Anda di halaman 1dari 24

Bagian Ilmu Anestesi REFERAT

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar Januari 2019

SEPSIS

Oleh :

ADEK SULISTIONO
10542023510

Pembimbing :
dr. DIAN WIRDIYANA Sp. An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN


ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : ADEK SULISTIONO
Judul referat : SEPSIS

Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Januari 2019

Pembimbing

(dr. DIAN WIRDIYANA Sp.An)

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat
dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Anestesi.
Selama persiapan dan penyusunan refarat ini rampung, penulis mengalami
kesulitan mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran dan kritik dari berbagai
pihak akhirnya referat ini dapat terselesaikan.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat
yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat
ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan yang
serupa dimana yang akan datang. Saya berharap sekiranya refarat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua Amin.

Makassar, Januari 2019


Hormat Saya

ADEK SULISTIONO

3
DAFTAR ISI

SAMPUL .................................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... 2

KATA PENGANTAR ............................................................................... 3

DAFTAR ISI .............................................................................................. 4

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................. 7

2.1 DEFINISI .............................................................................................. 7

2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................... 9

2.3 ETIOLOGI............................................................................................. 10

2.4 PATOFISIOLOGI................................................................................... 10

2.5 KRITERIA KLINIS DAN DIAGNOSIS................................................ 13

2.6 PENATALAKSANAAN...................................................................... . 16

BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 23

3.1 KESIMULAN........................................................................................ 23

3.2 SARAN.................................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 24

4
BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health Organization)


pada tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di ruang perawatan intensif
pada negara maju, dan insidensinya mengalami kenaikan. Setiap tahunnya terjadi
750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat. Hal seperti ini juga terjadi di negara
berkembang, dimana sebagian besar populasi dunia bermukim. Kondisi seperti standar
hidup dan higienis yang rendah, malnutrisi, infeksi kuman akan meningkatkan angka
kejadian sepsis.1 Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas
pada pasien dengan kondisi kritis.2 Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan
mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi merupakan
penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan rendah.1 Pengamatan 1
bulan pada tahun 2012 di ruang rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik ditemukan pada 23
dari 84 kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan mencapai
47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%. 3
Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi, saat patogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi.
Rangkaian patofisiologi sepsis didasari terjadinya inflamasi sistemik yang melibatkan
berbagai mediator inflamasi.3 Sejak tahun 2016 definisi sepsis mengalami perubahan
menjadi disfungsi organ yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan
regulasi respon host terhadap infeksi. Dulu Sepsis dibagi dalam derajat Systemic
Inflammatory Response Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, dan syok septik,
sekarang Sepsis hanya dibagi dalam derajat Sepsis dan Syok septik. Disfungsi organ
dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) >2 poin sebagai konsekuensi dari infeksi. Nilai SOFA dapat
dianggap nol pada pasien yang tidak diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara

5
skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi
di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya infeksi.
SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bias
dijadikan dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut bisa hanya
menggambarkan respon host yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan
disfungsi organ ringan kondisinya dapat memburuk lebih jauh, menandakan bahwa
sepsis merupakan suatu kondisi yang serius dan membutuhkan intervensi yang cepat
dan tepat. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini
bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat
sesegera mungkin.
Berdasarkan perubahan inilah penting untuk kita dapat memahami mengenai
Sepsis mulai dari definisi terbaru, derajat sepsis, penyebab hingga
penatalaksanaannya.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi
Dulu Sepsis didefinisikan sebagai suatu sindroma klinik yang terjadi
oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan demam, takikardia, takipnea, hipotensi dan
disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.4
Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3) tahun 2016, definisi sepsis dan derajat sepsis
mengalami perubahan. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2 poin sebagai konsekuensi
dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak diketahui
memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan dengan
risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan
kecurigaan adanya infeksi.4
Istilah sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi
organ yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi. Pengunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis
dianggap sudah tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari
kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya
inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak
menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan
SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan
adanya infeksi. 1,3

7
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan
istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali, hal ini bertujuan agar
sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat sesegera
mungkin. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh
yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan
skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick
SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. 1,3
Pasien dengan curiga adanya infeksi yang diprediksi menjalani
perawatan di ICU dalam jangka waktu lama atau diprediksi meninggal di
rumah sakit dapat secara cepat diidentifikasi dengan quick SOFA (qSOFA),
yang terdiri dari: 1,3
 Terganggunya status kesadaran
 Tekanan darah sistolik <100 mmHg
 Laju pernafasan >22 x/menit
Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan
penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Pengunaan
qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi
disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeksalasi terapi.1,3
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana
abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien
cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok
sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan adanya sepsis yang disertai hipotensi
persisten yang membutuhkan vasopresor untuk menjaga agar MAP >65
mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun telah diberi
resusitasi yang adekuat.1,3

8
2. 2 Epidemiologi

Berdasarkan buletin yang diterbitkan oleh WHO (World Health


Organization) pada tahun 2010, sepsis adalah penyebab kematian utama di
ruang perawatan intensif pada negara maju, dan insidensinya mengalami
kenaikan. Setiap tahunnya terjadi 750.000 kasus sepsis di Amerika Serikat.
Hal seperti ini juga terjadi di negara berkembang, dimana sebagian besar
populasi dunia bermukim. Kondisi seperti standar hidup dan higienis yang
rendah, malnutrisi, infeksi kuman akan meningkatkan angka kejadian sepsis.1
Sepsis dan syok septik adalah salah satu penyebab utama mortalitas pada
pasien dengan kondisi kritis. Pada tahun 2004, WHO menerbitkan laporan
mengenai beban penyakit global, dan didapatkan bahwa penyakit infeksi
merupakan penyebab tersering dari kematian pada negara berpendapatan
rendah.1
Di benua Asia, penelitian pada tahun 2009 di 150 ruang perawatan
intensif pada 16 negara (termasuk Indonesia) menunjukkan sepsis berat dan
renjatan septik merupakan 10,9% diagnosis perawatan intensif dengan angka
kematian mencapai 44,5%. Pengamatan 1 bulan pada tahun 2012 di ruang
rawat intensif Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta
menunjukkan sepsis berat dan renjatan septik ditemukan pada 23 dari 84
kasus perawatan intensif, dengan angka kematian dalam perawatan mencapai
47,8% dan angka kematian pada fase dini mencapai 34,7%. Data Koordinator
Pelayanan Masyarakat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM
menunjukkan jumlah pasien yang dirawat dengan diagnosis sepsis sebesar
10,3 % dari keseluruhan pasien yang dirawat di ruang rawat penyakit dalam.
Renjatan septik merupakan penyebab kematian tertinggi selama 3 tahun
berturut-turut (2009-2011), yaitu pada 49% kasus kematian pada tahun 2009
dan meningkat menjadi 55% pada tahun 2011 (data tidak dipublikasi).3

9
2. 3 Etiologi

Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri Gram negatif (60-70% kasus).


Staphylococci, pneumococci, streptococci, dan bakteri Gram positif lain lebih
jarang menimbulkan sepsis dengan angka kejadian antara 20-40% dari seluruh
angka kejadian sepsis. Jamur oportunistik, virus, atau protozoa juga
dilaporkan dapat menimbulkan sepsis dengan kekerapan lebih jarang.3
Terdapatnya lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin glikoprotein yang
merupakan komponen utama dari membran terluar bakteri gram negatif
berpengaruh terhadap stimulasi pengeluaran mediator proinflamasi, kemudian
menyebabkan terjadi inflamasi sistemik dan jaringan. Peptidoglikan
merupakan komponen dinding sel kuman dilaporkan juga dapat menstimulasi
pelepasan sitokin, juga berperan penting dalam proses agregasi trombosit.3
2. 4 Patofisiologi
Sepsis sekarang dipahami sebagai keadaan yang melibatkan aktivasi awal
dari respon pro-inflamasi dan anti- inflamasi tubuh.4 Bersamaan dengan
kondisi ini, abnormalitas sirkular seperti penurunan volume intravaskular,
vasodilatasi pembuluh darah perifer, depresi miokardial, dan peningkatan
metabolisme akan menyebabkan ketidakseimbangan antara penghantaran
oksigen sistemik dengan kebutuhan oksigen yang akan menyebabkan hipoksia
jaringan sistemik atau syok.6 Presentasi pasien dengan syok dapat berupa
penurunan kesadaran, takikardia, penurunan kesadaran, anuria. Syok
merupakan manifestasi awal dari keadaan patologis yang mendasari. Tingkat
kewaspadaan dan pemeriksaan klinis yang cermat dibutuhkan untuk
mengidentifikasi tanda awal syok dan memulai penanganan awal.1

10
Gambar 1 Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,
trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi.1

Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi
dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan
neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya
meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan
disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive
oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eikosanoid.1 Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-

11
1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis
dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.5

Gambar 2 Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,


trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi.5

12
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses
tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular,
trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan
terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.1
2. 5 Kriteria Klinis dan Diagnosis
Berdasarkan definisi sepsis terbaru yaitu disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi, maka diperlukan sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) untuk mengetahui kegagalan fungsi organ sebagain akibat dari
konsekuensi infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan
dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum
dengan kecurigaan adanya infeksi. Berikut sistem skoring SOFA.

13
Tabel 1. Sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA)1
Skor qSOFA ditujukan untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan
curiga infeksi yang memiliki kecenderungan memperoleh outcome yang
buruk. Parameter ini berguna bagi klinisi untuk secara cepat mengidentifikasi
disfungsi organ serta memberikan terapi yang tepat dan sesegera mungkin.
Pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi dan dirawat di ICU skor
qSOFA tidak terlalu signifikan dalam memprediksi kematian dalam rumah
sakit jika dibandingkan dengan skor SOFA, hal ini mungkin dipengaruhi oleh
faktor perancu salah satunya yaitu penggunaan peralatan untuk menyokong
organ (misal ventilasi mekanik, vasopresor). Namun, pada pasien dengan curiga
infeksi yang dirawat di luar ICU, validitas skor qSOFA untuk memprediksi

14
kematian di rumah sakit lebih tinggi daripada skor SOFA. Berikut adalah skor
qSOFA.

 Terganggunya status kesadaran


 Tekanan darah sistolik <100 mmHg
 Laju pernafasan >22 x/menit

Skor qSOFA menjadi 2 kelompok yaitu kelompok skor qSOFA >2 dan
<2. Pembagian ini didasarkan pada pustaka yang menyatakan bahwa skor
qSOFA >2 merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis apakah pasien
dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak sehingga diperkirakan
skor tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok sepsis.

Tabel 3. Perbedaan diagnosis sepsis dan syok sepsis yang terbaru dengan
yang sebelumnya

15
2. 6 Penatalaksanaan

Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh


SCCM dan ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis
Guidelines pertama kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada
tahun 2008 dan 2012. Pada bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving
Sepsis Guidelines dipresentasikan pada pertemuan tahunan SCCM dan
dipublikasikan di Critical Care Medicine dan Intensive Care Medicine
dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi yang terbaru.
Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah resusitasi
awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik
awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi),
tata laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.2

1. Resusitasi Awal
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang
dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001 diberikan
resusitasi standar atau EGDT di ruang IGD sebelum dipindahkan
ke ruang ICU. Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi
EGDT mendapatkan terapi cairan, transfusi darah, dan inotropic.
Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan
terapi EGDT, kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO2 dan
pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit basa yang
lebih rendah. Kadar laktat ≥4 mmol/L segera lakukan resusitasi,
namun bila kadar laktar >2, perlu dilakukan pemeriksaan 2 – 4
jam berikutnya. 7 Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan
pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan
masa inap rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan

16
komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi, dan
gagal nafas akut.
Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan
3 protokol lain seperti ARISE (Australasian Resuscitation in
Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized Management in
Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock)
dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis
Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi
oksigen vena sentral tidak dilakukan lagi. Dalam protokol yang
dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah
dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan
terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam
atau kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik
(tekanan vena sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan
ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan cairan
secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada
protokol sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus
menentukan angka tekanan vena sentral secara spesifik dan
ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk
menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini
menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid
challenge” untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari
pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan
pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat
dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan
apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek
lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi
resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus terhadap

17
kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis
untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut. Pemeriksaan lain
yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity,
passive leg raising, ekokardiografi.
2. Penggunaan Vasoaktif
Andrew Rhodes, et al dalam jurnal Surviving Sepsis
Campaign merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor
pilihan pertama. Andrew juga menyarankan penggunaan
vasopressin (hingga 0.03 U/min) atau epinefrin senagai tambahan
norepinefrin hingga mencapai target MAP atau menambahkan
vasopressin (hingga 0.03 U/min) untuk menurunkan dosis
norepinefrin.
Penggunaan dopamin sebagai vasopressor alternatif hanya
pada pasien terpilih (contoh pasien dengan risiko rendah
takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif). Penggunaan
dopamin dosis rendah dilarang pada pasien yang memerlukan
proteksi renal. Penggunaan dobutamin pada pasien yang terbukti
persisten hypoperfusi walaupun telah diberikan loading cairan dan
penggunaan vasopressor.
3. Penanganan Infeksi
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi
merupakan komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat
kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1
jam untuk sepsis maupun syok sepsis. Rekomendasi ini
berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa
penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian.

18
Pasien sepsis dan syok sepsis sebagian besar menderita
satu atau lebih bentuk imunokompromise, penggunaan antibiotik
spektrum luas mampu untuk menangani infeksi nosokomial.
Antibiotik yang sering digunakan ialah carbapenem (contoh
meropenem, imipenem/cilastatin atau doripenem) atau penisilin/
kombinasi inhibitor β-lactam (contoh piperacillin/tazobactam atau
ticarcillin/clavulanate). Cephalosporin generassi ketiga atau yang
lebih tinggi juga dapat digunakan, khususnya dalam bagian
multidrug regimen. Untuk meningkatkan keefektifitas
penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas
sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber
penularan kuman.

4. Kontrol Sumber Infeksi


Pengendalian sumber infeksi atau source control
merupakan semua bentuk upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan sumber infeksi, mengendalikan kontaminasi yang
sedang berlangsung dan mengembalikan anatomi serta fisiologi
seperti kondisi premorbid. Fokus infeksi yang memerlukan
tindakan pengendalian sumber infeksi, antara lain:11
• Abses intra-abdomen • Perforasi organ gastrointestinal

• Iskemia usus • Kolangitis

• Pielonefritis • Infeksi jaringan lunak disertai nekrosis

• Empiema • Artritis septik

• Fraktur terbuka • Infeksi kaki diabetik


Adapun prinsip utama pengendalian sumber infeksi terdiri atas 3
“D”, yaitu:

19
- Drainase abses. Terbentuknya abses akan mengisolasi sumber
infeksi dari sirkulasi sistemik, sekaligus menghambat masuknya
sel imun dan antimikroba. Drainase memfasilitasi jalan keluar isi
abses sehingga proses inflamasi berangsur berkurang. Upaya ini
harus dapat menjamin aliran isi abses ke luar dan dianggap
berhasil bila terbentuk sinus atau fistula yang terkendali.
- Debridement jaringan non vital atau terinfeksi. Jaringan non
vital dan bekuan darah merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Disamping itu, benda asing
(implan) meningkatkan risiko terjadi infeksi. Debridement adalah
proses membuang jaringan non vital, termasuk benda asing
(implan) yang dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme.
- Terapi definitif untuk mengembalikan anatomi dan fungsi.
Tujuan utama terapi definitif adalah mengembalikan fungsi
dengan risiko paling minimal. Tindakan ini dilakukan dengan
tetap mengantisipasi kebutuhan rekonstruksi di kemudian hari.
Operasi ulang (reoperasi) sedapat mungkin ditunda sampai terjadi
resolusi dari seluruh komplikasi.
5. Kortikosteroid

Pada kondisi sepsis, sitokin menekan respons produksi


kortisol yang seharusnya meningkat akibat stimulasi peningkatan
ACTH. Penekanan respons tersebut menyebabkan aktivitas
adrenal yang buruk. Prevalens insufisiensi adrenal pada renjatan
septik ini berkisar 50%. Atas dasar ini maka pemberian
kortikosteroid dinilai dapat bermanfaat pada renjatan septik.
Selain itu steroid memperkuat efek vasoaktif terhadap pembuluh
darah dengan cara menghambat ambilan katekolamin di

20
neuromuscular junction serta meningkatkan afinitas terhadap
reseptor adrenergik β di otot polos arteri.

Pada pasien syok sepsis selain resusitasi cairan yang


adekuat dan terapi vasopressor, pemberian hydrokortisone
intravena mampu mengembalikan stabilitas hemodinamik. Dosis
hydrocotisone intravena 200 mg per hari.

6. Pemberian komponen darah


Sumsum tulang tidak dapat memberikan respons yang baik
untuk memobilisasi eritrosit pada pasien dalam kondisi sepsis
berat dan renjatan septik yang mengalami hipoksia jaringan
global. Selain itu kadar eritropoietin dalam kondisi demikian pun
bervariasi. Atas dasar pemikiran tersebut maka anemia pada
kondisi hipoksia jaringan global memerlukan pemberian transfusi
eritrosit.
Transfusi RBC hanya saat kadar hemoglobin <7.0 g/dL
tanpa iskemik miokardial, hypoxemia berat atau hemoragik akut.
Pemberian eripropoietin untuk penanganan anemia akibat sepsis.
Penggunaan fresh frozen plasma untuk memperbaiki abnormalitas
pembekuan tanpa adanya perdarahan dilarang. Prophylaxis
transfusi platelet ketika trombosit <10.000/mm3 tanpa perdarahan
dan <20.000/mm3 dengan risiko tinggi perdarahan. Dapat juga
diberikan ketika trombosit >50.000/mm3 dengan perdarahan aktif,
pembedahan atau prodesur invasif.
7. Immunoglobulin intravena pada pasien sepsis atau syok sepsis
direkomendasikan.

21
8. Antikoagulan
Penggunaan anti-thrombin dalam penanganan sepsis dan
syok sepsis untuk mencegah kejadian DIC. Penggunaan
trombomodulin atau heparin tidak direkomendasikan.
9. Ventilasi mekanik
Target tidal volume ventilasi mekanik pada pasien sepsis 6
mL/kg, dan pada sepsis-induced ARDS target tidal volume 12
mL/kg.
10. Sedasi, Anlgesia dan obat pelumpuh otot
Dapat digunakan untuk pasien sepsis berat dan dan syok sepsis
yang dirawat di ICU.
11. Kontrol glukosa
Target glukosa pada pasien sepsis ialah ≤180 mg/gl.insulin
digunakan bila glukosa >180 mg/dl. Monitor glukosa dilakukan
tiap 1 – 2 jam hingga target glukosa tercapai dan infus insulin
stabil.
12. Prophylaxis Stress Ulcer
Prophylaxis stress ulcer diberikan pada pasien sepsis atau
syok sepsis yang berisiko perdarahan saluran cerna.
Direkomendasikan penggunaan PPIs atau H2RAs. Prophylaxis
stress ulcer tidak dianjurkan pada pasien yang tidak berisiko
mengalami perdaharan saluran cerna.

22
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang mengancam jiwa


yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap infeksi.
Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor Sequential
Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2 poin sebagai konsekuensi dari infeksi.
Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and Septic
Shock (Sepsis-3) tahun 2016 derajat sepsis SIRS dan sepsis berat telah
dihilangkan sehingga hanya terdiri atas Sepsis dan syok sepsis.

Penatalaksanaan sepsis terbaru antara lain: resusitasi awal,


penggunaan vasoaktif, penanganan infeksi, kontrol sumber infeksi,
kortikosteroid, pemberian komponen darah, imunoglobulin, antikoagulan,
ventilasi mekanik, sedasi, kontrol glukosa, dan prophylaxis stress ulcer.

3.2 Saran

Mengetahui dan memahami definisi sepsis terbaru sangat penting


untuk kelanjutan diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat, sehingga pasien
dengan sepsis dapat segera terdeteksi sebelum berlanjut ke syok sepsis, dan
dapat mengurangi angka kematian akibat syok sepsis.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Irvan, Febyan, Suparto. Sepsis dan Tatalaksana Berdasar Guideline Terbaru.


2018; X(2).
2. Mehta Y, Kochar G. Sepsis and septic shock. Journal of Cardiac Critical Care
TSS. 2017; 1(1): 3-5.
3. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/342/2017 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Sepsis.
4. Singer Mervyn, et al. The Third International Consensus Definitions for
Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). 2016; JAMA. 2016;315(8):801-810.
5. Bernard GR, Vincent JL, Laterre PF, LaRosa S, Dhainaut JP, Rodriguez AL,
et al. Efficacy and safety of recombinant human activated protein c for severe
sepsis. N Eng J Med. 2001; 344 (10): 699- 709.
6. Rivers, E, Nguyent B, Havstad S, Ressler J, Muzzin A, Knoblich B, et al.
Early goal directed therapy in the treatmenr of severe sepsis and septic shock.
N Eng J Med. 2001; 345 (19): 1368-77
7. Levy Mitchell M, et al. The Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018 Update.
Juni 2018; 46(6)
8. Rhodes Andrew, et al. Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines
for Management of Sepsis and Septic Shock

24

Anda mungkin juga menyukai