi yang terjadi terutama pada individu dengan daya tahan tubuh
menurun, seperti orang dengan HIV/AIDS

Manifestasi klinis dari meningitis kriptokokosis sangat bervariasi tergantung dari


kondisi medis yang mendasari dan status imunologis dari inang, namun gejala yang paling
umum adalah: sakit kepala, perubahan status mental (perubahan karakter, kehilangan
memori, menurunnya tingkat kesadaran, confusion, letargi, dan juga koma), mual dan muntah
(terkadang disebabkan oleh meningkatnya tekanan intracranial), dan juga paralisis nervus
kranialis. Gejala lain yang juga dapat ditemukan termasuk ataxia, afasia, defek pendengaran,
dan pergerakan koreoatetosis. Gejala pada okular termasuk pandangan kabur, fotofobia
ataupun diplopia yang dapat terjadi akibat araknoiditis, papilledema, neuritis nervus optikus,
ataupun korioretinitis.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan tambahan.


Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi jamur melalui prosedur yang
kompatibel. Spesimen yang dapat digunakan berupa cairan serebrospinal, darah, feses, dan
sputum jika memungkinkan. Jika tidak ditindak-lanjuti, meningitis cyrptococcus dapat
berhasil fatal. Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan keadaan penderita.

Meningitis kriptokokkus merupakan penyebab kematian dan kecatatan yang


signifikan pada penderita HIV/AIDS. Cryptococcus spp menginfeksi sekitar 1.000.000 orang
pertahun dan tingkat mortalitas sekitar 625.000 setiap tahun. Prognosis akan sangat
bergantung pada ketepatan waktu mendiagnosis, memberi penatalaksanaan, dan pengobatan
yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthaler M, Mattle H, Taub E. Fundamentals of Neurology. New York: Thieme;


2006: 111-119
2. Moore AJ, Newell DW. Neurosurgery Principles and Practice. London: Springer;
2005:640-641
3. Fabrizio C, Carbonara S, Angarano G. Cryptococcal Meningitis. Europe: Intech; 2012
4. McDonald R, Greenberg EN, Kramer R. Cryptococcal Meningitis. Archieves of
Disease in Childhood 2011; 45(1): 417-420.
5. Joseph N, Jarvis, Harrison T. HIV-associated cryptococcal meningitis. AIDS 2007;
21(1): 2119-2129.
6. Roy M, Chiller T. Preventing deaths from cryptococcal meningitis: from bench to
bedside. Expert Rev. Anti Infect. Ther. 2011; 9(9): 715-717.
7. Ghasemian R, Najafi N, Shokohi T. Cyrptococcal meningitis relapse in an
immunocompetent patient. Iranian Journal of Clinical Infectious Disease 2011; 6(1):
51-55.
8. Bello YB, Machado HG, Silveira JF, Schettini F, Junior GM, Junior SD et all.
Cryptococcal meningitis in immunocompetent patient-case report. American Medical
Journal 2013; 4(1): 100-104.
9. Day JN, Chau TT, Wolbers M, Mai PP, Dung NT, Mai NH et all. Combination
antifungal therapy for cyrptococcal meningitis. N Engl J Med 2013; 368(1): 1291-
1302.
10. Rajasingsham R, Rolfes MA, Birkenkamp KE, Meya DB, Boulware DR.
Cyrptococcal meningitis treatment strategies in resource-limited settings: A cost-
effectiveness analysis. PLOS Medicine 2012; 9(9): e1001316.
11. Perfect JR, Dismukes WE, Dromer F, Goldman DL, Graybill JR, Hamill RJ et al..
Clinical practice guidelines for the management of cryptococcal disease: 2010 update
by the infectious diseases society of America. Clinical Infectious Diseases 2010;
50(1): 291-322.
12. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Terjemahan, 6
ed. Indonesia: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2003; 2(9): 1016-1018.
13. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Indonesia: Gadjah Mada University Press;
2011.4(1): 161-169
14. Bicanic T, Harrison TS. Cryptococcal Meningitis. British Medical Bulletin 2005;
2004(99): 118.
15. Hafeez R, Chughtai AS. Cryptococcal meningitis case report and review literature.
International Journal of Pathology 2004; 2(2): 105-107.

Anda mungkin juga menyukai