Anda di halaman 1dari 22

Biodata Sultan Ageng Tirtayasa

Nama lengkap : Sultan Ageng Tirtayasa (Abu al-Fath Abdulfattah)

Lahir: 1631, Banten


Meninggal: 1695, Jakarta
Masa Pemerintahan : 1651–1683
Anak Sultan Ageng Tirtayasa : Haji dari Banten, Arya Purbaya,
Raden Muhsin, LAINNYA
Orang Tua: Ratu Martakusuma (ibu), Abdul Ma’ali Ahmad (ayah).
Biografi dan Profil Sultan Ageng Tirtayasa

Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631.
Sejak kecil beliau memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah
Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad
yang merupakan sultan Banten dan ibunya bernama Ratu Martakusuma.

Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon
melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati merupakan
pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa,
Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.

Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya Sultan
Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta
kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat belum belum menjadi sultan sebab kesultanan
Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul
Qadir.

Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten

Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651, Abdul
Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama
Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi
Sultan Banten, beliau masih sangat muda.

Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya.
Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental
para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi
dalam perang.

Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten mencapai puncak
kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan
juga berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang penting mengapa Kesultanan
Banten ketika itu mencapai puncak kejayaannya adalah hubungan diplomatik yang kuat
antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon,
Indrapura dan Bangka.

Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan
dan pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark
serta Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi
oleh para pedagang-pedagang dari luar seperti Persia, Arab, India, china, melayu serta
philipina.

Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di


Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya
yang ketika itu ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya dengan Cirebon.

Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan Banten dan
Belanda semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda dalam internal
kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui
politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar)
melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.

Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
kepada ia dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta
kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang
didukung oleh VOC Belanda kemudian berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.

Perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa ketika itu mengepung pasukan
Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan
Saint-Martin yang dikirim oleh Belanda datang membantu Sultan Haji.

Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat

Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya di
tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke Batavia dan
dipenjara disana. Di tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Beliau kemudian
dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.

Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng
Tirtayasa pada tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik Indonesia No.
045/TK/Tahun 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga diabadikan sebagai nama salah satu
universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Biodata Sultan Hasanuddin

Nama : Sultan Hasanuddin


Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe
Julukan : Ayam Jantan Dari Timur
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo
Lakuntu (ibu)
Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne,
Karaeng Bonto Majanang, Karaeng Tololo
Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo
Tobo
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali.

Biografi Sultan Hasanuddin

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan
nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga
Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia
di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van
de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan
ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan
Malikussaid yang wafat.

Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai


pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau
juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.

Perjuangan Sultan Hasanuddin

Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya.


Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan
Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai
penghalang mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka.

Reruntuhan Benteng Somba Opu

Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda.
Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang
dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng
Somba Opu.

Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa
yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk
melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang
merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang
masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.

Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka
berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut
berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian dilakukan.

Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin
yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de
Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran
kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika
itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.

VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta
Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga
total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia
menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966.
Pecahnya Perang Makassar

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa
melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang kemudian dikenal
dengan Perang Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667.

Makam Sultan Hasanuddin di Gowa, Sulawesi Selatan

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan
pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat
Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda.

Sultan Hasanuddin Wafat

Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama
dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa
dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja
Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan
oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang
merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan
karaeng Galesong.

Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar
hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten
melawan Belanda.

Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar


Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.

Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni
Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai
nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan.
BIODATA TUANKU IMAM BONJOL

Biodata Tuanku Imam Bonjol


1. Nama : Muhamad Shahab
2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
4. Kebangsaan : Minangkabau
5. Agama : Islam
6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Biografi Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad
Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim
ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-
1802, dia mendapat gelar Malin Basa.

Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih
dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku
Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.

Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815,
dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah
terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.

Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.

Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi
kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai
Sikek.

Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi
melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri.

Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal
dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak (Adat berdasarkan agama).

Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala
jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal
dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi
yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.

3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri
kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah
pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.

Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba
di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat tersebut.

Penghargaan

Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal
6 November 1973.
PANGERAN DIPONEGORO

Biografi Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan


Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di
Yogyakarta. Ibunya Pangeran Diponegoro bernama R.A.
Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri atau selir) yang berasal dari Pacitan.

Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari


kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan
Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja.

Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri,


yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu
Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton.

Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V


(1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi
Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun.

Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda.
Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro

Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang
Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama
lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan
penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit.

Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah,
disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu
Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh
Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka
disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.

Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada
dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan
berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.

Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan
keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia
yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha


menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan
Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku
Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa.

Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap
mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan
membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat
melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro.

Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk
mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk
mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau.

Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat
hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di
Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar
habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah
goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.

Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat
pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah
Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun
lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela
sampai mati.

Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan


Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta
gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan
sayembara pun dipergunakan.

Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan Pangeran Diponegoro

Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830
Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang
masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya
berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de
Kock dari Batavia.

28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa


mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan
itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.

Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April.

Pangeran Diponegoro Wafat

Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para
pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke
Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal
Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.

1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8


Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Biografi Kapitan Pattimura

Asal Usul Pattimura

Ayah Pattimura bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama


Fransina Tilahoi, Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783, di
wilayah bernama Haria di daerah Saparua, Maluku Tengah
menurut versi pemerintah Indonesia.

Pattimura Menurut Para Sejarawan

M. Sapija yang menulis buku mengenai Sejarah Perjuangan


Pattimura (1954), mengatakan bahwa Pattimura lahir di daerah
bernama Hualoy, Seram Selatan, ia menulis :

“…Bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina
(Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahualu. Sahualu bukan nama
orang tetapi nama sebuah negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan – M.
Sapija (1954).

Kemudian sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara punya pendapat lain dalam bukunya yang
berjudul Api Sejarah (2009) mengatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy
atau dalam bahasa Maluku disebut sebagai Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan.

Pattimura menurut Mansyur adalah seorang bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang
ketika itu diperintah oleh Sultan Abdurrahman yang dikenal pula dengan nama Sultan
Kasimillah. Dalam bahasa Maluku disebut

Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar Kapitan adalah pemberian
Belanda. Padahal menurut Sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari
sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis).

Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka,
menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya
dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti.

Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang


dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia
dan suci.

Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia
adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma.

Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah
memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau
kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu
bermula menurut Prof. Mansyur Suryanegara.

Perjuangan Pattimura Melawan Belanda


Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam militer
sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau
Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan

Sebab Perang Pattimura (Perang Maluku)

Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten).

Belanda juga mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan
bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon
dengan Gubenur.

Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan
Inggris berakhir di Maluku. Maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam
artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari
dinas militer.

Akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali
kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan
karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.

Pecahnya Perang Pattimura (Perang Maluku)

Dalam biografi kapitan pattimura diketahui bahwa rakyat Maluku akhirnya bangkit
mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang
melawan penjajah Belanda tahun 1817

Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin
dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi).
Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya.

Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan
membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas
oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.

Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan


Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.

Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang
besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris
Jenderal untuk menghadapi Patimura.

Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng
Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath,
Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.

Pattimura Tertangkap

Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi
hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya
dapat ditangkap.

Dalam biografi kapitan Pattimura diketahui bahwa Pattimura ditangkap oleh pemerintah
Kolonial Belanda di sebuah Rumah di daerah Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di
Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.

Dihukum Gantung

Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan,


Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah
kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya.

Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16


Desember 1817 di depan Benteng Victoria di kota Ambon.

Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan
Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.

Perdebatan Nama Asli Kapitan Pattimura

Banyak yang mengatakan bahwa Pattimura sebenarnya bernama Ahmad Lussy yang
beragama Islam, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa Pattimura lebih dikenal dengan
Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah yang menjadikan perdebatan sampai
sekarang ini.

Untuk meluruskan hal tersebut memang perlu dilakukan penelusuran sejarah tentang asal usul
Pattimura dengan data-data pendukung berupa penelitian yang berasal dari sumber-sumber
yang sifatnya otentik serta faktual.

Lukisan Wajah Asli Pattimura

Sosok diatas merupakan lukisan dari wajah Kapitan Pattimura ketika ia ditangkap oleh
Belanda pada tahun 1817. Lukisan tersebut dibuat oleh Verheul yang merupakan seorang
perwira dan penulis asal Belanda.

Lukisan tersebut ditemukan di KITLV di Leiden, Belanda. Untuk mengetahui lebih jelasnya,
pembaca dapat membaca buku yang berjudul ‘Ini Dia Aslinya Kapitan Pattimura‘ yang
ditulis oleh Luthfi Pattimura dan Kisman Latumakulita sebagai sumber referensi pembaca
sekalian.

Potret wajah Pattimura yang biasa dilihat pada pecahan Uang Seribu konon dibuat setelah
kemerdekaan. Sebenarnya tidak ada yang mengetahui wajah asli dari Pattimura sebab sangat
sedikit sekali dokumentasi mengenai hal tersebut.
Lukisan Pattimura yang biasa kita lihat mungkin hanya rekaan berdasarkan imajinasi oleh
pelukis sesuai dengan karakter atau tipe orang Maluku.

Pattimura pernah berkata :

…Saya katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah beringin besar dan setiap
beringin besar akan tumbang tapi beringin lain akan menggantinya (demikian pula) saya
katakan kepada kamu sekalian (bahwa) saya adalah batu besar dan setiap batu besar akan
terguling tapi batu lain akan menggantinya.

Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Pattimura, pahlawan dari Maluku
yang juga merupakan pahlawan nasional.

Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-
ucapannya, tampak bahwa Pattimura seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut
ancaman maut.

Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Kapitan Pattimura
juga tampak optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh
penulisan sejarah versi pemerintah.

M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan
di ujung maut itu dengan :

Pattimura-Pattimura tua boleh dihancurkan, tetapi kelak Pattimura-Pattimura


muda akan bangkit”

Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas
karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya
zaman itu. Di bagian lain, Sapija menafsirkan,

Selamat tinggal saudara-saudara”, atau “Selamat tinggal tuang-tuang”

Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang
patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad
Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen.
Dan Inilah yang menjadi perdebatan sejarah hingga sekarang ini.
Biografi I Gusti Ketut Jelantik Pahlawan Bali

Berikut ini Kisah tentang I Gusti Ketut Jelantik .


Pertengahan abad 19, Belanda berusaha mewujudkan
wilayah kekuasaannya di seluruh nusantara. Untuk itu,
Belanda berupaya menguasai seluruh wilayah Bali. Pada
tahun 1843, Belanda telah mampu memengaruhi beberapa
raja di Bali untuk bekerja sama dengannya, termasuk
meminta penghapusan Hukum Tawan Karang. Saat itu,
Raja Buleleng pun terpaksa menandatangani kesepakatan
tersebut.

Satu tahun kemudian, sebuah kapal Belanda terdampar di


pantai wilayah Buleleng. Belanda memaksa raja
mengembalikannya serta meminta pengakuan raja atas
kekuasaan Belanda. I Gusti Ketut Jelantik sebagai patih
kerajaan (diangkat tahun 1828) sangat marah. I Gusti Ketut
Jelantik pun menyatakan tidak akan pernah mengakui kekuasaan Belanda selama masih
hidup. Pada tahun 1845, kembali sebuah kapal terdampar di wilayah Buleleng. Penolakan
tegas I Gusti Ketut Jelantik untuk mengembalikan kapal tersebut karena sikap Belanda yang
tidak menghargai Kerajaan Buleleng memicu perang. Memang, Belanda sebenarnya
mempermasalahkan kapal yang terdampar ini hanya sebagai dalih untuk melakukan serangan.
Tepat pada Juni 1846, Belanda mengerahkan pasukan besar untuk menyerang Buleleng. Di
akhir Juni, benteng Kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda. Raja dan Patih Jelantik
kemudian mundur ke daerah Jagaraga untuk menyusun pertahanan. Permintaan Belanda
untuk menyerah tidak diabaikan.

Pada tahun 1848, pasukan Belanda menyerang Jagaraga dipimpin Jenderal Van der Wijk.
Dua kali serangan Belanda dapat digagalkan oleh pasukan Buleleng yang dibantu pasukan
dan kerajaan lain di Bali. Akhirnya, pada tahun 1849 Belanda mengerahkan kembali pasukan
besar yang dipimpin Jenderal Michels. Berbekal pemahaman mengenai kondisi Jagaraga dan
pertempuran sebelumnya, Belanda berhasil memenangi pertempuran. I Gusti Ketut
Jelantik mundur ke Pegunungan Batur Kintamani. I Gusti Ketut Jelantik kemudian menuju
Perbukitan Bale Pundak. Belanda yang terus mengejar kembali menyerang sisa pasukan I
Gusti Ketut Jelantik yang melawan hingga beliau gugur dalam pertempuran.

 Tempat/Tgl. Lahir : Bali, Tidak diketahui

 Tempat/Tgl. Wafat : Bali, April 1849

 SK Presiden : Keppres No. 077/TK/1993, Tgl. 14 September 1993

 Gelar : Pahlawan Nasional

Tawan Karang (taban karang) merupakan hukum adat yang berlaku di Bali pada masa silam
dan sudah dikenal sejak abad 10 M. Hukum ini membolehkan raja atau masyarakat wilayah
pesisir untuk menyita kapal seisinya yang terdampar di wilayahnya. Tujuan hukum ini
adalah menjaga wilayah kekuasaan dari masuknya musuh asing.
Biodata R.A Kartini

Nama Lengkap : Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat


Nama lain : R.A Kartini
Tempat dan Tanggal Lahir : Jepara, Jawa Tengah, 21
April 1879
Wafat : Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904
Agama : Islam
Orang Tua : Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat
(Ayah), M.A. Ngasirah (Ibu)
Saudara Kandung : R.M Slamet Sosroningrat, P.A
Sosrobusono, R.A Soelastri, Drs. R.M.P Sosrokartono,
R.A Roekmini, R.A Kardinah, R.A Kartinah, R.M
Muljono, R.A Soematri, R.M Rawito
Suami : K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Anak : Soesalit Djojoadhiningrat

Biografi R.A Kartini

Masa Kecil Kartini

R.A Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara. Nama lengkap Kartini
adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Mengenai sejarah RA Kartini dan kisah
hidup Kartini, ia lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh
gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya.

Kartini dan Keluarganya

Gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah
menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut
tradisi Jawa.

Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang
bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara. Beliau ini merupakan kakek dari R.A
Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala
itu sebagai bupati Jepara

Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru
agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri
Sultan Hamengkubuwono VI. Bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya
berasal dari kerajaan Majapahit.

M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja. Oleh
karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah
dengan bangsawan juga.

Hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden
Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura
ketika itu.
Dalam Biografi R.A Kartini, diketahui ia memiliki saudara berjumlah 10 orang yang terdiri
dari saudara kandung dan saudara tiri.

Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11
bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, R.A Kartini juga berhak memperoleh pendidikan.

Pendidikan R.A Kartini

Mengenai riwayat pendidikan RA Kartini, Ayahnya menyekolahkan anaknya di ELS


(Europese Lagere School). Disinilah ia kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah
disana hingga ia berusia 12 tahun. Sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak
perempuan harus tinggal dirumah untuk ‘dipingit’.

Pemikiran-Pemikiran R.A Kartini Tentang Emansipasi Wanita

Meskipun berada di rumah, R.A Kartini aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-
menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab beliau juga fasih dalam berbahasa
Belanda.

Dari sinilah kemudian, Kartini mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia
baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca.

Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi. Dalam
pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang
cukup rendah kala itu.

R.A Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang
menjadi langganannya yang berbahasa belanda.

Di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang
berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt.

…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa
diperbuat orang atas nama agama itu – R.A Kartini.”

Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa


belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan
Surat-Surat Cinta.

Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang


cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. R.A Kartini memberi perhatian khusus
pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita
pribumi.

Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang
wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.

Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita
pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat
kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu.
Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi
perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju.

Ia menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit. Tidak bebas dalam
menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.

Cita-cita luhur R.A Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu
dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan
hak wanita pribumi. Itu dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan
masyarakat.

Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan
dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan
RA Kartini.

Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki


dapat berpoligami. Dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu
kewajiban untuk memahaminya.

Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle “Stella” Zeehandelaar juga
mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh R.A Kartini.

Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru
sesuai dengan cita-cita. Namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di
Batavia ataupun ke Negeri Belanda.

Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di
Batavia. Ataupun juga kuliah di negeri Belanda. Meskipun ketika itu ia menerima beasiswa
untuk belajar kesana.

Pada tahun 1903 pada saat R.A Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan
K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan
juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri.

Meskipun begitu, suami R.A Kartini ykni K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu.

Sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah
itu berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang
dikenal sebagai Gedung Pramuka.

Pernikahan R.A Kartini Hingga Wafatnya

Dalam Biografi R.A Kartini, diketahui dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario
Singgih Djojo Adhiningrat, R.A Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit
Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904.

Namun miris, beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang pertama, R.A Kartini
kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904. Di usianya yang masih sangat muda yaitu
24 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang.
Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan
Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon
serta daerah lainnya.

Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini” untuk menghormati jasa-jasanya.
Yayasan tersebut milik keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial
Belanda.

Munculnya Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh Kartini.

Banyak perdebatan serta kontrovesi mengenai surat-surat yang ditulis oleh Kartini, sebab
hingga saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya.

Jejak keturunan J.H. Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh Pemerintah Belanda. Banyak
kalangan yang meragukan kebenaran dari surat-surat Kartini.

Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini.
Kecurigaan ini didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda
menjalankan politik etis di Hindia Belanda ketika itu.

J.H Abendanon sendiri termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan
politik etis dan kala itu ia juga menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan
Hindia Belanda ketika itu.

Selain itu penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan.
Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini
saja, namun merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.

Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita lain yang
tidak kalah hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien,
Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.

Menurut sebagian kalangan, wilayah perjuangan Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang
saja, Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial.

Keturunan R.A Kartini Hingga Saat Ini

Seperti diketahui sebelum wafat R.A Kartini mempunyai seorang anak bernama R.M Soesalit
Djojoadhiningrat hasil pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat.

Anak Kartini yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat sempat menjabat sebagai Mayor
Jenderal pada masa kependudukan Jepang.

Ia kemudian mempunyai anak bernama RM. Boedi Setiyo Soesalit (cucu R.A Kartini) yang
kemudian menikah dengan seorang wanita bernama Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit.

Dari hasil pernikahannya tersebut, beliau mempunyai lima orang anak bernama (Cicit R.A
Kartini) yang masing-masing bernama RA. Kartini Setiawati Soesalit, kemudian RM.
Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit,
dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit.
BIOGRAFI DR. SUTOMO

Kelahiran BU sebagai Perhimpunan nasional Indonesia,


dipelopori oleh para pemuda pelajar STOVIA (School tot
Opleiding voor Indische Artsen) yaitu Sutomo, Gunawan,
Suraji dibantu oleh Suwardi Surjaningrat, Saleh,
Gumbreg, dan lain-lain. Sutomo sendiri diangkat sebagai
ketuanya.

Tujuan perkumpulan ini adalah kemajuan nusa dan bangsa


yang harmonis dengan jalan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri,
kebudayaan, mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk
mencapai kehidupan bangsa yang terhormat.

Kemudian kongres peresmian dan pengesahan anggaran dasar BU diadakan di Yogyakarta 5


Okt 1908. Pengurus pertama terdiri dari: Tirtokusumo (bupati Karanganyar) sebagai ketua;
Wahidin Sudirohusodo (dokter Jawa), wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugondo (kedua-
duanya guru Kweekschool), penulis; Gondoatmodjo (opsir Legiun Pakualaman), bendahara;
Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto
Mangunkusumo (dokter di Demak) sebagai komisaris. Sutomo setelah lulus dari STOVIA
tahun 1911, bertugas sebagai dokter, mula-mula di Semarang, lalu pindah ke Tuban, pindah
lagi ke Lubuk Pakam (Sumatera Timur) dan akhirnya ke Malang. Saat bertugas di Malang, ia
membasmi wabah pes yang melanda daerah Magetan.

Ia banyak memperoleh pengalaman dari seringnya berpindah tempat tugas. Antara lain, ia
semakin banyak mengetahui kesengsaraan rakyat dan secara langsung dapat membantu
mereka. Sebagai dokter, ia tidak menetapkan tarif, bahkan adakalanya pasien dibebaskan dari
pembayaran.

Kemudian ia memperoleh kesempatan memperdalam pengetahuan di negeri Belanda pada


tahun 1919. Sekembalinya di tanah air, ia melihat kelemahan yang ada pada Budi Utomo.
Waktu itu sudah banyak berdiri partai politik. Karena itu, ia ikut giat mengusahakan agar
Budi Utomo bergerak di bidang politik dan keanggotaannya terbuka buat seluruh rakyat.

Kemudian pada tahun 1924, ia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan
wadah bagi kaum terpelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit,
koperasi, dan sebagainya. Pada tahun 1931 ISC berganti nama menjadi Persatuan Bangsa
Indonesia (PBI). Di bawah pimpinannya, PBI berkembang pesat. Sementara itu, tekanan dari
Pemerintah Kolonial Belanda terhadap pergerakan nasional semakin keras. Lalu Januari
1934, dibentuk Komisi BU-PBI, yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus-besarnya
pertengahan 1935 untuk berfusi. Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres
terakhir BU, melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA, berlangsung 24-
26 Des 1935. Sutomo diangkat menjadi ketua. Parindra berjuang untuk mencapai Indonesia
merdeka.

Selain bergerak di bidang politik dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang
kewartawanan. Ia bahkan memimpin beberapa buah surat kabar. Dalam usia 50 tahun, ia
meninggal dunia di Surabaya pada tanggal 30 Mei 1938.
Biodata Ki Hajar Dewantara

Lahir: Yogyakarta, 2 Mei 1889


Meninggal: Yogyakarta, 28 April 1959
Dimakamkan: Taman Wijaya Brata, Yogyakarta.
Kebangsaan: Indonesia
Pendidikan: School tot Opleiding van Indische Artsen
Pasangan: Nyi Sutartinah
Buku: Menuju manusia merdeka
Penghargaan: Pahlawan Nasional

Biografi Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Dia berasal dari
lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Sebagai keturunan ningrat, Soewardi kecil
berkesempatan menempuh pendidikan bersama dengan anak-anak bangsa Eropa. Dia
bersekolah di Sekolah Dasar Belanda ELS (Europeesche Lagere School). Setelah itu,
Soewardi melanjutkan pendidikannya ke STOVIA, Sekolah Dokter Bumiputera. Oleh karena
kondisinya yang sering mengalami sakit, dia tidak menamatkan pendidikan dokternya.

Ki Hajar Dewantara terlahir dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Saat
berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, dia mengganti namanya menjadi Ki Hajar
Dewantara. Sejak itu, dia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.
Hal ini dimaksudkan agar dirinya dapat bebas bersosialisasi dengan kalangan rakyat biasa.

Ki Hajar Dewantara adalah orang yang gemar mencari ilmu, meskipun bukan di bangku
sekolah. Ki Hajar Dewantara pernah bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar,
antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja
Timoer, dan Poesara. Ki Hajar Dewantara belajar banyak berbagai ilmu dari profesinya
sebagai wartawan. Dia menjadi salah satu penulis andal. Tulisan-tulisannya sangat
komunikatif, tajam, dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antipenjajahan.
Biografi Singkat Dewi Sartika

Nama : Dewi Sartika


Lahir : 4 Desember 1884
Wafat : 11 September 1947
Pasangan : Raden Kanduruhan Agah Suriawinata
Orangtua : R. Rangga Somanegara (ayah) R. A. Rajapermas (Ibu)

Kelahiran Dewi Sartika

Dewi sartika lahir dari keluarga Priyayi sunda ternama, yaitu R. Rangga Somanegara (ayah)
dan R. A. Rajapermas (Ibu). Ayahnya adalah seorang pejuang kemerdekaan hingga akhirnya
sang ayah dihukum dibuang ke Pulau Ternate oleh pemerintah Hindia Belanda hingga
meninggal disana. Meski pada saat itu melanggar adat istiadat, orang tua Dewi Sartika
bersikukuh menyekolahkannya ke sekolah Belanda.

Kehidupan Dewi Sartika

Sepeninggal Ayahnya, Dewi sartika diasuh oleh Pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagi patih di Cicalengka. Dari pamannya, ia mendapatkan didikan mengenai
adat kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya berkat didikan seorang
nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat menjadi pendidik dan kegigihan untuk
merai kemajuan. Sambil bermain dibelakang gedung kepatihan, ia sering memperagakan
praktik ketika di sekolah. Ia mengajari baca tulis, dan bahasa Belanda kepada anak-anak
pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang dan pecahan genting dijadikannya
sebagai alat bantu belajar.

Anda mungkin juga menyukai