PERTANGGUNGAN JAWABNYA
A. PENDAHULUAN
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran badan hukum/korporasi saat
ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan korporasi untuk terus
meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering, meskipun tidak
selalu, terjadinya tindakan pelanggaran hukum, bahkan memunculkan korban yang
menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari jerat hukum
sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin
meluas dan sulit dikontrol. Tindak pidana, dalam hal ini kejahatan, yang dilakukan oleh
korporasi merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan hukum yang belum
banyak mendapat perhatian masyarakat luas dibandingkan dengan persoalan hukum
lainnya. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya.
Korporasi yang bergerak di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti perbankan,
perdagangan, teknologi, industri dan sebagainya, melibatkan sirkulasi uang yang sangat
besar.
Pada mulanya, tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi dibedakan
dengan kejahatan jalanan (street crimes) dan white collar crimes. Tindak pidana oleh
korporasi, sering juga disebut dengan corporate crime atau crime in the suite,
menunjuk pada kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, sedangkan street crime,
seperti perampokan, kejahatan narkotika, copet, perkosaan dan lain-lain, dilakukan
terhadap orang lain. White collar crime yang sering disebut dengan occupational crime
menunjuk kepada kejahatan yang dilakukan orang-orang karena jabatan atau jabatan
profesional, pada umumnya tanpa menggunakan kekerasan dan seringkali justru
dilakukan terhadap perusahaannya sendiri seperti penggelapan, pencantuman nama
fiktif pada pembayaran gaji, penjualan rahasia perusahaan dan informasi konfidensial
kepada perusahaan saingan oleh pejabat perusahaan.
Hans Nicholas Jong dalam surat kabar harian The Jakarta Post pada tanggal 27
Desember 2013 yang berjudul “KPK to take on roque corporations in 2014” yang
menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berkeinginan untuk
memberikan hukuman kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam korupsi. Hal
ini dikarenakan selama ini yang dihukum dalam perkara-perkara korupsi, hanya
individu-individu saja. KPK akan mencoba menjerat perusahaan tersebut dengan
menggunakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun KPK dalam menegakan ketentuan
tersebut terdapat beberapa kendala dalam hukum acara, hal tersebut mengingat
ketentuan hukum acara yang berlaku selama ini terdapat celah hukum dalam hal
*
Hengki
M.
Sibuea,
Founder
dan
Senior
Partner
pada
Kantor
Hukum
HENGKI
SIBUEA
&
PARTNERS.
pertanggungjawaban tindak pidana korupsi oleh korporasi. untuk itu saat ini KPK
sedang meminta pendapat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Dalam tulisan tersebut mencantumkan pula beberapa contoh kasus korupsi yang
melibatkan perusahaan yaitu Kernel Oil Pte Ltd, Alstom, dan PT Indoguna Utama (“PT
IGU”). Dimana dalam kasus korupsi tersebut telah menyeret direktur-direktur
perusahan tersebut dalam proses hukum.
Kajian ini akan dikhususkan pada PT IGU, dimana pada saat ini, 2 (dua) orang Direksi
PT IGU, yaitu Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, berdasarkan Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (“Pengadilan
TIPIKOR”) Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”)
telah diputus terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sementara itu, Maria
Elizabeth Liman, Direktur Utama dari PT IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis
Hakim Pengadilan TIPIKOR telah divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta
didenda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan
kurungan.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kajian ini akan
membahas aspek-aspek yang terkait sekitar tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
badan hukum/korporasi.
B. PEMBAHASAN:
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain (khususnya dalam
bidang hukum perdata) disebut badan hukum (recht persoon) atau yang dalam bahasa
Inggris disebut dengan legal entities atau corpotation.
Pengeritan korporasi menurut Black’s Law Dictionary, yaitu: “An entity (usually a
business) having authority under law to act as a single person distinct from the
shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group
or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic
persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers
that is constitution give it ”.
(Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, St Paul Minim West Publishing,
Co, 2009, hal 391)
Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan
corporatie (Belanda), corpotation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa
latin yaitu corporatio. “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum) berasal dari
kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau
sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio”
itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang
dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.
(Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta, PT Pembangunan,
1995, hal 83).
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, korporasi dapat dilihat dari artinya yang sempit maupun
artinya yang luas. Korporasi menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,
korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat
atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya,
hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya “hidup”
untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum.
Demikian halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara
hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum.
(Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,
2006, hal 43).
Adapun Satjipto Rahardjo memberikan definisi bahwa korporasi adalah suatu badan
hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya tersebut terdiri dari “corpus” yaitu
struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkannya unsur “animus” yang
membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan
ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh
hukum. Apa yang dinamakan badan hukum itu sesungguhnya sekedar suatu ciptaan
hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai
subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk
persoon). Badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala
harta kekayaan yang timbul dari perbuatan ini. Harta itu harus dipandang sebagai harta
kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di
dalamnya, termasuk badan itu sebagai subjek hukum yang dianggap mampu
bertanggung jawab.
(Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal. 110).
Secara umum, oleh David J.R. korporasi memiliki 5 (lima) ciri-ciri yang sangat penting,
yaitu:
1. Merupakan subjek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan hukum khusus;
2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas;
3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu;
4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/aset;
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas
saham yang dimiliki.
Selanjutnya berbagai pengertian korporasi menurut beberapa ahli hukum yang dikutip
dari buku Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang ditulis oleh Prof. Dr. Muladi, S.H,
Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, penerbit Kencana, halaman 25-26 sebagai berikut:
Menurut Utrecht, badan hukum (rechtpersoon), adalah badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, jelasnya adalah bahwa badan hukum
setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan
hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah sesuatu yang riil, merupakan fakta yang
sebenarnya dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda
yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya, yang menjadi penting bagi pergaulan
hukum adalah badan hukum ini mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali
terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi.
Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban
anggotanya.
Adapun menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia,
serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.
Badan hukum dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu Perseroan Terbatas, Yayasan,
dalam bentuk perkumpulan tertentu, ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan
lain sebagainya.
Dalam kajian ini, korporasi sebagai badan hukum yang akan dibahas adalah korporasi
yang berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Normor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata (“UU PT”)
menyebutkan bahwa: “Perseroan (Perseroan Terbata) adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peratruan
pelaksanaannya”.
b. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana
A.Z. Abidin juga mendukung ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana,
dengan mengemukakan pendapat yang mengatakan “Pembuat delik yang merupakan
korporasi itu oleh Roling dimasukkan “functioneel daderschaap”, oleh karena korporasi
dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang
mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa
dan lain-lain”.
Dalam hukum positif di berbagai negara, korporasi sudah dicantumnkan sebagai subjek
dalam hukum pidana, diantaranya: di Belanda tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Wet
Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dalam Undang-
Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976
mengubah isi Pasal 51 W.v.S., sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek
hukum pidana umum, antara lain menghapus Pasal 15 ayat (1) Wet Economic Delicten
1950.
Perumusan tersebut menyatakan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan/korporasi itu sendiri.
Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya
ditemukan dalam undang-undang khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap
KUHP, sebab untuk hukum pidana umum ataupun KUHP itu sendiri masih menganut
subjek hukum pidana secara umum, yaitu manusia (Pasal 59 KUHP).
Pihak yang tidak setuju/kontra terhadap penempatan korporasi sebagai subjek hukum
pidana mendasarkan pendapatnya pada hal-hal dibawah ini:
1. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya
terdapat pada para persona alamiah;
2. Tingkah laku materil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam
delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang,
menganiaya orang dan sebagainhya);
3. Pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat
dikenakan terhadap korporasi;
4. Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa
orang yang tidak bersalah;
5. Dalam praktiknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa yang
dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-
duanya harus dituntut dan dipidana.
Pihak yang setuju/pro ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan sautu korporasi. Karenanya
diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus
atau pengurusnya saja;
2. Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
3. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi
masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam
masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan yang
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak
ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi;
4. Dapat dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya
untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu
sendiri.
Sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhkan pidana, kedudukan badan
hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana telah terdapat suatu Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor: 136/Kr/1966
dalam perakara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa: “suatu
badan hukum tidak dapat disita”. Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H., pandangan
Mahkamah Agung tersebut sudah tepat, sebab yang dapat disita adalah barang-
barang atau benda, sedangkan PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda atau
barang akan tetapi merupakan “subjek hukum”. Dengan demikian, Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut menegaskan bahwa Badan
Hukum/Korporasi merupakan subjek hukum dalam hukum pidana.
Di dalam Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut, memang ada
perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu
dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana dengan perumusan yang
menyebutkan “suatu tindak pidana .... dilakukan juga oleh atau atas nama suatu
badan hukum .... dan seterusnya”. Dengan adanya kata-kata “dilakukan juga”,
jelas bahwa rumusan di atas hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas
bentuk tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum. Jadi
perumusan di atas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu
dikatakan melakukan (sebagai pembuat) tindak pidana.
Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Kencana, 2012, hal. 93, juga mengatakan bahwa rumusan Pasal 15
ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut kurang jelas dikarenakan tidak ditentukan
secara tegas kapan suatu korporasi/badan hukum itu telah melakukan suatu tindak
pidana.
“Ini adalah suatu fiksi, yaitu dalam hal ini suatu badan dianggap melakukan hal
yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan
kerja pada badan itu”.
A.Z. Abidin, sehubungan dengan hal tersebut, mayatakan: apakah yang dimaksudkan
dengan “orang bertindak dalam hubungan lain?” Kalau diartikan luas, maka orang yang
tidak bertindk dalam hubungan kerja dengan badan hukum pun dapat menyeret badan
hukum/korporasi masuk dalam jaringan hukum pidana. Sehingga menurutnya orang
yang bersangkutan harus bertindak dalam hubungan kerja atau dalam susunan badan
hukum itu, sehingga dapat menyeret badan hukum/korporasi tersebut dalam jaringan
hukum pidana.
Selanjutnya mengenai “orang yang bertindak dalam hubungan lain-lain”, A.Z. Abidin
memberikan jalan keluarnya untuk menghindari pengertian yang luas, yaitu terhadap
“orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain” dengan korporasi berlu dibatasi,
sehingga hanya orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam hubungan fungsional
dengan korporasi/badan hukum saja yang dapat melibatkan korporasi/badan hukum
dalam kejahatan yang dibuat oleh orang itu (in the course of carrying on the affairs of
the corporation).
“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama”.
Terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, R. Wiyono,
S.H., dalam buku “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Edisi Kedua”, Sinar Grafika, Jakarta, Maret 2009, hal. 154, menjelaskan:
“Dari Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat diketahui bahwa
tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi, apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh:
a. Orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja, bertindak dalam lingkungan
korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama;
b. Orang-orang yang berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama.
Oleh penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijaksanaan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Yang menjadi kriteria atau ukuran apakah seseorang itu merupakan pengurus dari
sautu korporasi di samping ditentukan dari dicantumkan atau tidak dicantumkan
namanya sebagai pengurus dalam Anggaran Dasar dari suatu korporasi, dapat
juga ditentukan melalui kewenangan seseorang yang dimaksud ikut dalam
memutuskan kebijaksanaan korporasi. Maka seseorang itu merupakan pengurus
dari korporasi.
Dengan demikian, seorang yang tidak tercantum dalam Anggaran Dasar sebagai
pengurus dari suatu korporasi, tetapi ternyata orang tersebut yang
mengendalikan korporasi tersebut, maka orang yang dimaksud sebenarnya
merupakan pengurus dari korporasi sebagaimana yang dijelsakan oleh penjelasan
Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi”.
Bertalian dengan tindak pidana korporasi (corporate crime) yang acap kali digunakan
dalam berbagai konteks dan nama maupun makna, antara lain Edwin Harden
Sutherland (1883 - 1950) menggunakan istilah kejahatan korporasi dengan “white collar
crime”.
Kejahatan (tindak pidana) korporasi merupakan perilaku korporasi yang tidak sah dalam
bentuk pelanggaran hukum kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi,
yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Kejahatan (tindak pidana) tersebut sulit dilihat (low visibility) karena biasanya
tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional
dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan (tindak pidana) tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan
sesuatu yang ilmiah, teknologi, finansial, legal, terorganisasi, melibatkan banyak
orang serta berjalan bertahun-tahun;
c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin
luas akibat kompleks organisasi;
d. Penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization), seperti polusi, penipuan
konsumen dan sebagainya;
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution)
sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum
dan pelaku tindak pidana;
f. Peraturan yang tidak jelas (ambiquous laws), yang sering menimbulkan keraguan
dalam penegakkan hukum. Dalam bidang hukum ekonomi, hal semacam ini sangat
dirasakan, misalnya sebagai akibat deregulasi;
g. Ambiquitas (sikap mendua) terhadap status pelaku tindak pidana. Dalam tindak
pidana korporasi, secara jujur harus diakui bahwa pelaku tindak pidana bukanlah
orang yang secara moral salah (mala per se), tetapi karena melanggar peraturan
yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum (mala prohibita).
Korporasi (badan hukum) yang melakukan kegiatan usahanya secara melawan hukum
secara pidana dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana di bidang
perekonomian, yang berkaitan erat dengan masalah keuangan/perbankan dan kolusi
serta korupsi. Bahkan apabila tindakan korporasi melakukan kejahatan yang telah
melewati batas teritorial, akan terkait dengan masalah-masalah tindak pidana
penyelundupan, yang termasuk masalah/kasus kepabeanan karena menyangkut lalu
lintas perdagangan ekspor-impor.
Kegiatan usaha dari korporasi yang diwakili oleh organnya adalah berupa transaksi jual
beli, pemberian jasa angkutan barang, pengadaan/pemesanan barang, peminjaman
dana/modal, dan lain-lain yang semuanya bersangkutan dengan kegiatan
perekonomian. Permasalahan-permasalahan korporasi dalam menjalankan kegiatan
usahanya dapat dikategorikan menjadi kejahatan (tindak pidana) korporasi karena
dalam tindakannya telah dianggap melakukan perbuatan/melanggar hukum oleh pihak
lain yang dirugikan dan menjadi korban.
Hal tersebut sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), yang
menyebutkan:
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya”.
Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang
dikemukakannya, yaitu, badan-badan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau
kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak
bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai kolektivitet. Dapatlah kiranya
kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya.
Selain daripada itu, cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan
karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima
keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan
pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena
mungkin hal itu melampaui kemampuannya.
Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada
korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai
kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk
korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi
itu sendiri.
Suprapto, Van Bemmelen, maupun Remmelink mengakui bahwa korporasi tetap dapat
mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut diambil dari para
pengurusnya atau anggota direksi. Dengan konstruksi yang demikian, maka dalam hal
ini asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tetap berlaku, sepanjang dilakukan oleh
pengurus, sehingga kalau suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh korporasi
(pembuat fiktif), maka asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak berlaku.
Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh doktrin pertanggungjawaban pidana “strict
liability” dan “vicarious liability” yang pada merupakan penyimpangan dari asas
kesalahan.
Doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat) menyebutkan bahwa seseorang sudah
dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang
itu tidak ada kesalahan (mens rea). Doktrin ini secara singkat diartikan sebagai “liability
without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Sementara doktrin
vicarious liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for
the wrongful acts of another). Sehingga dalam pengertian vicarious liability ini dikatakan
walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai
kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Berbicara mengenai tindak pidana badan hukum/korporasi, maka tidak dapat dilepas
dari organized crime karena para pelakunya dalam aktivitasnya terdapat korelasi yang
erat yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi, yang mempunyai tata kerja
yang dominan dalam mencapai tujuan korporasi. Organized crime melibatkan beberapa
orang yang terkoordinasi secara sturuktural dan memiliki keahlian tertentu untuk
memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain). Oleh karenanya corporate crime ini
dengan sendirinya tergolong juga economic crime.
Badan usaha sebagai korporasi merupakan wadah kegiatan organisasi bisnis yang dapat
dijadikan wahana untuk melakukan kejahatan oleh para eksekutif korporasi tersebut.
Dalam proses penegakkan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh badan-badan usaha sebagai badan hukum/korporasi, maka kita
dihadapapkan pada 2 (dua) masalah pokok, yaitu:
a. Masalah pertanggung jawaban pidana dari lembaga sebagai badan
hukum/korporasi; dan
b. Sistem pemidanaan terhadap lembaga sebagai badan hukum/korporasi.
Kedua masalah ini belum diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan, namun
karena secara fisik kegiatan badan hukum/korporasi diwakili oleh satu atau beberapa
eksekutif, maka, secara teoretis, bila badan hukum/korporasi melakukan kegiatan tindak
pidana (kejahatan) adalah merupakan manifestasi dari para eksekutif badan
hukum/korporasi tersebut.
1. Administrative Corruption,
(World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington
DC, World Bank, 1997)
Demikian pula dengan sistem pemidanaannya, sulit untuk menentukan sanksi pidana
yang tepat untuk badan hukum/korporasi, karena tentunya pidana penjara atau pidana
mati tidak mungkin dikenakan pada badan hukum/korporasi.
Pasal 20 UU ayat (7) Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya menentukan bahwa dalam
tindak pidana korupsi selain terhadap pengurus maka terhadap badan hukum/korporasi
tersebut dapat dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana sepanjang tindak pidana
korupsi tersebut dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum/korporasi hanya
dengan pidana pokok berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
ditambah 1/3 (satu per tiga), sedangkan untuk pengembalian kerugian negara
menggunakan instrumen hukum tambahan. Namun selain hal-hal yang telah ditentukan
dalam Pasal 20 ayat (7) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, selama ini belum
ditemukan ketentuan hukum acara yang mengatur mengenai kedudukan badan
hukum/korporasi sebagai tersangka atau terdakwa baik dalam tahap penyidikan
menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) tersangka maupun dalam
tahap penuntutan menyangkut identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat (2) huruf
a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam tindak
pidana.
1. Kriteria badan hukum/korporasi yang dapat dijadikan tersangka dalam tindak pidana
korupsi adalah badan hukum/korporasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 1 jo. Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkungan badan hukum/korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama.
3. Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi menentukan:
“dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus”.
“Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain”.
Dari ketentuan tersebut, sedapat mungkin dalam proses penyidikan, BAP Tersangka
dapat diterangkan oleh pengurus yang memperoleh kuasa sesuai dengan ketentuan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dari korporasi yang bersangkutan. Namun
demikian keberadaan BAP Tersangka dengan tersangka badan hukum/korporasi
tidak mutlak, mengingat:
3.1. Pasal 20 ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pengurus yang
memperoleh kuasa dapat diwakili oleh orang lain sehingga orang lain yang
mewakili pengurus tersebut belum tentu dapat mengetahui materi perkara
yang disangkakan terhadap korporasi tersebut.
3.2. Ada kemungkinan baik pengurus maupun orang lain yang mewakili korporasi
menolak memberikan keterangan dalam BAP, karena pengurus tersebut atau
orang lain yang mewakili pengurus/ korporasi tersebut bukan merupakan
tersangka sesungguhnya dalam hal korporasi berkedudukan sebagai
tersangka.
3.3. Kemungkinan terjadi pergantian pengurus atau orang lain yang memperoleh
kuasa untuk mewakili korporasi selama dalam proses perkara berlangsung.
3.4. Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP hanya mengenal alat bukti keterangan
terdakwa (tersangka dalam tahap penyidikan) dan tidak mengenal alat bukti
keterangan korporasi atau keterangan pengurus.
4. Dalam proses penyidikan mutlak dan harus dilakukan penyitaan terhadap Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum/korporasi yang menjadi tersangka
guna memperoleh identitas badan hukum/korporasi yang bersangkutan untuk
dicantumkan secara lengkap baik di dalam resume maupun sampul berkas perkara,
dimana identitas tersebut yang akan diadopsi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
pembuatan Surat Dakwaan yang sekurang-kurangnya memuat identitas:
4.1. Nama badan hukum/korporasi yang diwakili oleh pengurusnya;
4.2. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi:
a. Nomor dan tanggal akta pendirian badan hukum/korporasi;
b. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi pada saat peristiwa
pidana;
c. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi perubahan terakhir.
4.3. Kedudukan/Status pendirian;
4.4. Bidang usaha badan hukum/korporasi.
Sedangkan hal-hal lain yang dianggap relevan dapat dicantumkan sesuai kebutuhan
untuk pembuktian perkara sebagai pengganti identitas terdakwa yang disyaratkan
secara formil oleh Pasal 143 ayat (2) KUHAP.
Selama ini sejak badan hukum/korporasi diposisikan sebagai subjek hukum oleh UU
Tindak Pidana Korupsi, baru 1 (satu) perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka,
terdakwa dan terpidana badan hukum/korporasi, PT Giri Jaladhi Wana (“PT GJW”)
di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin,
yaitu Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9
Juni 2011 (“Putusan No. 812”).
Adapun dakwaan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka, terdakwa dan
terpidana badan hukum/korporasi PT GJW di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang
disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin tersebut, yaitu:
Primair:
Bahwa Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
karena telah merugikan keuangan negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp.
1.332.361.516,- (satu milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu
ribu lima ratus enam belas Rupiah) berdasarkan perhitungan BPKB Perwakilan Provinsi
Kalimantan Selatan No.: S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank
Mandiri, Tbk sebesar Rp. 199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan milyar
lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima
koma enam puluh lima Rupiah).
Subsidair:
Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 3
jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tuntutan pidana (requisitor) Jaksa Penuntut Umum tanggal 7 Maret 2011 sama dengan
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011, yang menyatakan:
1. Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi telah terbukti bersalah melakukan
beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut melanggar Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda
sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah);
3. Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana
selama 6 (enam) bulan;
4. Menyatakan barang bukti .... dirampas untuk negara guna diperhitungkan untuk
pembayaran uang pengganti dalam perkara pengadilan ST. Widagdo.
1. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun
di dalam struktur organisasi korporasi yang memiliki posisi sebagai direkting mind
dari korporasi;
2. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka, maksud dan tujuan korporasi;
3. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi;
4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi;
5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungan jawab pidana;
Proses hukum atas perkara tersebut hanya sampai pada tingkat Judex Facti (Pengadilan
Negeri / Pengadilan Tinggi) saja, tidak berlanjut sampai kepada tingkat Judex Juris
(MA). Walaupun demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) dan dapat diikutin oleh pengadilan dan menjadi acuan atau
rujukan bagi penegakkan hukum lainnya.
• PT IGU adalah badan hukum yang usahanya, salah satunya, bergerak dalam
bidang perdagangan daging sapi di Indonesia. Daging sapi yang diperdagangkan
tersebut di import oleh PT IGU dari Luar Negeri, seperti Australia, Amerika dll;
• Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya Abdi Effendy alias Dio
(Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA
dari PT IGU), telah didakwa, oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (“KPK”), melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi uang
sejumlah Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah) dari seluruh
uang yang dijanjikan sejumlah Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar
Rupiah), kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
• Penyelenggara yang dimaksud adalah Luthfi Hasan Ishaaq (“LHI”), selaku
anggota Komisi I DPR RI untuk periode 2009 – 2014 dari Fraksi Partai Keadilan
Sosial (PKS) dan juga sebagai Presiden Partai Keadilan Sosial untuk periode
2010 - 2013;
• Pemberian uang tersebut dilakukan melalui Ahmad Fathanah, dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, agar LHI menggunakan
kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kementerian Pertanian Republik
Indonesia dalam rangka proses pemberian persetujuan (rekomendasi) terkait
permohonan kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013;
• Permohonan Kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013 tersebut diajukan oleh PT
IGU, PT Sinar Terang Utama, PT Nuansa Guna Utama, CV Cahaya Karya Indah
dan CV Surya Cemerlang Abadi;
• Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”) telah
menyatakan Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara masing-masing selama 2 (dua)
tahun 3 (tiga) tiga bulan;
• Terhadap Putusan tersebut, ternyata, Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard
Effendi tidak melakukan upaya hukum banding, sehingga Putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde);
• Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Direktur Utama dari PT
IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR telah
divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta didenda sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan;
Dari fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatkah PT IGU sebagai badan
hukum/korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap tindak pidana korupsi
sebagai mana tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi?
Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disebutkan hal-
hal sebagai berikut:
• PT IGU adalah merupakan badan hukum dan dapat dianggap sebagai subjek hukum,
dikarenakan PT IGU dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala
tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul. Sehingga PT IGU tersebut dapat
menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya di
muka pengadilan;
• Korporasi/badan hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana yaitu apabila
orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan badan
usaha/korporasi dan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan
korporasi melakukan suatu tindak pidana.
PT IGU dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi, dikarenakan, Arya
Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi
(Direktur HRD dan GA dari PT IGU) serta Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari
PT IGU), telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada
korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai
kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk
korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi
itu sendiri
Hal ini dikarenakan Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya
Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi
(Direktur HRD dan GA dari PT IGU), dalam Putusan, dinyatakan telah terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan Putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dikarenakan Arya
Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, tidak melakukan upaya hukum
banding.