Anda di halaman 1dari 23

TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BADAN HUKUM/KORPORASI &

PERTANGGUNGAN JAWABNYA

Oleh: Hengki M. Sibuea*

A. PENDAHULUAN
Suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peran badan hukum/korporasi saat
ini menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Tujuan korporasi untuk terus
meningkatkan keuntungan yang diperolehnya mengakibatkan sering, meskipun tidak
selalu, terjadinya tindakan pelanggaran hukum, bahkan memunculkan korban yang
menderita kerugian. Walaupun demikian, banyak korporasi yang lolos dari jerat hukum
sehingga tindakan korporasi yang bertentangan dengan hukum tersebut semakin
meluas dan sulit dikontrol. Tindak pidana, dalam hal ini kejahatan, yang dilakukan oleh
korporasi merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan hukum yang belum
banyak mendapat perhatian masyarakat luas dibandingkan dengan persoalan hukum
lainnya. Hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat melibatkan korporasi di dalamnya.
Korporasi yang bergerak di berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti perbankan,
perdagangan, teknologi, industri dan sebagainya, melibatkan sirkulasi uang yang sangat
besar.

Pada mulanya, tindak pidana yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi dibedakan
dengan kejahatan jalanan (street crimes) dan white collar crimes. Tindak pidana oleh
korporasi, sering juga disebut dengan corporate crime atau crime in the suite,
menunjuk pada kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, sedangkan street crime,
seperti perampokan, kejahatan narkotika, copet, perkosaan dan lain-lain, dilakukan
terhadap orang lain. White collar crime yang sering disebut dengan occupational crime
menunjuk kepada kejahatan yang dilakukan orang-orang karena jabatan atau jabatan
profesional, pada umumnya tanpa menggunakan kekerasan dan seringkali justru
dilakukan terhadap perusahaannya sendiri seperti penggelapan, pencantuman nama
fiktif pada pembayaran gaji, penjualan rahasia perusahaan dan informasi konfidensial
kepada perusahaan saingan oleh pejabat perusahaan.

Hans Nicholas Jong dalam surat kabar harian The Jakarta Post pada tanggal 27
Desember 2013 yang berjudul “KPK to take on roque corporations in 2014” yang
menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berkeinginan untuk
memberikan hukuman kepada perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam korupsi. Hal
ini dikarenakan selama ini yang dihukum dalam perkara-perkara korupsi, hanya
individu-individu saja. KPK akan mencoba menjerat perusahaan tersebut dengan
menggunakan ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun KPK dalam menegakan ketentuan
tersebut terdapat beberapa kendala dalam hukum acara, hal tersebut mengingat
ketentuan hukum acara yang berlaku selama ini terdapat celah hukum dalam hal
                                                                                                                       
*  Hengki  M.  Sibuea,  Founder  dan  Senior  Partner  pada  Kantor  Hukum  HENGKI  SIBUEA  &  PARTNERS.  
pertanggungjawaban tindak pidana korupsi oleh korporasi. untuk itu saat ini KPK
sedang meminta pendapat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam tulisan tersebut mencantumkan pula beberapa contoh kasus korupsi yang
melibatkan perusahaan yaitu Kernel Oil Pte Ltd, Alstom, dan PT Indoguna Utama (“PT
IGU”). Dimana dalam kasus korupsi tersebut telah menyeret direktur-direktur
perusahan tersebut dalam proses hukum.

Kajian ini akan dikhususkan pada PT IGU, dimana pada saat ini, 2 (dua) orang Direksi
PT IGU, yaitu Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, berdasarkan Putusan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (“Pengadilan
TIPIKOR”) Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”)
telah diputus terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Sementara itu, Maria
Elizabeth Liman, Direktur Utama dari PT IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis
Hakim Pengadilan TIPIKOR telah divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta
didenda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan
kurungan.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana yang telah diuraikan di atas, kajian ini akan
membahas aspek-aspek yang terkait sekitar tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
badan hukum/korporasi.

B. PEMBAHASAN:

a. Pengertian Korporasi sebagai Badan Hukum

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain (khususnya dalam
bidang hukum perdata) disebut badan hukum (recht persoon) atau yang dalam bahasa
Inggris disebut dengan legal entities atau corpotation.

Pengeritan korporasi menurut Black’s Law Dictionary, yaitu: “An entity (usually a
business) having authority under law to act as a single person distinct from the
shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a group
or succession of persons established in accordance with legal rules into a legal or juristic
persons who make it up, exists indefinitely apart from them, and has the legal powers
that is constitution give it ”.
(Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, St Paul Minim West Publishing,
Co, 2009, hal 391)

Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan
corporatie (Belanda), corpotation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa
latin yaitu corporatio. “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum) berasal dari
kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau
sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio”
itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang
dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan
terhadap badan manusia yang terjadi menurut alam.
(Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita, Jakarta, PT Pembangunan,
1995, hal 83).

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, korporasi dapat dilihat dari artinya yang sempit maupun
artinya yang luas. Korporasi menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum,
korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat
atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya,
hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya “hidup”
untuk dapat berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum.
Demikian halnya dengan “matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara
hukum apabila “matinya” korporasi itu diakui oleh hukum.
(Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta,
2006, hal 43).

Adapun Satjipto Rahardjo memberikan definisi bahwa korporasi adalah suatu badan
hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakannya tersebut terdiri dari “corpus” yaitu
struktur fisiknya dan ke dalamnya hukum memasukkannya unsur “animus” yang
membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan
ciptaan hukum, maka kecuali penciptaannya, kematiannya pun juga ditentukan oleh
hukum. Apa yang dinamakan badan hukum itu sesungguhnya sekedar suatu ciptaan
hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang diberi status sebagai
subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah (natuurlijk
persoon). Badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan hukum dengan segala
harta kekayaan yang timbul dari perbuatan ini. Harta itu harus dipandang sebagai harta
kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-pribadi manusia yang terhimpun di
dalamnya, termasuk badan itu sebagai subjek hukum yang dianggap mampu
bertanggung jawab.
(Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Alumni, 1986, hal. 110).

Menurut Chaidir Ali, bahwa manusia yang mempunyai kepentingan bersama,


memperjuangkan suatu tujuan atau kepentingan tertentu, berkumpul dan
mempersatukan diri, Mereka menciptakan suatu organisasi, memiliki pengurus yang
akan mewakili mereka. Mereka memasukkan dan mengumpulkan harta kekayaan,
mereka menetapkan peraturan-peraturan tingkah laku untuk mereka dalam hubungan
satu dengan yang lain. Adalah tidak mungkin dalam tiap-tiap hal mereka bersama-sama
melakukan tindakan-tindakan itu dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut.
Pergaulan antar manusia dalam kehidupannya menganggap perlu, bahwa dalam suatu
kerja sama itu semua anggota bersama-sama merupakan satu kesatuan yang baru.
Suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak sendiri terpisah dari hak-hak para
anggotanya secara pribadi. Kesatuan yang mempunyai kewajiban sendiri terpisah dari
kewajiban-kewajiban para anggotanya secara pribadi. Subjek hukum yang baru dan
berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.
(Eman Rajagukguk, Badan Hukum sebagai Subjek Hukum, Jakarta, Mitra Management
Centre, hal. 2).

Secara umum, oleh David J.R. korporasi memiliki 5 (lima) ciri-ciri yang sangat penting,
yaitu:
1. Merupakan subjek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan hukum khusus;
2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas;
3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu;
4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/aset;
5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas
saham yang dimiliki.

Selanjutnya berbagai pengertian korporasi menurut beberapa ahli hukum yang dikutip
dari buku Pertanggungjawaban Pidana Korporasi yang ditulis oleh Prof. Dr. Muladi, S.H,
Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, penerbit Kencana, halaman 25-26 sebagai berikut:

• Utrecht/Moh Soleh Djindang menyebutkan: ”Ialah suatu gabungan orang yang


dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum
tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota,
tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota
masing-masing”.

• A.Z. Abidin menyebutkan: “bahwa korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan


manusia yang diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum,
untuk tujuan tertentu”.

• Subekti dan Tjitrosudibio menyebutkan:“coporatie atau korporasi adalah suatu


perseroan yang merupakan badan hukum”.

• Yan Pramadya Puspa menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan korporasi


adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau
perseroan di sini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang
oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal) ialah sebagai
pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat ataupun
digugat di muka pengadilan”.

• Wurjono Prodjodikoro, menyatakan “korporasi adalah suatu perkumpulan orang,


dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang yang
merupakan anggota dari korporasi itu, anggota mana pun mempunyai kekuasaan
dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang
tertinggi dalam peraturan korporasi”.
Dalam hukum perdata dagang menyebutkan bahwa korporasi adalah badan hukum.
Rudi Prasetyo, sehubungan dengan apa yang dimaksud dengan korporasi, menyatakan
bahwa kata korporasi sebutan yang lazim digunakan di kalangan pakar hukum pidana
untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain khususnya bidang hukum
perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai
rechtpersoon, atau dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corpotation.
(Rudi Prasetyo, Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi dan Penyimpangan-
penyimpangannya, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi di
FH UNDIP, (Semarang: 23-24 November 1989) hal. 2).

Menurut Utrecht, badan hukum (rechtpersoon), adalah badan yang menurut hukum
berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, jelasnya adalah bahwa badan hukum
setiap pendukung hak yang tidak berjiwa atau lebih tepat yang bukan manusia. Badan
hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah sesuatu yang riil, merupakan fakta yang
sebenarnya dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda
yang dibuat dari besi, kayu dan sebagainya, yang menjadi penting bagi pergaulan
hukum adalah badan hukum ini mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama sekali
terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu berupa korporasi.
Hak dan kewajiban badan hukum sama sekali terpisah dari hak dan kewajiban
anggotanya.

Adapun menurut R. Subekti, badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau
perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia,
serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

Berdasarkan pada pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa


korporasi adalah merupakan badan hukum. Badan hukum dianggap subjek hukum hal
tersebut dikarenakan dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala tindakan
hukum dengan segala risiko yang timbul. Sehingga badan hukum tersebut dapat
menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya di muka
pengadilan.

Badan hukum dapat mengambil berbagai bentuk, yaitu Perseroan Terbatas, Yayasan,
dalam bentuk perkumpulan tertentu, ada pula yang berbentuk koperasi, dan BUMN dan
lain sebagainya.

Dalam kajian ini, korporasi sebagai badan hukum yang akan dibahas adalah korporasi
yang berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”).
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Normor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata (“UU PT”)
menyebutkan bahwa: “Perseroan (Perseroan Terbata) adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peratruan
pelaksanaannya”.
b. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa “penempatan korporasi sebagai subjek dalam


hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial”. Semakin modern maysarakat itu
semakin kompleks sistem sosial, ekonomi dan politik yang terdapat di situ, maka
kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan yang formal akan menjadi semakin
besar pula. Tanda-tanda adanya modernisasi tersebut antara lain perlunya terutama
yang menyangkut kehidupan ekonomi menempatkan korporasi sebagai subjek hukum
pidana untuk menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya korporasi.
Pada era 1990-an muncul bentuk usaha yang dikenal dengan nama “konglomerasi”,
merupakan perusahaan besar yang beranggotakan berbagai macam perusahaan dan
bergerak di bidang usaha yang bermacam-macam.

Sarbini Sumawinata menyatakan bahwa konglomerasi adalah kumpulan dari berbagai


jenis perusahaan, yang masing-masing memiliki fungsi dan bidang usaha yang berbeda,
tetapi dikendalikan di bawah naungan satu pimpinan pusat. Adapun konglomerasi itu
sebagai hasil perkembangan dunia usaha dari segelintir orang yang ingin meraih tingkat
keberhasilan sebesar-besarnya dan sekaligus juga sebagai akibatnya menguasai bidang
ekonomi yang sebesar-besarnya pula. Keadaan ini dampak negatifnya sangat besar bagi
kepentingan rakyat banyak dan bagi perekonomian negara.

A.Z. Abidin juga mendukung ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana,
dengan mengemukakan pendapat yang mengatakan “Pembuat delik yang merupakan
korporasi itu oleh Roling dimasukkan “functioneel daderschaap”, oleh karena korporasi
dalam dunia modern mempunyai peranan penting dalam kehidupan ekonomi yang
mempunyai banyak fungsi, pemberi kerja, produsen, penentu harga, pemakai devisa
dan lain-lain”.

Dalam hukum positif di berbagai negara, korporasi sudah dicantumnkan sebagai subjek
dalam hukum pidana, diantaranya: di Belanda tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Wet
Economic Delicten 1950, yang kemudian dalam perkembangannya dalam Undang-
Undang tanggal 23 Juni 1976 Stb. 377 yang disahkan pada tanggal 1 September 1976
mengubah isi Pasal 51 W.v.S., sehingga korporasi di negara Belanda merupakan subjek
hukum pidana umum, antara lain menghapus Pasal 15 ayat (1) Wet Economic Delicten
1950.

Di Amerika Serikat, korporasi dipandang sebagai realitas sekumpulan manusia yang


diberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.
Tujuan pemidanaan korporasi ialah “to deter the corporation from permiting wrongful
acts”. Baru pada tahun 1909 di Amerika menempatkan korporasi dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, yaitu putusan Supreme Courts dalam
kasus New York Central and Hudson Riwer R.R.v. United States.
(Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Kencana, 2012, hal. 46).
Di Indonesia, korporasi sebagai subjek hukum pidana sudah mulai dikenal sejak tahun
1951, yaitu terdapat dalam Undang-Undang Penimbunan Barang-barang dan mulai
dikenal secara luas dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun
1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (“UU TPE”), juga kita temukan dalam Pasal 17
ayat (1) UU Nomor 11 PNPS Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi (“UU
Subversi”), Pasal 49 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976, Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Lingkungan
Hidup.

Peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi sebagai subjek hukum


dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah Pasal 15 ayat
(1) Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan,
dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, yaitu:
“Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum,
suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana
dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap
badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai
pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”.

Perumusan tersebut menyatakan bahwa yang dapat melakukan maupun yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah orang dan/atau perserikatan/korporasi itu sendiri.
Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya
ditemukan dalam undang-undang khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap
KUHP, sebab untuk hukum pidana umum ataupun KUHP itu sendiri masih menganut
subjek hukum pidana secara umum, yaitu manusia (Pasal 59 KUHP).

Ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana, di Indonesia, sampai sekarang


masih menimbulkan sikap yang setuju dan tidak setuju.

Pihak yang tidak setuju/kontra terhadap penempatan korporasi sebagai subjek hukum
pidana mendasarkan pendapatnya pada hal-hal dibawah ini:
1. Menyangkut masalah kejahatan sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya
terdapat pada para persona alamiah;
2. Tingkah laku materil yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam
delik, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang,
menganiaya orang dan sebagainhya);
3. Pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat
dikenakan terhadap korporasi;
4. Tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa
orang yang tidak bersalah;
5. Dalam praktiknya tidak mudah menentukan norma-norma atas dasar apa yang
dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-
duanya harus dituntut dan dipidana.
Pihak yang setuju/pro ditempatkannya korporasi sebagai subjek hukum pidana
mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:
1. Ternyata dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi
terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan sautu korporasi. Karenanya
diperlukan pula untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus
atau pengurusnya saja;
2. Mengingat dalam kehidupan sosial dan ekonomi ternyata korporasi semakin
memainkan peranan yang penting pula;
3. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat, yaitu melindungi
masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan yang ada dalam
masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan yang
hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak
ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi;
4. Dapat dipidananya korporasi dengan ancaman pidana adalah salah satu upaya
untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu
sendiri.
Sehubungan dengan korporasi yang telah dijatuhkan pidana, kedudukan badan
hukum/korporasi sebagai subjek hukum pidana telah terdapat suatu Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor: 136/Kr/1966
dalam perakara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan bahwa: “suatu
badan hukum tidak dapat disita”. Menurut Prof. Dr. Muladi, S.H., pandangan
Mahkamah Agung tersebut sudah tepat, sebab yang dapat disita adalah barang-
barang atau benda, sedangkan PT Kosmo dan PT Sinar Sahara bukan benda atau
barang akan tetapi merupakan “subjek hukum”. Dengan demikian, Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut menegaskan bahwa Badan
Hukum/Korporasi merupakan subjek hukum dalam hukum pidana.

c. Korporasi/Badan Hukum Sebagai Pelaku Tindak Pidana/Kejahatan


Setelah kita mengetahui korporasi/badan hukum sebagai subjek dari hukum pidana,
maka pertanyaan selanjutnya adalah kapan suatu korporasi/badan hukum dapat
dikatakan sebagai pelaku tindak pidana?
Untuk menjawab mengenai hal ini, maka terlebih dahulu kita harus membahas
mengenai tindak pidana yang korporasi yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) TPE, yang
menyebutkan:
“suatu tindak pidana ekonomi dilakukan juga oleh atas nama suatu badan hukum,
suatu perseraon, suatu perserikatan orang, atau suatu yayasam, jika tindakan
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan badan hukum,
perseroan, perserikatan, atau yayasan itu tidak peduli apakah orang-orang itu
masing-masing tersendiri melakukan tindak pidana ekonomi itu atau pada mereka
bersama-sama ada anasir-anasir tindak pidana tersebut”.
Terhadap rumusan tersebut, Barda Nawawi Arief mengatakan:

Di dalam Pasal 15 ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut, memang ada
perumusan yang “seolah-olah” menjelaskan kapan suatu badan hukum itu
dikatakan telah melakukan suatu tindak pidana dengan perumusan yang
menyebutkan “suatu tindak pidana .... dilakukan juga oleh atau atas nama suatu
badan hukum .... dan seterusnya”. Dengan adanya kata-kata “dilakukan juga”,
jelas bahwa rumusan di atas hanya merupakan suatu fiksi yang memperluas
bentuk tindak pidana yang sebenarnya tidak dilakukan oleh badan hukum. Jadi
perumusan di atas tidaklah menjelaskan pengertian kapan badan hukum itu
dikatakan melakukan (sebagai pembuat) tindak pidana.

Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof. DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, Kencana, 2012, hal. 93, juga mengatakan bahwa rumusan Pasal 15
ayat (2) UU Tindak Pidana Ekonomi tersebut kurang jelas dikarenakan tidak ditentukan
secara tegas kapan suatu korporasi/badan hukum itu telah melakukan suatu tindak
pidana.

Ketidakjelasan mengenai perumusan kapan suatu korporasi/badan hukum itu telah


melakukan suatu tindak pidana juga terlihat dalam penjelasan Pasal 15 (2) UU TPE
yang menyebutkan: “ayat (2) menentukan dalam hal-hal mana suatu tindak pidana
ekonomi dianggap telah dilakukan oleh badan hukum .... dan seterusnya”. Terlihat jelas
bahwa setelah melihat rumusan Pasal 15 ayat (2) UU TPE dan penjelasannya tersebut,
ternyata belum juga memberikan ketegasan mengenai batasan atau ukuran yang
dipakai untuk menentukan suatu tindak pidana ekonomi itu telah dilakukan oleh suatu
badan hukum atau korporasi. Hanya saja dalam Pasal 15 ayat (2) UU TPE tersebut
dikatakan, batasan atau ukurannya disebutkan:

(1) Berdasarkan hubungan kerja atau hubungan lain; atau


(2) Berdasarkan bertindak dalam lingkungan badan hukum.

Dalam hubungannya dengan batasan adanya “hubungan kerja”, Suprapto dalam


desertasinya yang berjudul “Hukum Pidana Ekonomi Ditinjau dalam Rangka
Pembangunan Nasional”, manyebutkan:

“Ini adalah suatu fiksi, yaitu dalam hal ini suatu badan dianggap melakukan hal
yang tidak dilakukannya, tetapi dilakukan oleh orang yang ada dalam hubungan
kerja pada badan itu”.

A.Z. Abidin, sehubungan dengan hal tersebut, mayatakan: apakah yang dimaksudkan
dengan “orang bertindak dalam hubungan lain?” Kalau diartikan luas, maka orang yang
tidak bertindk dalam hubungan kerja dengan badan hukum pun dapat menyeret badan
hukum/korporasi masuk dalam jaringan hukum pidana. Sehingga menurutnya orang
yang bersangkutan harus bertindak dalam hubungan kerja atau dalam susunan badan
hukum itu, sehingga dapat menyeret badan hukum/korporasi tersebut dalam jaringan
hukum pidana.

Selanjutnya mengenai “orang yang bertindak dalam hubungan lain-lain”, A.Z. Abidin
memberikan jalan keluarnya untuk menghindari pengertian yang luas, yaitu terhadap
“orang melakukan kejahatan dalam hubungan lain” dengan korporasi berlu dibatasi,
sehingga hanya orang yang melakukan kejahatan ekonomi dalam hubungan fungsional
dengan korporasi/badan hukum saja yang dapat melibatkan korporasi/badan hukum
dalam kejahatan yang dibuat oleh orang itu (in the course of carrying on the affairs of
the corporation).

Kemudian Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi juga mengatakan:

“Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun
bersama-sama”.

Terhadap ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, R. Wiyono,
S.H., dalam buku “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Edisi Kedua”, Sinar Grafika, Jakarta, Maret 2009, hal. 154, menjelaskan:

“Dari Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut dapat diketahui bahwa
tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi, apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh:
a. Orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja, bertindak dalam lingkungan
korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama;
b. Orang-orang yang berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi, baik sendiri maupun bersama-sama.

Dengan demikian, korporasi baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana


korupsi, jika baik orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja maupun yang
berdasarkan hubungan lain, bertindaknya masih dalam batas-batas lingkungan
tugas atau usaha korporasi. Jadi, jika sampai orang-orang tersebut bertindaknya
sudah di luar atau tidak lagi dalam batas-batas lingkungan tugas atau usaha
korporasi, maka tidak dapat dikatakan bahwa korporasi yang melakukan tindak
pidana korupsi, tetapi yang melakukan tindak pidana korupsi adalah orang-orang
yang bersangkutan.

Apakah perbedaan antara “orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam


lingkungan korporasi” dengan “orang-orang yang berdasarkan hubungan lain
dalam lingkungan korporasi?”

Yang dimaksud dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam


lingkungan korporasi, menurut beliau, adalah orang-orang yang tercantum di
dalam Anggaran Dasar sebagai pengurus dari korporasi, sedang yang dimaksud
dengan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan
korporasi, misalnya adalah orang-orang yang tidak tercantum dalam Anggaran
Dasar sebagai pengurus tetapi bertindak untuk dan atas nama korporasi dengan
surat kuasa.

Oleh penjelasan Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa
yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yang menjalankan
kepengurusan korporasi yang bersangkutan sesuai dengan anggaran dasar,
termasuk mereka yang dalam kenyataannya memiliki kewenangan dan ikut
memutuskan kebijaksanaan korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana korupsi.
Yang menjadi kriteria atau ukuran apakah seseorang itu merupakan pengurus dari
sautu korporasi di samping ditentukan dari dicantumkan atau tidak dicantumkan
namanya sebagai pengurus dalam Anggaran Dasar dari suatu korporasi, dapat
juga ditentukan melalui kewenangan seseorang yang dimaksud ikut dalam
memutuskan kebijaksanaan korporasi. Maka seseorang itu merupakan pengurus
dari korporasi.

Dengan demikian, seorang yang tidak tercantum dalam Anggaran Dasar sebagai
pengurus dari suatu korporasi, tetapi ternyata orang tersebut yang
mengendalikan korporasi tersebut, maka orang yang dimaksud sebenarnya
merupakan pengurus dari korporasi sebagaimana yang dijelsakan oleh penjelasan
Pasal 20 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi”.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka suatu korporasi/badan hukum dapat dikatakan


sebagai pelaku tindak pidana yaitu apabila orang-orang yang berdasarkan hubungan
kerja dalam lingkungan korporasi dan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain
dalam lingkungan korporasi melakukan suatu tindak pidana.

d. Tentang Tindak Pidana Korporasi


Perbuatan melawan hukum (pidana) yang disebut dengan tindak pidana oleh
korporasi/badan hukum dalam menjalankan kegiatn usahanya adalah merupakan
kejahatan korporasi yang menimbulkan kerugian yang sangat besar terhadap sebagian
besar rakyat. Tindak Pidana (kejahatan) korporasi/badan hukum mempunyai jangkauan
yang begitu luas dengan berbagai bentuk perbuatan dalam rangka mencapai tujuan-
tujuan korporasi, seperti masalah suap atau pemberian “uang pelicin” merupakan salah
satu perlilaku yang sangat menonjol dalam tindak pidana korporasi. Tindak pidana
korporasi terutama harus dipahami sebagai kejahatan yang bersifat organisasi, yaitu
suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan
harapan-harapan di antara dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan di
antara kantor pusa, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.

Bertalian dengan tindak pidana korporasi (corporate crime) yang acap kali digunakan
dalam berbagai konteks dan nama maupun makna, antara lain Edwin Harden
Sutherland (1883 - 1950) menggunakan istilah kejahatan korporasi dengan “white collar
crime”.

Tindak pidana korporasi menurut Mardjono Reksodiputro adalah merupakan sebagian


dari “white collar criminality”. Istilah “white collar criminality” dilontarkan di Amerika
Serikat dalam Tahun 1939 dengan batasan “suatu pelanggaran hukum pidana oleh
seseorang dari kelas sosial ekonomi atas, dalam pelaksanaan kegiatan jabatannya”.
“white collar criminality” tersebut dianggap sebagai akar dari tindak pidana (kejahatan)
korporasi.

Marshall B. Clinard mengatakan bahwa kejahatan korporasi adalah kejahatan kerah


putih, naumun ia tampil dalam bentuk yang lebih spesifik, terorganisir dalam konteks
hubungan yang lebih kompleks dan mendalam antara seorang pimpinan eksekutif,
manager dalam satu tangan, atau merupakan perusahaan kerluarga. Marshall B. Clinard
juga mengatakan “a corporate crime is any act commited by corporations that is
punished by the state regardless of whether it is punished under administrative, civil or
criminal law”, (kejahatan korporasi adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh dan
untuk kepentingan korporasi yang sanksi atau hukumannya ditentukan oleh Negara baik
melalui hukum administrasi, perdata ataupun pidana).

Kejahatan (tindak pidana) korporasi merupakan perilaku korporasi yang tidak sah dalam
bentuk pelanggaran hukum kolektif dengan tujuan untuk mencapai tujuan organisasi,
yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:

a. Kejahatan (tindak pidana) tersebut sulit dilihat (low visibility) karena biasanya
tertutup oleh kegiatan pekerjaan normal yang rutin, melibatkan keahlian profesional
dan sistem organisasi yang kompleks;
b. Kejahatan (tindak pidana) tersebut sangat kompleks, karena selalu berkaitan
dengan kebohongan, penipuan dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan
sesuatu yang ilmiah, teknologi, finansial, legal, terorganisasi, melibatkan banyak
orang serta berjalan bertahun-tahun;
c. Terjadinya penyebaran tanggung jawab (diffusion of responsibility) yang semakin
luas akibat kompleks organisasi;
d. Penyebaran korban yang luas (diffusion of victimization), seperti polusi, penipuan
konsumen dan sebagainya;
e. Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan (detection and prosecution)
sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum
dan pelaku tindak pidana;
f. Peraturan yang tidak jelas (ambiquous laws), yang sering menimbulkan keraguan
dalam penegakkan hukum. Dalam bidang hukum ekonomi, hal semacam ini sangat
dirasakan, misalnya sebagai akibat deregulasi;
g. Ambiquitas (sikap mendua) terhadap status pelaku tindak pidana. Dalam tindak
pidana korporasi, secara jujur harus diakui bahwa pelaku tindak pidana bukanlah
orang yang secara moral salah (mala per se), tetapi karena melanggar peraturan
yang dibuat pemerintah untuk melindungi kepentingan umum (mala prohibita).

Korporasi (badan hukum) yang melakukan kegiatan usahanya secara melawan hukum
secara pidana dapat dikategorikan telah melakukan tindak pidana di bidang
perekonomian, yang berkaitan erat dengan masalah keuangan/perbankan dan kolusi
serta korupsi. Bahkan apabila tindakan korporasi melakukan kejahatan yang telah
melewati batas teritorial, akan terkait dengan masalah-masalah tindak pidana
penyelundupan, yang termasuk masalah/kasus kepabeanan karena menyangkut lalu
lintas perdagangan ekspor-impor.

Kegiatan usaha dari korporasi yang diwakili oleh organnya adalah berupa transaksi jual
beli, pemberian jasa angkutan barang, pengadaan/pemesanan barang, peminjaman
dana/modal, dan lain-lain yang semuanya bersangkutan dengan kegiatan
perekonomian. Permasalahan-permasalahan korporasi dalam menjalankan kegiatan
usahanya dapat dikategorikan menjadi kejahatan (tindak pidana) korporasi karena
dalam tindakannya telah dianggap melakukan perbuatan/melanggar hukum oleh pihak
lain yang dirugikan dan menjadi korban.

e. Pertanggungjawaban Pidana oleh Korporasi/Badan Hukum

Sehubungan dengan masalah pertanggungjawaban pidana, Barda Nawawi Arief


menyatakan bahwa untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih
dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan lebih
dahulu siapa yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Masalah ini
menyangkut madalah subjek tindak pidana yang pada umumnya sudah dirumuskan
oleh pembuat undang-undang untuk tindak pidana yang bersangkutan. Setelah
pembuat ditentukan, maka selanjutnya ditentukan mengenai bagaimana
pertanggungjawabannya. Masalah pertanggungjawaban pidana ini merupakan segi lain
dari subjek tindak pidana yang dapat dibedakan dari masalah si pembuat (yang
melakukan tindak pidana), artinya, pengertian subjek tindak pidana dapat meliputi dua
hal, yaitu siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan. Pada umumnya yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana adalah si pembuat, tetapi tidaklah selalu demikian. Masalah ini
tergantung juga pada cara atau sistem perumusan pertanggungjawaban yang ditempuh
oleh pembuat undang-undang.

Pertanggungjawaban pidana kepada badan hukum/korporasi akan menjadi masalah


dalam menentukan “mens rea” yang merupakan syarat dipidananya yang melakukan
tindak pidana, karena persyaratan pemidanaan harus memenuhi ketentuan “actus
reus” dan “mens rea”. Permasalahan pertanggungjawaban korporasi/badan hukum
sebagai subjek hukum pidana dikarenakan dalam perundang-undangan ada
“kemungkinan yang berbeda” tentang yang melakukan tindak pidana dan yang dapat
memepertanggungjawabkannya.

Berhubungan dengan hal itu, Sudarto mengatakan, dipidananya seseorang tidaklah


cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum
atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik
dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objektive breach of a penal provision),
namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk
pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu
mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Dengan perkataan lain, orang
tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari
sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Di sini
berlaku apa yang disebut asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (keine strafe ohne schuld
atau geen straf zonder schuld atau mulla poena sine culpa). Selanjutnya, Sudarto
menyatakan bahwa untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat.

Hal tersebut sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), yang
menyebutkan:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya”.

Berdasarkan uraian mengenai pengertian kesalahan di atas, dapat dikatakan bahwa


kesalahan adalah dasar untuk pertanggungjawaban pidana. Kesalahan merupakan
keadaan jiwa dari si pembuat dan hubungan batin antara si pembuat dengan
perbuatannya. Adanya kesalahan pada seseorang, maka orang tersebut dapat dicela.
Mengenai keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan perbuatan merupakan apa yang
lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab, sedangkan hubungan batin
antara si pembuat dan perbuatannya itu merupakan kesengajaan, kealpaan, serta
alasan pemaaf.
Sekarang yang menjadi permasalahan ialah bagaimanakah pengaruh asas
kesalahan dalam mempertanggungjawabkan suatu badan hukum/korporasi
sebagai pelaku tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga badan
hukum/korporasi tidak terdapat jiwa sebagaimana manusia memiliki jiwa
(menselijke psyche) dan unsur-unsur psikis (de psychische bestanddelen)
dapat dikatakan memiliki kesalahan.

Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang
dikemukakannya, yaitu, badan-badan bisa didapatkan kesalahan bila kesengajaan atau
kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak
bersifat individual, karena hal itu mengenai badan sebagai kolektivitet. Dapatlah kiranya
kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya.
Selain daripada itu, cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan
karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima
keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan
pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena
mungkin hal itu melampaui kemampuannya.

Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada
korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai
kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk
korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi
itu sendiri.

Suprapto, Van Bemmelen, maupun Remmelink mengakui bahwa korporasi tetap dapat
mempunyai kesalahan dengan konstruksi bahwa kesalahan tersebut diambil dari para
pengurusnya atau anggota direksi. Dengan konstruksi yang demikian, maka dalam hal
ini asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tetap berlaku, sepanjang dilakukan oleh
pengurus, sehingga kalau suatu tindak pidana benar-benar dilakukan oleh korporasi
(pembuat fiktif), maka asas “tiada pidana tanpa kesalahan” tidak berlaku.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa badan


hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan apabila
badan hukum/korporasi tersebut mempunyai kesalahan, dimana kesalahan badan
hukum/korporasi tersebut diambil dari kesalahan yang dilakukan oleh para pengurus
atau anggota direksi badan hukum/korporasi tersebut.

Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh doktrin pertanggungjawaban pidana “strict
liability” dan “vicarious liability” yang pada merupakan penyimpangan dari asas
kesalahan.

Doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat) menyebutkan bahwa seseorang sudah
dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang
itu tidak ada kesalahan (mens rea). Doktrin ini secara singkat diartikan sebagai “liability
without fault” (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan). Sementara doktrin
vicarious liability merupakan suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan
kepada seseorang atas perbuatan orang lain (the legal responsibility of one person for
the wrongful acts of another). Sehingga dalam pengertian vicarious liability ini dikatakan
walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai
kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.

f. Badan Hukum/Korporasi dari Perspektif Tindak Pidana Korupsi

Berbicara mengenai tindak pidana badan hukum/korporasi, maka tidak dapat dilepas
dari organized crime karena para pelakunya dalam aktivitasnya terdapat korelasi yang
erat yang berorientasi dalam basis organisasi korporasi, yang mempunyai tata kerja
yang dominan dalam mencapai tujuan korporasi. Organized crime melibatkan beberapa
orang yang terkoordinasi secara sturuktural dan memiliki keahlian tertentu untuk
memperoleh keuntungan ekonomi (economic gain). Oleh karenanya corporate crime ini
dengan sendirinya tergolong juga economic crime.

Badan usaha sebagai korporasi merupakan wadah kegiatan organisasi bisnis yang dapat
dijadikan wahana untuk melakukan kejahatan oleh para eksekutif korporasi tersebut.
Dalam proses penegakkan hukum (law enforcement) terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh badan-badan usaha sebagai badan hukum/korporasi, maka kita
dihadapapkan pada 2 (dua) masalah pokok, yaitu:
a. Masalah pertanggung jawaban pidana dari lembaga sebagai badan
hukum/korporasi; dan
b. Sistem pemidanaan terhadap lembaga sebagai badan hukum/korporasi.

Kedua masalah ini belum diatur secara eksplisit dalam perundang-undangan, namun
karena secara fisik kegiatan badan hukum/korporasi diwakili oleh satu atau beberapa
eksekutif, maka, secara teoretis, bila badan hukum/korporasi melakukan kegiatan tindak
pidana (kejahatan) adalah merupakan manifestasi dari para eksekutif badan
hukum/korporasi tersebut.

Dalam hal badan hukum/korporasi melakukan tindak pidana (kejahatan) yang


hakikatnya adalah korupsi, dalam praktiknya dikenal 2 (dua) bentuk korupsi, yaitu:

1. Administrative Corruption,

Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum/peraturan


yang berlaku, akan tetapi ada individu-individu tertentu yang berupaya
memanfaatkan untuk memperkaya diri atau mencari keuntungan dari situasi yang
ada. Sebagai contoh dalam pelaksanaan pelelangan, seakan-akan sudah sesuai
dengan aturan, padahal pemenang lelang sudah ada dan sudah ditentukan terlebih
dahulu, meski kemudian tetap diumumkan.

2. Against The Rule of Corruption

Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum, seperti


penerima suap, pemerasan, memperkaya atau menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan hukum/korporasi lain secara melawan hukum atau
dengan perbuatan penyalahgunaan jabatan.

(World Bank, World Development Report – The State in Changing World, Washington
DC, World Bank, 1997)
Demikian pula dengan sistem pemidanaannya, sulit untuk menentukan sanksi pidana
yang tepat untuk badan hukum/korporasi, karena tentunya pidana penjara atau pidana
mati tidak mungkin dikenakan pada badan hukum/korporasi.

Pasal 20 UU ayat (7) Tindak Pidana Korupsi pada pokoknya menentukan bahwa dalam
tindak pidana korupsi selain terhadap pengurus maka terhadap badan hukum/korporasi
tersebut dapat dilakukan penuntutan dan dijatuhi pidana sepanjang tindak pidana
korupsi tersebut dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum/korporasi hanya
dengan pidana pokok berupa pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana
ditambah 1/3 (satu per tiga), sedangkan untuk pengembalian kerugian negara
menggunakan instrumen hukum tambahan. Namun selain hal-hal yang telah ditentukan
dalam Pasal 20 ayat (7) UU Tindak Pidana Korupsi tersebut, selama ini belum
ditemukan ketentuan hukum acara yang mengatur mengenai kedudukan badan
hukum/korporasi sebagai tersangka atau terdakwa baik dalam tahap penyidikan
menyangkut pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) tersangka maupun dalam
tahap penuntutan menyangkut identitas terdakwa, mengingat Pasal 143 ayat (2) huruf
a KUHAP hanya mengakomodir identitas orang sebagai subjek hukum dalam tindak
pidana.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut, maka terhadap badan hukum/korporasi yang


diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa dalam tindak pidana korupsi tetap
mengacu kepada ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dengan beberapa
kekhususan seperti:

1. Kriteria badan hukum/korporasi yang dapat dijadikan tersangka dalam tindak pidana
korupsi adalah badan hukum/korporasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1
angka 1 jo. Pasal 20 ayat (2) UU Tindak Pidana Korupsi, yaitu tindak pidana korupsi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan
hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam
lingkungan badan hukum/korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri maupun bersama.

2. Mendudukkan badan hukum/korporasi sebagai tersangka dalam tindak pidana


korupsi, bukan berarti meniadakan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
pengurusnya, akan tetapi pertanggungjawaban pidana terhadap badan
hukum/korporasi tersebut harus dipandang sebagai perluasan pertanggungjawaban
pidana dalam tindak pidana korupsi (bandingkan dengan Pasal 20 ayat (1) UU
Tindak Pidana Korupsi). Oleh karenanya dalam pemberkasan dengan tersangka
badan hukum/korporasi, tidak dapat digabung dengan tersangka orang sebagai
subjek hukum terkait dengan ajaran pernyertaan, maliankan harus dipisah (split)
dan tidak dalam kerangka ajaran penyertaan.

3. Pasal 20 ayat (3) dan ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi menentukan:

“dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi tersebut diwakili oleh
pengurus”.

“Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat
diwakili oleh orang lain”.

Dari ketentuan tersebut, sedapat mungkin dalam proses penyidikan, BAP Tersangka
dapat diterangkan oleh pengurus yang memperoleh kuasa sesuai dengan ketentuan
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga dari korporasi yang bersangkutan. Namun
demikian keberadaan BAP Tersangka dengan tersangka badan hukum/korporasi
tidak mutlak, mengingat:

3.1. Pasal 20 ayat (4) UU Tindak Pidana Korupsi memungkinkan pengurus yang
memperoleh kuasa dapat diwakili oleh orang lain sehingga orang lain yang
mewakili pengurus tersebut belum tentu dapat mengetahui materi perkara
yang disangkakan terhadap korporasi tersebut.
3.2. Ada kemungkinan baik pengurus maupun orang lain yang mewakili korporasi
menolak memberikan keterangan dalam BAP, karena pengurus tersebut atau
orang lain yang mewakili pengurus/ korporasi tersebut bukan merupakan
tersangka sesungguhnya dalam hal korporasi berkedudukan sebagai
tersangka.
3.3. Kemungkinan terjadi pergantian pengurus atau orang lain yang memperoleh
kuasa untuk mewakili korporasi selama dalam proses perkara berlangsung.
3.4. Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP hanya mengenal alat bukti keterangan
terdakwa (tersangka dalam tahap penyidikan) dan tidak mengenal alat bukti
keterangan korporasi atau keterangan pengurus.

4. Dalam proses penyidikan mutlak dan harus dilakukan penyitaan terhadap Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga badan hukum/korporasi yang menjadi tersangka
guna memperoleh identitas badan hukum/korporasi yang bersangkutan untuk
dicantumkan secara lengkap baik di dalam resume maupun sampul berkas perkara,
dimana identitas tersebut yang akan diadopsi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam
pembuatan Surat Dakwaan yang sekurang-kurangnya memuat identitas:
4.1. Nama badan hukum/korporasi yang diwakili oleh pengurusnya;
4.2. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi:
a. Nomor dan tanggal akta pendirian badan hukum/korporasi;
b. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi pada saat peristiwa
pidana;
c. Nomor dan tanggal akta badan hukum/korporasi perubahan terakhir.
4.3. Kedudukan/Status pendirian;
4.4. Bidang usaha badan hukum/korporasi.

Sedangkan hal-hal lain yang dianggap relevan dapat dicantumkan sesuai kebutuhan
untuk pembuktian perkara sebagai pengganti identitas terdakwa yang disyaratkan
secara formil oleh Pasal 143 ayat (2) KUHAP.

5. Tuntutan hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti tidak


dapat diterapkan terhadap badan hukum/korporasi sebagai terdakwa, jika hukuman
tambahan berupa kewajiban pembayaran uang pengganti dapat (subsidair) diganti
dengan pidana penjara berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Tindak Pidana
Korupsi, sedangkan pidana korupsi hanya pidana denda tanpa dapat diganti
(subsidair) dengan hukuman badan. Dengan demikian hukuman tambahan yang
dapat diterapkan terhadap terpidana badan hukum/korporasi selain yang telah diatur
dalam KUHP adalah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a,
huruf c dan huruf dUU Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
5.1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut (huruf a);
5.2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun (huruf c);
5.3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana (huruf d).

D. Putusan Pengadilan atas Tindak Pidana Korupsi oleh Badan


Hukum/Korporasi

Selama ini sejak badan hukum/korporasi diposisikan sebagai subjek hukum oleh UU
Tindak Pidana Korupsi, baru 1 (satu) perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka,
terdakwa dan terpidana badan hukum/korporasi, PT Giri Jaladhi Wana (“PT GJW”)
di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin,
yaitu Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9
Juni 2011 (“Putusan No. 812”).

Adapun dakwaan perkara Tindak Pidana Korupsi dengan tersangka, terdakwa dan
terpidana badan hukum/korporasi PT GJW di Banjarmasin, Kalimantan Selatan yang
disidangkan di Pengadilan Negeri Banjarmasin tersebut, yaitu:

Primair:

Bahwa Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP
karena telah merugikan keuangan negara cq. Pemerintah Kota Banjarmasin sebesar Rp.
1.332.361.516,- (satu milyar tiga ratus tiga puluh dua juta tiga ratus enam puluh satu
ribu lima ratus enam belas Rupiah) berdasarkan perhitungan BPKB Perwakilan Provinsi
Kalimantan Selatan No.: S-1911/PW.16/5/2008 tanggal 19 Mei 2008 dan PT Bank
Mandiri, Tbk sebesar Rp. 199.536.064.675,65 (seratus sembilan puluh sembilan milyar
lima ratus tiga puluh enam juta enam puluh empat ribu enam ratus tujuh puluh lima
koma enam puluh lima Rupiah).

Subsidair:

Bahwa terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi diancam pidana dalam Pasal 3
jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Tuntutan pidana (requisitor) Jaksa Penuntut Umum tanggal 7 Maret 2011 sama dengan
Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:
812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011, yang menyatakan:

1. Terdakwa PT Giri Jaladhi Wana sebagai korporasi telah terbukti bersalah melakukan
beberapa perbuatan tindak pidana korupsi yang berhubungan sedemikian rupa
sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan berlanjut melanggar Pasal 2
ayat (1) jo. Pasal 18 jo. Pasal 20 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP sebagaimana dalam dakwaan primair;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana denda
sebesar Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah);
3. Menjatuhkan pidana tambahan berupa penutupan sementara PT Giri Jaladhi Wana
selama 6 (enam) bulan;
4. Menyatakan barang bukti .... dirampas untuk negara guna diperhitungkan untuk
pembayaran uang pengganti dalam perkara pengadilan ST. Widagdo.

Kemudian Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam putusannya No.:


04/PID.SUS/2011/PT.Bjm tanggal 10 Agustus 2011 menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Banjarmasin Nomor: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal 9 Juni 2011 yang
dimintakan banding tersebut, dengan perbaikan sekedar mengenai besarnya denda,
sehigga berbunyi sebagai berikut:

• Menjatuhkan pidana kepada terdakwa PT Giri Jaladhi Wana dengan pidana


denda sebesar Rp. 1.317.782.129,- (satu milyar tiga ratus tujuh belas juta tujuh
ratus delapan puluh dua ribu seratus dua puluh sembilan Rupiah).
Dalam perkara ini oleh pengadilan justru pengurus korporasi, yaitu terpidana ST.
Widagdo, yang dihukum membayar uang pengganti bukan korporasinya dan dalam
pertimbangannya, meminjam pendapat ahli yaitu Sutan Remy Sjahdeini, pengadilan
memandang bahwa kegiatan PT Giri Jaladhi Wana merupakan kegiatan intra vires yaitu
perbuatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan korporasi sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasarnya, maka perbuatan pengurus tersebut dapat dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi, karena:

1. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi maupun
di dalam struktur organisasi korporasi yang memiliki posisi sebagai direkting mind
dari korporasi;
2. Tindak pidana tersebut dilakukan dalam rangka, maksud dan tujuan korporasi;
3. Tindak pidana dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam
rangka tugasnya dalam korporasi;
4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
korporasi;
5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf
untuk dibebaskan dari pertanggungan jawab pidana;

Proses hukum atas perkara tersebut hanya sampai pada tingkat Judex Facti (Pengadilan
Negeri / Pengadilan Tinggi) saja, tidak berlanjut sampai kepada tingkat Judex Juris
(MA). Walaupun demikian putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde) dan dapat diikutin oleh pengadilan dan menjadi acuan atau
rujukan bagi penegakkan hukum lainnya.

E. Apakah PT Indoguna Utama (“PT IGU”) Sebagai Badan Hukum/Korporasi


Dapat Dipertanggungjawabkan Secara Pidana Terhadap Tindak Pidana
Sebagaimana Yang Tercantum Dalam UU Tindak Pidana Korupsi?
Sebelum membahas mengenai pertanyaan di atas, maka terlebih dahulu dipaparkan
mengenai fakta-fakta yang mendukung untuk menjawab pertanyaan di atas
dihubungkan dengan pembahasan-pembahasan sebagaimana yang terurai dalam uraian
di atas.

Adapun fakta-fakta sebagaimana disebutkan di atas adalah:

• PT IGU adalah badan hukum yang usahanya, salah satunya, bergerak dalam
bidang perdagangan daging sapi di Indonesia. Daging sapi yang diperdagangkan
tersebut di import oleh PT IGU dari Luar Negeri, seperti Australia, Amerika dll;
• Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya Abdi Effendy alias Dio
(Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA
dari PT IGU), telah didakwa, oleh Jaksa Penuntut Umum pada Komisi
Pemberantasan Korupsi (“KPK”), melakukan atau turut serta melakukan
perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu, yaitu memberi uang
sejumlah Rp. 1.300.000.000,- (satu milyar tiga ratus juta Rupiah) dari seluruh
uang yang dijanjikan sejumlah Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar
Rupiah), kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
• Penyelenggara yang dimaksud adalah Luthfi Hasan Ishaaq (“LHI”), selaku
anggota Komisi I DPR RI untuk periode 2009 – 2014 dari Fraksi Partai Keadilan
Sosial (PKS) dan juga sebagai Presiden Partai Keadilan Sosial untuk periode
2010 - 2013;
• Pemberian uang tersebut dilakukan melalui Ahmad Fathanah, dengan maksud
supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, agar LHI menggunakan
kedudukannya untuk mempengaruhi pejabat Kementerian Pertanian Republik
Indonesia dalam rangka proses pemberian persetujuan (rekomendasi) terkait
permohonan kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013;
• Permohonan Kuota Impor Daging Sapi Tahun 2013 tersebut diajukan oleh PT
IGU, PT Sinar Terang Utama, PT Nuansa Guna Utama, CV Cahaya Karya Indah
dan CV Surya Cemerlang Abadi;
• Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013 (“Putusan”) telah
menyatakan Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara masing-masing selama 2 (dua)
tahun 3 (tiga) tiga bulan;
• Terhadap Putusan tersebut, ternyata, Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard
Effendi tidak melakukan upaya hukum banding, sehingga Putusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde);
• Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Direktur Utama dari PT
IGU, pada tanggal 13 Mei 2014, oleh Majelis Hakim Pengadilan TIPIKOR telah
divonis dua tahun dan tiga bulan penjara serta didenda sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta Rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan;

Dari fakta-fakta sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatkah PT IGU sebagai badan
hukum/korporasi dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap tindak pidana korupsi
sebagai mana tercantum dalam UU Tindak Pidana Korupsi?

Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka dapat disebutkan hal-
hal sebagai berikut:
• PT IGU adalah merupakan badan hukum dan dapat dianggap sebagai subjek hukum,
dikarenakan PT IGU dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala
tindakan hukum dengan segala risiko yang timbul. Sehingga PT IGU tersebut dapat
menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya di
muka pengadilan;

• Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 1 Maret 1969, Nomor:


136/Kr/1966 dalam perakara PT Kosmo dan PT Sinar Sahara, yang menyatakan
bahwa badan hukum/korporasi merupakan subjek hukum dalam hukum pidana,
sehingga PT IGU merupakan badan hukum yang termasuk pula sebagai subjek
hukum dalam hukum pidana;

• Korporasi/badan hukum dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana yaitu apabila
orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja dalam lingkungan badan
usaha/korporasi dan orang-orang yang berdasarkan hubungan lain dalam lingkungan
korporasi melakukan suatu tindak pidana.

PT IGU dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana korupsi, dikarenakan, Arya
Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi
(Direktur HRD dan GA dari PT IGU) serta Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari
PT IGU), telah dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

• Badan hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan


apabila badan hukum/korporasi tersebut mempunyai kesalahan, dimana kesalahan
badan hukum/korporasi tersebut diambil dari kesalahan yang dilakukan oleh para
pengurus atau anggota direksi badan hukum/korporasi tersebut.

PT IGU dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana korupsi


dikarenakan PT IGU telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini
diambil dari kesalahan Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Abdi
Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur
HRD dan GA dari PT IGU) yang telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi
berdasarkan Putusan. Putusan terhadap Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional
dari PT IGU) dan H. Juard Effendi (Direktur HRD dan GA dari PT IGU) telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dikarenakan, terhadap
Putusan tersebut, Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, tidak melakukan
upaya hukum banding.

Pertanyaan selanjutnya adalah: “seandainya PT IGU ditetapkan sebagai tersangka


atas dugaaan tindak pidana korupsi, kapan pemeriksaan terhadap PT IGU dapat
dilakukan?”

Van Bemmelen dan Remmelink, sehubungan dengan kesalahan yang terdapat pada
korporasi menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota
direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai
kesengajaan bersyarat dan kesalahan ringaan dari setiap orang yang bertindak untuk
korporasi itu, jika dikumpulkan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi
itu sendiri

Terhadap pertanyaan tersebut dikaitkan dengan pendapat Van Bemmelen dan


Remmelink di atas, maka ada 2 (dua) kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1. Pemeriksaan terhadap PT IGU sebagai tersangka sudah dapat dilakukan.

Hal ini dikarenakan Maria Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU), Arya
Abdi Effendy alias Dio (Direktur Operasional dari PT IGU) dan H. Juard Effendi
(Direktur HRD dan GA dari PT IGU), dalam Putusan, dinyatakan telah terbukti
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan Putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dikarenakan Arya
Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi, tidak melakukan upaya hukum
banding.

2. Pemeriksaan terhadap PT IGU sebagai tersangka dilakukan setelah Maria


Elizabeth Liman (Direktur Utama dari PT IGU) dinyatakan terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde).

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam kajian ini adalah:

• Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)


• Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
• Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun (“UU Tindak
Pidana Korupsi”);
• 1 Undang-Undang Normor 1 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbata (“UU PT”);
• Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU
Kekuasaan Kehakiman”);
• Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
(“UU TPE”)
• Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Revisi, Prof. Dr. Muladi, S.H., Prof.
DR. Dwidja Priyatno, S.H., M.H., Kencana, 2012;
• HUKUM KORPORASI, Penegakkan Hukum Terhadap Pelaku Economic Crimes
dan Perlindungan Abuse of Power, Dr. Etty Utju R. Koesoemahatmadja, S.H.,
M.H., Ghalia Indonesia, 2011;
• Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), Prof.
Dr. Muladi, S.H., Dr. Diah Sulistyani RS, S.H., C.N., M.Hum., Alumni, Bandung,
2013;
• Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi
Kedua, R. Wiyono, S.H., Sinar Grafika, 2009;
• Makalah Penegakkan Hukum Kejahatan Korporasi Di Indonesia oleh Prof. Dr.
Marwan Effendy, S.H., Jaksa Agung Muda Pengawasan. Disampaikan pada
Seminar Hukum Tentang Multidisipliner Kriminalisasi Tindakan & Kebijakan
Korporasi, diselenggarakan oleh Iluni FH UI, Hotel Le Meridien, Mei 2013;
• Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di Indonesia, Dr.
Sulistiowati, S.H., M.Hum., Erlangga, 2010;
• ECONOMIC APPROACH to LAW, Dr. Fajar Sugianto, S.H., M.H., Kencana, 2013;
• KORUPSI dan PENEGAKAN HUKUM, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.,
Diadit Media, 2009;
• KORUPSI dan PERMASALAHANNYA, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H.,
Diadit Media, 2012;
• Perluasan Penyertaan Dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut UNCATOC 2000
dan UNCAC 2003, Dr. Mia Amiati Iskandar, S.H., M.H., Referensi (GP Press
Group), 2013;
• Dikotomi Terminologi Keuangan Negara Dalam Perspektif Tindak Pidana
Korupsi, D. Andhi Nirwanto, Aneka Ilmu, 2013;
• Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.: 812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm tanggal
9 Juni 2011;
• Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Nomor: 19/Pid.Sus/TPK//2013/PN.Jkt.Pst tanggal 1 Juli 2013.

Anda mungkin juga menyukai