Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PADA ANAK

Oleh:
Fitriani Rahmawati
030.14.072

Pembimbing:
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK
RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

PERIODE 14 JANUARI – 23 MARET 2019

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus berjudul “Tuberkulosis pada Anak” telah dipresentasikan pada:


hari, tanggal :
tempat : Ruang Diklat RSUD Budhi Asih

Dokter Pembimbing

dr.

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Tuberkulosis pada Anak”.
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak RSUD Budhi Asih, Jakarta.
Penyusunan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua
pihak demi kesempurnaan laporan kasus ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
pembaca.

Penulis

Fitriani Rahmawati
030.14.072

iv
v
BAB I

PENDAHULUAN

A Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah khusus yang berbeda
dengan TB pada orang dewasa. Perkembangan penyakit TB pada anak saat ini
sangat pesat. Sekurang-kurangnya 500.000 anak di dunia menderita TB setiap
tahun. Tuberkulosis (TB) paru merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan
salah satu penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara
berkembang maupun di negara maju.1
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru TB anak dan 450.000 anak usia < 15 tahun meninggal dunia karena TB.
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua
kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011
dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi
proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak
masih sangat bervariasi pada level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam
kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok
umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA
positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak,
sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.1
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu: 1) diagnosis tidak tepat, 2) pengobatan tidak adekuat, 3)
program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat, 4) infeksi endemik HIV,
5) migrasi penduduk, 6) mengobati sendiri (self treatment), 7) meningkatnya
kemiskinan dan 8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.2
Untuk menangani permasalahan TB anak telah diterbitkan berbagai panduan
tingkat global. TB pada anak saat ini merupakan salah satu komponen penting
dalam pengendalian TB, dengan pendekatan pada kelompok risiko tinggi, salah
satunya adalah anak mengingat TB merupakan salah satu penyebab utama
kematian pada anak dan bayi di negara endemis TB.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Tuberkulosis pada Anak


Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman
TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang
terjadi pada anak usia 0-14 tahun.3

B. Faktor Risiko

Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun


timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor
resiko infeksi dan faktor resiko progresi infeksi menjadi penyakit (resiko penyakit).

1. Resiko infeksi TB
Faktor resiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi yang tidak
membaik), tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara atau panti perawatan
lain) yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.4
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih
tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas
atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif
dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi
udara yang kurang baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya.
Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Hal tersebut karena:
a. Jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu
menyebabkan sakit.

2
b. Lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum.
c. Sedikitnya atau tidak ada produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya gejala batuk pada TB anak.

2. Resiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB.
Berikut ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi
TB menjadi sakit TB.

a. Usia
Anak berusia ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi
infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selulernya belum berkembang
sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara
bertahap seiring dengan pertambahan usia. Anak berusia < 5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis
TB). Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB
singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala yang akut.

b. Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
c. Sosial ekonomi yang rendah, kepadatan hunian, penghasilan yang kurang,
pengangguran, pendidikan yang rendah.
d. Faktor lain yaitu malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV,
keganasan, transplantasi organ dan pengobatan imunosupresi).
e. Virulensi dari M. Tuberculosis dan dosis infeksinya.5

C. Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB
dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan
terhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak

3
seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan
seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya
menyebabkan lisis makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat
tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon.6
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus (perihiler), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer,
limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu, biasanya berlangsung selama 4−8
minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai
jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
selular 7
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi.
Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk,
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein,
yaitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat
sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas selular
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity, CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi

4
setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga
akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala
sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau
di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan
rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga
bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-
valve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi
dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula.
Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar
secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu
kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling
sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu, dapat juga

5
bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang),
demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB
apeks paru saat dewasa.8
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara
akut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host)
dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun (balita)
terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding
vaskuler pecah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB
akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran
tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

6
Gambar 1. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis 8
Sumber: Petunjuk teknis tatalaksana TB anak

*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult


hematogenic spread). Kuman TB kemudian membuat fokus koloni di
berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.

7
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh kuman TB dari luar
(eksogen), ini disebut TB tipe dewasa (adult type TB)

D. Diagnosis TB pada Anak

a. Penemuan Pasien TB Anak


Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :

1) Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular.


Yang dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal
serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya
BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa. Pemeriksaan
kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan pada
bab profilaksis TB pada anak.9

2) Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB
anak.
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang
paling sering terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa
gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu ditekankan bahwa
gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut: 10

1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik
dengan adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.

8
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan
pengobatan baku diare.

Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang


konstan, sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu
kalender terjadinya TB di berbagai organ seberi pada gambar d bawah ini.

Gambar 2. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer 11


Sumber: Miller FJW. Tuberculosis in children, evolution, epidemiology, treatment,
prevention. New York. Churchill Livingstonne, 1982, dengan modifikasi

9
Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin
biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Paa
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan
eritema nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang
terdeteksi. Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.11
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat
terjadi pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih
lama, yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis
sakit Tb terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90%
kematian karena TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.12
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis


Resiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru
(milier, meningitis)
<1 50% 30 – 40% 10 – 20%
1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0,5%
5 – 10 98% 2% <0,5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%

10
Tabel 2. Tahapan Tuberkulosis pada anak
Tahapan
Pajanan Infeksi Penyakit
Uji tuberkulin Negatif Positif Positif (90%)
Pemeriksaan fisik Normal Normal Biasanya tidak
Foto polos dada Normal Biasanya normal1 normal*
Profilaksis/terapi Selalu Pada Biasanya tidak
TB Satu imunokompremais norma2
Jumlah obat Satu Selalu
Tiga atau empat

* pada 50% anak dengan tuberkosis paru didapatkan pemeriksaan fisik yang normal
1
kalsifikasi atau granuloma kecil diartikan infeksi, bukan penyakit
2
pada beberapa anak dengan tuberkulosis paru tidak didapatkan kelainan pada foto
polos dada

b. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak


TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit
menular yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu
kuman Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi
yang terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan
langsung atau biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan
kuman TB. Pada anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB
dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada
bulan Februari 2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk
penegakan diagnosis TB. Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada
anak karena sulitnya mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum,
induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut,

11
apabila fasilitas tersedia. Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat
memberikan gambaran yang khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan
gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB.

c. Perkembangan Terkini Diagnosis TB


Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan
dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line
Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert
MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena
membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak,
dan dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi
tertentu yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert
MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari
pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari
pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang
negatif tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB.
Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak
yangmampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil
positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.

12
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada
anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung,
terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan
yang memadai untuk melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering
berperan sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena
penularan TB sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui
saluran nafas (inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara
pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara
menemukan kuman dalam sputum. Namun upaya untuk menemukan
kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan sputum sulit
dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya
pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya
riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB
dengan melakukan uji tuberkulin.
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi
hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal
ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular
(hasil uji tuberkulin positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh
pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk
melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien

13
tersebut secara klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut
sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh anak lemah
dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejalaklinis maupun radiologis. Gejala
klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya
dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah
diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien maupun
hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu
dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia
di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia
di semua fasilitas pelayanan kesehatan. Cara melaksanakan uji tuberkulin
terdapat pada lampiran.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah
pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak
khas karena juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian
pemeriksaan foto toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
TB, kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat


(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma 12

14
d. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang
tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem
skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap
penelitian oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan
disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis
TB anak terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini
membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data
klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular


mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB
dan mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan


OAT (Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan
Tabel 3. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB
secara cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap
pengobatan baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan
respons klinis tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

15
Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
(mendukung)
tidak jelas
TB
Skor Total

Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
 Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes,
sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.
 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1 bulan.

16
o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,
atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.

E. Tuberkulosis Anak Dalam Keadaan Khusus


Sebagian besar kasus TB anak adalah kasus TB paru dengan lesi minimal
dengan gejala klinis yang ringan, tidak mengancam kehidupan ataupun
menimbulkan kecacatan. Pada beberapa kasus, dapat muncul gejala klinis yang
berat seperti TB meningitis, TB milier, dll.

1) TB dengan konfirmasi bakteriologis


Pada anak kuman TB sangat sulit ditemukan disamping karena sulitnya
mendapatkan spesimen pemeriksaan, TB anak bersifat paucibacillary (kuman
sedikit). Sehingga tidak ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan dahak
tidak menyingkirkan diagnosis TB anak. TB dengan konfirmasi bakteriologis
terdiri dari hasil positif baik dengan pemeriksaan BTA, biakan maupun tes
cepat.

2) Tuberkulosis Meningitis
Tuberkulosis meningitis, merupakan salah satu bentuk TB pada Sistem
Saraf Pusat yang sering ditemukan pada anak, dan merupakan TB dengan
gejala klinis berat yang dapat mengancam nyawa, atau meninggalkan gejala
sisa pada anak.
Anak biasanya datang dengan keluhan awal demam lama, sakit kepala,
diikuti kejang berulang dan kesadaran menurun khususnya jika terdapat bukti
bahwa anak telah kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif. Apabila
ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak
direkomendasikan.

17
3) TB Milier
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB dengan gejala klinis
berat dan merupakan 3—7% dari seluruh kasus TB, dengan angka kematian
yang tinggi (dapat mencapai 25% pada bayi). TB milier terjadi oleh karena
adanya penyebaran secara hematogen dan diseminata, bisa ke seluruh organ,
tetapi gambaran milier hanya dapat dilihat secara kasat mata pada foto torak.
Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu

a. Kuman M. tuberculosis (jumlah dan virulensi),


b. Status imunologis pasien (nonspesifik dan spesifik), seperti infeksi HIV,
malnutrisi, infeksi campak, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal,
keganasan, dan penggunaan kortikosteroid jangka lama
c. Faktor lingkungan (kurangnya paparan sinar matahari, perumahan yang
padat, polusi udara, merokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta
sosioekonomi).

4) Tuberkulosis Tulang/ Sendi


Tuberkulosis tulang atau sendi merupakan suatu bentuk infeksi TB
ekstrapulmonal yang mengenai tulang atau sendi. Insidens TB sendi berkisar
1—7% dari seluruh TB. Tulang yang sering terkena adalah: tulang belakang
(spondilitis TB), sendi panggul (koksitis), dan sendi lutut (gonitis).

5) Tuberkulosis Kelenjar
Infeksi TB pada kelenjar limfe superfisial, yang disebut dengan skrofula,
merupakan bentuk TB ekstrapulmonal pada anak yang paling sering terjadi, dan
terbanyak pada kelenjar limfe leher. Kebanyakan kasus timbul 6—9 bulan
setelah infeksi awal M. tuberculosis, tetapi beberapa kasus dapat timbul
bertahun-tahun kemudian. Lokasi pembesaran kelenjar limfe yang sering
adalah di servikal anterior, submandibula, supraklavikula, kelenjar limfe
inguinal, epitroklear, atau daerah aksila.
Kelenjar limfe biasanya membesar perlahan-lahan pada stadium awal
penyakit. Pembesaran kelenjar limfe bersifat kenyal, tidak keras, discrete, dan
tidak nyeri. Pada perabaan, kelenjar sering terfiksasi pada jaringan di bawah
atau di atasnya. Limfadenitis ini paling sering terjadi unilateral, tetapi infeksi
bilateral dapat terjadi karena pembuluh limfatik di daerah dada dan leher-

18
bawah saling bersilangan. Uji tuberkulin biasanya menunjukkan hasil positif,
Gambaran foto toraks terlihat normal.

6) Tuberkulosis Pleura
Efusi pleura adalah penumpukan abnormal cairan dalam rongga pleura.
Salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di
Indonesia adalah TB. Efusi pleura TB bisa ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu (1)
cairan serosa, bentuk ini yang paling banyak dijumpai ; (2) empiema TB, yang
merupakan efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut
ke proses supuratif kronik.

7) Tuberkulosis Kulit
Skrofuloderma merupakan manifestasi TB kulit yang paling khas dan
paling sering dijumpai pada anak. Skrofuloderma terjadi akibat penjalaran
perkontinuitatum dari kelenjar limfe yang terkena TB. Manifestasi klinis
skrofuloderma sama dengan gejala umum TB anak. Skrofuloderma biasanya
ditemukan di leher dan wajah, dan di tempat yang mempunyai kelompok
kelenjar limfe, misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan
daerah lateral leher. Selain itu, skrofuloderma dapat timbul di ekstremitas atau
trunkus tubuh, yang disebabkan oleh TB tulang dan sendi.

8) Tuberkulosis Abdomen
TB abdomen mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun penjalaran
langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan
perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).

F. Pengobatan TB Anak
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan
profilaksis (pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan
profilaksis TB diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak
yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

19
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai


monoterapi.
o Pemberian gizi yang adekuat.
o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

1. Prinsip pengobatan TB anak:


o OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman
intraseluler dan ekstraseluler
o Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka
panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya kekambuhan
o Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
• Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis
dan berat ringannya penyakit.
• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap
hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering
terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.

o Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun
ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain
dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan.
o Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB,
TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3
dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian
kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering
off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk
mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

20
o Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional
Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah:
• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari
kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan
berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT
KDT.

Gambar 3. Skema Panduan OAT Anak

21
Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

Dosis
Dosis harian
Nama Obat maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari)
(mg /hari)
Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitis
Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal, reaksi
kulit, hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, gangguan
gastrointestinal
Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Tabel 5. Panduan OAT Kategori Anak

Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama

TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan


2 mgg dosis penuh-
Efusi pleura TB
kemudian tappering off
TB BTA positif 2HRZE 4HR -
TB paru dengan 2HRZ+E atau 7-10HR 4 mgg dosis penuh- 9-12
tanda-tanda S kemudian tappering off bulan
kerusakan luas:
TB milier
TB + destroyed
lung

22
10HR 4 mgg dosis penuh- 12 bulan
Meningitis TB
kemudian tappering off
2 mgg dosis penuh-
Peritonitis TB
kemudian tappering off
2 mgg dosis penuh-
Perikarditis TB
kemudian tappering off
Skeletal TB -

2. Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Dosis kombinasi pada TB anak


Berat badan 2 bulan 4 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

23
o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah
makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak

1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak


Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk
melihat kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat.
Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2
bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan
dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,
berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila
respon pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6
bulan. Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan
untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan
dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain
seperti foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang

24
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi
apabiladijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat
dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA pos.

2) Efek Samping pengobatan TB Anak


Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada

o Bayi yang mendapat ASI eksklusif,


o Pasien gizi buruk,
o Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada
buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.

3) Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.

o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2
bulan di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri
pengobatan kembali mulai dari awal.
o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan
di fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa
pengobatan sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan
meningkatkan risiko terjadinya TB kebal obat.

25
4) Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB,
tidak dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.

G. Imunisasi BCG
Pengontrolan penyakit TB bergantung pada pencegahan dengan imunisasi
Bacille-Calmete-Guerin (BCG) atau terapi kemoprofilaksis, serta pengobatan tepat
dengan sistem pendekatan directly observed therapy short course (DOTS). Vaksin
BCG berasal dari bakteri Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan .

a. Prosedur Pemberian Imunisasi


Vaksin BCG diberikan secara intrakutan. Suntikan dilakukan didaerah
deltoid kanan, sehingga apabila terjadi reaksi limfadenitis di aksila akan mudah
dideteksi. BCG tidak boleh diberikan secara subkutan karena beresiko terjadi ulkus
dan abses yang seius. Dosis untuk neonatus dan bayi < 1 tahun adalah 0,05 ml
sedangkan untuk anak dan dewasa adalah 0,1 ml. Vaksin BCG harus disimpan pada
suhu 2-8 OC, tidak boleh beku dan tidak boleh terkena sinar matahari . setelah
dibuka, botol BCG tidak boleh disimpan lebih dari 4 jam karena dapat
kemungkinan kontaminasi dan berkurangnya potensi.
Imunisasi BCG sebaiknya diberikan pada usia < 2 bulan. Agar cakupan
imunisasi lebih luas, pada jadwal Program Pengembangan Imunisasi (PPI) BCG
dapat diberikan pada usia 0 – 12 bulan. Pada neonatal – bayi berusia < 3 bulan,
karena belum mengalami paparan lama terhadap penyakit , pemberian BCG tidak
perlu didahului oleh uji tapis (uji tuberklin). Sebaliknya, pada usia > 3 bulan,
sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk

26
mengurangi komplikasi yang terjadi akibat pemberian BCG, akibat telah adanya
imunitas terhadap antigen Mycobacterium. Pada bayi kontak erat dengan pasien TB
BTA positif, sebaiknya diberikan isoniazid (INH) profilaksis terlebih dahulu, lalu
bila kontak sudah tenang dilakukan uji tuberkulin dan apabila hasilnya negatif,
dapat diberikan BCG.

b. Efektivitas
Vaksinasi BCG dapat diberikan secara bersamaan dengan vaksin hidup
lainnya, tetapi bila kedua vaksin tersebut tidak diberikan pada saat yang bersamaan,
maka sebaiknya diberikan jarak minimal 4 minggu antara BCG dan vaksin virus
hidup lainnya. Vaksinasi lain tidak boleh diberikan pada lengan yang sama dengan
BCG, paling sedikit selama 3 bulan, karena dapat meningkatkan resiko
limfadenitis.
Banyak penelitian yang telah menunjukan hasil yang konsisten akan
peranan BCG dalam proteksi terhadap meningitis TB dan TB milier. Proteksi BCG
ditemukan bervariasi antara 0% - 80%. Sebuah meta-analisis menunjukkan proteksi
yang sama untuk vaksinasi saat bayi. Bukti-bukti untuk kemampuan proteksi BCG
terhadap penyakit TB paru anak tidak terlalu konsisten, tetapi ditemukan hasil yang
cukp baik, yaitu berkisar 60-80%, baik dinegara berkembang maupu negara maju,
baik untuk TB paru maupun TB ekstrapulmoner; meskipun ditemukan tingkat
proteksi yang lebih rendah pada daerah tropis.
Suatu meta-analisis lain terhadap lia studi prospektif dan 11 studi kasus
kontrol mendapatkan bahwa vaksinasi BCG pada saat bayi dapat menurunkan
resiko TB paru, Meningitis TB, TB milier, dan kematian akibat TB.
Efek proteksi BCG timbul 8 – 12 minggu setelah vaksinasi. Lamanya
proteksi BCG juga belum dapat diketahui dengan pasti. Suatu studi oleh Sterne
dkk, menemukan bahwa efektivitas BCG mennurun seiring dengan berjalannya
waktu sejak vaksinasi. Selain itu juga tidak ditemukan bahwa BCG dapat
memberikan perlindungan setelah lebih dari 10 tahun sejak vaksinasi. Akan tetapi,
studi terakhir di Amerika berhasil menemukan bahwa efektivitas dosis tunggal
BCG dapat bertahan hingga 50 – 60 tahun.

27
c. Keamanan dan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Vaksin BCG relatif aman, sangat jarang sekali terjadi komplikasi serius
mauun jangka panjang. Meskipun demikian, setiap orangtua harus mendapatkan
penjelasan yang lengkap mengenai manfaat, prosedur, serta kemungkinan
efeksamping pascavaksinasi. Vaksinasi BCG seringkali menimbulkan efeksamping
lokal. Penyuntikan yang benar akan menyebabkan timbulnya bisul kecil dalam 2-6
minggu, yang akan membesar dan dapat terjadi ulku yang tertutup krusta selama 2-
4 bulan, kemudian menyembuh tanpa harus diobati dan menimbulkan bekas parut
berdiameter 4-8 mm. Orangtua dianjurkan untuk mengkompres ulkus dengan
cairan antiseptik bila ulkus mengeluarkan cairan dan diminta untuk datang ke
dokter apabila cairan bertambah banyak, koreng membesar, atau terjadi
pembesaran kelenjar limfe regional (aksila). Apabila pada lei terjadi infeksi
sekunder dapat diberikan eritromisin.
Limfadenitis supuratif di aksila atau leher dapat terjadi, tetepi biasanya
sembuh sendiri sehinga tidak perlu diobati bila timbul fistula harus dilakukan
drainase dan pemberian OAT langsung ke lesi. BCG juga mungkin menyebabkan
abses lokal akibat kesalahan teknik penyuntikan.
Efek samping sistemik seperti BCG-itis diseminasi, osteomielitis, dan
eritema multiformis merupakan efeksamping yang parah, tetapi sangat jarang
terjadi dan biasanya berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Efeksamping ini
harus diatasi dengan kombinasi OAT.

d. Kontraindikasi
Di Indonesia, vaksin BCG tidak boleh diberikan pada mereka yang :

1. Pernah menderita TB
2. Uji tuberkulin > 5 mm
3. Sedang hamil
4. Dalam keadaan imunokompremais (atau keungkinan imunokompremais)
seperti pasien HIV atau beresiko tinggi infeksi HIV, dalam pengobatan
imunosupresan, kortikosteroid, radiasi, penyakit keganasan pada sumsum
tulang atau sistem limfe.
5. Gizi buruk

28
6. Sedang demam tinggi
7. Infeksi kulit yang luas

BCG boleh diberikan pada bayi-bayi pramature, karena didapatkan efikasi


yang baik pada bayi-bayi pramature dan divaksinasi pada umur gestasi 34-35
minggu (umur rata-rata pemulangan bayi pramature).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.


Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI;
2013.
2. Nastiti N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi
Anak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
3. Mardjanis S., I. Budiman. Imunisasi BCG pada Anak. Dalam : Nastiti N.R.,
Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta :
Badan Penerbit IDAI; 2008. Hal 252-258.
4. Nastiti N.R., Darmawan B.S. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Nastiti
N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
5. Jadwal Imunisasi Rekomendasi IDAI 2014. http://idai.or.id/public-
articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html diakses: 28 Juli 2016
6. Miller FJW. Tubeculosis in children, evolition, epidemiology, treatment,
prevention. New York; Churchill Livingstone; 1982.

30
31

Anda mungkin juga menyukai