Anda di halaman 1dari 13

Teori Sosio-Kultural

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Belajar dan Pembelajaran pada
Semester Ganjil yang Dibimbing oleh Ibu. Prof. Dr. Asri Budiningsih

Disusun oleh :
Calista Devi Handaru 13105241034

Teknologi Pendidikan B

Jurusan Kurikulum danTeknologi Pendidikan


Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Belajar merupakan suatu proses yang kompleks ditandai dengan adanya
perubahan tingkah laku, bersifat relatif permanen dan prosesnya ditandai dengan
adanya interaksi dengan lingkungan sekitar pebelajar baik lingkungan alam maupun
sosial budayanya. Berkaitan dengan hasil dari belajar yang dialami ada teori belajar
yang sering diterapkan dalam dunia pendidikan yaitu teori belajar behavioristik
walaupun ada juga yang telah mengaplikasikan berbagai teori belajar yang ada. Bila
hanya menggunakan paradigma behavioristik maka akan terbentuk pebelajar yang
hanya menjunjung tinggi kekerasan.
Pengetahuan dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, begitu
dengan pendidikan. Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber antara
lain pengalaman pribadi, pendapat ahli, tradisi, intuisi, penalaran dan keyakinan benar
salah. Dari penjelasan ini jelas pengetahuan merupakan segala sesuatu yang ditangkap
oleh manusia mengenai obyek sebagai hasil dari proses mengetahui baik melaui indra
maupun akal.
Perkembangan pengetahuan sejalan dengan perkembangan berbagai teori
belajar, karena pengetahuan salah satunya diperoleh dengan belajar, sehingga tidak
mustahil bermunculan teori-teori belajar antara lain teori belajar koneksionalisme,
kondisioning, behaviorisme dan laian-lain, yang masing-masing teori mempunyai
kelemahan dan kelebihan.
Mencermati berbagai teori-teori belajar dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, Vygotsky seorang psikolog berpandangan bahwa anak membangun
sendiri pengetahuan dan pemahamannya, dan tidak secara pasif menerima
pengetahuan yang diberikan kepadanya (Vygotsky dalam Mukminan; 35). Pendapat
tersebut hampir sama dengan Pieget yang menyatakan bahwa pembentukan
pengetahuan itu terjadi melalui interaksi anak dengan obyek fisik secara langsung dan
anak melakukan sendiri. Kedua hal inilah yang kemudian mendasari munculnya teori
sosio-kultural.

2
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang ada dalam makalah ini yaitu:
1. Bagaimana dasar terbentuknya teori sosio-kultural?
2. Apa saja konsep teori sosio-kultural?
3. Apa pengaruh sosio-kultural pada perkembangan kognisi?
4. Bagaimana aplikasi teori sosio-kultural dalam bidang pendidikan?
5. Apa saja kelebihan dan kekurangan teori sosio-kultural?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi sosio-kultural.
2. Untuk mengetahui pengaruh teori sosio-kultural
3. Untuk mengetahui aplikasi teori sosio-kultural
4. Untuk mengetahui aplikasi teori sosio-kultural dalam bidang pendidikan
5. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan teori sosio-kultural

D. Manfaat
Manfaat penulisan makalah ini untuk penulis dan pembaca adalah untuk
menambah ilmu pengetahuan tentang teori sosio-kultural. Salah satu teori dalam
belajar dan pembelajaran.

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Dasar Terbentuknya Teori Belajar Sosio-Kultural


Teori sosiokultural atau kognitif sosial menekankan bagaimana seorang anak atau
pembelajar menyertakan kebudayaan ke dalam penalaran, interaksi sosial, dan pemahaman
diri mereka.Santrock (2009:323) mengemukakan bahwa dalam teori kognitif sosial (social
cognitive theory) yang berperan penting dalam pembelajaran ialah faktor sosial, kognitif,
serta perilaku anak.Faktor-faktor kognitif meliputi harapan siswa untuk berhasil sedangkan
faktor sosial meliputi pengamatan siswa terhadap perilaku pencapaian orang tua mereka.
Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar sosio-kulturalyaitu :

A. Piagiet
Menurut piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetic, yaitu
proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam bentuk perkembangan system
syaraf.
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa individu artinya
pengetahuan berasal dari individu.Siswa berinteraksi dengan lingkungan sosial yaitu
teman sebayanya dibanding orang-orang yang lebih dewasa.Penentu utama terjadinya
belajar adalah individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial
menjadi faktor sekunder.
Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan jaminan kesuksesan belajar,
sedangkan penataan kondisi hanya sekedar memudahkan belajar. Perkembangan
kognitif merupakan proses genetik yang diikuti adaptasi biologis dengan lingkungan
sehingga terjadi ekuilibrasi. Untuk mencapai ekuilibrasi dibutuhkan proses adaptasi
(asimilasi dan akomodasi).
Melalui asimilasi siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dari luar ke dalam
struktur kognitif yang telah ada dalam dirinya.Sedangkan melalui akomodasi siswa
memodifikasi struktur kognitif yang ada dalam dirinya dengan pengetahuan yang baru.
Pendekatan kognitif dalam belajar dan pembelajaran yang ditokohi oleh Piaget
yang kemudian berkembang dalam aliran kontruktivistik juga masih dirasakan

4
kelemahannya. Teori ini bila dicermati ada beberapa aspek yang dipandang dapat
menimbulkan implikasi kotraproduktif dalam kegiatan pembelajaran, karena lebih
mencerminkan idiologi individualisme dan gaya belajar sokratik yang lazim dikaitkan
dengan budaya barat. pendekatan ini kurang sesuai denga tuntutan revolusi-
sosiokultural yang berkembang akhir-akhir ini.
B. Vygotsky
Vygotsky menjelaskan dalam tulisannya pada tahun 1920-an dan 1930-an
menekankan bagaimana interaksi anak dengan orang dewasa memberikan sumbangan
terhadap perkembangan keterampilan. Menurut Vygotsky, orang dewasa yang sensitif
memperhatikan kesiapan anak untuk tantangan baru, dan mereka menyusun kegiatan
yang tepat untuk membantu anak-anak mengembangkan keterampilan baru. Orang
dewasa berperan sebagai mentor dan guru, mengarahkan anak ke dalam zone of
proximal development – istilah Vygotsky untuk rentang keterampilan yang tidak dapat
dilakukan anak sendiri tanpa bantuan orang dewasa yang ahli. Orang tua dapat
mendorong konsep angka sederhana, misalnya dengan menghitung bibit biji kakau
dengan anak-anak atau menakar beras untuk dimasak bersama, dan mengisi angka yang
tidak diingat anak.Saat anak berpartisipasi pada pengalaman semacam itu sehari-hari
dengan orang tua, guru, dan orang lain, mereka secara bertahap belajar praktek,
keterampilan, dan nilai kebudayaan (Trianto, 2008:67).
Jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara menelusuri asal usul
tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa yang digunakan) yang
dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu
itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya.Anak-anak memperoleh berbagai
pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah
maupun keluarganya secara aktif. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif
sesuai dengan teori sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan
dimensi sosial yang bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau
turunan dan sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-
Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh
individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi melalui
kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang lainnya.

5
Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang sepanjang hidupnya
dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini para penganut aliran
sosiokultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin menilai seseorang tanpa
mempertimbangkan orang-orang penting di lingkungannya.
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham denga konsep yang diajukan
Vygotsky.Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan manusia sebagai
sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan budaya.Ia menekankan
bahwa proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran
melibatkan pembelajaran dengan orang–orang yang ada di lingkungan sosialnya. Selain
itu ia juga menekankan bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan
dari orang-orang yang sudah terampil di dalam bidang-bidang tersebut.
Lev Vygotsky yang wafat pada usia muda (38 tahun, pada 1934) sudah
sangat menyumbangkan pemikirannya khususnya dalam bidang kognitifisme sosial di
antaranya:

a. Proses mental kompleks mulai sebagai kegiatan sosial; sebagaimana anak


berkembang, anak secara bertahap menginternalisasi proses ini dan dapat
menggunakannya secara mandiri pada lingkungan di sekelilingnya.
b. Berpikir dan bahasa awalnya masing-masing berkembang secara mandiri,
keduanya menjadi mandiri saat anak berusia sekitar dua tahun.
c. Anak dapat menyelesaikan tugas yang lebih sulit saat mereka mendapat
bantuan dari orang yang lebih dewasa dan komponen dari diri mereka.
d. Tugas-tugas di dalam perkembangan zona proksimal meningkatkan
pertumbuhan kognitif maksimum.
Bila Vygotsky menekankan pengaruh orang dewasa dalam pembelajaran,
Albert Bandura (2006, dalam Santrock, 2009:323) menekankan bahwa pengaruh antara
pengalaman lingkungan dan perilaku sangat penting, ketika siswa belajar,mereka secara
kognitif dapat mewakili atau mengubah pengalaman mereka. Selanjutnya Bandura
mengembangkan sebuah model determinisme timbal-balik yang terdiri atas tiga faktor
utama yaitu, perilaku, lingkungan, dan orang/kognitif.Faktor-faktor lingkungan
memengaruhi perilaku, perilaku memengaruhi lingkungan, faktor orang (kognitif)
memengaruhi perilaku, dan seterusnya.Faktor-faktor kognitif meliputi, ekspektasi,
keyakinan, sikap, strategi, pemikiran, dan intelegensi.

6
2. Konsep Teori Sosio-Kultural
Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan
kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu
genetic law of development, zona of proximal development dan mediasi.
a. Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan
intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental
atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap pembentukan
pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang.Sedangkan fungsi intramental
dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau terbentuk melalui
penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial tersebut.
b. Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of proximal development)
ke dalam dua tingkat:
1) Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri (intramental).
2) Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika
dibawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan
teman sebaya yang lebih kompeten (intermental).
Jarak antara keduanya, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal. Zona
perkembangan proksimal diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-
kemampuan yang belum matang yang masih berada dalam proses pematangan.
c. Mediasi
Menurut Vygotsky, semua perbuatan atau proses psikologis yang khas
manusiawi dimediasikan dengan psychologis tools atau alat-alat psikologis berupa
bahasa, tanda dan lambang, atau semiotika.
Ada dua jenis mediasi, yaitu:
1) Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang
bertujuan untuk melakukan self- regulation yang meliputi: self

7
planning, self monitoring, self checking, dan self evaluating. Mediasi
metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
2) Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu
atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan
konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih
terjamin kebenarannya).

3. Pengaruh Sosio-Kultural Pada Perkembangan Kognisi


a. Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi
Menurut Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer yang mempunyai rasa
ingin tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu ingin menemukan
sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru. Namun demikian Vygostky lebih
menekankan pada kontribusi sosial dalam proses perkembangan dan tidak melihat
peranan besar dalam penemuan sendiri. Perkembangan pertama dalam lingkup
sosial muncul dalam individu sebagai kategori interpsikological dan kemudian
pada anak sebagai kategori intrapsikologikal.Contohnya adalah voluntary
attention (perhatian otomatis), logical memory (memori logis), pembentukan
konsep, dan perkembangan kemampuan memilih.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui
interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini menjadi model
dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal untuk anak.Model inilah
yang disebut dengan dialog kooperatif atau kolaboratif.Anak mencari pemahaman
perilaku atau instruksi dari tutor, menginternalisasi informasi dan
menggunakannya untuk memformulasikan perilaku mereka.
b. Pengaruh Budaya pada perkembangan kognisi
Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan harus dilihat dari perspektif 4
tahap yang saling berhubungan dalam interaksi anak dengan lingkungan:
1) Perkembangan Ontogenic, adalah perkembangan individu sepanjang hayat,
digunakan oleh hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa
perkembangan manusia.
2) Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan yang terjadi pada waktu
yang relatif singkat, misalnya perubahan yang dapat dilihat pada saat anak

8
memecahkan masalah penjumlahan pada setiap minggunya selama 11 minggu
(Siegler & Jenkins, 1989).
3) Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi, diukur
dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri berpendapat bahwa
untuk pemahaman sejarah spesies dapat memberikan masukan pada
perkembangan anak.
4) Perkembangan Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi pada
budaya, kepercayaan, norma, dan teknologi.

Disini Vygotsky menekankan bagaimana seseorang berkembang dalam


lingkungan yang berubah.Dengan berfokus pada individu atau pun pada
lingkungan tidak cukup untuk menjelaskan mengenai perkembangan
seseorang.Untuk itu perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan
budaya.

4. Aplikasi Teori Sosio-Kultural


Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori sosio-kultural
dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
a. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali
melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya.
Oleh karena itu perkembangan prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala
berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan
anak dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi
keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.

b. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk
memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak, misalnya kursus
membatik.Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang
berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.

9
c. Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain:
1). Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan
sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan
Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri
nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar, jelas bahwa
pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada
anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat
internasional melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya:
pendidikan kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah
raga.
2). Siswa
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung
ataupun melalui rekaman.Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap
bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung.Selain
itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat,
dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3). Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih
berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran
dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran
aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum
muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.

5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Sosio-Kultural


Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:
1. Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona
perkembangan proximalnya atau potensinya melalui belajar dan berkembang;
2. Pembelajaran perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
daripada tingkat perkembangan aktualnya;

10
3. Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk mengembangkan
kemampuan intermentalnya daripada kemampuan intramental;
4. Anak diberi kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan pengetahuan
deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat
dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah;
5. Proses belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih merupakan
kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara
bersama-sama antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.

Kelemahan dari teori sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-
proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep, belajar dari berbagai
sumber belajar, pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara
langsung oleh karena itu diteliti oleh para teoriwan perilaku.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Seorang anak yang masih dalam tahap pembelajaran hendaknya memperoleh
kesempatan yang luas untuk mengembangkan zona pengembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang. Guru sebagai fasilitator perlu menyediakan
berbagai jenis dan tingkatan bantuan agar anak dapat memecahkan permasalahan yang
dihadapinya. Bantuan yang diberikan dapat dalam bentuk contoh, pedoman, bimbingan
orang lain atau temen yang lebih kompeten. Bentuk pembelajaran kooperatif-kolaboratif
serta belajar kontekstual sangat tepat digunakan.Bagi anak yang telah mempu belajar secara
mendiri perlu ditingkatkan tuntutannya, sehingga tidak perlu menunggu anak yang berada
dibawahnya.Dengan demikian diperlukan pemehaman yang tepat tentang karakteristik
siswa dan budayanya sebagai pijakan dalam pembelajaran.
Dengan berfokus pada individu atau pun pada lingkungan tidak cukup untuk
menjelaskan mengenai perkembangan seseorang.Untuk itu perkembangan sebaiknya
dipelajari dari konteks sosial dan budaya.

B. Saran
Saran yang bisa diambil dari makalah ini adalah anak harus diberi kesempatan dalam
mengembangkan zona pengembangan proksimalnya atau potensinya melalui belajar dan
berkembang.

12
DAFTAR PUSTAKA

Http://codehill2ra1.blogspot.com/2013/02/dasar-terbentuknya-teori-sosio-kultural.html
Http://teori-sosiokultural-konstruktivis.blogspot.com/
Dwi Siswoyo, dkk. 2013. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press
Budi Ningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Rineka Cipta

13

Anda mungkin juga menyukai