Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KONSEP DASAR RADD

A. Pengertian Radd
Allah SWT telah menetapkan bagian ahli waris berupa ½, ¼, 1/8,
2/3, 1/3, dan 1/6 yang terdapat dalam an-Nisa’ ayat 11, 12, 176. Dia juga
menjelaskan bagimana kewarisan ‘aṣābah dari laki-laki maupun
perempuan. Penjelasan ini merupakan pondasi awal dari ilmu kewarisan
Islam. Kemudian terdapat hadis Nabi SAW yang menyebutkan:
‫الحقوا الفرائض بأهلها فما بقى فألولى رجل ذكر‬

Hadis ini merupakan penjelasan apa yang telah Allah SWT jelaskan dalam
al-Qur’an tentang tata cara pembagian harta warisan. Dalam pembagian
harta warisan, selama ahli waris terdiri dari aṣḥāb al-furūḍ1 dan ‘aṣābah2,
atau ‘aṣābah saja, maka perhitungannya akan jelas dan mudah. Namun
permasalahan perhitungan akan muncul ketika pewaris mati dan hanya
meninggalkan aṣḥāb al-furūḍ saja, sedangkan total bagian mereka tidak
memenuhi jumlah tirkah pewaris dan tidak ada ahli waris ‘aṣābah yang
bertugas untuk mengambil sisa harta warisan.3

Dalam persoalan pembagian harta warisan yang terdapat sisa atau


kelebihan harta, Sayuti Thalib menerangkan, bahwa terdapat dua

1
Penggunaan istilah aṣḥāb al-furūḍ dalam kewarisan merujuk pada para ahli
waris yang bagiannya sudah ditentukan dalam al-Qur’an surat al-Nisa: 11, 12, 176.
2
‘Aṣābah merupakan setiap ahli waris laki-laki yang mempunyai hubungan
darah dengan pewaris, dan tidak ada perempuan diantara pewaris dan ahli waris. Lihat
Najm al-Huda Abi al-Khattab Mahfuz Ibn Ahmad, at-Tahzīb fi ‘ilm al-Farāiḍ wa al-
waṣāya, (Riyad: Maktabah al-‘Abikan, 1995), hlm. 1.
3
Soleh ibn fauzan ibn Abdullah al-fauzan, al-Tahqīqāt al-Marḍiyah fi al-
Mabāhiṡ al-Farḍiyah, (Riyad: Maktabah al-Ma’arif, 1986), hlm. 248.

27
28

kemungkinan.4 Kemungkinan pertama adalah ketika ahli waris terdiri dari


aṣḥāb al-furūḍ dan ‘aṣābah maka dalam kondisi ini, harta warisan yang
memiliki sisa setelah dibagi kepada ashab al-furūḍ akan langsung diterima
oleh ahli waris laki-laki sebagai ‘aṣābah/’āṣib. Namun pada kemungkinan
kedua, ketika ahli waris hanya terdiri dari aṣḥāb al-furūḍ saja, ada
kemungkinan harta warisan masih memiliki sisa setelah dilakukan
pembagian pada proses pertama, karena harta tersebut tidak habis terbagi
dengan hitungan saham yang dimiliki oleh para ahli waris yang ada, maka
sisa harta tersebut akan di radd/dikembalikan kepada ahli waris hingga
tidak ada lagi yang tersisa. Inilah yang kemudian disebut dengan sisa
bagi/radd.

Secara etimologis, radd merupakan bahasa Arab yang berarti


kembali/mengembalikan, atau juga berarti berpaling/memalingkan.5
Selaras dengan ayat al-Qur’an surat al-Ahzab: 25 yang berbunyi:

‫وردّ هللا الذين كفروا بغيظهم لم ينالوا خيرا‬

Adapun secara terminologis, radd menurut istilah ulama ilmu


faraiḍ ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya
jumlah bagian aṣḥāb al- furūḍ.6 Dalam literatur lain disebutkan bahwa
radd adalah kekurangan dalam pokok masalah serta terdapat kelebihan

4
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, cet. Ke 8, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2004), hlm. 96
5
Ibn manzur, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, 2013), IV:
213.
6
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, judul asli
Al-Mawāriṡ fi Syari’at al-Islāmiyah ‘ala Dou’ al-Kitāb wa al-Sunnah, alih bahasa A.M.
Basalamah, cet. Ke2, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hlm. 105.
29

jumlah ukuran saham al-mafrūḍoh.7 Disebutkan juga bahwa radd adalah


kekurangan saham/pokok masalah dan kelebihan jumlah harta.8

Namun Soleh ibn Fauzan mengatakan bahwa definisi seperti yang


telah disebutkan sebelumnya merupakan definisi yang kurang tepat untuk
menjelaskan apa itu radd secara istilah, karena kondisi kurangnya pokok
masalah merupakan sebab terjadinya radd dan tidak mendefinisikan apa
itu radd. Menurut dia, definisi yang tepat untuk radd adalah memberikan
sisa harta warisan kepada żawi al-furud yang memiliki hubungan darah
sesuai dengan bagiannya ketika tidak ada ahli waris ‘asabah dengan
mengecualikan suami atau istri.9 Menurut Sayyid Sabiq, radd adalah
pengembalian apa yang lebih dari pembagian warisan aṣḥāb al-furūḍ yang
memiliki nasab terhadap pewaris kepada mereka ketika tidak ada lagi yang
berhak untuk menerima harta warisan tersebut.10

Dari beberapa pengertian tentang radd yang sudah didefinisikan


oleh para ulama diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa radd merupakan
sebuah upaya mengembalikan harta warisan kepada para ahli waris yang
berhak ketika terdapat sisa harta setelah perhitungan dan pembagian
warisan kepada ahli waris. Hal ini dilakukan ketika terjadi ketidaksesuaian
antara pokok masalah yang ada dengan jumlah saham yang dimiliki ahli

7
Ahmad Ibn Yusuf Ibn Muhammad al-Ahdal, I’ānah al-Ţālib fi Bidāyah ‘Ilmi
al-Farāiḍ, cet. Ke 4, (Makkah: Daar Touq al-Najah, 2007), hlm 74.
8
Muhammad al-‘Aid al-Khatrawi, al-Rā’id fi ‘Ilmi al- Farāiḍ, cet. Ke 4,
(Madinah: Maktabah Dar al-Turas, tt), hlm. 77.
9
Soleh ibn fauzan ibn Abdullah al-fauzan, al-Tahqīqāt al-Marḍiyah fi al-
Mabāhiṡ al-Farḍiyah, hlm. 249.
10
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Daar al-Fath Li al-I’lam al-‘Arabi,
2000), III: 306.
30

waris, dimana total saham menunjukkan angka yang lebih kecil daripada
pokok masalah awal.

Pembahasan mengenai radd jika ditelusuri dan diteliti dalam


kitab-kitab klasik karya ulama mazhab maupun buku-buku tentang ilmu
kewarisan Islam memiliki bab khusus yang biasanya terdapat dalam
pembahasan perhitungan yang luar biasa seperti ‘aul, radd, ‘umariyatain,
minbāriyah dan lain sebagainya. Hal ini karena tidak ada naṣ yang secara
eksplisit mengatur akan hal tersebut dan tidak ada yang dapat dijadikan
referensi dalam pembahasannya.11 Tidak adanya naṣ yang mengatur
tersebut kemudian memicu perbedaan pandangan ulama tentang
bagaimana cara membagi sisa harta tersebut dan siapa saja yang berhak
atas pengembalian sisa harta warisan tersebut. Namun, mereka sepakat
bahwa radd tidak akan terjadi kecuali terwujud dan memenuhi tiga
persyaratan: 1) adanya aṣḥāb al-furūḍ; 2) tidak ada aṣābah/ ahli waris
laki-laki; 3) adanya sisa harta setelah pembagian kepada aṣḥāb al-furūḍ.12

B. Hubungan ‘Aul dan Radd, Sebuah Pendekatan Historis


‘Aul dan radd memiliki hubungan yang erat dalam ilmu
kewarisan Islam, khususnya dalam bidang penghitungan bagian para ahli
waris. Ahmad ibn Yusuf mengatakan bahwa ‘aul merupakan kebalikan
dari radd.13 Jika sebelumnya telah disebutkan bahwa radd merupakan
sebuah usaha untuk mengembalikan sisa harta warisan kepada para ahli

11
Ibid., hlm. 306.
12
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. Ke 1, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2014), hlm. 59. Sayyid Sabiq mengatakan tiga unsur ini merupakan
rukun yang harus dipenuhi dalam radd, lihat Fiqh al-Sunnah, jilid 3 (Kairo: Daar al-Fath
Li al-I’lam al-‘Arabi, 2000), hlm. 306.
13
Ahmad Ibn Yusuf Ibn Muhammad al-Ahdal, I’ānah al-Ţālib fi Bidāyah
‘Ilmi al-Farāiḍ, cet. Ke 4, hlm. 74.
31

waris setelah pembagian, karena tidak ditemukan ahli waris ‘aṣābah, atau
dengan kata lain ia merupakan suatu kejadian dalam perhitungan
kewarisan dimana jumlah saham ahli waris lebih kecil dibanding jumlah
total pokok masalah/ jumlah tirkah, maka ‘aul adalah kebalikannya.

‘aul terjadi ketika pewaris meninggalkan konstelasi ahli waris


tertentu, yang ketika para ahli waris diberi bagian masing-masing,
hasilnya berjumlah lebih dari 100 persen harta warisan. Jika dalam radd
para ahli waris mendapat tambahan harta warisan, maka dalam proses ‘aul
masing-masing ahli waris akan dikurangi bagiannya berdasarkan prorata
(sesuai porsi bagian yang proporsional).14 David S. Power menilai
fenomena perhitungan ‘aul merupakan fenomena yang ganjil dalam
kewarisan Islam, karena pada akhirnya bagian ahli waris akan berkurang/
tidak sesuai dengan faraḍ yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an. Sampai
di sini, penulis menarik kesimpulan bahwa antara ‘aul dan radd memiliki
hubungan dan keterkaitan satu sama lain

Fenomena ‘aul dalam sistem hukum kewarisan Islam secara tidak


langsung menguatkan teorinya David S. Power tentang hukum waris
purwa Islam, yang menyatakan bahwa hukum waris yang berlaku pada
masa Rasulullah adalah sistem kewarisan testamentair. Hukum kewarisan
Islam mulai terbentuk dan berkembang pada masa Khulafā al-Rāsyidūn.
Hal ini karena tidak ditemukannya satu naṣ-pun yang secara ṣarīh atau
explisit mengatur perihal pembagian waris dengan metode ‘aul maupun
radd. Ibnu al-‘Arabi meriwayatkan secara explisit bahwa pertama kali
munculnya masalah ‘aul pertama kali adalah ketika pada masa

14
David S. Power, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis
Hukum Waris”, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm.
32

pemerintahan khalifah Umar ibn al-Khattab. Yaitu ketika Allah SWT telah
menetapkan jumlah faraḍ serta nilainya, tidak lama setelah itu, muncul
kasus dimana banyaknya ahlu al-furūḍ dan kurangnya jumlah harta
warisan.15

Namun para ulama tidak mencapai kesepakatan tentang siapa


yang pertama kali memperkenalkan prosedur pengurangan bagian ahli
waris. Sebagian riwayat menyatakan bahwa Umar sendiri-lah yang
memperkenalkannya. Ketika Zufar bertanya kepada Ibn ‘Abbas “siapa
yang pertama kali mengurangi faraḍ menggunakan ‘aul”, Ibnu ‘abbas
menjawab Umar r.a.16 sumber lain menyebutkan bahwa Zaid ibn Tsabit
adalah orang pertama yang menerapkan ‘aul. Sumber lain mengatakan
bahwa Ali adalah orang pertama yang melakukan ‘aul, yaitu ketika dia
berkhotbah lalu diinterupsi oleh seseorang yang bertanya tentang
pembagian warisan jika seorang laki-laki mati meninggalkan 1 istri, ayah,
ibu, dua orang anak perempuan, lalu Ali menjawab tanpa keraguan “faraḍ
istri yang awalnya 1/8 menjadi 1/9.”17

Sedangkan dalam permasalahan radd, tidak dijelaskan siapa yang


pertama kali menggunakan prosedur radd dengan mengembalikan sisa
pembagian harta waris. Sebuah riwayat menjelaskan bahwa Ali ibn Abi
Talib pernah melakukan radd.

15
Muhamad Ibn Abdullah Ibnu al-Arabi, Aḥkām al-Qur’ān, (Beirut: Dar Ihya
al-Kutub al-‘Arabiyah, 1958), jilid 1, hlm. 353.
16
Al-Hākīm al-Nīsābūri, al-Mustadrak ‘alā ṣaḥīḥain fī al-Hadīṡ, (Beirut: Dar
al-Ma’rifat, tt), jilid 4, hlm. 430.
17
N.J. Coulson, Succession in The Muslim Family, (London: Cambridge
University Press, 1971), hlm. 47.
33

‫ كان على يرد‬:‫أخبرنا عبد الرزاق عن الثورى عن محمد بن سالم عن الشعبى وقاله منصور قاال‬
‫على كل ذى سهم بقدر سهمه اال الزرج والمرأة وكان عبد هللا ال يرد على أخت ألم مع أم وال على‬
‫بنت ابن مع بنت الصلب وال على أخت ألب مع اخت ألب و أم والعلى جدة وال على امرأة وال‬
18
‫على زوج‬

Riwayat diatas hanya sekedar menyebutkan bahwa baik Ali ibn


Abi Talib maupun Abdullah pernah melakukan radd, tidak ada satu
kalimat yang menyatakan bahwa Ali merupakan orang pertama yang
memperkenalkan konsep radd dalam kewarisan Islam. Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Zaid ibn Tsabit tidak me-radd-kan warisan untuk żawī
al-qarābat sama sekali, disebutkan juga riwayat dari Kharijah ibn Zaid
bahwa Zaid membagi warisan kepada ahli waris sesuai bagiannya masing-
masing kemudian menyerahkan sisa pembagiannya ke baitul mal.19
Riwayat-riwayat serupa dapat dijumpai dengan mudah dalam kitab-kitab
klasik yang membahas tentang pendapat para sahabat tentang radd.
Namun tidak ada satupun riwayat yang secara explisit menjelaskan siapa
yang pertama kali memprakarsai konsep radd dalam kewarisan.

Satu hal yang penulis yakini adalah, fenomena kewarisan ‘aul


dan radd pertama kali muncul pada masa pemerintahan Umar ibn al-
Khattab, hal ini diperkuat dengan beberapa riwayat yang mencantumkan
pendapat Umar dalam perdebatan sahabat atas dua masalah itu.

C. Wacana Radd dalam Fikih Klasik


Dalam wacana fikih klasik, pendapat para sahabat dapat
dikategorikan ke dalam tiga pendapat, kelompok pertama menolak adanya

18
Mu’ammar ibn Rasyid al-Uzdy, al-Muṣannaf li al-ḥāfiż al-Kabīr Abu Bakar
Abdu Razaq ibn Hammam al-ṣan’ānī, jilid ke 10, nomor: 19128, cet. Ke 2, (Beirut: al-
Maktab al-Islami, 1983), hlm. 286.
19
Ibid., hlm. 287.
34

sistem radd dengan alasan bahwa tidak boleh mengurangi atau


menambahkan jumlah warisan yang telah ditetapkan oleh naṣ; kelompok
kedua menerima konsep radd dengan mengecualikan suami atau istri
sebagai ahli waris yang menerima radd, alasan yang dikemukakan adalah
hubungan antara suami atau istri dengan pewaris hanya hubungan
sababiyah sedangkan konsep radd bertujuan untuk para ahli waris
naṣabiyah saja; kelompok ketiga menganggap bahwa radd juga
diperuntukkan bagi suami dan istri dengan alasan ketika terjadi ‘aul harta
mereka ikut dikurangi. Untuk lebih jelasnya, akan penulis jabarkan
pendapat-pendapat tersebut beserta argumen yang digunakan.

1. Kelompok yang menolak radd


Kelompok ini berpendapat tidak ada radd setelah pembagian
harta warisan kepada ahli waris, adapun jika terdapat sisa dari
pembagian tersebut, dan tidak ada ahli waris aṣābah, maka sisa tirkah
tersebut diberikan kepada bait al-māl untuk dikelola hartanya dan
diambil manfaatnya bagi kemaslahatan umat. Pendapat ini
dikemukakan oleh ibn Umar dan Zaid Ibn Tsabit lalu kemudian
diadopsi oleh Imam Malik dan Imam as-Syafi’i. Akan tetapi pendapat
yang dipegang teguh oleh ulama kontemporer Syafi’iyah dan
Malikiyah adalah, jika tidak terdapat bait al-māl maka sisa harta
tersebut dikembalikan/radd kepada aṣḥāb al-furūḍ selain suami atau
istri. Apabila tidak ada juga, maka sisa harta tersebut diberikan kepada
żawī al-arhām. Pendapat ini juga dianut diriwayatkan dari Ibn Umar
dan Abu Darda’.20

20
Abu Hakim Abdullah Ibn Ibrahim, Kitab al-Talkhis fi ‘Ilmi al-Faraid, jilid
1, (Madinah: Maktabah ‘Ulum wa al-Hakam, tt), hlm. 174.
35

Adapun argumen yang dipegang oleh Zaid dan orang yang


sependapat dengannya adalah, bahwa Allah telah menjelaskan secara
rinci perihal bagian untuk ahli waris dalam naṣ, maka tidak boleh
menambahkan bagian atas mereka tanpa adanya dalil. Selain itu,
Rasulullah pernah berkata setelah turunnya ayat tentang kewarisan
sebagai berikut:
21
‫ فال يستحق وارث اكثر من حقه‬,‫ان هللا اعطى كل ذي حق حقه‬
fahd ibn abdur-Rahman mengatakan bahwa argumen para
penolak sistem radd daoat dibantah dengan dua jawaban. Pertama,
ayat-ayat atau dalil berkaitan dengan kewarisan tidak ada yang secara
tegas melarang penambahan harta warisan –jika terjadi radd otomatis
bagian ahli waris akan bertambah— ; kedua, jika terdapat dalil yang
melarang penambahan (radd) sudah tentu terdapat pula dalil yang
melarang pengurangan bagian (‘aul).22 Pada kenyataannya, sebagian
besar ulama menerima konsep ‘aul dan menjadi sebuah pertanyaan
ketika mereka menolak konsep radd dengan alasan bahwa Allah telah
memberikan secara terperinci bagian-bagian ahli waris. Pada dasarnya
baik ‘aul maupun radd merupakan salah satu metode yang digunakan
untuk menambahkan atau mengurangi bagian-bagian ahli waris yang
sudah ditentukan. Untuk lebih jelas bagaimana perhitungan kewarisan
jika terjadi radd menurut kelompok ini, penulis sertakan ilustrasi
sebagai berikut. Seseorang mati meninggalkan ahli waris berupa istri,
ibu, dua saudari seibu dengan total harta warisan 360.000.000,-

21
Hadis yang terkenal adalah ‫ فال وصية لوارث‬,‫ ان هللا اعطى كل ذي حق حقه‬hadis ini
diriwayatkan oleh abu Daud, tirmidzi, dan ibn Majah. Lihat Wahbah az-zuhaily, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al-Muasir, 2007), X: 7825.
22
Fahd ibn Abdur-rahman al-Yahya, The Doctrine of Allocation of Excess
Estate (Ar-Radd0 in the law of Inheritance: Juristic and Arithmetic Analysis, artikel
dalam website scribd.com diunduh pada 26, november 2018.
36

furūḍ
Ahli waris Perolehan
Bagian a.m 1223

Istri 1/4 3/12 x 360.000.000 90.000.000

Ibu 1/6 2/12 x 360.000.000 60.000.000

2 saudari seibu 1/3 4/12 x 360.000.000 120.000.000

Total 270.000.000

Tabel 2.1

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ketika selesai membagi


harta warisan, terdapat sisa harta warisan dikarenakan tidak ada ahli
waris ‘aṣābah, jumlah sisa warisan tersebut adalah 12/12 – 9/12 = 3/12.
Menurut pandangan kelompok yang tidak menerima adanya
penambahan harta bagi ahli waris melalui radd, maka 3/12 atau
90.000.000 harus diserahkan kepada bait al-māl untuk dikelola
hartanya demi kemaslahatan umat.

2. Kelompok yang menerima radd tanpa suami dan istri


Kelompok kedua dari para fuqaha baik sahabat maupun
tabi’in, diantaranya adalah Imam Ali, Umar Ibn Khattab, dan Ibn
‘Abbas,24 mereka berpendapat bahwa sisa harta warisan tersebut
dikembalikan kepada ahli waris selain suami/istri sesuai dengan
bagiannya masing-masing. Pendapat ini lalu diadopsi oleh mazhab
Hanafiyah dan Hanabilah, serta beberapa ulama kontemporer dari

23
a.m. merupakan akronim dari asal masalah biasa disebut pokok masalah,
asal masalah didapatkan dari KPK pembilang bagian ahli waris, angka 4,6,3 memiliki
KPK 12.
24
Ibid., hlm. 174.
37

mazhab Syafi’iyah dan Malikiyah sebagaimana telah dijelaskan


seblumnya.25 Kemudian Ibn ‘Abbas berpendapat bahwa terdapat tiga
orang yang tidak berhak menerima radd, mereka adalah suami, istri,
dan nenek.26

Prinsip pendapat golongan ini adalah mengembalikan sisa


harta warisan kepada aṣḥāb al-furūḍ al-nasabiyah, yaitu para ahli waris
yang memiliki hubungan pertalian darah dengan mayyit saja, dengan
demikian, baik suami maupun istri tidak mendapatkan hak atas sisa
harta warisan tersebut.27 Dasar pendapat ini menurut murdani adalah
ayat al-Qur’an yang menerangkan bahwa orang yang memiliki
hubungan kerabat –hubungan sedarah—lebih berhak daripada yang
lain, ayatnya berbunyi:
28
.. ‫واولو االرحام بعضهم اولى ببعض فى كتاب هللا‬

Untuk lebih jelas bagaimana perhitungan kewarisan jika


terjadi radd menurut kelompok ini, penulis sertakan 2 ilustrasi sebagai
berikut. Seseorang mati meninggalkan ahli waris berupa ibu, dan dua
saudari seibu tanpa ahli waris suami atau istri dengan total harta
warisan 360.000.000,-

25
Wahbah az-zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al-
Muasir, 2007), X: 7825.
26
Wahbah az-zuhaily, al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu... jilid 10, hlm. 7826.
27
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,... hlm. 61.
28
QS. Al-Anfal (8): 75.
38

a.m 6 radd 3
Ahli waris Perolehan harta
Bagian

Ibu 1/6 1/3 x 360.000.000 120.000.000

2 saudari seibu 1/3 2/3 x 360.000.000 240.000.000

Jumlah saham 3 360.000.000

Tabel 2.2

Pada contoh diatas terlihat dalam pembagian harta warisan,


pokok masalah yang didapat adalah 6 hasil kpk dari 3 dan 6. Sedangkan
jumlah saham ahli waris adalah 3, maka kemudian jumlah pokok
masalah 6 di-radd menjadi 3 sesuai jumlah saham ahli waris. dengan
metode perhitungan ini, secara otomatis sisa harta yang dari
perhitungan tersebut langsung terbagi kepada para ahli waris. Pada
ilustrasi kedua, penulis akan memasukkan istri sabagai salah satu ahli
waris.

a.m 6
Ahli waris bagian a.m 4 4 Bagian ahli waris
radd 3

Istri 1/4 1 1 90.000.000

ibu 1/6 1 1 90.000.000

2 saudari 3
1/3 2 2 180.000.000
seibu

Jumlah saham 4 3 4 360.000.000

Tabel 2.3
39

Dalam kewarisan diatas terdapat beberapa macam golongan


aṣḥāb al-furūḍ dan salah satu dari janda/duda. Maka cara
penyelesaiannya adalah dengan dua langkah penetapan pokok masalah.
Langkah pertama, pokok masalah untuk menentukan warisan salah satu
janda/duda yang diambil dari pembilangnya; kedua, pokok masalah
untuk membagi warisan tanpa ada janda/duda. Dari contoh ini ternyata
pokok masalah pertama –yang diambil dari pembilang bagian istri—
sisanya yaitu 3 bagian untuk ibu dan 2 saudari seibu, sedangkan pada
pokok masalah kedua yaitu radd 6 menjadi 3. Diantara sisa saham dan
pokok masalah kedua terjadi tamāṡul29. Maka diambil kesimpulan
bahwa pokok masalah pertama, yaitu pokok masalah yang diambil dari
pembilang bagian istri adalah sebagai pokok masalah yang
digunakan.30

3. Kelompok yang menerima radd dengan memasukkan suami dan


istri
Utsman Ibn ‘Affan menganggap bahwa sisa pembagian harta
warisan dapat dikembalikan kepada semua ahli waris yang ada tanpa
terkecuali. Dengan begitu, baik suami maupun istri mempunyai hak
untuk menerima pengembalian sisa harta warisan tersebut. Alasan
Utsman tersebut dikarenakan dia berpendapat bahwa ketika suami atau

29
Dalam diskursus ilmu kewarisan Islam, terdapat 4 metode matematik yang
digunakan untuk menentukan pokok masalah: tamāṡul, tadākhul, tawāfuq, dan tabāyun.
tamāṡul merupakan kondisi antara angka satu dan lainnya adalah sama misal 2 dan 2 atau
4 dan 4, tadākhul merupakan kondisi suatu angka lebih besar dari satunya namun angka
tersebut dapat dibagi dengan angka satunya misal 3 dan 6 dan 9 dan 12, tawāfuq
merupakan kondisi diantara kedua angka ditemukan kesesuaian misal 4 dan 6 atau 6 dan
9, sedangkan tabāyun adalah kondisi tidak ada kesesuaian antara dua angka misal 2 dan 3
atau 3 dan 4. Lihat Ahmad Ibn Yusuf Ibn Muhammad al-Ahdal, I’ānah al-Ţālib fi
Bidāyah ‘Ilmi al-Farāiḍ, cet. Ke 4... hlm. 82-85.
30
Ibid., hlm. 77.
40

istri ikut bertanggungjawab ketika terjadi kekurangan harta warisan,


dan terjadi ‘aul, yang berarti bagian warisannya berkurang, maka suami
maupun istri ikut berhak atas pengembalian sisa harta warisan jika
dalam pembagiannya terdapat radd.31 Sedangkan riwayat lain
mengatakan bahwa alasan Usman memberikan radd kepada suami atau
istri adalah atas pertimbangan kemaslahatan atau sedekah.32 Untuk
lebih jelas bagaimana perhitungan kewarisan jika terjadi radd menurut
kelompok ini, penulis sertakan ilustrasi sebagai berikut. Seseorang mati
meninggalkan ahli waris berupa istri, ibu, dua saudari seibu dengan
total harta warisan 360.000.000,-

furūḍ
Ahli waris Perolehan
Bagian a.m 12 radd 9

Istri 1/4 3/9 x 360.000.000 120.000.000

Ibu 1/6 2/9 x 360.000.000 80.000.000

2 saudari seibu 1/3 4/9 x 360.000.000 160.000.000

Total 360.000.000

Tabel 2.4

Dari tabel tersebut terlihat jelas, bahwa jika istri


digolongkan sebagai ahli waris penerima radd, maka bagian ahli
waris yang lain akan lebih sedikit dibandingkan ketika istri tidak
31
Komite Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Hukum Waris, terj. Addys
al-alizar, Fathurrahman, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hlm. 196. Lihat juga,
Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris: Hukum-Hukum Warisan Dalam Syari’at Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, tt), hlm. 224.
32
Mahfuz ibn Ahmad ibn al-Hasan Abu al-Khattab al-Kaluzani, al-Tahżīb fi
al-Farāiḍ, cet. 1, (Jeddah: Dar al-Kharaz li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1995), hlm. 175.
41

dimasukkan sebagai ahli waris penerima radd, bandingkan dengan


tabel III.

Dalam mazhab Syi’ah Zaidiyah dan Imamiyah, mereka


berpendapat bahwa jika terdapat kelebihan harta setelah dilakukan
pembagian kewarisan, maka sisa harta tesebut diserahkan kepada ahli
waris yang ada sesuai dengan kadar masing-masing. Sedangkan di
kalangan Syi’ah Imamiyah terdapat perbedaan pendapat tentang hak radd
kepada janda atau duda ketika tidak ada ahli waris. Pertama, sisa harta
diberikan kepada suami saja sedangkan istri tidak mempunyai hak.
Pandangan ini yang lebih masyhur dan paling banyak diamalkan di
kalangan Imamiyah. Kedua, sisa harta dapat diserahkan kepada suami
maupun istri secara mutlak dalam semua keadaan. Ketiga, sisa harta
diserahkan kepada suami atau istri ketika tidak ada imam yang adil. Jika
terdapat imam yang adil, maka sisa harta tersebut diserahkan kepada
suami.33

Setelah berhasil memetakan pendapat ulama tentang radd, maka


akan ditemui siapa saja yang berhak mendapatkan pengambalian atas
suatu sisa pembagian harta warisan. Jika merujuk pada pendapat Zaid Ibn
Tsabit, Ibn Umar serta Abu Darda’ serta ulama mazhab Syafi’iyah dan
Malikiyah, maka yang berhak atas sisa pembagian harta warisan adalah
seluruh umat Islam karena sisa harta tersebut akan diserahkan kepada
baitul mal setempat dan digunakan untuk kemaslahatan umat.

Kemudian jika merujuk pada pendapat Ali Ibn Abi Talib, Umar
Ibn Khattab, Ibn Mas’ud, ulama mazhab Hanafiyah dan Hanabilah serta

33
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhammad,
(Jakarta: Basri Press, 1994) hlm. 357.
42

beberapa ulama kontemporer dari Syafi’iyah dan Malikiyah, maka ada


delapan golongan selain janda dan duda, yang berhak menerima
pengambalian sisa harta warisan, mereka adalah sebagai berikut:
1. Anak perempuan
2. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki
3. Saudara kandung perempuan
4. Saudara perempuan seayah
5. Ibu kandung
6. Nenek (dari ibu atau bapak)
7. Saudara perempuan seibu
8. Saudara laki-laki seibu

Adapun ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk sebagai


aṣḥāb al-furūḍ, namun mereka tidak dapat menerima radd dalam keadaan
tertentu, sebab, bila dalam pembagian waris tidak terdapat ahli waris
asabah, maka salah satu dari mereka akan menerima waris sebagai
aṣābah.34 Kemudian jika merujuk pada pendapat Utsman ibn Affan, maka
semua ahli waris berhak menerima pengembalian sisa harta warisan,
sekalipun janda maupun duda. Diriwayatkan bahwa Ibn Mas’ud
mengembalikan sisa harta warisan kepada semua ahli waris aṣḥāb al-furūḍ
kecuali 6 golongan, yaitu: suami dan istri, cucu perempuan bintu al-ibn
jika bertemu anak perempuan, saudara perempuan seayah, ibu, anak ibu
jika bertemu dengan ibu, nenek jika bertemu semua aṣḥāb al-furūḍ satu
nasab.35

34
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia... hlm. 60.
35
Mahfuz ibn Ahmad ibn al-Hasan Abu al-Khattab al-Kaluzani, al-Tahżīb fi
al-Farāiḍ, cet. 1... hlm. 175
43

D. Suami dan Istri Sebagai Ahli Waris Penerima Radd


Pembahasan mengenai status suami maupun istri sebagai salah
satu dari ahli waris sangat penting untuk dilakukan, hal ini bertujuan untuk
menjawab sebuah pertanyaan besar, mengapa dalam proses pengembalian
sisa harta warisan baik suami maupun istri haknya terabaikan. Pendapat
yang berkembang dan disepakati oleh sebagian sahabat, seperti telah
dijelaskan sebelumnya, baik suami maupun istri tidak mendapat hak untuk
menerima sisa dari pembagian harta waris. Pemahaman seperti ini
kemudian berimbas pada pendapat para imam mazhab dan buku-buku
klasik tentang kewarisan dalam memberikan penjelasan dan contoh
pembagian waris ketika terdapat suami atau istri sebagai ahli waris. Tidak
ada satupun literatur yang memberikan contoh tentang pembagian sisa
harta waris kepada suami maupun istri. Bahkan pendapat Usman ibn
Affan yang memberikan hak tersebut dianggap sebagai pendapat minoritas
yang sama sekali tidak dapat merepresentasikan hukum kewarisan Islam.

David S. Power menjelaskan seperti apa yang pernah dibahas


oleh para ulama klasik, khususnya para ahli tafsir, bahwa hikmah
diturunkannya ayat kewarisan yang menjelaskan secara mendetail bagian-
bagian tiap ahli waris adalah untuk mengangkat derajat perempuan yang
sebelum datangnya Islam dianggap sebagai salah satu barang bergerak
yang dapat diwarisi. Situasi ini diakhiri dengan turunnya ayat kewarisan
QS 4:19 yang artinya (“wahai orang yang beriman, tidak halal bagi kalian
mewarisi perempuan dengan jalan paksa”), bahkan merubah status janda
sebagai barang bergerak yang diwariskan, menjadi ahli waris penuh
44

dengan bagian seperempat atau seperdelapan –variasinya tergantung


apakah punya anak atau tidak— dari warisan suaminya.36

Lebih lanjut, dia berpendapat bahwa pada masa hayat


Muhammad dan setelah wafatnya, kewarisan ab intestato tergantung pada
hubungan sedarah, sehingga suami dan istri dalam keadaan normal, tidak
saling mewarisi.37 David S. Power tidak menjelaskan secara langsung
mengenai hak suami dan istri ketika terdapat sisa harta warisan/ radd,
namun jika dilihat dari teori dan argumentasi yang diajukan, maka jelaslah
bahwa praktek kewarisan Islam masih banyak dipengaruhi oleh sistem
kewarisan Arab pra-Islam dimana sebuah harta warisan secara penuh
adalah hak keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris.

Teorinya tentang kewarisan purwa Islam menjelaskan bagaimana


kemudian sistem kewarisan Islam terbentuk pada masa sahabat khususnya
khalifah Umar dimana banyak bermunculan permasalahan baru mengenai
pembagian harta warisan. Dia berpendapat bahwa tujuan utama legislasi
al-Qur’an adalah mendefinisikan kembali urutan prioritas mewarisi dari
berbagai kelas ahli waris, bukan bukan untuk memperluas hak waris
kepada wanita. Pendapat ini selaras dengan argumen Coulson yang dikutip
David S. Power dalam bukunya38 bahwa:

“Untuk mempertahankan warisan agar tetap dalam suku,


hak-hak waris hanya dimiliki oleh laki-laki dari jalur laki-laki
(asabah) almarhum. Selanjutnya, hanya kerabat “terdekat”
semacam ini sajalah yang mewarisi, urutannya menjadi: anak-

36
David S. Power, Peralihan Kekayaan dan Politik Kekuasaan: Kritik Historis
Hukum Waris”, (Yogyakarta: LkiS, 2001), hlm. 70.
37
Ibid., hlm. 71.
38
Ibid., hlm. 110.
45

turun almarhum, diikuti oleh ayahnya, para saudaranya, dan


keturunan mereka, kakek paternal, dan akhirnya paman-paman
serta keturunannya”

Jika hipotesis yang diuraikan benar, maka tidak heran jika


kemudian para sahabat tidak mencantumkan suami dan istri dalam daftar
ahli waris yang berhak menerima sisa dari pembagian harta warisan,
karena pada dasarnya tujuan dari mewarisi adalah mempertahankan
sebuah harta agar tetap dalam status kepemilikan saudara “yang memiliki
hubungan darah” saja.

E. Konsep Radd dalam Perundang-Undangan Negara Muslim


Pembahasan mengenai konsep radd yang berlaku dan diterapkan
oleh beberapa negara muslim lainnya menjadi penting untuk bahan
perbandingan antara konsep yang berlaku di negara lain dan konsep yang
diterapkan oleh KHI. Selain itu, mengingat salah satu usaha yang
ditempuh oleh tim perumus dalam pembentukan KHI adalah melakukan
studi perbandingan hukum dengan negara lain seperti Mesir, Turki, dan
Maroko.39

Sejarah mencatat bahwa Turki merupakan negara pertama yang


melakukan reformulasi hukum keluarga Islam dengan diterbitkannya
Ottoman law 1917. Kehadiran Undang-Undang Hukum Keluarga Turki
pata tahun 1917 tersebut menjadi pemantik gerakan pembaharuan hukum
keluarga di negara-negara muslim lainnya. Tahir Mahmood
mengistilahkan fenomena ini sebagai point of departure atau titik

39
Selain melakukan studi perbandingan hukum dengan Negara lain, usaha
yang dilakukan oleh tim penyusun KHI adalah: pengkajian kitab fiqh yang meliputi 13
kitab, wawancara dengan ulama, yurisprudensi Pengadilan Agama, dan lokakarya/
seminar materi hukum untuk Peradilan Agama. Lihat Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia,
hlm. 119-126.
46

keberanjakan dari fikih konvensional menuju sistem perundang-undangan


modern.40 Pada awalnya, Mesir merupakan daerah yang menganut paham
mazhab Syafi’iyah hingga masa kepemimpinan Turki Usmani, Mesir
kemudian menganut paham mazhab Hanafiyah. Reformulasi hukum
keluarga Islam di Mesir terjadi pada tahun 1920-1952 di bawah
kepanitiaan yang dipimpin oleh rektor Universitas al-Azhar Syaikh al-
Maraghi. Pada kurun waktu tersebut, Mesir berhasil melahirkan 5 undang-
undang tentang hukum keluarga Islam seputar perkawinan, perceraian
hingga kewarisan.41 Dalam kasus kewarisan radd, meskipun Mesir
menganut paham mazhab Hanafiah yang tidak memberikan sisa
pembagian kewarisan terhadap suami atau istri, namun Mesir berhasil
membuat terobosan besar dalam masalah ini. Menurut The Egyptian Law
of 1943 UU No. 77 pasal 30, Mesir memberikan hak penuh kepada suami
ataupun istri untuk mengambil seluruh sisa harta warisan (radd) ketika
almarhum tidak mempunyai ahli waris dari aṣḥāb al-furūḍ, ‘aṣābah,
maupun żawī al-arhām.42

Sudan merupakan negara tetangga Mesir yang juga menganut


paham mazhab Hanafiah setelah masuknya kekuasaan Turki Usmani.
Dengan begitu, tidak heran jika reformulasi hukum keluarga Islam Mesir
kemudian diadopsi oleh Sudan. Meskipun mengadopsi sistem hukum
keluarga Mesir, dalam kasus radd, sudan melakukan sedikit modifikasi
hukum yang menyebabkan perbedaan antara hukum keluarga Mesir dan
Sudan. Jika dalam hukum Mesir seorang suami atau istri dapat mengambil

40
Tahir mahmood, Family Law Reform in The Muslim World, (New Delhi:
Indian Law Institute N.M Tripathi PVT. LTD., 1972), hlm. 115-116.
41
Ibid., hlm. 49.
42
Ibid., hlm. 55.
47

seluruh sisa harta warisan dalam keadaan tertentu, Sudan dengan Surat
Edaran Hukum No. 28 Tahun 1925 mensyaratkan hal itu terjadi hanya jika
pewaris tidak hidup dengan kerabat atau sanak family yang diakui.
Meskipun keberadaan sanak family yang diakui merupakan kondisi yang
sangat jarang ditemui. Namun pada dasarnya, hukum hukum diantara dua
negara tersebut tidak banyak perbedaan dalam prakteknya.43

Tunisia merupakan negara yang menganut paham mazhab Maliki,


namun dalam persoalan kewarisan radd, Tunisia memiliki hukum yang
berbeda dengan apa yang direpresentasikan oleh hukum kewarisan
mazhab Maliki. Hal ini tergambar dalam Article 143A (a) of The Code,44
yang menjelaskan bahwa dalam kasus kewarisan radd dan tidak ada ahli
waris ‘aṣābah yang mengambil sisa harta warisan, maka para ahli waris
(termasuk suami atau istri) dapat mengambil sisa warisan tersebut sesuai
porsi bagian mereka.45 Dari beberapa contoh hukum kewarisan radd yang
berlaku di negara-negara tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah
bahwa beberapa negara muslim telah sukses melakukan reformulasi
hukum kewarisan Islam khususnya di bidang radd.

Ketentuan radd bagi pasangan yang diterapkan oleh beberapa


negara muslim dalam peraturan perundang-undangannya munggkin hanya
terlihat sebagai perubahan kecil. Namun, Bunyan Wahib berpendapat
bahwa adanya aturan tersebut mempunyai pengaruh yang penting dalam
peralihan harta warisan. Menurutnya, pendapat hukum yang berkembang
dalam wacana fikih klasik mengesampingkan pendapat Usman sebagai

43
Iibid., hlm. 68.
44
law no. 77 of 1959 merupakan peraturan tambahan terhadap pasal 143
hukum keluarga Tunisia Tahun 1956.
45
Tahir mahmood, Family Law Reform in The Muslim World... hlm. 104.
48

pendapat yang tidak populer. Sehingga secara formal, negara-negara


tersebut telah melakukan takhayyur (pemilihan hukum alternatif) dengan
berpindah dari pendapat jumhur kepada pendapat yang syaż. Dengan
begitu, worldview umat Islam yang mengatakan bahwa hukum waris Islam
merupakan hukum yang sakral dan kaku dapat berubah.46

F. Konsep Radd dalam KHI


KHI sebagai rujukan hakim Pengadilan Agama dalam membuat
keputusan, telah menjelaskan tentang masalah kewarisan. Khusus dalam
masalah radd, KHI menjelaskan bahwa apabila terjadi kelebihan harta,
maka kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris, tanpa
terkecuali janda atau duda.47 Hal ini sesuai dengan pasal 193 KHI yang
menyatakan:

“apabila dalam pembagian harta warisan diantara ahli waris


Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil
dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,
maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad,
yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya
dibagi berimbang di antara mereka.”

Jika dicermati, dalam pasal 193 KHI diatas tidak ada satu klausul
yang menyatakan bahwa janda/ duda dikecualikan dalam pembagian sisa
harta warisan, hal ini menunjukkan sebuah perbedaan mendasar antara
KHI dan fiqh klasik yang membedakan antara aṣḥāb al-furūḍ nasabiyah
dan sababiyah. Dalam memahami konsep radd yang ada, KHI
menegaskan bahwa sisa harta warisan harus diberikan kepada ahli waris
tanpa ada batasan.
46
Ahmad Bunyan Wahib, Reformasi Hukum Waris Islam di Negara-Negara
Muslim, dalam jurnal Asy-Syir’ah, vol. 48, no. 1, Juni, 2014, hlm.36-37.
47
Suparman Usman dkk., Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, cet. Ke-2,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 198.
49

Ada beberapa alasan yang dikemukakan dalam pembuatan


klausul pasal 193 KHI, yaitu: pertama, baik suami atau istri dalam
kekurangan harta (masalah ‘aul), ikut serta menanggung pengurangan
harta bagian demi menanggung pembulatan perhitungan; kedua, mengikuti
pendapat Usman Ibn Affan yang membolehkan untuk memberikan sisa
harta warisan kepada aṣḥāb al-furūḍ tanpa terkecuali; ketiga, misi
unifikasi hukum agar dalam menyelesaikan pembagian warisan –
khususnya masalah radd—tidak menimbulkan keraguan bagi semua pihak
yang mempedomaninya.48

Menurut pasal 193 KHI, radd merupakan keadaan dalam


perhitungan bagian waris dengan angka pembilang lebih kecil daripada
angka penyebut serta tidak adanya ahli waris ‘aṣābah yang berfungsi
sebagai penerima sisa dari pembagian tersebut. Angka pembilang tersebut
didapatkan dengan total jumlah saham ahli waris, sedangkan penyebutnya
merupakan pokok masalah pertama. Ketika terjadi hal tersebut, maka KHI
menjelaskan bahwa pembagiannya dengan cara membagi hak ahli waris
masing-masing, sedang sisanya dibagi berimbang diantara mereka.

Jika merujuk ke beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa


radd merupakan kontradiksi dari ‘aul49, maka seharusnya perhitungan
radd adalah dengan menurunkan angka penyebut sesuai dengan angka
pembilang, kemudian sesudah itu harta warisan dibagi secara radd
menurut angka pembilang. Namun dengan adanya klausul pasal 193 KHI
yang menyebutkan bahwa dalam perhitungan radd adalah dengan
memberikan hak masing-masing, sedang sisanya dibagi berimbang

48
Ibid., hlm 198.
49
Ahmad Ibn Yusuf Ibn Muhammad al-Ahdal, I’ānah al-Ţālib fi Bidāyah
‘Ilmi al-Farāiḍ, cet. Ke 4, hlm. 74.
50

diantara mereka, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan mendasar antara


cara perhitungan ‘aul yang terdapat pada pasal 192 KHI yang
menyebutkan menaikkan angka penyebut sesuai dengan angka pembilang
dengan perhitungan radd yang tidak menyebutkan cara menurukan angka
penyebut sesuai dengan angka pembilang.

Dalam menafsirkan status suami dan istri ketika terjadi radd, para
hakim Pengadilan Agama memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan
pendapat ini dapat dilihat dari beberapa putusan yang dikeluarkan hakim
dari Pengadilan Agama yang berbeda. Kasus pertama, putusan Pengadilan
Agama Sukabumi Nomor: 0017/Pdt.P/2012/PA.Smi. yang menangani
perkara kewarisan sebagai berikut: seorang suami mati meninggalkan 1
istri dan 1 anak angkat. Penyelesaiannya sebagai berikut:

Ahli Waris Bagian a.m 12

istri ¼ 3/12 + radd 5/12

Anak angkat 1/3 wasiat wajibah 4/12

Tabel 2.5
Putusan hakim PA Sukabumi didasarkan pada pendapat sahabat
Usman ibn Affan yang berpendapat bahwa radd dapat diberikan pada
suami/istri dari pewaris. Selain itu, putusan ini juga disandarkan pada
sistem Undang-Undang kewarisan mesir yang memberikan semua sisa
radd kepada suami/istri pewaris ketika tidak terdapat ahli waris ashab al-
furud, asabah, maupun żawī al-arhām.50

50
putusan.mahkamahagung.go.id, diunduh pada tanggal 29/08/2018.
51

Kasus kedua, putusan Pengadilan Agama Ambarawa nomor:


632/Pdt.G/2007/PA.Amb yang menangani kasus kewarisan sebagai
berikut: seorang suami mati meninggalkan 1 istri dan 2 anak perempuan.
Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

Ahli waris bagian pembagian

istri 1/8 6/48

2 anak perempuan 2/3 32/48 + radd 10/48


Tabel 2.6
Dalam putusan ini, istri tidak mendapatkan radd atas dasar
pertimbangan hakim terhadap pendapat jumhur ulama yang mengatakan
bahwa suami atau istri tidak berhak untuk mendapatkan harta radd.51

Kasus ketiga, putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar


Nomor: 59/Pdt.G/2012?PTA.Mks yang menangani kasus kewarisan
sebagai berikut: seorang suami mati meningalkan 3 istri dan 3 anak
perempuan. Maka penyelesaiannya adalah sebagai berikut:

Ahli waris bagian a.m 24 bagian akhir


3 istri 1/8 3/24 1/24 x 3
3 anak perempuan 2/3 16/24 7/24 x 3
Jumlah saham 19/24 sisa 5/24 24/24
Tabel 2.7

51
Aina Sufya fuaida, Pelaksanaan Putusan Dalam Pembagian Waris di
Pengadilan Agama (Studi Analisis Putusan Nomor 632/Pdt.G/2007/PA.Amb, (Salatiga:
STAIN Salatiga, 2012), hlm. 78.
52

Putusan Hakim PTA Makassar diatas didasarkan pada kitab


Mughni al-Muhtāj juz 3 halaman 7 yang menyatakan jika baitul mal
belum dilembagakan secara resmi, maka sisa harta warisan diserahkan
kepada ahli waris aṣhāb al-furūḍ selain suami dan istri.52 Berdasarkan
putusan hakim pada kasus ketiga ini, penulis mempunyai kesimpulan atas
makna “berimbang” yang dimaksud oleh pasal tersebut. Para hakim dalam
kasus ketiga memandang bahwa berimbang bermakna mengembalikan
sisa harta warisan kepada ahli waris selain suami dan istri.

Selain contoh implementasi kasus radd di Pengadilan Agama


diatas, ada dua metode perhitungan kewarisan radd yang merupakan hasil
interpretasi “sedang sisanya dibagi secara berimbang” dalam pasal 193
KHI. Interpretasi ini difokuskan pada kata berimbang dalam klausul pasal
tersebut, apakah dibagi secara sama rata menurut penafsiran arti linguistik
atau dibagi berimbang sesuai dengan bagian furūḍ masing-masing.
Agustina Kumala Dewi dalam jurnal Bilancia53 memberika dua model
perhitungan yang berbeda atas hasil interpretasi makna “berimbang”
dalam pasal tersebut. Contoh:

Seorang laki-laki mati dan meninggalkan ahli waris berupa istri,


ibu, dan 2 saudari seibu dengan total harta warisan 360 juta rupiah. Maka
bagian masing-masing adalah sebagai berikut:

52
pta-makassarkota.go.id/portalperkara, diunduh pada tanggal 29/08/2018.
53
Agustina Kumala Dewi, Ahli Waris Penerima Radd dalam Perspektif Fiqh
Mawaris (Faraidh) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hlm. 195.
53

a.m 12
Ahli waris perolehan
furūḍ Bagian Warisan
Istri 1/4 3/12 360.000.000 90.000.000
Ibu 1/6 2/12 360.000.000 60.000.000
2 saudari seibu 1/3 4/12 360.000.000 120.000.000
Saham 9 3/12 270.000.000
Tabel 2.8
Dari pembagian waris tersebut, terdapat sisa harta yang harus
dibagikan melalui cara radd. Merujuk pada kalimat “sedang sisanya dibagi
secara berimbang diantara mereka, maka 360.000.000 – 270.000.000 =
90.000.000 atau 3/12 dibagi secara rata diantara 3 aṣḥāb al-furūḍ tersebut.
Maka kemudian 90.000.000 : 3 = 30.000.000, dan perolehan masing-
masing adalah sebagai berikut:

Istri 90.000.000 + 30.000.000 120.000.000

Ibu 60.000.000 + 30.000.000 90.000.000

2 saudari seibu 120.000.000 + 30.000.000 150.000.000

jumlah 360.000.000

Tabel 2.9
Pada model perhitungan yang kedua, dia memberikan contoh
pengembalian radd tanpa adanya janda/duda, dengan metode pembagian
yang berbeda dengan sebelumnya. Contoh: seorang laki-laki yang belum
menikah, kemudian mati meninggalkan ahli waris berupa ibu dan 2
saudari seibu dengan total harta warisan 360.000.000,-. Maka
perhitungannya adalah sebagai berikut:
54

a.m 6 radd 3
Ahli waris Perolehan harta
Bagian

Ibu 1/6 1/3 x 360.000.000 120.000.000

2 saudari seibu 1/3 2/3 x 360.000.000 240.000.000

Jumlah saham 3 360.000.000

Tabel 2.10

Pada perhitungan kedua, dia nampaknya mengadopsi cara


perhitungan radd yang digunakan oleh ulama klasik, yaitu dengan
menjadikan jumlah saham sebagai pokok masalah baru. Dia menjelaskan
bahwa dikarenakan tidak ada janda/duda, maka yang dijadikan patokan/
pokok masalah baru adalah jumlah saham tersebut.54

Perolehan kewarisan yang didapat oleh para ahli waris akan


berbeda jika menerapkan salah satu dari dua model interpretasi tersebut.
Perolehan harta warisan bagi ahli waris dengan metode pembagian yang
pertama –membagi sisa harta warisan secara sama rata kepada para ahli
waris--, tentu akan berbeda jika menggunakan perhitungan model kedua.
Berikut penyusun paparkan penerapan model perhitungan kedua pada
kasus pertama, yaitu terdapat janda.

54
Ibid., hlm. 196.
55

furūḍ
Ahli waris Perolehan
Bagian a.m 12 radd 9
Istri 1/4 3/9 x 360.000.000 120.000.000
Ibu 1/6 2/9 x 360.000.000 80.000.000
2 saudari seibu 1/3 4/9 x 360.000.000 160.000.000
Jumlah saham 12 radd 9 9 360.000.000
Tabel 2.11
Dari dua metode penyelesaian perhitungan radd yang
dikemukakan oleh Agustina, dapat terlihat inkonsistensi-nya dalam
menginterpretasi kata berimbang yang terdapat pada pasal 193 KHI. Dari
satu sisi, dia melihat bahwa berimbang berarti membagi sisa harta
kewarisan tersebut dengan cara sama rata, di lain contoh, dia melihat
bahwa makna berimbang berarti sesuai bagian masing-masing.

Melihat beberapa contoh penerapan kewarisan yang di dalamnya


terdapat radd di atas, penulis menarik satu kesimpulan bahwa meskipun
dalam hukum kewarisan Islam di Indonesia telah memiliki suatu rujukan
berupa KHI pasal 193, namun dengan susunan kalimat yang digunakan
pada pasal tersebut masih sangat umum, maka terjadilah perbedaan
penafsiran hingga implementasi radd dalam prakteknya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Marzuki yang menyatakan bahwa KHI bersifat
fakultatif,55 dalam artian KHI hanya sebagai pedoman para hakim dalam
menentukan perkara, dan dalam pelaksanaanya, hakim bebas untuk
mengikuti KHI atau menggunakan hukum fiqh yang memuat beberapa
perbedaan pendapat.

55
Marzuki Wahid, Fiqh Indonesia: Kompilasi Hukum Islam dan Counter
Legal Draft Kompilasi Hukum Islam dalam Bingkai Politik Hukum Indonesia, hlm. 111.

Anda mungkin juga menyukai

  • BAB III Revisi
    BAB III Revisi
    Dokumen30 halaman
    BAB III Revisi
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Studi Penafsiran Hakim Atas Konsep Radd Dalam Khi
    Studi Penafsiran Hakim Atas Konsep Radd Dalam Khi
    Dokumen20 halaman
    Studi Penafsiran Hakim Atas Konsep Radd Dalam Khi
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen26 halaman
    Bab I
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen12 halaman
    Bab V
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen26 halaman
    Bab I
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • LAMPIRAN
    LAMPIRAN
    Dokumen10 halaman
    LAMPIRAN
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Bab V
    Bab V
    Dokumen12 halaman
    Bab V
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Radd Dalam KHI
    Radd Dalam KHI
    Dokumen22 halaman
    Radd Dalam KHI
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Radd
    Radd
    Dokumen31 halaman
    Radd
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Makalah Studi Empiris OK
    Makalah Studi Empiris OK
    Dokumen24 halaman
    Makalah Studi Empiris OK
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Wasiat Wajibah Ahli Waris Beda Agama
    Wasiat Wajibah Ahli Waris Beda Agama
    Dokumen14 halaman
    Wasiat Wajibah Ahli Waris Beda Agama
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat
  • Referensi
    Referensi
    Dokumen2 halaman
    Referensi
    Mu'tashim Billah
    Belum ada peringkat