Anda di halaman 1dari 21

Manifestasi Klinis

a) Tumor Paru
Gambaran Klinis

Kanker paru tidak memiliki gejala klinis yang khas, tetapi batuk, sesak
napas, atau nyeri dada (gejala respirasi) yang muncul lama atau tidak kunjung
sembuh dengan pengobatan biasa pada pasien “kelompok risiko” harus
ditindaklanjuti untuk prosedur diagnosis kanker paru. 1
Gejala yang berkaitan dengan pertumbuhan tumor langsung misalnya
batuk, hemoptisis, nyeri dada dan sesak napas/stridor. Batuk merupakan gejala
tersering (60-70%) pada kanker paru. 1
Gejala lain berkaitan dengan pertumbuhan regional, seperti efusi pleura,
efusi perikard, sindrom vena kava superior, disfagia, sindrom Pancoast, dan
paralisis diafragma. Sindrom Pancoast merupakan kumpulan gejala dari
kanker paru yang tumbuh di sulkus superior, yang menyebabkan invasi
pleksus brakhial sehingga menimbulkan nyeri pada lengan dan munculnya
sindrom Horner (ptosis, miosis, hemifacial anhidrosis). 1
Keluhan suara serak menandakan telah terjadinya kelumpuhan saraf atau
gangguan pada pita suara. Gejala klinis sistemik yang juga kadang menyertai
yaitu penurunan berat badan dalam waktu yang singkat, nafsu makan
menurun, dan demam hilang timbul. Gejala yang berkaitan dengan gangguan
neurologis (sakit kepala, lemah/parese) sering terjadi jika terdapat penyebaran
ke otak atau tulang belakang. Nyeri tulang sering menjadi gejala awal pada
kanker yang telah menyebar ke tulang. Gejala lainnya yaitu gejala
paraneoplastik, seperti nyeri muskuloskeletal, hematologi, vaskuler, neurologi,
dan lain-lain. 1
Pada pemeriksaan fisik, tanda yang dapat ditemukan pada kanker paru dapat
bervariasi tergantung pada letak, besar tumor, dan penyebarannya. Pembesaran
kelenjar getah bening (KGB) supraklavikula, leher dan aksila menandakan telah
terjadi penyebaran ke KGB atau tumor di dinding dada, kepala atau lokasi lain
juga menjadi petanda penyebaran. Sesak napas dengan temuan suara napas yang
abnormal pada pemeriksaan fisik didapat jika terdapat massa yang besar, efusi
pleura atau atelektasis. Venektasi (pelebaran vena) di dinding dada dengan
pembengkakan (edema) wajah, leher dan lengan berkaitan dengan bendungan
pada vena kava superior (SVKS). Sindrom Horner sering terjadi pada tumor yang
terletak di apeks (Pancoast tumor). Thrombus pada vena ekstremitas, yang
ditandai dengan edema disertai nyeri pada anggota gerak dan gangguan sistem
hemostatis (peningkatan kadar D-dimer), menjadi gejala telah terjadinya
bendungan vena dalam (DVT). Tanda-tanda patah tulang patologik dapat terjadi
pada kanker yang bermetastasis ke tulang. Tanda-tanda gangguan neurologis akan
didapat jika kanker sudah menyebar ke otak atau tulang belakang. 1
Anamnesis
Batuk lama, batuk berdarah, sesak nafas, nyeri dada, suara serak, sulit/nyeri
menelan yang tidak merespon dengan pengobatan atau penurunan berat badan
dalam waktu singkat, nafsu makan menurun, demam hilang timbul, sakit kepala,
nyeri di tulang atau parese, dan pembengkakan atau ditemukannya benjolan di
leher, aksila atau dinding dada. 1
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup tampilan umum (performance status) penderita yang
menurun, penemuan abnormal pada pemeriksaan fisik paru seperti suara napas
yang abnormal, benjolan superfisial pada leher, ketiak atau dinding dada, tanda
pembesaran hepar atau tanda asites, dan nyeri ketok di tulang. 1
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Pemeriksaan patologi anatomi mencakup pemeriksaan sitologi dan histopatologi,
pemeriksaan imunohistokimia untuk menentukan jenis tumor (mis. TTF-1 dan
lain-lain), dan pemeriksaan petanda molekuler, seperti mutasi EFGR, yang
dilakukan apabila fasilitasnya tersedia 1
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, seperti Hb, leukosit, trombosit, serta fungsi hati, dan
fungsi ginjal. 1
Pemeriksaan Pencitraan 1
Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk menilai pasien dengan
kecurigaan terkena kanker paru. Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi
dan tindakan selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan penanganan
dapat ditentukan. Jika pada foto toraks ditemukan lesi yang dicurigai sebagai
keganasan, maka pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk
mengevaluasi lesi tersebut.
CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosa, menentukan stadium penyakit, dan menentukan segmen paru yang
terlibat secara tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar adrenal untuk
menilai kemungkinan metastasis hingga regio tersebut. CT scan kepala/MRI
kepala dengan kontras diindikasikan bila penderita mengeluh nyeri kepala hebat
untuk menilai kemungkinan adanya metastasis ke otak.
Pemeriksaan lainnya seperti USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV,
bone scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke tulang-tulang, bone survey
dilakukan jika fasilitas bone scan tidak ada, dan PET Scan dilakukan untuk
mengevaluasi hasil pengobatan.
Pemeriksaan Khusus 1
Bronkoskopi adalah prosedur utama untuk mendiagnosis kanker paru. Prosedur
ini dapat membantu menentukan lokasi lesi primer, pertumbuhan tumor
intraluminal dan mendapatkan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dan
histopatologi, sehingga diagnosis dan stadium kanker paru dapat ditentukan.
Salah satu metode terkini adalah bronkoskopi fleksibel yang dapat menilai paru
hingga sebagian besar bronkus derajat ke-empat, dan kadang hingga derajat ke-
enam. Spesimen untuk menghasilkan pemeriksaan sitologi dan histologi didapat
melalui bilasan bronkus, sikatan bronkus dan biopsi bronkus. Prosedur ini dapat
memberikan hingga >90% diagnosa kanker paru dengan tepat, terutama kanker
paru dengan lesi pada regio sentral. Kontraindikasi prosedur bronkoskopi ini yaitu
hipertensi pulmoner berat, instabilitas kardiovaskular, hipoksemia refrakter akibat
pemberian oksigen tambahan, perdarahan yang tidak dapat berhenti, dan
hiperkapnia akut. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumotoraks dan
perdarahan.
Bila tersedia, pemeriksaan Endobrachial Ultrasound (EBUS) dapat dilakukan
untuk membantu menilai kelenjar getah bening mediastinal, hilus, intrapulmoner
juga untuk penilaian lesi perifer dan saluran pernapasan, serta mendapatkan
jaringan sitologi dan histopatologi pada kelenjar getah bening yang terlihat pada
CT scan toraks maupun PET CT scan.
Biopsi transtorakal (transthoracal biopsy/TTB) merupakan tindakan biopsi paru
transtorakal yang dapat dilakukan tanpa tuntunan radiologic (blinded TTB)
maupun dengan tuntunan USG (USG-guided TTB) atau CT scan toraks (CT-
guided TTB) untuk mendapatkan sitologi atau histopatologi kanker paru.
Tindakan biopsi lain, seperti aspirasi jarum halus kelenjar untuk pembesaran
kelenjar getah bening, maupun biopsi pleura dapat dilakukan bila diperlukan.
Pemeriksaan Lainnya1
Pleuroscopy dilakukan untuk melihat masalah intrapleura dan menghasilkan
spesimen intrapleura untuk mendeteksi adanya sel ganas pada cairan pleura yang
dapat merubah stadium dan tatalaksana pasien kanker paru. Jika hasil sitologi
tidak menunjukkan adanya sel ganas, maka penilaian ulang atau CT scan toraks
dianjurkan.
Mediastinoskopi dengan VATS kadang dilakukan untuk mendapatkan spesimen,
terutama penilaian kelenjar getah bening mediastinal, dan torakotomi eksplorasi
dilakukan sebagai modalitas terakhir, jika dengan semua modalitas lainnya tidak
ditemukan sel ganas.

b) Tuberkulosis Pleura
Gejala klinis yang paling sering adalah batuk (70%), nyeri dada (75%) dan
demam dengan derajat yang rendah hingga tinggi (86%). Gejala TB lain
seperti penurunan berat badan, malaise, keringat malam hari dapat terjadi.
Gejala klinis yang berat berupa demam tinggi yang menetap lebih dari 2
minggu atau kondisi gagal napas dilaporkan terjadi pada 7% kasus. Pleuritis
TB hampir selalu melibatkan salah satu hemitoraks saja (90-95%). 2,3,4
Presentasi klinis nonspesifik dan sifat pausibasiler pada TB pleuritis
merupakan tantangan diagnosis. Diagnosis TB pleuritis bergantung pada
terdapatnya basil tuberkulosis pada sputum, cairan pleura, biopsi pleura
maupun granuloma di pleura pada pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan
N-PCR mempunyai sensitifitas terbaik. Pemeriksaan sputum dan cairan pleura
meningkatkan sensitifitas N-PCR dari 51,7% menjadi 70,6%.2 Metode
konvensional seperti pemeriksaan langsung cairan pleura, biakan cairan pleura
dan biopsi pleura terbukti tidak cukup dalam menegakkan pleuritis TB.
Diagnosis pleuritis TB dapat menggunakan aktifitas adenosine deaminase,
protein cairan pleura, laktat dehidrogenase dan komponen seluler. Penentuan
aktivitas adenosine deaminase, kadar laktat dehidrogenase dan rasio limfosit :
netrofil pada cairan pleura sensitifitasnya mencapai 100% untuk TB pleuritis.
Pasien diduga TB pleuritis jika salah satu dari ketiga tes tersebut menunjukkan
hasil positif dengan spesifisitas 100%. Diagnosis TB pleuritis ditegakkan bila
ketiga pemeriksaan tersebut menunjukkan hasil positif. Kombinasi
pemeriksaan antara adenosine deaminase dan laktat dehidrogenase
mempunyai sensitifitas 91,4% dan spesifisitas 100%.2,5,6
c) Pneumonia
Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen
kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.7
b. Pemeriksaan fisik
Temuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada
inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa
palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi
terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin
disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi. 7
Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai
konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan
interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas
menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah
diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering
disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia
sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang
terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus. 7
b. Pemeriksaan labolatorium
Pada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit,
biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis respiratorik. 7
DIAGNOSIS EFUSI PLEURA

Diagnosis efusi pleura ditegakkan melalui beberapa langkah


1) Anamnesis dan pemeriksaan klinis 8,9
Gejala yang ditimbulkan akibat efusi pleura antara lain sesak napas, nyeri
dada yang bersifat pleuritik, batuk, demam, menggigil. Manifestasi klinis efusi
pleura tergantung kepada penyakit yang mendasarinya. Pemeriksaan fisik bisa
normal jika jumlah cairan kurang dari 300 mL. Selanjutnya, jika fungsi
pernapasan dan pengembangan paru dan dinding dada masih normal biasanya
jarang menimbulkan hipoksemia yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh
penurunan ventilasi dan perfusi di saat yang bersamaan di paru yang
mengalami kompresi. 8, 10

Akumulasi cairan di dalam rongga pleura akan menyebabkan gangguan


restriksi dan mengurangi kapasitas total paru, kapasitas fungsional, dan
kapasitas vital paksa. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi disebabkan atelektasis parsial pada area yang bersangkutan, jika
ukuran efusi cukup luas maka akan mempengaruhi kardiak output dengan
menyebabkan ventrikel kolaps diastolik.

Ada tiga gejala yang paling umum dijumpai pada efusi pleura yaitu nyeri
dada, batuk, dan sesak napas. Nyeri dada yang disebabkan efusi pleura oleh
karena penumpukan cairan di dalam rongga pleura. Nyeri dada yang
ditimbulkan oleh efusi pleura bersifat pleuritic pain. Nyeri pleuritik
menunjukkan iritasi lokal dari pleura parietal, yang banyak terdapat serabut
saraf. Karena dipersarafi oleh nervus frenikus, maka keterlibatan pleura
mediastinal menghasilkan nyeri dada dengan nyeri bahu ipsilateral. Nyeri juga
bisa menjalar hingga ke perut melalui persarafan interkostalis. Sedangkan
batuk kemungkinan akibat iritasi bronkial disebabkan kompresi parenkim
paru. 11
Efusi pleura dengan ukuran yang besar dapat mengakibatkan peningkatan
ukuran hemitoraks serta menyebabkan ruang interkostal menggembung pada
sisi yang terjadi efusi. Pada palpasi akan didapati taktil fremitus berkurang
atau menghilang sama sekali disebabkan cairan tersebut memisahkan paru –
paru dari dinding dada dan menyerap getaran dari paru – paru. Pada perkusi
didapati beda, dan akan berubah saat pasien berubah posisi jika cairan bisa
mengalir bebas. Pada auskultasi akan didapati suara napas yang menghilang
tergantung ukuran efusi. Egofoni dapat terdengar di batas paling atas dari efusi
sebagai akibat dari penyebab jaringan paru yang atelektasis. Gesekan pleura
dapat dijumpai jika terjadi iritasi di pleura, tetapi kadang juga sulit dijumpai
dari auskultasi sampai cairan terevakuasi. 11
Tabel 2.1 Volume cairan pleura dan hubungannya dengan pemeriksaan fisik 12

Volume cairan pleura Temuan klinis


<250-300 cm3 Kemungkinan masih normal
500 cm3 1. Redup pada perkusi
2. Fremitus melemah
3. Pernapasan vesikular tetapi
intensitasnya menurun
1000 cm3 1. Tidak adanya retraksi inspirasi, sedikit
bulging pada sela iga
2. Ketinggalan bernapas pada sisi yang
sakit
3. Perkusi redup sampai ke scapula dan
axilla
4. Fremitus melemah atau menghilang di
posterior dan lateral
5. Suara pernapasan bronkovesikuler
6. Pada auskultasi terdapat Egophany
(suara i terdengar e) pada batas paling
atas efusi
Masif (memenuhi satu 1. Bulging pada sela iga
hemitoraks) 2. Ketinggalan bernapas pada sisi yang
sakit
3. Suara napas menghilang
4. Pada auskultasi terdapat Egophony
(suara i terdengar e) di apeks
5. Liver atau spleen dapat teraba karena
adanya penekanan diafragma.
2) Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Toraks
Karena cairan bersifat lebih padat daripada udara, maka cairan yang
mengalir bebas tersebut pertama sekali akan menumpuk di bagian paling
bawah dari rongga pleura, ruang subpulmonik dan sulkus kostofrenikus
lateral. Efusi pleura biasanya terdeteksi pada foto toraks postero anterior
posisi tegak jika jumlah cairan sampai 200 – 250 ml. Foto toraks lateral
dapat mendeteksi efusi pleura sebesar 50 – 75 ml. 8
Tanda awal efusi pleura yaitu pada foto toraks postero anterior posisi
tegak maka akan dijumpai gambaran sudut kostofrenikus yang tumpul baik
dilihat dari depan maupun dari samping. Dengan jumlah yang besar, cairan
yang mengalir bebas akan menampakkan gambaran meniscus sign dari
foto toraks postero anterior. Ketinggian efusi pleura sesuai dengan tingkat
batas tertinggi meniskus. Adanya pneumotoraks atau abses dapat
mengubah tampilan meniskus menjadi garis yang lurus atau gambaran air
fluid level. 8, 11
Efusi pleura lebih sulit teridentifikasi pada foto toraks dengan posisi
terlentang. Jika ukuran efusi cukup besar, bayangan kabur yang menyebar
dapat dimaklumi. Gambaran lain yang dapat ditemui antara lain
tertutupnya bagian apikal, obliterasi hemidiafragma, gambaran opasitas
sebagian di hemitoraks, dan fisura minor yang melebar.
Foto toraks lateral dekubitus bisa dilakukan ketika dicurigai adanya
efusi pleura. Efusi pleura sederhana akan mengikuti gravitasi dan akan
terbentuk lapisan antara paru yang mengambang dengan dinding dada.
Gambaran yang tidak seperti biasa mencerminkan adanya lakulasi, abses
atau massa. Foto toraks lateral dekubitus terbalik akan menarik cairan ke
arah mediastinum dan memungkinkan untuk melihat parenkim paru untuk
melihat apakah ada infiltrat atau massa yang ada di balik perselubungan
tersebut. 8
Dengan adanya penyakit dan scar paru, perlengketan jaringan dapat
menyebabkan cairan terperangkap di permukaan pleura parietal, visceral
atau interlobar. Karena perlengketan ini menyebabkan penumpukan cairan,
maka bentuk efusi terlokalisir sering digambarkan sebagai D-shape,
sedangkan cairan yang terlokalisir di daerah fisura akan berbentuk
lentikular. 11
Berdasarkan foto toraks, efusi pleura terbagi atas small, moderate dan
large. Dikatakan efusi pleura small jika cairan yang mengisi rongga pleura
kurang dari sepertiga hemitoraks. Efusi pleura moderate jika cairan yang
mengisi rongga pleura lebih dari sepertiga tetapi kurang dari setengah
hemitoraks. Sedangkan efusi pleura dikatakan large jika cairan yang
mengisi rongga pleura lebih dari setengah hemitoraks. Selain itu efusi
pleura juga dapat dinilai sebagai efusi pleura masif jika cairan sudah
memenuhi satu hemitoraks serta menyebabkan pergeseran mediastinum ke
arah kontralateral, menekan diafragma ipsilateral, dan kompresi paru, jika
tidak ada lesi endobronkial yang menyebabkan atelektasis dan fixed
mediastinum. 13
Pada kasus efusi pleura masif, seluruh hemitoraks akan terdapat
bayangan opasitas. Pada foto tersebut, pergeseran mediastinum dapat

mengidentifikasi penyebab efusi pleura tersebut. Dengan tidak adanya


paru atau mediastinum yang sakit, akumulasi cairan yang besar akan
mendorong mediastinum ke kontralateral. Ketika mediastinum bergeser ke
arah efusi kemungkinan kelainannya adalah di paru dan bronkus utama
atau adanya obstruksi atau keduanya. Ketika mediastinum tetap di medial
kemungkinan penyebabnya adalah tumor. 11
Gambar 2.1 (a) Efusi pleura kiri pada foto toraks tampak dari postero anterior dan lateral
(b). Meniscus sign dapat terlihat dari kedua posisi tersebut. 11

b. USG Toraks
Ada beberapa keuntungan dari penggunaan USG toraks untuk menilai
suatu efusi pleura. USG toraks merupakan prosedur yang mudah dilakukan
dan merupakan tindakan yang tidak invasif dan dapat dilakukan di tempat
tidur pasien. USG toraks lebih unggul daripada foto toraks dalam
mendiagnosis efusi pleura dan dapat mendeteksi efusi pleura sekecil 5ml.
meskipun beberapa hal yang detail hanya bisa terlihat pada CT scan, USG
dapat mengidentifikasi efusi yang terlokalisir, membedakan cairan dari
penebalan pleura, dan dapat membedakan lesi paru antara yang padat dan
cair. USG juga dapat digunakan untuk membedakan penyebab efusi pleura
apakah berasal dari paru atau dari abdomen. Selain itu USG dapat
dilakukan di tempat tidur pasien yang sangat berguna untuk identifikasi
cepat lokasi diafragma dan tingkat interkostal untuk menentukan batas atas
efusi pleura. 8, 11

Gambar 2.2 Gambaran efusi pleura pada USG toraks 14

c. CT scan toraks
Meskipun tindakan torakosentesis biasanya dilakukan berdasarkan
temuan foto toraks, tetapi CT scan toraks lebih sensitif dibandingkan
dengan foto toraks biasa untuk mendeteksi efusi pleura yang sangat
minimal dan mudah menilai luas, jumlah, dan lokasi dari efusi pleura yang
terlokalisir. Lesi lokulasi bisa tampak samar – samar pada foto toraks
biasa. Pada gambaran CT scan toraks, cairan yang mengalir bebas akan
membentuk seperti bulan sabit dapa daerah paling bawah, sedangkan
penumpukan cairan yang terlokalisir akan tetap berbentuk lenticular dan
relatif tetap berada dalam ruang tersebut. Selain itu, CT scan toraks dapat
digunakan untuk menilai penebalan pleura, ketidakteraturan, dan massa
yang mengarah keganasan dan penyakit – penyakit lain yang
menyebabkan efusi pleura eksudatif. Dengan menggunakan zat kontras
intra vena, CT scan toraks dapat membedakan penyakit parenkim paru,
seperti abses paru. Emboli paru juga dapat terdeteksi dengan
menggunakan zat kontras intra vena. CT scan toraks juga berguna dalam
mengidentifikasi patologi mediastinum dan dalam membedakan ascites
dari efusi pleura subpulmonik yang terlokalisir. 8, 11
Gambar 2.3 Gambaran efusi pleura tampak pada CT scan toraks 14

3) Torakosintesis untuk diagnostik


Torakosintesis yang dilanjutkan dengan analisis cairan pleura dapat
dengan cepat mempersempit diagnosis banding efusi pleura. Sebagian besar
cairan pleura berwarna kekuningan. Temuan ini tidak spesifik karena cairan
berwarna kekuningan terdapat pada berbagai kasus efusi pleura. Namun
tampilan warna lain efusi pleura dapat membantu untuk mendiagnosis
penyebab efusi pleura. Cairan yang mengandung darah dapat ditemukan pada
kasus pneumonia, keganasan, dan hemotoraks. Jika warna cairan sangat keruh
atau seperti susu maka sentrifugasi dapat dilakukan untuk membedakan
empiema dari kilotoraks atau pseudokilotoraks. Pada empiema, cairan yang
berada di bagian atasakan bersih sedangkan debris – debris sel akan
mengendap di bagian bawah, sedangkan pada kilotoraks ataupun
pseudokilotoraks warna cairan akan tetap sama karena kandungan lipid yang
tinggi dalam cairan pleura. Cairan yang berwarna kecoklatan atau kehitaman
dicurigai disebabkan oleh abses hati oleh infeksi amuba dan infeksi
aspergillus. Setelah dilakukan torakosintesis, cairan harus langsung dikirim
untuk analisis biokimia, mikrobiologi dan pemeriksaan sitologi. Analisis
biokimia cairan pleura meliputi menilai kadar protein, pH, laktat
dehydrogenase (LDH), glukosa, dan albumin cairan pleura. Karena rongga
pleura terisi oleh cairan, maka protein menjadi penanda yang penting untuk
membedakan apakah cairan pleura termasuk transudat atau eksudat. 8, 15
Efusi pleura dikatakan ganas jika pada pemeriksaan sitologi cairan pleura
ditemukan sel – sel keganasan. Diagnosis hemotoraks ditegakkan jika ada
bukti trauma dada pada pasien yang menjalani operasi dalam waktu 24 jam
terakhir, memiliki kecenderungan untuk terjadinya pendarahan, serta
perbandingan nilai hematokrit cairan pleura dengan serum lebih besar dari
50%. 8, 16
Tabel 2.2 Pemeriksaan cairan pleura untuk penegakan diagnostik 13
Penyakit Uji diagnostik cairan pleura
Empiema Observasi (nanah, bau busuk), kultur
Keganasan Sitologi positif
Pleuritis karena lupus Terdapat sel lupus eritematosus
Efusi pleura tuberkulosis Positif mengandung BTA, kultur,
ADA > 40-60 U/L
Pleuritis karena jamur Positif pewarnaan KOH, kultur
Efusi pleura karena kolesterol Kolesterol > 300 mg/dL, kolesterol
/trigliserida > 1,0
kristal kolesterol
Kilotoraks Trigliserida > 110 mg/dL, dijumpai
kilomikron
Hemotoraks Hematokrit (rasio cairan pleura/darah
> 0,5)
Urinotoraks Kreatinin (rasio cairan pleura/serum
>1,0)
Dialisis peritoneum Protein < 1,0g/dL, glukosa > 300
mg/dL
Perpindahan ekstravaskular dari Observasi (seperti susu jika diinfus
kateter vena sentral lipid) cairan pleura / glukosa serum >
1,0 (infus glukosa)
Pleuritis reumatoid karakteristik sitologi (pH < 7,00,
glukosa < 30 mg/dL), LDH > 1000
IU/L
Fistel duro-pleura Terdapat β2 transferin
Tabel 2.3 Tampilan cairan pleura untuk membantu diagnosis 13

Perkiraan diagnosis
Warna cairan
Kuning pucat (jerami) Transudat, eksudat pauci-cellular
Merah (seperti darah)
Hematokrit < 5% Keganasan, BAPE (benign asbestos
pleural effusion), PCIS (post cardiac
injury syndrome), infark paru
Hematokrit cairan pleura/ Trauma
serum ≥0,5
Putih susu Kilotoraks atau efusi pleura karena
kolesterol
Coklat Efusi pleura menyerupai darah yang
sudah berlangsung lama; pecahnya abses
hati amuba ke rongga pleura
Hitam Spora Aspergillus niger
Kuning kehijauan Pleuritis reumatoid
Warna dari selang makanan Selang makanan masuk ke dalam rongga
atau infus vena sentral pleura, perpindahan kateter
ekstravaskular ke mediastinum / rongga
pleura
Karakteristik cairan
Nanah Empiema
Kental Mesotelioma
Debris Pleuritis reumatoid
Keruh Eksudat inflamasi atau efusi lipid
Anchovy paste Pecahnya abses hati amuba
Bau atau cairan busuk Empiema anaerobik
Ammonia Urinotoraks
4) Biopsi Pleura
Pada kasus efusi pleura yang belum tegak diagnosisnya di mana dicurigai
disebabkan oleh keganasan dan nodul pada pleura tampak pada CT scan
dengan kontras, maka biopsi jarum dengan tuntunan CT scan merupakan
metode yang tepat. Biopsi jarum Abram hanya bermakna jika dilakukan di
daerah dengan tingkat kejadian tuberkulosis yang tinggi, walaupun
torakoskopi dan biopsi jarum dengan tuntunan CT scan dapat dilakukan untuk
hasil diagnostik yang lebih akurat. 8, 17

5) Torakoskopi
Torakoskopi merupakan pemeriksaan yang dipilih untuk kasus efusi pleura
eksudat di mana diagnostik dengan aspirasi cairan pleura tidak meyakinkan
dan dicurigai adanya keganasan. 8. 17

6) Pemeriksaan Lain Pada Kondisi Tertentu 8, 17


a. Pleuritis tuberkulosis
Ketika dilakukan biopsi pleura, maka sampel harus dikirim untuk
pemeriksaan histologi dan kultur untuk menegakkan diagnosis
tuberkulosis. Biopsi pleura melalui torakoskopi merupakan pemeriksaan
yang paling akurat untuk mendapatkan hasil positif untuk kultur
mikobakterium (dan juga sensitivitas obat). Penanda tuberkulosis pleura
dapat bermakna di negara - negara dengan angka kejadian tuberkulosis
yang rendah. Adenosine deaminase (ADA) adalah penanda yang paling
sering digunakan.
b. Rheumathoid Arthritis yang berhubungan dengan efusi pleura
Sebagian besar efusi pleura yang disebabkan oleh Rheumathoid
Arthritis menunjukkan kadar glukosa yang sangat rendah yaitu <1,6
mmol/L (29 mg/dL).
c. Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
Antinuclear antibody (ANA) cairan pleura tidak diperlukan diukur
secara rutin karena hanya menunjukkan kadar serum dan biasanya tidak
membantu.
d. Kilotoraks dan pseudokilotoraks
Pada kasus terduga kilotoraks atau pseudokilotoraks maka cairan
pleura harus diperiksakan untuk menilai kristal kolesterol, kilomikron,
kadar trigliserida cairan pleura dan kadar kolesterol cairan pleura.
DAFTAR PUSTAKA

1) Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Kanker Paru. Jakarta Juli 2017 ; 13-9
2) Kementerian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tatalaksana Tuberculosis. Jakarta September 2013 ; 13-9
3) Nelson LL, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int
J TubercLung Dis. 2004;8:636-47.
4) Marais BJ, Hesseling AC, Gie RP, Schaaf HS, Beyers N. The burden of
childhoodtuberculosis and the accuracy of community-based surveillance
data. Int J TubercLung Dis. 2006;10:259–63.
5) Marais BJ. Childhood tuberculosis--risk assessment and diagnosis. S Afr
Med J.2007;97:978-82.
6) Rigouts L. Clinical practice: diagnosis of childhood tuberculosis. Eur J
Pediatr.2009;168:1285-90.
7) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Pneumonia Komuniti, Pedomana
diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta 2003
8) Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V Jilid III.
Jakarta : InternaPublishing 2009 ; 2329-32
9) Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F, Maskell N, Ali N, et al. BTS
Pleural Disease Guideline 2010 – a Quick Reference Guide. British
Thoracic Society Reports.2010;2(3):2040-2023
10) Yu H. Management of Pleural Effusion, Empyema, and Lung Abscess .
Semin Intervent Radiol 2011;28:75-86
11) Roberts JR, Custalow CB, Thomsen TW and Hedges JR. Roberts and
Hedges’ Clinical Procedures in Emergency medicine, Sixth Edition. Elsevier
Saunders. Philadelpia. 2014.
12) Klopp M. Chest Tube Placement in Principles and Practice of Interventional
Pulmonology. Springer. New York. 2013. 585-
13) Light RW, Lee YCG. Textbook of Pleural Disease, Second Edition. Hodder
Arnold. 2008
14) Lee YCG. Pleural Anatomy and Fluid Analysis in Principles and Practice of
Interventional Pulmonology. Springer. New York. 2013. 545-555
15) McGrath E, Anderson PB. Diagnosis of Pleural Effusion : a Systematic
Approach. American Journal of Critical Care. 2011. Vol 20, No. 2.
16) Liu YH, Lin YC, Liang SJ, Tu CY, Chen HC, Chen HJ, et al. Ultrasound-
Guided Pigtail Catheters for Drainage of Various Pleural Diseases. American
Journal of Emergency Medicine 2010 ;28:915-921
17) Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F, Maskell N, Ali N, et al. BTS
Pleural Disease Guideline 2010 – a Quick Reference Guide. British Thoracic
Society Reports.2010;2(3):2040-2023

Anda mungkin juga menyukai