a) Tumor Paru
Gambaran Klinis
Kanker paru tidak memiliki gejala klinis yang khas, tetapi batuk, sesak
napas, atau nyeri dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung
sembuh dengan pengobatan biasa pada pasien “kelompok risiko” harus
ditindaklanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. 1
Gejala yang berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung misalnya
batuk, hemoptisis, nyeri dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala
tersering (60-70%) pada kanker paru. 1
Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura,
efusi perikard, sindrom vena kava superior, disfagia, sindrom Pancoast, dan
paralisis diafragma. Sindrom Pancoast merupakan kumpulan gejala dari
kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang menyebabkan invasi
pleksus brakhial sehingga menimbulkan nyeri pada lengan dan munculnya
sindrom Horner (ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis). 1
Keluhan suara serak menandakan telah terjadinya kelumpuhan saraf atau
gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai
yaitu penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan
menurun, dan demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan
neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika terdapat penyebaran
ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada
kanker yang telah menyebar ke tulang. Gejala lainnya yaitu gejala
paraneoplastik, seperti nyeri muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi,
dan lain-lain. 1
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat
bervariasi tergantung pada letak, besar tumor, dan penyebarannya. Pembesaran
kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah
terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain
juga menjadi petanda penyebaran. Sesak napas dengan temuan suara napas yang
abnormal pada pemeriksaan fisik didapat jika terdapat massa yang besar, efusi
pleura atau atelektasis. Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan
pembengkakan (edema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan
pada vena kava superior (SVKS). Sindrom Horner sering terjadi pada tumor yang
terletak di apeks (Pancoast tumor). Thrombus pada vena ekstremitas, yang
ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem
hemostatis (peningkatan kadar D-dimer), menjadi gejala telah terjadinya
bendungan vena dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat terjadi
pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan
didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang. 1
Anamnesis
Batuk lama, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada, suara serak, sulit/nyeri
menelan yang tidak merespon dengan pengobatan atau penurunan berat badan
dalam waktu singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul, sakit kepala,
nyeri di tulang atau parese, dan pembengkakan atau ditemukannya benjolan di
leher, aksila atau dinding dada. 1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status) penderita yang
menurun, penemuan abnormal pada pemeriksaan fisik paru seperti suara napas
yang abnormal, benjolan superfisial pada leher, ketiak atau dinding dada, tanda
pembesaran hepar atau tanda asites, dan nyeri ketok di tulang. 1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi mencakup pemeriksaan sitologi dan histopatologi,
pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis tumor (mis. TTF-1 dan
lain-lain), dan pemeriksaan petanda molekuler, seperti mutasi EFGR, yang
dilakukan apabila fasilitasnya tersedia 1
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, seperti Hb, leukosit, trombosit, serta fungsi hati, dan
fungsi ginjal. 1
Pemeriksaan Pencitraan 1
Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien dengan
kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi
dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan penanganan
dapat ditentukan. Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang dicurigai sebagai
keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk
mengevaluasi lesi tersebut.
CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosa, menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen paru yang
terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal untuk
menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut. CT scan kepala/MRI
kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh nyeri kepala hebat
untuk menilai kemungkinan adanya metastasis ke otak.
Pemeriksaan lainnya seperti USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV,
bone scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang, bone survey
dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada, dan PET Scan dilakukan untuk
mengevaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan Khusus 1
Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru. Prosedur
ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan tumor
intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dan
histopatologi, sehingga diagnosis dan stadium kanker paru dapat ditentukan.
Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang dapat menilai paru
hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan kadang hingga derajat ke-
enam. Spesimen untuk menghasilkan pemeriksaan sitologi dan histologi didapat
melalui bilasan bronkus, sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat
memberikan hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker
paru dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini yaitu
hipertensi pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia refrakter akibat
pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat berhenti, dan
hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumotoraks dan
perdarahan.
Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan
untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner
juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan
jaringan sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada
CT scan toraks maupun PET CT scan.
Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy/TTB) merupakan tindakan biopsi paru
transtorakal yang dapat dilakukan tanpa tuntunan radiologic (blinded TTB)
maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT scan toraks (CT-
guided TTB) untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru.
Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk pembesaran
kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.
Pemeriksaan Lainnya1
Pleuroscopy dilakukan untuk melihat masalah intrapleura dan menghasilkan
spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas pada cairan pleura yang
dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien kanker paru. Jika hasil sitologi
tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka penilaian ulang atau CT scan toraks
dianjurkan.
Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan spesimen,
terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal, dan torakotomi eksplorasi
dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan semua modalitas lainnya tidak
ditemukan sel ganas.
b) Tuberkulosis Pleura
Gejala klinis yang paling sering adalah batuk (70%), nyeri dada (75%) dan
demam dengan derajat yang rendah hingga tinggi (86%). Gejala TB lain
seperti penurunan berat badan, malaise, keringat malam hari dapat terjadi.
Gejala klinis yang berat berupa demam tinggi yang menetap lebih dari 2
minggu atau kondisi gagal napas dilaporkan terjadi pada 7% kasus. Pleuritis
TB hampir selalu melibatkan salah satu hemitoraks saja (90-95%). 2,3,4
Presentasi klinis nonspesifik dan sifat pausibasiler pada TB pleuritis
merupakan tantangan diagnosis. Diagnosis TB pleuritis bergantung pada
terdapatnya basil tuberkulosis pada sputum, cairan pleura, biopsi pleura
maupun granuloma di pleura pada pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan
N-PCR mempunyai sensitifitas terbaik. Pemeriksaan sputum dan cairan pleura
meningkatkan sensitifitas N-PCR dari 51,7% menjadi 70,6%.2 Metode
konvensional seperti pemeriksaan langsung cairan pleura, biakan cairan pleura
dan biopsi pleura terbukti tidak cukup dalam menegakkan pleuritis TB.
Diagnosis pleuritis TB dapat menggunakan aktifitas adenosine deaminase,
protein cairan pleura, laktat dehidrogenase dan komponen seluler. Penentuan
aktivitas adenosine deaminase, kadar laktat dehidrogenase dan rasio limfosit :
netrofil pada cairan pleura sensitifitasnya mencapai 100% untuk TB pleuritis.
Pasien diduga TB pleuritis jika salah satu dari ketiga tes tersebut menunjukkan
hasil positif dengan spesifisitas 100%. Diagnosis TB pleuritis ditegakkan bila
ketiga pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil positif. Kombinasi
pemeriksaan antara adenosine deaminase dan laktat dehidrogenase
mempunyai sensitifitas 91,4% dan spesifisitas 100%.2,5,6
c) Pneumonia
Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.7
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi. 7
Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. 7
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. 7
DIAGNOSIS EFUSI PLEURA
Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang
ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik
menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut
saraf. Karena dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga
bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan
batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim
paru. 11
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada
sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang
atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru –
paru dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi
didapati beda, dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa
mengalir bebas. Pada auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang
tergantung ukuran efusi. Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi
sebagai akibat dari penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura
dapat dijumpai jika terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai
dari auskultasi sampai cairan terevakuasi. 11
Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik 12
b. USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai
suatu efusi pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan
dan merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat
tidur pasien. USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam
mendiagnosis efusi pleura dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml.
meskipun beberapa hal yang detail hanya bisa terlihat pada CT scan, USG
dapat mengidentifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan cairan dari
penebalan pleura, dan dapat membedakan lesi paru antara yang padat dan
cair. USG juga dapat digunakan untuk membedakan penyebab efusi pleura
apakah berasal dari paru atau dari abdomen. Selain itu USG dapat
dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk identifikasi
cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas atas
efusi pleura. 8, 11
c. CT scan toraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan
temuan foto toraks, tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan
dengan foto toraks biasa untuk mendeteksi efusi pleura yang sangat
minimal dan mudah menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang
terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak samar – samar pada foto toraks
biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang mengalir bebas akan
membentuk seperti bulan sabit dapa daerah paling bawah, sedangkan
penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular dan
relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat
digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa
yang mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang
menyebabkan efusi pleura eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras
intra vena, CT scan toraks dapat membedakan penyakit parenkim paru,
seperti abses paru. Emboli paru juga dapat terdeteksi dengan
menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga berguna dalam
mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan ascites
dari efusi pleura subpulmonik yang terlokalisir. 8, 11
Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks 14
Perkiraan diagnosis
Warna cairan
Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular
Merah (seperti darah)
Hematokrit < 5% Keganasan, BAPE (benign asbestos
pleural effusion), PCIS (post cardiac
injury syndrome), infark paru
Hematokrit cairan pleura/ Trauma
serum ≥0,5
Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena
kolesterol
Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang
sudah berlangsung lama; pecahnya abses
hati amuba ke rongga pleura
Hitam Spora Aspergillus niger
Kuning kehijauan Pleuritis reumatoid
Warna dari selang makanan Selang makanan masuk ke dalam rongga
atau infus vena sentral pleura, perpindahan kateter
ekstravaskular ke mediastinum / rongga
pleura
Karakteristik cairan
Nanah Empiema
Kental Mesotelioma
Debris Pleuritis reumatoid
Keruh Eksudat inflamasi atau efusi lipid
Anchovy paste Pecahnya abses hati amuba
Bau atau cairan busuk Empiema anaerobik
Ammonia Urinotoraks
4) Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan
dengan kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan
metode yang tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di
daerah dengan tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun
torakoskopi dan biopsi jarum dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk
hasil diagnostik yang lebih akurat. 8, 17
5) Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura
eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan
dan dicurigai adanya keganasan. 8. 17