Anda di halaman 1dari 20

1

TINJAUAN UMUM
TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium Tuberculosis.1 Tuberkulosis dibagi dua menjadi
Tuberkulosis Paru dan Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis paru
merupakan tuberkulosis yang menyerang bagian paru tetapi tidak termasuk
pleura. Sedangkan Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang
menyerang bagian organ tubuh lain selain paru, misalnya kelenjar getah
bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluarn kencing dan lain-lain.2

1. Definisi dan Klasifikasi


1.1.Tuberkulosis Paru
Pembagian tuberkulosis paru dibagi berdasarkan hasil pemeriksaan
sputum atau BTA dan berdasarkan tipe pasien.
1.1.1.Berdasarakan hasil pemeriksaan sputum atau BTA dibagi atas :3
1.1.1.1 TB Paru BTA positif (+), adalah :
a. Dari hasil pemeriksaan sputum didapati 2 dari 3 spesimen
sputum menunjukkan hasil BTA positif.
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologi menunjukkan gambaran
tuberkolosis aktif.
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen sputum menunjukkan BTA
positif dan biakan positif.
1.1.1.2 TB Paru BTA negatif (-), adalah :
a. Hasil pemeriksaan sputum sebanyak 2 kali menunjukkan BTA
negatif, pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA.
b. Pada hasil pemeriksaan BTA negatif dianjurkan pemeriksaan
kultur pada daerah dengan prevalens HIV > 1% atau pasien TB
dengan kehamilan ≥ 5%.
2

1.1.2. Berdasarkan tipe pasien, TB Paru dibagi atas :


1.1.2.1.Kasus Baru
Merupakan pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.
1.1.2.2.Kasus Kambuh
Merupakan pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil sputum BTA positif. .
1.1.2.3.Kasus default atau droup out
Pasien yang telah menjalani pengobtan ≥ 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
1.1.2.4.Kasus Gagal
Merupakan pasien BTA positif yang masih positif atau kembali
positif pada akhir bulan ke-5 ( satu bulan sebelum akhir pengobatan ) atau
akhir pengobatan.
1.1.2.5.Kasus Kronis
Merupakan pasien dengan pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang dengan pengobatan lini ke-2 dan pengawasan yang
baik.
1.1.2.6.Kasus Bekas TB
a. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan negatif jika ada dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif,
atau foto menunujukkan gambaran yang menetap
b. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto thoraks
ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
1.2. Tuberkulosis Ekstraparu
Diagnosis untuk TB ekstraparu sebaiknya didasarkan atas kultur
positif atau patologi anatomi dari tempat lesi. 3
3

2. Etiologi TB Paru
Penyebab dari TB paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri
ini memiliki ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3-0,6/um. Bakteri ini
bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang
memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Bakteri ini berbentuk batang,
mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (BTA
Bakteri Tahan Asam). Bakteri ini cepat mati dengan sinar matahari
langsung, tetapi dapat bertahan hidup sampai beberapa jam di tempat yang
gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dorman (tertidur
lama) selama beberapa tahun.4
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid),
kemudian peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat
kuman lebih tahan terhadap asam (asam alcohol) sehingga disebut bakteri
tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan
fisis.Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni
dalam sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah
kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid.4

3. Epidemiologi TB Paru
Data WHO 2012 menginformasikan bahwa terdapat 182 negara
anggota dari total 204 negara di dunia memiliki 99% kasus TB Paru.5 Di
Indonesia didapatipenemuan kasus TB Paru pada tahun 2008 provinsi yang
tertinggi adalah di Provinsi Sulawesi Utara yakni 89,6% dan diikuti oleh
DKI Jakarta sebesar 85,5% dan Banten 78,6% dari angka perkiraan kasus
menular TB Paru. Sedangkan di Sumatera Utara prevalensi TB Paru pada
tahun 2008 yakni 67,0%.4
Menurut Jenis kelamin prevalensi kasus TB Paru pada tahun 2008
tidak memiliki perbedaan yang signifikan yaitu laki-laki berkisar 57-59%
dan perempuan 40-43%.4
4

4. Gejala klinis TB Paru


Gejala klinis TB paru dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal yang
merupakan gejala yang timbul dari organ yang terlibat (gejala respiratory)
dan gejala sistemik.6
4.1. Gejala lokal dari TB paru terbagi atas :6
a. Batuk ≥2 minggu
Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini
diperlukan untuk membuang produk-produk radang seperti sputum.
Terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, karena itu
kemungkinan batuk baru muncul setelah penyakit berkembang dalam
jaringan paru setelah bermingu-minggu atau berbulan-bulan peradangan
bermula.
Sifat batuk kering (non-produktif) menjadi produktif (menghasilkan
sputum) setelah terjadi peradangan.
b. Batuk darah
Keadaan yang lebih lanjut setelah munculnya gejala lokal yaitu
batuk adalah batuk darah. Batuk darah terjadi karena pembuluh darah yang
pecah pada saat batuk.Kebanyakan batuk darah pada TB paru terjadi pada
kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.
c. Sesak nafas
Sesak nafas belum didapati pada pasien yang menderita awal TB
paru. Sesak nafas baru akan ditemukan pada penyakit TB yang sudah lanjut,
yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
d. Nyeri dada
Gejala nyeri dada jarang ditemukan pada TB paru, tetapi akan timbul
bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan
pleuritis. Gejala ini timbul karena terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik/melepaskan nafasnya.
4.2. Sedangkan gejala sistemik terbagi atas :
a. Demam
Biasanya demam pada TB paru hanya subfebril atau menyerupai
demam influenza. Terkadang demam dapat mencapai 40º-41ºC. Demam
5

pada TB paru didapati hilang timbul dan sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit kepala, nyeri otot,
keringat malam, dan lain-lain.

5. Patogenesis Tuberkulosis
5.1. Tuberkulosis Primer
Tempat masuk kuman M. Tuberculosis adalah saluran pernapasan,
saluran pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Namun, penularan
yang paling sering terjadi adalah melalui inhalasi droplet yang melalui
udara. Kuman yang dibatukkan atau dibersinkan yang keluar menjadi
droplet nucleid merupakan partikel infeksi yang bisa menetap dalam udara
bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembapan. Partikel infeksi dapat masuk ke alveolar
dengan ukuran partikel < 5 mikrometer.1,6
Bial kuman masuk yang pertama kali menghadapinya adalah neutrofil,
kemudian kuman akan dibersihkan oleh makrofag kemudian keluar dari
percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.
Namun, bila kuman bersarang di jaringan paru dan berkembang biak dalam
sito-plasma makrofag, akan menyebabkan kuman terbawa masuk ke organ
tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk
sarang tuberkulosisi peneumonia kecil dan disebut sarang primer atau afek
primer atau sarang (fokus) Ghon.6,7
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening
menuju hilus (limfangitis lokal) dan diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitisregional). Gabungan ketiga kejadian ini
dinamakan komplek primer (Ranke), yang memiliki lama proses 3-8
minggu. Komplek primer ini selanjutnya dapat menjadi :6
- Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan bekas.
6

- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, bisa reaktivasi lagi


karena kuman yang dormant.
- Berkomplikasi dan menyebar secara :
a. Perkontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya
b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru
disebelahnya. Kuman dapat tertelan bersama sputum dan saliva
sehingga menyebar ke usus.
c. Secara limfogen, ke organ lainnya
d. Secara hematogen, ke organ lainnya.
5.2. Tuberkulosis Sekunder
Kuman yang dormant pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-
tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis post primer
atau tuberkulosis sekunder. Tuberkulosis terjadi saat imunitas tubuh
menurun, seperti malnutrisi, penyakit maligna, diabetes, HIV/AIDS, gagal
ginjal dan lain-lain. Tuberkulosis pasca primer ini dimulai dengan sarang
dini yang berlokasi regio atas paru (bagian apikal-posterior lobus superior
atau inferior). Invasinya adalah ke daerah parenkim paru-paru dan tidak ke
nodus hiler paru. Dalam 3-10 minggu sarng ini bisa menjadi tuberkel yakni
suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia-Langhans
yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.6
TB pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua (elderly tuberculosis), tergantung dari jumlah
kuman, virulensinya dan imunitas pasien, sarang dini ini dapat menjadi :6
- Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
- Sarang yang mula-mula meluas, segera menyebuh dengan
serbukan dengan jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri
menjadi keras, menimbulkan pengkapuran. Sarang dini yang
meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan
ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis, menjadi
lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringa keju dibatukkan
keluar akan menjadi kavitas. Kavitas ini mula-mula berdinding
tipis, lama-lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringa
7

fibroblas dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik (


kronik). Terjadinya perkejuan dan kavitas adalah karena hidrolisis
protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh
makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin dengan TNF-nya.
Bentuk pekejuan lain yang jarang adalah cryptic diseminatedTB
yang terjadi pada imunodefeisiensi dan usia lanjut.

6. Penegakan Diagnosa
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan :6
- Gejala klinis
- Pemeriksaan fisik
- Bakteriologik
- Radiologik
Gejala klinis TB paru meliputi gejala respiratorik dan gejala sistemik :

Gejala Respiratorik : Gejala Sistemik :

1. Batuk > 2 minggu 1. Demam

2. Batuk darah (hemaptoe) 2. Malaise

3. Sesak napas 3. Keringat malam

4. Nyeri dada 4. Anoreksia

5. Berat badan menurun


- Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, sering tidak terdeteksi kelainan – kelainan
terutama pada kasus dini. 6
 Keadaan umum yang sering ditemukan adalah : anemia, demam,
berat badan menurun.
 Thoraks (lesi umum nya di apeks paru)
- Bila ada lesi infiltrat akan diperoleh pemeriksaan fisik :
Inspeksi : Toraks simetris
Palpasi : Stem fremitus mengeras
Perkusi : Sonor memendek (udara dalam paru
berkurang)
8

Auskultasi : Suara Pernapasan : Bronkial


Suara Tambahan : Ronki basah
- Fibrosis
Inspeksi : Toraks asimetris, ketingalan pernapasan
Palpasi : Stem fremitus melemah
Perkusi : Beda
Auskultasi : Suara Pernapasan : vesikuler melemah
- Efusi pleura
Inspeksi : Ketinggalan pernapasan (asimetris)
Palpasi : Stem fremitus melemah
Perkusi : Pekak
Auskultasi : vesikuler melemah/ menghilang

Radiologik
a. Gambaran lesi aktif :6
- Bayangan berawan segmen apikal dan posterior lobus atas dan segmen
superior lobus bawah.
- Kavitas lebih dari 1 dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
- Bercak milier, terlihat berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar
merata pada seluruh lapangan paru.
- Efusi pleura unilateral/bilateral (massa cairan dibagian bawah paru).
- Fibrotik, terlihat bayangan bergaris-garis.
- Kalsifikasi : terlihat bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi
- Penebalan pleura (pleuritis)
- Atelektasis : terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang
dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian
paru.
9

b. Lesi minimal
Dikatakan lesi minimal terjadi bila proses mengenai sebagian dari satu
atau dua paru, luas tidak lebih dari sela iga 2 depan.
c. Lesi luas
Dikatakan lesi luas terjadi bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Bakteriologik
Bahan pemeriksaan :6
- Sputum
- Cairan pleura
- Bilasan bronkus
- Bilasan lambung
- Cairan serebrospinalis
Interpretasi pemeriksaan dahak menurut rekomendasi WHO : 8
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang : negatif
 Ditemukan 1-9 BTA : tulis jumlah kuman
 Ditemukan 10-99 BTA : 1+
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapangan pandang : 2+
 Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang : 3+

7. Penatalaksanaan
Pengobatan TB paru terbagi atas 2 fase :6,8
Fase intensif ( 2-3 bulan)
Fase lanjutan ( 4-7 bulan)
10

Tabel.1.1. Panduan OAT yang dianjurkan pada pengobatan TB paru :


Kategori TB Diagnostik Resimen pengobatan
(program) Karakteristik Fase Intensif Fase Lanjutan
I - TB paru BTA (+), 2 HRZE 4H3R3
kasus baru
- BTA (-), lesi luas/ 2 HRZE 4HR
kasus berat
- TB ekstrapulmonal 2HRZE 6HR
berat.
II - Kambuh (relaps) 2RHZES/1HRZE 5H3R3E3
- Gagal (failure) 2RHZES/1HRZE 5HRE
- Lalai (default)
III - TB Paru BTA (-) 2RHZ 4H3R3
- TB Ektrapulmonal 2RHZ 4HR
ringan
2RHZ 6HE
IV - TB kronik Mempertimbangkan menggunakan
- BTA (+) pengobatan Lini ke-2

Keterangan :
R : Rifampisin
H : INH
Z : Pirazinamid
E : Etambutol
S : streptomisin
11

Tabel.1.2. Dosis Obat yang dipakai di Indonesia : 6


Nama Dosis Harian
Obat BB < 50 kg BB > 50 kg
Isoniazid 300 mg 400 mg
Rifampisin 450 mg 600 mg
Pirazinamid 1000 mg 2000 mg
Streptomisin 750 mg 1000 mg
Etambutol 500 mg 1000 mg

Tabel.1.3. Efek Samping dari obat :6,9


Obat-obatan Efek samping utama
Isoniazid - Reaksi hipersensitivitas
- Hepatoksik
- Neuritis perifer
Rifampisin - Flu like syndrom
- Nefritis intertisial
- Nekrosis Tubular Akut
- Trombositopenia
- Hepatotoksik
Pirazinamid - Hepatitis
- Nyeri sendi
- Hiperurisemia
- Gangguan
Etambutol - Optic neuritic
- Nefrotoksik
- Skin rash (dermatitis)
Streptomisin - Neurotoksin
- Ototoksisitas
- Nefrotoksik
12

Evaluasi Pengobatan :6
1. Evaluasi klinik
Pasien dievaluasi tiap 2 minggu pada 1 bulan pertama selanjutnya
tiap bulan
2. Evaluasi Bakteriologik
Mendeteksi konversi sputum serta resistensi
3. Evaluasi Radiologik
Sebelum pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan dan akhir
pengobatan
4. Evaluasi efek samping obat
Awal pengobatan periksa fungsi hati, fungsi ginjal, darah lengkap,
uji visus dan buta warna, uji keseimbangan dan audiometri.
5. Evaluasi keteraturan berobat
Ketidakteraturan berobat menyebabkan timbulnya resistensi
Pasien dikatakan sembuh bila :
- BTA mikroskopik 2 kali negatif, pada fase intensif dan akhir
pengobatan
- Foto toraks serial stabil
- Biakan sputum negatif

Metode DOTS
WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan program penanggulangan
TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short Course)
DOTS mengandung 5 komponen :
a. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.
b. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
c. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung,
dikenal dengan istilah Directly Observed Theraphy (DOT)
d. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
e. Monitoring secara pencatatan dan pelaporan yang baku/standar.3
13

1. Tujuan DOTS
a. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
b. Mencegah putus berobat
c. Mengatasi efek samping obat jika timbul
d. Mencegah resistensi

2. Pengawasan
Pengawasan terhadap pasien TB dapat dilakukan oleh :
a. Pasien berobat jalan
Bila pasien mampu datang teratur, missal tiap minggu maka
paramedis atau petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO
(Pengawas Minum Obat). Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur, sebaiknya dilakukan koordinasi
dengan Puskesmas setempat. Rumah PMO harus dekat
dengan rumah pasien TB untuk pelaksanaan DOT ini.
Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO :
 Petugas kesehatan
 Orang lain (kader, tokoh masyrakat, dll)
 Suami/istri/keluarga/orang serumah.

b. Pasien dirawat
Selama perawatan di RS yang berindak sebagai PMO
adalah petugas RS, selesai perwatan untuk pengobatan
selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.3

3. Langkah Pelaksanaan DOT


Dalam melaksanaan DOT, sebelum pengobatan pertama kali
dimulai, pasie diberikan penjelasan bahwa harus ada seorang
PMO, dan PMO tersebut harus ikut adir di Poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT.3
4. Persyaratan PMO
14

a. PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai


sembuh selama pengobatan dengan OAT dan menjaga
kerahasiaan penderita HIV/AIDS
b. PMO diutamakan petugas kesehatan, tetapi dapat juga kader
kesehatan, kader dasawisma, kader PPTI, PKK, atau anggota
keluarga yang disegani pasien.
5. Tugas PMO
a. Bersedia mendapat penjelasan di Poliklinik
b. Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum
obat
c. Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai
jadwal yang telah ditentukan
d. Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara
teratur hingga selesai
e. Mengenali efek samping ringan obat, dan menasehati pasien
agar tetap mau menelan obat
f. Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
g. Melakukan kunjungan rumah
h. Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila
ditemui gejala TB.3

8. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi seperti :6
Tabel.1.4. Komplikasi TB Paru
Komplikasi dini Komplikasi lanjut
- Pleuritis - Obstruksi jalan
- Efusi pleura napas
- Empiema - Kor pulmonal
- Laringitis - Karsinoma paru
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Price S, Wilson L. 2006. Patofisiologi. Edisi 6. EGC. Jakarta.


2. Longgo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson L, Loscalzo J. 2013.
Harrison’s Manual Of Medicine. Edisi 18.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis, Pedoman
Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta.
4. DepartemenKesehatanRepublik Indonesia. [Online].2012 [cited 2013
May 17]. Availablefrom:
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/2242-program-
pengendalian-penyakit-capai-target.html
5. World Health Organization.[Online].2012 [cited 2013May17.
Availablefrom:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/en/index.html
6. Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K M, Setiati S. 2009. Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.
7. Junqueira L, Carneiro J. 2007. Histologi Dasar. Edisi 10. EGC. Jakarta.
8. TuberkulosisParu .Universitas Sumatera Utara. [Online].
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32587/4/Chapter%20II.
pdf
9. Gunawan S, Setiabudy R, Nafraldi, Elysabeth. 2007. Farmakologi Dan
Terapi. Edisi 5. DepartemenFarmakologi Dan
TerapeutikFakultasKedokteranUniversitas Indonesia. Jakarta.
16

TINJAUAN KHUSUS

Pembahasan
Pada bab ini akan dibahas mengenai kecocokan antara teori dan
tinjauan kasus pada pasien laki-laki berumur 20 tahun menderita TB paru di
RS HKBP Balige zall F.
TB paru ini merupakan penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh
mycobacterium tuberculosis, yang menular melalui droplet, khususnya
didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung BTA.6

A. Pengkajian dan Analisa Data Dasar


Pengumpulan data dasar merupakan pengumpulan informasi melalui
anamnese, pemeriksaan fisik dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi serta pemeriksaan penunjang yaitu laboratorium.
Menurut teori, gejala dari TB paru adalah demam, batuk, batuk
darah, sesak nafas, nyeri dada, penurunan nafsu makan yang dapat diperoleh
melalui anamnesis.3
Berdasarkan study kasus “Simamora, Mual Jenri (20thn) dengan TB
paru, ditemukan gejala-gejala seperti batuk darah, batuk kronis, demam, dan
penurunan nafsu makan.
Teori juga menjelaskan, jika terdapat lesi infiltrat, pada palpasi akan
ditemukan stem fremitus yang mengeras pada toraks, pada perkusi thoraks
kanan ditemukan sonor memendek yang terjadi karena udara dalam paru
berkurang, dan pada auskultasi, akan ditemukan udara pernafasan bronchial
atau vesikuler melemah dan suara tambahan ronki basah.6
Dari kasus “Simamora, Mual Jenri (20 thn ) yang menderita TB
paru, pada saat dilakukan palpasi, ditemukan stem fremitus dextra
mengeras, sehingga tidak sama dengan stem fremitus sinistra. Ketika
dilakukan perkusi, ditemukan sonor memendek pada intercostal II thoraks
dextra. Pada saat dilakukan auskultasi, ditemukan vesikuler melemah pada
17

lapangan paru atas dextra dan ditemukan pula ronkhi basah pada bagian
apeks paru.
Hal ini menunjukkan bahwa, pengkajian teori tentang TB paru dan
masalah yang ditemukan pada study kasus sejalan.

B. Merumuskan diagnosa.
Dalam menegakkan suatu diagnosa, harus berdasarkan pendekatan
yang didukung dan ditunjang oleh beberapa data, baik data subjektif
maupun data objektif serta pemeriksaan penunjang seperti laboratorium
yaitu pemeriksaan sputum dan radiologi.
Pada study kasus “Simamora, Mual Jenri (20 thn), diperoleh
diagnose TB paru, karena anamnesis yang ditemukan yaitu demam, batuk
kronis, batuk darah, dan penurunan nafsu makan sejalan dengan teori. Dari
pemeriksaan fisik juga ditemukan hal yang sejalan dengan teori yaitu
ditemukan stem fremitus yang mengeras pada lapangan paru dextra, sonor
memendek pada lapangan paru dextra, dan ditemukan pula suara pernafasan
vesikuler melemah disertai dengan suara tambahan ronkhi basah.
Diagnosa ini juga didukung oleh pemeriksaan laboratorium dan
radiologi. Pada pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan BTA 3x,
ditemukan BTA (+). Pada pemeriksaan radiologi diperoleh lesi infiltrat pada
lapangan paru atas dextra yang khas sekali dengan TB paru.
Dari teori yang sejalan dengan masalah yang ditemukan pad study
kasus, diperoleh diagnos “Simamora, Mual Jenri (20 thn)” dengan TB paru
kasus baru karena pada anamneses, pasien belum pernah mendapat
pengobatan OAT.

C. Therapi
Setelah didiagnosis TB paru, pasien harus segera mendapatkan OAT
dengan fase intensif (2-3 bulan) dan fase lanjutan (4-7 bulan). Pada study
kasus “Simamora, Mual Jenri (20thn)” dengan TB Paru juga menjalani
OAT. Berdasarkan karakteristik dengan BTA (+) dan kasus baru,
“Simamora, Mual jenri harus menjalani OAT dengan fase intensif 2 bulan,
18

setiap hari mengkonsumsi INH 400 mg, Rifampisin 600 mg, Pirazinamid
2000 mg, Etambutol 1000 mg. Setelah menjalani fase intensif, pasien juga
harus menjalani OAT dengan fase lanjutan 4 bulan mengkonsumsi INH 400
mg dan Rifampisin 600 mg yang diberikan 3 kali seminggu.
Evaluasi pengobatan juga harus dilakukan sesudah pasien diterapi
dengan OAT yaitu evaluasi klinik, bakteriologik yaitu pemeriksaan sputum
serta resistensi OAT, radiologik yang dilakukan tiap 2 bulan ,dan evaluasi
efek samping OAT yaitu fungsi hati dan ginjal.6

Terapi lain selain OAT :


a. Pemberian asam traneksamat dan vitamin K
Pada study kasus “Simamora, Mual jenry dengan TB paru”
mendapatkan pengobatan asam traneksamat yang merupakan anti
fibrinolitik ditujukan untuk menghentikan perdarahan yang terjadi karena
batuk darah yang dialami pasien.9
Begitu juga dengan vitamin K diberikan karena vitamin ini berguna
untuk meningkatkan biosintesis beberapa faktor pembekuan darah. Pada
pemakaian antibiotik untuk jangka waktu yang lama seperti OAT dapat
mengurangi bakteri yang mensistesis vitamin K di usus, sehingga terjadi
gangguan absorpsi vitamin K. hal ini merupakan salah satu indikasi
pemberian vitamin K.9
b. Pemberian Kodein
Kodein merupakan golongan analgesik opioid yang memiliki sifat
seperti opium yang biasanya digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri.6
Pemberian kodein pada TB paru diindikasikan untuk menghambat
reflex batuk yang disertai rasa sakit menyebabkan pasien tidak dapat
beristirahat.6
c. Terapi symptomatic : Ekspectoran/mukolitik
Ekspectoran merupakan obat golongan gliseril guaiakolat yang dapat
merangsang pengeluaran dahak dari saluran napas. Mekanisme kerjanya
diduga berdasarkan stimulasi nukosa lambung dan selanjutnya secara
19

refleks merangsang sekresi kelenjar saluran nafas N. vagus, sehingga


menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak.
Disamping itu, pemberian mukolitik juga dapat dipertimbangkan
karena mukolitik merupakan obat yang dapat mengencerkan sekret saluran
nafas dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum. Contoh mukolitik adalah bromheksin,
asetilsistein, dan ambroxol.6
20

KUMPULAN PERTANYAAN
PRESENTASI KASUS

1. Kenapa pada pemeriksaan sputum, hasil BTA kebanyakan negatif


padahal klinis menunjukkan gejala TB Paru ?
2. Apakah bisa foto thoraks atau secara radiologis menegakkan diagnosa
TB Paru tanpa adanya pemeriksaan BTA?
3. Kenapa pada pasien TB Paru penting akan pemeriksaan LFT?

Jawaban

1. Kenapa hasil pemeriksaan negatif, kemungkinan spesimen sputum


tidak murni karena bercampur saliva. Jika hasil pemeriksaan negatif
pasien tetap di berikan antibiotik non-OAT, seperti golongan
sefalosporin. Jika pasien masih mengalami gejala klinis TB Paru,
dilakukan pemeriksaan kembali terhadap sputum pasien. Jika pada
pemeriksaan positif baru diberikan terapi OAT.
2. Foto thoraks bisa dijadikan alasan untuk mendiagnosa TB Paru,
karena foto thoraks merupakan salah satu pemeriksaan penunjang
untuk TB Paru, untuk mendiagnosa pasti TB Paru memang diperlukan
pemeriksaan sputum, jika tidak ada pemeriksaan sputum Foto thoraks
bisa dijadikan alasan untuk mendiagnosa TB Paru ditambah dengan
gejala klinis dari pasien.
3. Penting untuk pasien TB Paru karena obat-obat TB Paru memiliki
efek samping hepatotoksik, terutama rifampicin.

Anda mungkin juga menyukai