Anda di halaman 1dari 17

https://www.online-pajak.

com/restitusi-pajak

Restitusi Pajak: Pengertian, Tujuan dan


Syarat Percepatan Restitusi Pajak
PENGERTIAN RESTITUSI PAJAK
Restitusi Pajak adalah permohonan pengembalian pembayaran pajak yang diajukan wajib pajak
kepada negara. Istilah restitusi pajak ini tercantum dalam UU KUP.

Secara sederhana, dalam restitusi pajak negara membayarkan kembali atau mengembalikan pajak
yang telah dibayar wajib pajak. Perlu dipahami, restitusi pajak hanya terjadi jika jumlah kredit pajak
atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan
pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan wajib pajak tidak memiliki utang
pajak lainnya.

Tujuan Adanya Restitusi Pajak

Lantas, apa tujuan negara menyediakan restitusi pajak? Adanya peraturan tentang restitusi pajak
bertujuan untuk melindungi hak wajib pajak. Pelaporan kelebihan pembayaran pajak ini juga sebagai
jaminan kepercayaan yang diberikan pemerintah kepada wajib pajak.

Aturan Baru tentang Syarat Percepatan Restitusi Pajak

Beberapa bulan lalu, tepatnya April 2018, pemerintah melalui kementerian keuangan mengeluarkan
aturan baru yang bertujuan mempercepat pemberian retribusi kepada wajib pajak yang berhak dan
memenuhi kriteria. Penentuan kriteria pun diperoleh melalui penelitian yang sederhana dan tanpa harus
melalui pemeriksaan.

Berikut ini syarat yang perlu dipenuhi wajib pajak untuk mendapatkan percepatan pemberian restitusi
PPh dan PPN:

1. Ada tiga kategori wajib pajak yang berhak mendapatkan percepatan restitusi. Pertama, wajib
pajak orang pribadi yang memiliki lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp100 juta.
Kedua, wajib pajak badan yang lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp1 miliar. Ketiga,
PKP dengan lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp1 miliar.
2. Wajib pajak yang tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak memiliki tunggakan pajak,
laporan keuangan telah diaudit dan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
selama 3 tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana di bidang perpajakan dalam kurun
waktu 5 tahun terakhir.
3. PKP berisiko rendah yang ditetapkan menteri keuangan. Dalam hal ini PKP yang dimaksud
adalah perusahaan terbuka (go public), BUMN/BUMD, eksportir mitra utama kepabeanan
(MITA) atau reputable trader yang profilnya dimiliki oleh Ditjen Bea Cukai.
Ditjen Pajak juga telah menetapkan jangka waktu masing-masing wajib pajak yang memenuhi
persyaratan tersebut, berikut rinciannya:
Wajib pajak yang memenuhi restitusi dalam jumlah kecil

Wajib pajak yang memenuhi restitusi dalam jumlah kecil Jangka waktu

PPh Orang Pribadi 15 hari

PPh Badan 1 bulan

PPN 1 bulan

Wajib pajak patuh

PPh 3 bulan

PPN 1 bulan

PKP berisiko rendah

PPN 1 bulan

Adapun permohonan pengembalian kelebihan pajak baik PPh, PPN, dan/atau PPnBM dapat
dikembalikan (restitusi) dalam hal berikut ini:

o Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
Pasal 17 ayat (1) UU KUP:
“Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih
Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terutang.”

o Pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar Pasal 17 ayat (2) UU KUP:
“Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran
pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.”

o Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
Pasal 17B UU KUP:
“(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama dua belas bulan sejak surat
permohonan diterima secara lengkap.
(1a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang
dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama satu bulan
setelah jangka waktu tersebut berakhir.

(3) Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan dihitung sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar.

(4) Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak
dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan
dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan
dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak
diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan untuk paling lama dua puluh empat bulan, dihitung
sejak berakhirnya jangka waktu dua belas bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan
saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.”

o Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Pasal 17C UU KUP:
(1) "Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama tiga bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama satu bulan sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

o tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan.


o tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
o Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan
pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama tiga tahun berturut-turut.
o tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu lima
tahun terakhir.
(3) Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.
(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak apabila:

o terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan.
o terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu
dua Masa Pajak berturut-turut.
o terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu
tiga Masa Pajak dalam satu tahun kalender.
o terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(7) Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.”

o Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian
Kelebihan Pajak Pasal 17D UU KUP;
(1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama tiga bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama satu bulan sejak permohonan
diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai.

(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:

o Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
o Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
o Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan
jumlah tertentu.
o Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan
Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
(3) Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.

(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan
sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).”

o Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah
Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17E UU KUP dan Pasal 16E UU PPN:
Pasal 17E UU KUP:

“Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak
di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak
Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.”

Pasal 16E UU PPN:

(1) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas
pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang
paspor luar negeri dapat diminta kembali.

(2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:

o Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat
disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
o Pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
keberangkatan ke luar Daerah Pabean.
o Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali
pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan
alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi
pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat
Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

(4) Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah adalah:

o paspor.
o pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ke luar Daerah Pabean.
o Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

o Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN:
“Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena
Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.”
o Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan
Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
o Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberitahuan Pasal 16 UU
KUP:
“Kesalahan tulis, kesalahan hitung, atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, dapat dibetulkan oleh Direktur
Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak.”

o Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi
Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Pasal 36 ayat (1) huruf
a UU KUP:
“Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang
terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut
dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.”

o Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan
Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak Pasal 36 ayat (1) huruf b UU
KUP:
“Mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.”

o Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan
Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak Pasal 36 ayat (1) huruf c UU
KUP.
“Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang
tidak benar.”

Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat disampaikan melalui SPT dengan
memilih pilihan restitusi pada SPT ataupun dengan status SPT Lebih Bayar.
https://www.pratama.co/tata-cara-pengembalian-kelebihan-restitusi-ppn

Tata Cara Pengembalian Kelebihan –


Restitusi – PPN
Posted on July 11th, 2014 by Admin
Artikel kali ini seputar perpajakan berisi informasi mengenai tata cara mengajukan
pengembalian atas kelebihan pajak (restitusi) pada PPN/PPnBM, hal ini telah sesuai dengan
keputusan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara
Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM da Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009.
Untuk selengkapnya anda bisa pelajari tata caranya berikut ini.

DASAR HUKUM
1. Undang-undang PPN Nomor 42 Tahun 2009
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian
Kelebihan PPN/PPnBM
PKP HANYA DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTITUSI)
PADA AKHIR TAHUN BUKU
1. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan Pajak yang
dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
2. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan Pajak (restitusi)
pada akhir tahun buku.Bagi PKP Orang Pribadi yang dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan, pengertian tahun buku adalah tahun kalender.
PKP YANG DAPAT MENGAJUKAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTITUSI)
PADA SETIAP MASA PAJAK
1. PKP yang melakukan ekspor BKP Berwujud;
2. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP kepada Pemungut PPN
3. PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP yang PPN-nya tidak
dipungut;
4. PKP yang melakukan ekspor BKP Tidak Berwujud;
5. PKP yang melakukan ekspor JKP; dan/atau
6. PKP dalam tahap belum berproduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a)
Undang-Undang PPN. (Isi Pasal 9 ayat (2a) UU PPN : Bagi Pengusaha Kena Pajak yang
belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang pajak, Pajak
Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan)
CARA PENGAJUAN PERMOHONAN PENGEMBALIAN (RESTIRUSI)
1. PKP dapat mengajukan permohonan pengembalian kelebihan Pajak dengan
menggunakan :
1. SPT Masa PPN, dengan cara mengisi (memberi tanda silang) pada kolom
“Dikembalikan (restitusi)”; atau
2. Surat permohonan tersendiri, apabila kolom “Dikembalikan (restitusi)” dalam SPT
Masa PPN tidak diisi atau tidak mencantumkan tanda permohonan pengembalian
kelebihan Pajak.
2. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak diajukan kepada KPP di tempat PKP
dikukuhkan.
3. Permohonan pengembalian kelebihan Pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1
(satu) Masa Pajak.
PENELITIAN DAN SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN
PAJAK (SKPPKP)
1. Penelitian dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang
diajukan oleh:
1. PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP;
 Pasal 17C UU KUP berisi tentang WP dengan Kriteria tertentu (WP Patuh).
2. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17D UU KUP; atau
 Pasal 17 D UU KUP berisi tentang WP yang memenuhi persyaratan tertentu.
3. PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU
PPN. Penelitian oleh DJP dilakukan terhadap:
 kebenaran pemenuhan ketentuan Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e Undang-Undang PPN;
 kelengkapan Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya;
 kebenaran penulisan dan penghitungan pajak; dan
 kebenaran pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh Wajib Pajak.
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian
kelebihan Pajak yang diajukan oleh PKP, harus menerbitkan Surat Keputusan
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama 1 bulan sejak
saat diterimanya permohonan pengembalian kelebihan Pajak.
3. Apabila jangka waktu 1 bulan tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan SKPPKP, permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang
diajukan dianggap dikabulkan dan SKPPKP harus diterbitkan paling lama 7 hari setelah
jangka waktu 1 bulan tersebut berakhir.
TIDAK DITERBITKANNYA SKPPKP TERHADAP PKP BERESIKO RENDAH
1. Terhadap PKP beresiko rendah, SKPPKP tidak diterbitkan apabila :
1. hasil penelitian menyatakan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan
Pasal 9 ayat (4b) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e Undang- Undang
PPN;
2. hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar;
3. lampiran Surat Pemberitahuan tidak lengkap; dan/atau
4. pembayaran Pajak tidak benar.
2. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan, terhadap PKP beresiko rendah tersebut harus
diberikan pemberitahuan secara tertulis dengan menggunakan formulir lampiran PMK-
72/PMK.03/2010 dan permohonan pengembalian kelebihan Pajak; dari PKP ini akan
diproses berdasarkan ketentuan Pasal 17B UU KUP.
PEMERIKSAAN DAN SKP
1. Pemeriksaan dilakukan terhadap permohonan pengembalian kelebihan Pajak yang
diajukan oleh PKP selain:
1. PKP Kriteria tertentu (Pasal 17 C UU KUP),
2. PKP yang memenuhi persyaratan tertentu (Pasal 17 D UU KUP),
3. PKP Resiko rendah (Pasal 9 ayat 4C UU PPN).
2. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan Pajak harus menerbitkan SKP paling lama 12 bulan sejak permohonan
pengembalian kelebihan Pajak diterima.Jangka waktu 12 bulan ini tidak berlaku dalam
hal terhadap PKP sedang dilakukanpemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang
perpajakan.
3. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama 1 bulan setelah jangka
waktu tersebut berakhir.;
PEMERIKSAAN TERHADAP PKP PASAL 17 C UU KUP, PASAL 17D UU KUP, PKP
RESIKO RENDAH
1. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan
Pajak dapat melakukan pemeriksaan kepada PKP berisiko rendah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, PKP kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17C UU KUP, atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP
2. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan; diterbitkan SKPKB, PKP kriteria tertentu
atau PKP yang memenuhi persyaratan tertentu wajib membayar jumlah kekurangan Pajak
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah
kekurangan pembayaran Pajak
3. Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan diterbitkan SKPKB, PKP berisiko rendah wajib
membayar jumlah kekurangan Pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga
sebesar 2% per bulan, paling lama 24 bulan, dari jumlah kekurangan pembayaran Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) UU KUP.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban


perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat
Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban
perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha
sebenarnya yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Kewajiban perpajakan atas
pajak Wajib Pajak sendiri yaitu Pajak Penghasilan atau yang dikenal PPh
Badan dan PPh Orang Pribadi, maupun kewajiban pemotongan dan
pemungutan seperti Pajak Pertambahan Nilai, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka
menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang
dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan standar
pemeriksaan. Setelah dilakukan pengujian-pengujian terhadap data,
keterangan, dan/atau bukti maka pemeriksa akan menerbitkan surat
ketetapan pajak:
[a.] Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dalam hal jumlah pokok pajak
sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak;
[b.] Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dalam hal besarnya
jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih
harus dibayar;
[c.] Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dalam hal jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar
daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang;
[d.] Surat Tagihan Pajak (STP) dalam hal ada sanksi administrasi berupa
bunga dan/atau denda;
[e.] Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) dalam hal
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
Berbeda dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pajak,
pemeriksaan untuk tujuan lain tidakmenerbitkan surat ketetapan
pajak. Pemeriksaan untuk tujuan lain di antaranya:
[a.] pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
[b.] penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
[c.] pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
[d.] Wajib Pajak mengajukan keberatan;
[e.] pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto;
[f.] pencocokan data dan/atau alat keterangan;
[g.] penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
[h.] penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
[i.] pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
[j.] penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas
perpajakan; dan/atau
[k.] pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda

Satu jenis pajak artinya jenis pajak yang diperiksa hanya satu saja.
Sebelumnya, satu jenis pajak lebih banyak digunakan untuk pemeriksaan
lebih bayar PPN. Tetapi sejak SE-28/PJ/2013 maka untuk pemeriksaan
lebih bayar PPh Orang Pribadi dan PPh Badan diharuskan satu jenis pajak.
Maksud pembatasan jenis pemeriksaan menjadi satu jenis pajak adalah
agar pemeriksaan fokus kepada yang lebih bayar dan mempercepat
penyelesaian. Analisis dari Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan
menyimpulkan bahwa pemeriksaan rutin untuk pemeriksaan lebih bayar
terlalu membebani kinerja pemeriksa pajak secara keseluruhan. Kegiatan
pemeriksaan lebih bayar sekitar65% dari keseluruhan penugasan. Dan
diantara penugasan pemeriksaan lebih bayar tersebut sebagiannya
dikarena SPT lebih bayar yang nominalnya tidak signifikan. Untuk
mengurangi beban tersebut, maka sejak SE-28/PJ/2013 pemeriksaan
pajak karena SPT lebih bayar dilakukan dengan satu jenis pajak. Ditambah
lagi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan No.
198/PMK.03/2013 dan Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-12/PJ/2014
yang menggeser lebih bayar “receh-receh” dilakukan dengan penelitan
oleh petugas AR. Dan jangka waktu penyelesaian lebih bayar menjadi
lebih cepat, yaitu 15 hari kerja untuk PPh OP dan satu bulan untuk PPh
Badan dan Pajak Pertambahan Nilai.

KRITERIA PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:

Pemeriksaan untuk menguji


kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan harus
dilakukan terhadap Wajib
Pajak yang mengajukan
permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17B Undang-
Undang KUP.
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013:

Pemeriksaan untuk menguji


kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan dapat
dilakukan dalam hal
memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. Wajib Pajak
menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang
menyatakan lebih bayar,
selain yang mengajukan
permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);
b. Wajib Pajak yang telah
diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan
pembayaran pajak;
c. Wajib Pajak
menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang
menyatakan rugi;
d. Wajib Pajak melakukan
penggabungan, peleburan,
pemekaran, likuidasi,
pembubaran, atau akan
meninggalkan Indonesia
untuk selama-lamanya;
e. Wajib Pajak melakukan
perubahan tahun buku atau
metode pembukuan atau
karena dilakukannya
penilaian kembali aktiva
tetap;
f. Wajib Pajak tidak
menyampaikan atau
menyampaikan Surat
Pemberitahuan tetapi
melampaui jangka waktu
yang telah ditetapkan dalam
surat teguran yang terpilih
untuk dilakukan
Pemeriksaan berdasarkan
analisis risiko; atau
g. Wajib Pajak
menyampaikan Surat
Pemberitahuan yang terpilih
untuk dilakukan
Pemeriksaan berdasarkan
analisis risiko.
Menurut SE-28/PJ/2013 bahwa kriteria adalah alasan dilakukan
pemeriksaan pajak. Peraturan menteri keuangan selalu membagi alasan
pemeriksaan menjadi dua, yaitu pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh
Direktur Jenderal Pajak dan pemeriksaan yang merupakan kewenangan
Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh Direktur
Jenderal Pajak mengacu pada ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
Sedangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak mengacu pada Pasal 29
Undang-Undang KUP. Penjabaran kewenangan pemeriksaan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam peraturan menteri keuangan kemudian diatur pada
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan nomor 17/PMK.03/2013
yang dikutif diatas.

Kata kunci yang menunjukkan kewenangan adalah kata "dapat" dalam


kalimat "Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dapat dilakukan dalam hal..." Menurut peraturan menteri
keuangan, kriteria atau alasan pemeriksaan selain pemeriksaan SPT
Lebih Bayar yaitu:

1. SPT LB, selain yang mengajukan permohonan pengembalian


kelebihan pembayaran pajak yang biasa disebut restitusi Pasal 17
Undang-Undang KUP;
2. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan
kelebihan pembayaran pajak;
3. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
4. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran,
likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk
selama-lamanya;
5. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode
pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali aktiva
tetap;
6. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi
melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran
yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis
risiko; atau
7. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan
Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.

Ada tiga "mazhab" yang saya temukan terkait alasan pemeriksaan


pajak. Mazhab pertama alasan pemeriksaan mengatakan bahwa SPT
Wajib Pajak diperiksa jika ada bukti ketidakpatuhan yang dimiliki oleh
DJP. Harus ditemukan bukti ketidakbenaran SPT Wajib Pajak, baru
kemudian dilakukan pemeriksaan. Itulah pemeriksaan menguji kepatuhan.
Tetapi dalam kondisi database DJP yang belum terkelola dengan baik
maka akan ada simalakama antara pencarian data dan pemeriksaan. Salah
satu kewenangan pemeriksaan itu adalah meminjam dokumen apapun
yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Dengan data ini tentu pemeriksa bisa
menguji kepatuhan Wajib Pajak. Tetapi untuk masuk ke pemeriksaan, apa
yang dimiliki DJP? Jika Wajib Pajak memiliki pembisik yang mengatakan
bahwa database DJP belum terkelola dengan baik maka lebih aman bagi
mereka untuk tidak melaporkan SPT-nya karena dengan begitu tidak akan
diperiksa! DJP tidak punya alasan untuk melakukan pemeriksaan.
Sehingga teman saya pernah mengatakan, "Untuk mendapatkan bukti
ketidakpatuhan Wajib Pajak maka harus dilakukan pemeriksaan.
Sebaliknya untuk dilakukan pemeriksaan, harus ada bukti ketidakpatuhan.
Jadi mana dulu?"

Anda mungkin juga menyukai