Anda di halaman 1dari 34

UNIVERSITAS JEMBER

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN SPINAL CORD


INJURY (SCI) DI RUANG SERUNI RUMAH SAKIT
DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER

OLEH:
Deby Permatasari, S.Kep.
NIM 182311101081

PPROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
JANUARI, 2019
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN SPINAL CORD INJURY (SCI)
Oleh: Deby Permatasari, S.Kep.

A. Konsep Anatomi dan Fisiologi


Medula spinalis adalah bagian dari sistem saraf yang membentuk sistem
kontinu dengan batang otak yang keluar dari hemisfer serebral dan memberikan
tugas sebagai penghubung otak dan saraf perifer, seperti pada kulit dan otot.
Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Medula spinalis ini
memanjang dari foramen magnum di dasar tengkorak sampai bagian lumbar kedua
tulang belakang, yang berakhir di dalam berkas serabut yang disebut konus
medullaris. Seterusnya di bawah lumbar kedua adalah akar saraf, yang memanjang
melebihi konus, dan disebut kauda equina dimana akar saraf ini menyerupai akar
kuda. Medula spinalis mempunyai 31 pasang saraf spinal, masing-masing segmen
mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh. Seperti otak, medula spinalis terdiri atas
substansi grisea dan alba. Substansi grisea di dalam otak ada di daerah eksternal
dan substansi alba ada pada bagian internal (Sherwood, 2001).

Gambar 1. Anatomi Medula Spinalis


Tulang belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai
ke selangkangan. Tulang vertebrae terdiri dari 8 buah tulang servikal, 12 buah
tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale
merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum
membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan
mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian
syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi
syaraf-syaraf tersebut (Arif dkk., 2000). Vertebralis dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Vetebrata Cervikalis
Vetebrata cervikalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya
berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang
mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena
mempunyai prosesus spinasus paling panjang.

Gambar 2. Vertebrata Servikalis


2) Vertebrata Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
Gambar 3. Vertebrata torakalis
3) Vertebrata Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah
5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar
ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.

Gambar 4. Vertebrata lumbalis


4) Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana
ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
Gambar 5. Os. Sacrum
5) Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter.

Gambar 6. Os. Coccygis


Medula spinalis lebih pendek dari pada kolumna vertebralis sehingga segmen
medula spinalis yang sesuai dengan segmen kolumna vertebralis terletak diatas
segmen kolumna vertebralis tersebut (Mahadewa dan Maliawan, 2009). Lengkung
koluma vertebralis jika dilihat dari samping memperlihatkan empat kurva atau
lengkung antero-pesterior: lengkung vertikal pada daerah leher melengkung
kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan
daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior,
yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung
aslinya kebelakang dari hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin
dengan kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul
dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke
anterior adalah sekunder. lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan
lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta
mempertahankan tegak.
Fungsi dari kolumna vertebralis adalah sebagai pendukung badan yang kokoh
dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram
intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan
membungkuk tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan
yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan
dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan.
Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk
kartan otot dan membentuk tapal batas posterior yang kokoh untuk rongga-rongga
badan dan memberi kaitan pada iga.

B. Definisi
Fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan
menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai
cervicalis, vertebralis, dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb (Sjamsuhidayat, 1997).
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas. Efek dari spinal cord injury
tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera. Akibat yang ditimbulkan karena
cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai mengakibatkan hilangnya
fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih
(Fransisca, 2008). Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan lunak
pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang sendiri dan
sumsum tulang belakang atau spinal kord (Muttaqin, 2008).
Spinal Cord Injury (SCI) adalah kerusakan atau trauma sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan kerugian atau gangguan fungsi mobilitas. Penyebab
umum dari kerusakan adalah trauma (kecelakaan mobil, tembak, jatuh, cedera
olahraga, dll) atau penyakit (myelitis melintang, Polio, spina bifida, Ataksia
Friedreich, dll). Pada kebanyakan orang dengan SCI, sumsum tulang belakang
masih utuh, tetapi kerusakan selular mengakibatkan hilangnya fungsi tubuh. SCI
sangat berbeda dari cedera punggung seperti disk pecah, stenosis tulang belakang
atau saraf terjepit (Pratama 2017).

C. Epidemiologi
Cedera medula spinalis adalah cedera yang mengenai servikalis vertebralis
dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang. Cedera
medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000
sampai 500.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan 20.000 cedera baru
yang terjadi setiap tahun. Insiden tahunan spinal cord injury termasuk kematian pra-
rumah sakit telah diperkirakan 43-77 per juta penduduk di Amerika Serikat yang
setara dengan sekitar 20.000 pasien setiap tahun. Sekitar 20% dari pasien ini
meninggal sebelum mereka diterima di rumah sakit. Kejadian spinal cord injury
dikaitkan dengan prevalensi sekitar 200.000 pasien di Amerika Serikat. Dari pasien
SCI ini 50-70% adalah antara 15 dan 35 tahun usia, sedangkan 4-14% berusia 15
tahun atau lebih muda. Rasio kejadian pada pria dan wanita adalah 4:1. Estimasi
biaya untuk perawatan Spinal cord injury di Amerika Serikat adalah sekitar US $ 4
miliar per tahun. Oleh karena itu, Spinal cord injury merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pada orang muda dan sebagai hasilnya memiliki besar
dampak pada masyarakat secara keseluruhan (Bernhard dkk., 2005).
Penyebab paling sering Spinal cord injury pada orang dewasa adalah
kecelakaan kendaraan bermotor (40%), jatuh (21%), tindak kekerasan (15%), dan
cedera yang berhubungan dengan olahraga (13%). Pada anak-anak, spinal cord
injury sebagian besar disebabkan karena olahraga (24%) dan kegiatan rekreasi air
(13%). Dalam tampilan grafik retrospektif dari 331 pasien, pada penelitian yang
dilakukan Domeier dkk. (2005), menggambarkan distribusi lokasi cidera spinal
cord injury 29% terjadi pada servikal, 24% pada torakal, 37% pada lumbal, dan
10% pada sakral.
D. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat diklasifikasikan berdasar beberapa hal, diantaranya:
1) Berdasarkan dari besar kecilnya kerusakan anatomis atau berdasarkan stabil
atau tidak stabil. ’Major Fracture’ bila fraktur mengenai pedikel, lamina atau
korpus vertebra. ’Minor Fracture’ bila fraktur terjadi pada prosesus transversus,
prrosesus spinosus atau prosesus artikularis.
2) Berdasarkan penyebab
Klasifikasi SCI berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi traumatik dan
nontraumatik spinal cord injury. Kecelakan di jalan raya serta trauma secara
langsung lainnya merupakan jenis traumatik, sedangkan non traumatik akibat
dari penyakit degeneratif, infeksi, tumor, dan penyakit inflammatori lain.
3) Berdasarkan letak trauma
a. Cedera Cervikal
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis
dan tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional).
Di bawah transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat
C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah. Pasien
pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga
tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia
pada C4 mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat
dilepas. Jadi penggunaannya secara intermitten saja.
 Lesi C5
Bila segmen C5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi
diafragma rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis
intestinal dan dilatasi lambung dapat disertai dengan depresi
pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya mengalami
ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir
rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan
mulut yang lebih baik.
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan
terjadi gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya
tergantung pada perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih
dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri, bahkan masih dapat
memakai dan melepaskan baju.
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal.
Fleksi jari tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali.
Quadriplegia C7 mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan
dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan
melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi,
pekerjaan rumah yang ringan dan memasak.
 Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi
duduk karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat
diminimalkan dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring
ke posisi duduk. Jari tangan pasien biasanya mencengkram.
Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri dalam
berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat
rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat
penurunan lesi pada toraks. Hipotensi postural biasanya muncul.
Timbul paralisis parsial dari otot adductor pollici, interoseus, dan otot
lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan, nyeri, dan suhu.
 Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari
tingkat T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada
tingkat 12, semua refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada
tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi pada tingkat torakal harus
befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori pada lesi
torakal adalah:
i. T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
ii. T3 Aksilla
iii. T5 Putting susu
iv. T6 Prosesus xifoid
v. T7, T8 Margin kostal bawah
vi. T10 Umbilikus
vii. T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
 Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
i. L1: semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha dan
bagian belakang dari bokong
ii. L2: ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek
anterior paha
iii. L3: ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
iv. L4: sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
v. L5: aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas
bawah dan area sadel
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S5
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa
perubahan posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis
dari otot kaki. Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan
glans penis, perineum, area anal, dan sepertiga aspek posterior paha.
4) Berdasarkan mekanisme
a. Klasifikasi berdasar mekanisme ini dibagi menjadi dua yakni complete dan
incomplete. Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik
dipergunakan Frankel Score (Chin, 2013):
 Grade A: Motoris (-), sensoris (-)
 Grade B: Motoris (-), sensoris (+)
 Grade C: Motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
 Grade D: Motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
 Grade E: Motoris (+) normal, sensoris (+)
b. Klasifikasi ASIA (American Spinal injury Association)
 ASIA A: Complete (kehilangan fungsi motoris dan sensoris termasuk
pada segmen sacral S4-S5)
 ASIA B: Incomplete (kehilangan fungsi motoris, namun fungsi
sensoris tidak hanya dibawah level lesi dan termasuk segmen sacral
S4-S5)
 ASIA C: Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara
tetapi tidak fungsional dengan kekuatan otot < 3)
 ASIA D: Incomplete (fungsi motoris dan sensoris masih terpelihara
dan fungsional dengan kekuatan otot > 3)
 ASIA E: Normal (fungsi sensoris dan motoris normal)
5) Berdasarkan klasifikasi lain (Hanafiah, 2007)
a. Metode Klasifikasi Dennis
Metode ini dipakai untuk menilai fraktur didaerah torakolumbal dan
daerah cervical.
 Bagian anterior adalah ligamentum longitudinale anterior dan 2/3
bagian depan dari korpus vertebra dan diskus
 Bagian tengah (Middle) adalah 1/3 bagian posterior dari korpus
vertebra dan diskus serta ligamentum longitudinale posterior
 Bagian posterior adalah pedikel, lamina, facets, dan ligamentum
posterior. Kolom Tengah (Middle Column) adalah “kunci” dari
stabilitas.
b. Metode Klasifikasi Magerl
Klasifikasi ini dipakai untuk menilai fraktur daerah torakolumbal.
Terdapat 3 jenis fraktur berdasarkan mekanismenya (mechanism of
failure):
 Type A Compressive loads
 Type B Distraction forces
 Type C Multidirectional forces and translation

E. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai
cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan
oleh beberapa hal yaitu:
1) Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan.
Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena
dan jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya
menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya.
Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai
kerusakan jaringan lunak yang luas.
2) Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat
tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia,
fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang
berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
3) Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan
apakah trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi
berdasarkan lokasi trauma:
1) Antara C1 sampai C5: Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien
meninggal.
2) Antara C5 dan C6: Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi
siku yang lemah; kehilangan refleks brachioradialis.
3) Antara C6 dan C7: Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan
bahu dan fleksi siku masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep.
4) Antara C7 dan C8: Paralisis kaki dan tangan.
5) C8 sampai T1: Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis),
paralisis kaki.
6) Antara T11 dan T12: Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut.
7) T12 sampai L1: Paralisis di bawah lutut.
8) Cauda equine: Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan
biasanya nyeri dan sangat sensitive terhadap sensasi, kehilangan kontrol bowel
dan bladder.
9) S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1: Kehilangan kontrol bowel dan
bladder secara total.
Tanda dan gejala yang akan muncul:
1) Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
2) Bengkak/edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
3) Memar/ekimosis
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
4) Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
5) Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
6) Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
7) Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi
normalnya tidak terjadi pergerakkan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
8) Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
9) Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.

G. Patofisiologi
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus terbanyak
cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat
hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada
cedera spinal cord dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan
dislokasi. Sedangkan kerusakan pada cedera spinal cord dapat berupa memar,
kontusio, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan.
Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator
kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat
dan akut anestesi. Iskemia dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum
serta kandung kemih. Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen
dan potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada lokasi yang
terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien akan mengalami tetraplegia
dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem muskular total; jika cedera
mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia dengan kerusakan, menurunnya
kapasitas paru, ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi
cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa
gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan sebagian
aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7 sampai T-1 seseorang
akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan jari tangan,
meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan
fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik;
jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.

H. Komplikasi
1) Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik yang
desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus
vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga
menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah
maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2) Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3) Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
4) Hiperfleksia autonomik
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti
nasal, bradikardi dan hipertensi.

I. Pemeriksaan Penunjang
1) Haemoglobin and haematokrit level untuk memonitor kadar kehilangan darah
2) Fungsi renal dan elektrolit untuk mengidentifikasi dehidrasi
3) Urinalisis untuk mendeteksi terkait cedera genitourinari
4) CT SCAN
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik komponen tulang
servikal dan sangat membantu bila ada fraktur akut. Akurasi Pemeriksaan CT
berkisar antara 72-91% dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi
dapat mencapai 96% bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
5) MRI
Pemeriksaan ini sudah menjadi metode imaging pilihan untuk daerah servikal.
MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah
medula spinalis , radiks saraf dan tulang vertebra dapat divisualisasikan.
Namun pada salah satu penelitian didapatkan adanya abnormalitas berupa
herniasi diskus pada sekitar 10% subjek tanpa keluhan, sehingga hasil
pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit,
keluhan maupun pemeriksaan klinis.
6) Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat
neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot, artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi (Tidy, 2014).

J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trauma spinal ada dua hal yang sangat penting yaitu,
instabilitas dari kolumna vertebralis (Spinal Instability) dan kerusakan jaringan
saraf, baik yang terancam maupun yang sudah terjadi (actual and potential
neurologic injury) (Hanafiah, 2007). Instabilitas kolumna vertebralis (spinal
instability) ialah hilangnya hubungan normal antara strukturstruktur anatomi dari
kolumna vertebralis sehingga terjadi perubahan dari fungsi alaminya. Kolumna
vertebralis tidak lagi mampu menahan beban normal. Deformitas yang permanen
dari kolumna vertebralis dapat menyebabkan rasa nyeri; keadaan ini juga
merupakan ancaman untuk terjadinya kerusakan jaringan saraf yang berat
(catastrophic neurologic injury). Instabilitas dapat terjadi karena fraktur dari korpus
vertebralis, lamina dan atau pedikel. Kerusakan dari jaringan lunak juga dapat
menyebabkan dislokasi dari komponen komponen anatomi yang pada akhirnya
menyebabkan instabilitas. Fraktur dan dislokasi dapat terjadi secara bersamaan.
Terdapat lima prinsip-prinsip utama penatalaksanaan trauma spinal yaitu
immobilisasi, stabilisasi medis, mempertahankan posisi normal vertebrae,
dokempresi dan stabilisasi spinal, serta rehabilitasi (Hanafiah, 2007):
1) Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan
sampai ke unit gawat darurat. Pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal dengan menggunakan cervical collar. Cegah agar leher
tidak terputar (rotation). Baringkan pasien dalam posisi terlentang (supine)
pada tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara “4 men lift”
atau menggunakan Robinson’s orthopaedic stretcher.
2) Stabilisasi Medis
Terutama pada pasien tetraparesis/etraplegia.
a. Periksa vital signs
b. Pasang selang NGT
c. Pasang kateter urin
d. Segera normalkan tanda-tanda vital. Pertahankan tekanan darah yang
normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen, monitor produksi
urin, bila perlu monitor BGA (analisa gas darah), dan periksa apa ada
neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone Sodium
Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis.
3) Mempertahankan posisi normal vertebra (Spinal Alignment)
Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit
sampai terjadi reduksi.
4) Dekompresi dan stabilisasi spinal
Bila terjadi realignment artinya terjadi dekompresi. Bila realignment dengan
cara tertutup ini gagal maka dilakukan open reduction dan stabilisasi dengan
approach anterior atau posterior.
5) Rehabilitasi
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program
ini adalah bladder training, bowel training, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi-fungsi neurologik dan program kursi roda bagi pasien
paraparesis/paraplegia.
Hal-hal yang harus diperhatikan pada kasus trauma spinal adalah sebagai
berikut (Hanafiah, 2007):
1) Penanganan trauma spinal telah dimulai sejak di tempat kejadian.
2) Proteksi terhadap cervical spine merupakan hal yang sangat penting.
3) Mobilisasi pasien ke rumah sakit harus dilaksanakan dengan cara yang benar.
4) Penatalaksanaan trauma spinal harus menurut prinsip-prinsip baku yang telah
dianut.
5) Tindakan operasi dan instrumentasi banyak menolong pasien dari penurunan
fungsi neurologik yang berat.
K. Clinical Pathway

Faktor penyebab:
kecelakaan, jatuh, trauma

Trauma tulang belakang Kontusio spinal cord Perdarahan Iskemik

Fraktur vertebra Nyeri akut Syok hemoragik Ketidakefektifan


perfusi jaringan
perifer
Gangguan neurologis Kematian
pada spinal cord

Hilangnya fungsi
Mual, muntah Risiko aspirasi
sensorik dan motorik

Kelemahan otot Gangguan kontrol Kerusakan syaraf Hambatan


pernafasan VU dan rektum ekstremitas mobilitas fisik

Suplai oksigen Inkontinensia urin Kelumpuhan Defisit perawatan


menurun dan alvi diri

Mekanisme Hambatan Peningkatan


kompensasi eliminasi urin bedrest
Konstipasi

Hipoksia, sesak Risiko kerusakan


nafas integritas kulit

Ketidakefektifan
pola nafas
L. Konsep Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian/Assesment
1) Riwayat Penyakit Sebelumnya
Apakah klien pernah menderita:
 Penyakit stroke
 Infeksi otak
 DM
 Diare dan muntah yang berlebihan
 Tumor otak
 Intoksiaksi insektisida
 Trauma kepala
 Epilepsi dan lain-lain
2) Pemeriksaan Fisik
 Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas,
menggunakan otot- otot pernafasan tambahan
 Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi
 Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera
kepala
 Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah
garis kerusakan, adanya quadriplegia, paraplegia
 Refleks tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya refleks dibawah garis
kerusakan, post spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada
gangguan upper motor neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan
lower motor neuron/ LMN)
 Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis
kerusakan
 Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler
 Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia,
hidung tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan
gangguan penglihatan
 Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising
usus, stress ulcer, feses keras atau inkontinensia
 Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
 Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
 Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal
dekubitus
 Fungsi seksual
Impoten, gangguan ereksi, enjakulasi, menstruasi tidak teratur
 Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan
dengan masyarakat
b. Diagnosa Keperawatan
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragma, kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
neuromuskular
3) Nyeri akut berhubungan dengan adanya cedera
4) Gangguan eliminasi alvi/konstipasi berhubungan dengan gangguan
neuromuskular
5) Hambatan eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syaraf
perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
6) Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama, kehilangan sensori dan mobilitas
7) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
iskemik jaringan
8) Risiko aspirasi berhubungan dengan mual dan muntah
c. Perencanaan Keperawatan
No. Masalah Keperawatan NOC NIC
1. Ketidakefektifan pola nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Airway management
(00032) pola nafas tidak efektif pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Posisikan pasien untuk
kriteria hasil: memaksimalkan ventilasi
Status permafasan (0415) 2. Pasang mayo bila perlu
Tujuan 3. Lakukan fisioterapi dada jika
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 perlu
1. Frekuensi 4. Auskultasi suara nafas, catat
3 √
pernafasan adanya suara tambahan
2. Irama 5. Atur intake untuk cairan
3 √ mengoptimalkan
pernafasan
3. Kedalaman keseimbangan
3 √ 6. Monitor respirasi dan status O2
inspirasi
4. Volume tidal 3 √ 7. Monitor vital sign
5. Kapasitas tidal 3 √

Keterangan:
1. Deviasi berat dari kisaran normal
2. Deviasi cukup dari kisaran normal
3. Deviasi sedang dari kisaran normal
4. Deviasi ringan dari kisaran normal
5. Tidak ada deviasi dari kisaran normal
2. Hambatan mobilitas fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Terapi latihan: ambulasi
(00085) hambatan mobilitas fisik pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Sediakan tempat tidur yang
kriteria hasil: rendah dan sesuai
Ambulasi (0200) 2. Bantu pasien untuk duduk di
Tujuan sisi tempat tidur untuk
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 memfasilitasi penyesuaian
1. Memopang sikap tubuh
3 √
berat badan 3. Bantu pasien untuk
2. Berjalan perpindahan, sesuai kebutuhan
dengan langkah 3 √ 4. Instruksikan pasien mengenai
yang efektif pemindahan dan teknik
3. Berjalan ambulasi yang aman
3 √ 5. Monitor penggunaan kruk atau
dengan pelan
4. Berjalan alat bantu berjalan lainnya
dengan jarak
yang dekat 3 √ Terapi latihan: pergerakan sendi
(˂1 blok/30 1. Tentukan batasan pergerakan
meter) sendi dan efeknya terhadap
5. Berjalan sendi;
mengelilingi 3 √ 2. Jelaskan pada klien dan
kamar keluarga mengenai manfaat dan
tujuan melakukan latihan sendi
Keterangan:
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu 3. Instruksikan klien/keluarga
3. Cukup terganggu cara melakukan latihan ROM
4. Sedikit terganggu aktif atau pasif
5. Tidak terganggu 4. Monitor lokasi dan
kecenderungan adanya nyeri
5. Pakaikan baju yang tidak
menghambat pergerakan pasien
3. Nyeri akut (00132) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Manajemen nyeri:
nyeri akut pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri
Kontrol nyeri (1605) komprehensif meliputi
Tujuan lokasi, karakteristik, durasi
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 frekuensi
1. Menggunakan 2. Observasi adanya reaksi
tindakan nonverbal dan
pengurangan 3 √ ketidaknyamanan
nyeri tanpa 3. Evaluasi pengalaman nyeri
analgesik masa lampau
2. Menggunakan 4. Berikan informasi mengenai
analgesik yang 3 √ nyeri, seperti penyebab nyeri,
direkomendasikan berapa lama nyeri akan
3. Melaporkan dirasakan, dan antisipasi dari
gejala yang tidak ketidaknyamanan akibat
3 √ prosedur
terkonrol pada
profesional
kesehatan 5. Kontrol lingkungan yang dapat
4. Menggunakan mempengaruhi nyeri seperti
sumber daya 3 √ suhu ruangan, pencahayaan,
yang tersedia dan kebisingan
5. Melaporkan nyeri 6. Pilih dan lakukan penanganan
3 √
yang terkontrol nyeri (farmakologi, non
farmakologi dan inter personal)
Keterangan: 7. Berikan individu penurun
1. Tidak pernah menunjukkan nyeri yang optimal dengan
2. Jarang menunjukkan peresepan analgesik
3. Kadang-kadang menunjukkan 8. Dorong pasien untuk
4. Sering menunjukkan menggunakan obat-obatan
5. Secara konsisten menunjukkan penurun nyeri yang adekuat
9. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian analgesik
10. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi (seperti relaksasi,
hypnosis, akrupessure dll)
11. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
12. Evaluasi keefektifan kontrol
nyeri
13. Kolaborasi dengan pasien,
orang terdekat dan tim
kesehatan lain untuk meilih dan
mengimplementasikan
tindakan penurunan nyeri non
farmakologis
14. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
15. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
4. Gangguan eliminasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 Manajemen konstipasi (0450)
alvi/konstipasi (00011) jam konstipasi dapat teratasi dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi faktor-faktor yang
Status nutrisi (1004) menyebabkan terjadinya
Tujuan konstipasi
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 2. Dukung intake cairan (1,5 L air
1. Asupan gizi 2 √ per hari)
2. Asupan 3. Buat jadwal untuk BAB dengan
2 √
makanan cara yang tepat
3. Asupan cairan 2 √ 4. Instruksikan pada pasien dan
4. Hidrasi 2 √ keluarga pada diet tinggi serat
dengan cara yang tepat (pisang,
Keterangan: pir, apel, wortel)
1. Sangat menyimpang dari rentang normal 5. Kolaborasi pemberian laksatif
2. Banyak menyimpang dari rentang normal
3. Cukup menyimpang dari rentang normal
4. Sedikit menyimpang dari rentang normal
5. Tidak menyimpang dari rentang normal
5. Risiko kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Pressure management
kulit (00047) kerusakan integritas kulit pada pasien dapat teratasi, dengan 1. Anjurkan pasien menggunakan
kriteria hasil: pakaian yang longgar
Penyembuhan luka bakar (1106) 2. Hindari kerutan pada tempat
Tujuan tidur
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
1. Nyeri 2 √ bersih dan kering
2. Infeksi 2 √ 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi
3. Kulit melepuh 2 √ pasien) setiap dua jam sekali
4. Edema pada 5. Monitor kulit akan adanya
2 √ kemerahan
area bakar
5. Nekrosis 6. Oleskan lotion atau
2 √ minyak/baby oil pada daerah
jaringan
yang tertekan
Keterangan: 7. Monitor aktivitas dan
1. Sangat besar mobilisasi pasien
2. Besar Insision site care
3. Sedang 1. Membersihkan, memantau, dan
4. Terbatas meningkatkan proses
5. Tidak ada penyembuhan pada luka yang
ditutup dengan jahitan, klip
atau straples
2. Monitor proses kesembuhan
area insisi
3. Monitor tanda dan gejala
infeksi pada area insisi
4. Bersihkan area sekitar jahitan
menggunakan kapas steril
5. Gunakan preparat antiseptik
sesuai program
6. Ganti balutan pada interval
waktu yang sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka (tidak
dibalut) sesuai program
6. Ketidakefektifan perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, Manajemen sensasi perifer (2660)
jaringan perifer (00204) perfusi jaringan perifer pada pasien kembali efektif, dengan 1. Monitor sensasi tumpul atau
kriteria hasil: tajam dan panas dan dingin
Status sirkulasi (0401): (yang dirasakan pasien)
Tujuan 2. Monitor adanya parestesia
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 dengan tepat
1. Tekanan darah 3. Instruksikan keluarga untuk
3 √
sistol mengobservasi kulit jika ada
2. Tekanan darah laserasi
3 √
diastol
3. Tekanan nadi 3 √ 4. Gunakan sarung tangan untuk
4. Tekanan darah proteksi
3 √
rata-rata 5. Batasi gerakan kepala, leher,
5. PaO2 (tekanan dan punggung
parsial oksigen 6. Letakkan bantalan pada bagian
3 √
dalam darah tubuh yang terganggu untuk
arteri) melindungi area tersebut
6. Saturasi 7. Monitor kemampuan BAB
3 √ 8. Kolaborasi pemberian
oksigen
7. Capillary refill 3 √ analgesik, kortikosteroid,
8. Distensi vena antikonvulsan, antidepresan
3 √ trisilik atau anestesi lokal
leher
9. Edema perifer 3 √ sesuai kebutuhan
10. Wajah pucat 3 √ 9. Monitor adanya tromboplebitis
11. Penurunan dan tromboemboli pada vena
3 √ 10. Diskusikan mengenai
suhu kulit
12. Parestesia 3 √ penyebab perubahan sensasi
13. Pitting edema 3 √
14. Mati rasa 3 √

Keterangan:
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
7. Risiko aspirasi (00039) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, Pencegahan aspirasi (3200):
risiko aspirasi pada pasien dapat teratasi, dengan kriteria 1. Monitor tingkat kesadaran,
hasil: reflek batuk, kemampuan
Pencegahan aspirasi (1918): menelan
Tujuan 2. Skrining adakah disfagia
No. Indikator Awal
1 2 3 4 5 dengan tepat
1. Mengidentifikasi 3. Pertahankan (kepatenan) jalan
faktor-faktor 2 √ nafas
risiko 4. Minimalisir penggunaan obat-
2. Menghindari obatan yang diketahui
faktor-faktor 2 √ memperlambat pengosongan
risiko lambung dengan tepat
3. Mempertahankan 5. Monitor status pernafasan
2 √ 6. Pantau (cara) makan atau bantu
kebersihan mulut
4. Memposisikan jika diperlukan
tubuh untuk 7. Beri makanan dalam jumlah
tetap tegak 2 √ sedikit
ketika makan 8. Hindari pemberian cairan atau
dan minum penggunaan zat yang kental
5. Memposisikan 9. Berikan perawatan mulut
tubuh untuk 2 √
miring ketika
makan dan 10. Inspeksi kavitas oral terkait
minum jika dengan obat-obatan maupun
dibutuhkan makanan yang tertahan
6. Mempertahankan 11. Sarankan konsultasi pada
tubuh dalam terapis bicara patologis dengan
posisi tegak 2 √ tepat
selama 30 menit
setelah makan

Keterangan:
1. Tidak pernah dirasakan
2. Jarang dilakukan
3. Kadang-kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Dilakukan secara konsisten
d. Discharge Planning
1) Konsultasikan tindakan yang akan dilakukan selanjutnya dengan dokter
(fisioterapi dan lain-lain)
2) Hindari untuk mengangkat beban berat sampai dokter mengijinkan
3) Jika tubuh terlalu gemuk, konsultasikan untuk melakukan diet sehingga tulang
belakang dalam menahan beban tubuh tidak terlalu berat
4) Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan kekuatan tulang
5) Olahragakan tubuh sesuai instruksi atau cara yang dianjurkan dan hindarkan
olahraga yang dilarang
6) Hindari penggunaan kendaraan bernotor sendiri jika belum memungkinkan
untuk menghindari kecelakaan
DAFTAR PUSTAKA

Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius, FK- UI.
Bruner dan Suddarth. 2005. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8. Jakarta: ECG-
Kedokteran.
Doenges, Moorhause, dan Geisher. 2002. Rencana Asuhan Keperawatan, Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: ECG-
Kedokteran.
Pratama, Anggi. 2017. Laporan Pendahuluan Spinal Cord Injury. Lp Keperawatan.
Sylvia Price dan Wilson. 2006. Pathofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: ECG-Kedokteran.

Anda mungkin juga menyukai