Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Gas CO2 sering dinamakan sebagai gas asam (acid
gas), karena sifatnya yang asam. Karena sifat asamnya ini,
CO2 tergolong gas impurities yang sangat merugikan. Gas CO2
bersifat korosif dan dapat merusak bagian dalam utilitas pabrik
dan sistem perpipaannya. Gas CO2 akan bersifat korosif jika di
dalam gas alam terkandung uap air yang dapat mengasamkan
CO2 menjadi H2CO3. Sifat korosif CO2 akan muncul pada
daerah - daerah yang menyediakan penurunan temperatur dan
tekanan, seperti pada bagian elbow pipa, tubing-tubing, cooler,
dan injektor turbin. Di dalam fasilitas turbin, CO2 akan
mengakibatkan penurunan nilai kalor pembakaran turbin,
karena CO2 dan H2O merupakan produk dari pembakaran,
sehingga CO2 dan H2O tidak dapat dibakar. Menurunnya kalor
pembakaran akan mengurangi tegangan listrik yang dihasilkan
turbin. Dalam proses pencairan gas alam, CO2 bersifat
merugikan, karena pada suhu sangat rendah CO2 akan menjadi
padat (icing), sehingga mengakibatkan tersumbatnya sistem
perpipaan dan merusak tubing-tubing pada main heat
exchanger. Gas CO2 juga merupakan produk samping pada
industri amoniak. Karena CO2 merupakan racun terhadap
katalis sintesa amoniak, maka CO2 harus dipisahkan dari gas
proses sebelum memasuki unit sintesa amoniak. Melihat
besarnya kerugian yang dapat ditimbulkan oleh CO2, maka
penting sekali dilakukan proses pemisahan CO2 dari aliran gas.
Secara prinsip, berbagai cara dapat digunakan untuk
pemisahan CO2. Pemilihan metoda yang cocok tergantung
pada beberapa parameter, seperti konsentrasi CO2 di aliran
umpan, sifat alami komponen umpan, tekanan dan temperatur.

1
I.1.1 Metode Pemisahan Gas CO2
Berbagai macam proses secara luas telah
dikembangkan untuk mereduksi CO2 dari aliran gas, antara
lain yaitu metode membran, kriogenik, adsorpsi, dan yang
paling umum digunakan adalah metode absorpsi dengan
larutan kimia. Membran merupakan metode pemisahan yang
tidak membutuhkan zat kimia tambahan dan juga kebutuhan
energinya sangat minimum. Membran dapat bertindak sebagai
filter yang sangat spesifik. Hanya molekul-molekul dengan
ukuran tertentu saja yang bisa melewati membran sedangkan
sisanya akan tertahan di permukaan membran. Tetapi
penggunaan membran membutuhkan aliran gas yang sangat
murni, dan terbebas dari partikel pengotor. Sementara
kriogenik dapat dipakai untuk tekanan parsial CO2 yang besar
namun dengan adanya proses pendinginan biaya yang
dikeluarkan tidak sedikit. Bila digunakan untuk kandungan gas
CO2 yang rendah metode ini tidak efektif dari segi ekonomi,
metode ini biasanya hanya digunakan pada aliran gas dengan
kandungan CO2 yang sangat besar. Sedangkan adsorpsi telah
diterapkan namun kapasitas dan selektivitas yang rendah tidak
berpotensi untuk pengambilan CO2 dari aliran gas dengan
baik.
Metode absorpsi adalah metode pemisahan yang
paling ekonomis untuk memisahkan CO2 dari aliran gas.
Absorpsi CO2 dengan larutan kimia atau fisika adalah
teknologi yang dikembangkan dengan baik dan telah
diaplikasikan pada berbagai proses komersial, termasuk
pemurnian gas dan produksi Ammonia. Banyak penelitian
telah dilakukan pada teknologi ini lebih dari 50 tahun yang
lalu, terutama pada pengembangan pengetahuan terhadap
spesifikasi dan karakteristik dari jenis pelarut. Sebagai contoh
yang telah banyak dipublikasikan yaitu jenis pelarut seperti
amine, sedangkan pengembangan pengetahuan mengenai
campuran pelarut yang kompleks masih sedikit dilakukan, di
mana teknologi ini merupakan teknologi yang paling efektif.
2
Salah satu proses absorpsi/stripping yang banyak dipakai dan
dikembangkan adalah dengan sirkulasi larutan kimia. Proses
semacam ini banyak dipakai pada produksi ammonia dan
pemurnian gas alam. Sedangkan untuk proses absorpsi fisika
biasanya diaplikasikan pada tekanan yang tinggi. Beberapa
pelarut yang umum digunakan yaitu Selexol, Rectisol, dan
Purisol. Karena pelarut fisika tidak bereaksi dengan CO2,
maka pelarut tidak terkonsumsi (tidak berkurang). Sebagai
tambahan, panas absorpsi dibatasi pada enthalpy absorpsi
fisika, yang mana nilainya jauh lebih rendah dibandingkan
dengan menggunakan pelarut yang reaktif. Proses dibatasi
oleh selektivitas dan laju absorpsi yang rendah.

I.1.2 Penelitian-penelitian Terdahulu


Dang dan Rochelle (2001), melakukan penelitian
mengenai kelarutan dan laju absorpsi CO2 dalam
monoethanolamine/ piperazine/ air yang diukur dalam wetted
wall column pada 40 – 60 oC. Konsentrasi total amine
divariasikan dari 1 M hingga 5 M dengan campuran
monoethanolamine yang mengandung 0 hingga 1,2 M
piperazine. Kelarutan CO2 dan jenis larutan disimulasikan
dengan 9 reaksi kesetimbangan. Dua konstanta kesetimbangan
diatur agar cocok dengan data literatur. Laju absorpsi
diprediksi dengan teori difusi dengan reaksi kimia yang cepat.
Piperazine pada 24 % mol dari total amine mengurangi
tekanan kesetimbangan CO2 50 % dan meningkatkan laju
absorpsi CO2 50 % hingga 100 %. Enhancement factor CO2
berkurang dengan satu tingkat ketika loading meningkat dari 0
hingga 0,5 mol CO2/ mol amine.
Kaewsichan et al (2001), mengembangkan model
thermodinamik untuk menunjukkan kesetimbangan uap-cair
(VLE) dari sistem CO2-H2S-MEA- MDEA-H2O. Model ini
menghitung kesetimbangan kimia dalam fase cair dan
kesetimbangan físika antara fase cair dan uap. Koefisien
aktifitas ditunjukkan oleh persamaan electrolyte-UNIQUAC.
3
Pengembangan sekarang ini menggunakan pendekatan
interaksi pasangan ion dan memenuhi prinsip-prinsip tolak-
menolak ion yang sama dan netralitas listrik secara lokal.
Kontribusi dari interaksi ion-ion dalam rentang yang panjang
(long range) disajikan oleh rumus Debye-Huckel yang cocok
untuk pelarut campuran, air dan alkanolamine. Parameter yang
dapat diatur pada persamaan electrolyte-UNIQUAC, yang
menunjukkan interaksi biner rentang yang pendek (short
range), ditentukan oleh data regresi yang menggunakan data
VLE sistem biner, terner dan quaterner. Tekanan uap H2S dan
CO2 yang diprediksi sesuai dengan data percobaan yang
dilaporkan untuk larutan satu gas asam demikian juga untuk
campuran H2S dan CO2 dalam MEA dan MDEA dan
campurannya dalam rentang temperatur 25 - 120 oC.
Cullinane dan Rochelle (2004), melakukan penelitian
mengenai thermodinamik dan data kinetik untuk aqueous
potassium carbonate dengan promotor piperazine. Penelitian
ditujukan pada kondisi tipe absorber untuk removal CO2 dari
flue gas. Piperazine, digunakan sebagai aditif dalam 20 –
30 % berat K2CO3, diteliti dalam wetted-wall column
menggunakan konsentrasi 0,6 m, pada 40 – 80 o C.
Penambahan 0,6 m piperazine hingga 20 % berat sistem
K2CO3 mengurangi tekanan parsial kesetimbangan CO2
dengan mendekati 85 % pada intermediate CO2 loading.
Distribusi jenis piperazine dalam larutan ditentukan oleh
promotor NMR. Menggunakan jenis data dan konstanta
kesetimbangan yang relevan, model dikembangkan untuk
memprediksi jenis sistem dan kesetimbangan. Penambahan 0,6
m piperazine pada 20 % berat K2CO3 meningkatkan laju
absorpsi CO2 dengan satu tingkat pada 60 oC. Laju absorpsi
CO2 di dalam larutan yang diberi promotor adalah sebanding
dengan laju absorpsi CO2 di dalam 5 M MEA. Penambahan
0,6 m piperazine pada 20 % berat K2CO3 menaikkan panas
absorpsi dari 3,7 menjadi 10 kcal/mol. Kapasitas mempunyai

4
rentang dari 0,4 sampai 0,8 mol-CO2/kg-H2O untuk larutan
PZ/K2CO3, sebanding dengan amine yang lain.
Hilliard (2005), melakukan penelitian mengenai
proses penghilangan CO2 dengan pelarut potassium carbonate
(K2CO3) dan piperazine (PZ). Penelitian ini mengukur
kelarutan CO2 pada 40 – 110 oC dengan rentang komposisi
larutan dalam PZ/K2CO3 yang luas. Hilliard menggunakan
model electrolyte-NRTL, di mana ditemukan bahwa panas
absorpsi CO2 yang nampak adalah, secara mengejutkan,
merupakan fungsi dari temperatur. Hilliard memprediksi
volatilitas dari PZ untuk 5 m K+/2,5 m PZ pada 40 dan 60 oC.
Hilliard dapat menyajikan kelakuan/ sifat VLE dari K+/PZ
yang menyimpang sebesar 13%. Prediksi untuk tekanan uap
PZ menunjukkan bahwa walaupun menggunakan model
thermodinamik electrolyte-NRTL yang cukup teliti dapat
memprediksi kelarutan CO2, ternyata terdapat
ketidakkonsistenan antara kemampuan prediksi untuk tekanan
uap PZ karena kurangnya data literatur.
Benamor dan Aroua (2005), melakukan penelitian
mengenai kesetimbangan data konsentrasi CO2 dan carbamate
untuk absorpsi CO2 dalam larutan aqueous dari satu atau
campuran amine dianalisis menggunakan model Deshmukh-
Mather. Data CO2 loading dalam larutan aqueous dari DEA
dan MDEA dan campurannya pada temperatur yang bervariasi
(303 – 323 K) dan tekanan parsial CO2 (0,09 – 100 kPa)
bersama dengan konsentrasi carbamate dalam DEA dan
campurannya dengan MDEA dicocokkan secara simultan
untuk menghasilkan parameter interaksi yang berbeda yang
dibutuhkan untuk menghitung koefisien aktifitas dalam model.
Menggunakan parameter interaksi yang dihasilkan, model
dipakai untuk menghubungkan CO2 loading dalam larutan
DEA dan MDEA dan campurannya yang dilaporkan dalam
literatur, di mana sesuai dengan yang terkandung dalam
percobaan dan dapat memberi estimasi yang baik pada CO2

5
loading dan konsentrasi carbamate di atas rentang yang luas
pada kondisi operasi dalam satu dan campuran larutan amine.
Winarno et al (2008) melakukan penelitian mengenai
proses absorpsi disertai reaksi kimia gas CO2 memakai larutan
K2CO3 atau hot potassium carbonate dan bahan aktivator DEA
(Diethanolamine). Di mana penelitian ini bertujuan
menentukan kesetimbangan sistem CO2-K2CO3-DEA-H2O
memakai kolom absorpsi tipe wetted wall column pada
tekanan atmosfer. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa
kenaikan konsentrasi CO2 dalam gas umpan pada temperatur
konstan akan menyebabkan kenaikan CO2 loading, penurunan
kadar K2CO3, kenaikan kadar KHCO3, kenaikan kelarutan CO2
dan kenaikan tekanan parsial kesetimbangan CO2. Hasil
eksperimen juga dikorelasikan dengan model Electrolyte Non-
Random Two Liquids (ENRTL) dengan deviasi absolut 3,5%.
Kuswandi et al (2008), melakukan penelitian
mengenai data kesetimbangan atau solubilitas CO2 dalam
larutan Potassium Karbonat untuk meningkatkan kinerja
proses absorpsi. Pada penelitian ini dilakukan eksperimen
dengan menggunakan wetted wall column sebagai absorber
dari berbagai konsentrasi potassium karbonat : 10, 15, 20, 25
dan 30 % massa dan suhu operasi 30, 40, 50, dan 60 oC.
Analisa dilakukan dengan menggunakan pH meter dan titrasi.
Perhitungan estimasi menggunakan persamaan kesetimbangan
uap-cair dan reaksi kimia dengan metode ENRTL. Hasil
penelitian menunjukkan penurunan jumlah mol CO2 yang
terlarut dengan naiknya suhu dan konsentrasi larutan
potassium karbonat. Perbandingan hasil estimasi dengan hasil
eksperimen menunjukkan sedikit perbedaan dan profilnya
cenderung sama.
Leron et al (2009), melakukan penelitian mengenai
data kelarutan CO2 dalam larutan yang mengandung
konsentrasi TEA (Triethanolamine) dan PZ (Piperazine)
berbeda. Data kesetimbangan kelarutan diukur pada 313,2 ;
333,2 ; 353,2 K dan pada tekanan sampai 153 kPa
6
menggunakan kesetimbangan vapor-recirculation.
Konsentrasi TEA dalam campuran pelarut yaitu 2 dan 3
kmol.m-3 dan konsentrasi PZ yaitu 0,5 ; 1,0 ; dan 1,5 kmol.m-3.
Kelarutan CO2 loading (dalam mol CO2 per mol total amine)
diestimasikan antara 2 hingga 3%. Data kelarutan (kapasitas
CO2 loading dalam larutan amine) dikorelasikan sebagai
fungsi dari tekanan parsial CO2, sistem temperatur, dan
komposisi amine menggunakan modifikasi model Kent-
Elsenberg dan perhitungan, secara umum memberikan hasil
yang memuaskan. Data kelarutan dengan hasil perhitungan
menunjukkan hasil yang cukup akurat untuk perhitungan
desain teknik.

I.2 Perumusan Masalah


Penelitian-penelitian mengindikasikan bahwa
potassium carbonate (K2CO3) mempunyai panas regenerasi
yang rendah tetapi laju reaksinya lambat bila dibandingkan
dengan amine. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
penambahan promotor amine dapat mempercepat proses
absorpsi. Adapun salah satu contoh penelitian terdahulu adalah
dengan penambahan promotor DEA (Diethanolamine) pada
larutan K2CO3 kemudian dikorelasikan dengan model E-
NRTL. Tetapi kelemahan dari DEA yaitu produk degradasinya
bersifat korosif dan juga foaming larutan sering terjadi pada
konsentrasi DEA yang tinggi.
Dari uraian di atas maka pada penelitian ini digunakan
MDEA (Methyldiethanolamine) sebagai promotor, di mana
MDEA tahan degradasi produk, tahan korosi, fouling, dan
foaming. Selain itu, MDEA juga mempunyai panas regenerasi
dan tekanan uap yang paling rendah dibanding amine yang
lain. Untuk memprediksi kelarutan CO2 dalam larutan
potassium carbonate dengan adanya promotor MDEA tersebut
perlu dilakukan permodelan yang dapat merepresentasikan
kesetimbangan sistem CO2-K2CO3-MDEA-H2O. Perhitungan
dilakukan dengan menggunakan bahasa program Matlab,
7
sistem persamaan non linear diselesaikan dengan metode
Newton Rhapson. Variabel yang akan dihitung adalah
komposisi kesetimbangan fasa cair dan uap pada tekanan
atmosferik dan tekanan tinggi yang sulit dilakukan pada
eksperimen. Koefisien aktifitas fasa cair diestimasi
menggunakan model elektrolit-UNIQUAC. Di mana
keunggulan dari model elektrolit-UNIQUAC ini yaitu model
ini dapat digunakan untuk berbagai macam multikomponen
dan hanya menggunakan dua parameter (binary). Selain itu
model ini dapat digunakan untuk campuran yang mempunyai
perbedaan ukuran dan bentuk.

I.3 Tujuan Penelitian


Memprediksi data solubilitas gas CO2 di dalam larutan
potasium karbonat (K2CO3) dengan promotor MDEA pada
variasi tekanan dan komposisi K2CO3-MDEA dengan
menggunakan model elektrolit-UNIQUAC.

I.4 Manfaat Penelitian


Data solubilitas yang diperoleh dapat digunakan
sebagai acuan untuk merancang packed column
absorpsi/stripping CO2.

Anda mungkin juga menyukai