SEPSIS
SEPSIS
SEPSIS
Oleh :
ADEK SULISTIONO
10542023510
Pembimbing :
dr. DIAN WIRDIYANA Sp. An
1
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.
Pembimbing
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-
nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta sahabat
dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di
bagian Ilmu Anestesi.
Selama persiapan dan penyusunan refarat ini rampung, penulis mengalami
kesulitan mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran dan kritik dari berbagai
pihak akhirnya referat ini dapat terselesaikan.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan rahmat
yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat
ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan penulisan yang
serupa dimana yang akan datang. Saya berharap sekiranya refarat ini dapat
bermanfaat bagi kita semua Amin.
ADEK SULISTIONO
3
DAFTAR ISI
SAMPUL .................................................................................................... 1
2.2 EPIDEMIOLOGI................................................................................... 9
2.3 ETIOLOGI............................................................................................. 10
2.4 PATOFISIOLOGI................................................................................... 10
2.6 PENATALAKSANAAN...................................................................... . 16
3.1 KESIMULAN........................................................................................ 23
3.2 SARAN.................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 24
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
skor SOFA >2 dihubungkan dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi
di rumah sakit umum dengan kecurigaan adanya infeksi.
SIRS yang terdapat dalam definisi sepsis terdahulu dianggap tidak bias
dijadikan dasar diagnosis karena respon inflamasi tersebut bisa hanya
menggambarkan respon host yang normal dan adaptif. Bahkan pasien dengan
disfungsi organ ringan kondisinya dapat memburuk lebih jauh, menandakan bahwa
sepsis merupakan suatu kondisi yang serius dan membutuhkan intervensi yang cepat
dan tepat. Dalam definisi terbaru ini, istilah “sepsis berat” telah dihilangkan, hal ini
bertujuan agar sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat
sesegera mungkin.
Berdasarkan perubahan inilah penting untuk kita dapat memahami mengenai
Sepsis mulai dari definisi terbaru, derajat sepsis, penyebab hingga
penatalaksanaannya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
Dulu Sepsis didefinisikan sebagai suatu sindroma klinik yang terjadi
oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan produk
mikroorganisme. Ditandai dengan demam, takikardia, takipnea, hipotensi dan
disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.4
Berdasarkan Third International Consensus Definitions for Sepsis and
Septic Shock (Sepsis-3) tahun 2016, definisi sepsis dan derajat sepsis
mengalami perubahan. Sepsis didefinisikan sebagai disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi. Disfungsi organ dinyatakan sebagai perubahan akut pada total skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2 poin sebagai konsekuensi
dari infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak diketahui
memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan dengan
risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum dengan
kecurigaan adanya infeksi.4
Istilah sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi
organ yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh
terhadap infeksi. Pengunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis
dianggap sudah tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari
kadar sel darah putih, temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya
inflamasi (respon tubuh terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak
menggambarkan adanya respon disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan
SIRS sendiri dapat ditemukan pada pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan
adanya infeksi. 1,3
7
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan
istilah sepsis berat sudah tidak digunakan kembali, hal ini bertujuan agar
sepsis tidak dianggap ringan dan bisa diberi penanganan yang tepat sesegera
mungkin. Implikasi dari definisi baru ini adalah pengenalan dari respon tubuh
yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok septik, peningkatan
skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan quick
SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. 1,3
Pasien dengan curiga adanya infeksi yang diprediksi menjalani
perawatan di ICU dalam jangka waktu lama atau diprediksi meninggal di
rumah sakit dapat secara cepat diidentifikasi dengan quick SOFA (qSOFA),
yang terdiri dari: 1,3
Terganggunya status kesadaran
Tekanan darah sistolik <100 mmHg
Laju pernafasan >22 x/menit
Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan
penggunaan skor SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium dan dapat dilakukan secara cepat dan berulang. Pengunaan
qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam mengenali kondisi
disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeksalasi terapi.1,3
Syok sepsis didefinisikan sebagai kondisi lanjut dari sepsis dimana
abnormalitas metabolisme seluler dan sirkulatorik yang menyertai pasien
cukup berat sehingga dapat meningkatkan mortalitas. Pasien dengan syok
sepsis dapat diidentifikasi berdasarkan adanya sepsis yang disertai hipotensi
persisten yang membutuhkan vasopresor untuk menjaga agar MAP >65
mmHg dan kadar laktat serum >2 mmol/L (18 mg/dL) walaupun telah diberi
resusitasi yang adekuat.1,3
8
2. 2 Epidemiologi
9
2. 3 Etiologi
10
Gambar 1 Gambar Rantai Koagulasi dengan dimulainya respon inflamasi,
trombosis, dan fibrinolisis terhadap infeksi.1
Patofisiologi keadaan ini dimulai dari adanya reaksi terhadap infeksi. Hal
ini akan memicu respon neurohumoral dengan adanya respon proinflamasi
dan antiinflamasi, dimulai dengan aktivasi selular monosit, makrofag dan
neutrofil yang berinteraksi dengan sel endotelial. Respon tubuh selanjutnya
meliputi mobilisasi dari isi plasma sebagai hasil dari aktivasi selular dan
disrupsi endotelial. Isi Plasma ini meliputi sitokin-sitokin seperti tumor
nekrosis faktor, interleukin, caspase, protease, leukotrien, kinin, reactive
oxygen species, nitrit oksida, asam arakidonat, platelet activating factor, dan
eikosanoid.1 Sitokin proinflamasi seperti tumor nekrosis faktor α, interleukin-
11
1β, dan interleukin-6 akan mengaktifkan rantai koagulasi dan menghambat
fibrinolisis. Sedangkan Protein C yang teraktivasi (APC), adalah modulator
penting dari rantai koagulasi dan inflamasi, akan meningkatkan proses fibrinolisis
dan menghambat proses trombosis dan inflamasi.5
12
Aktivasi komplemen dan rantai koagulasi akan turut memperkuat proses
tersebut. Endotelium vaskular merupakan tempat interaksi yang paling
dominan terjadi dan sebagai hasilnya akan terjadi cedera mikrovaskular,
trombosis, dan kebocoran kapiler. Semua hal ini akan menyebabkan
terjadinya iskemia jaringan. Gangguan endotelial ini memegang peranan
dalam terjadinya disfungsi organ dan hipoksia jaringan global.1
2. 5 Kriteria Klinis dan Diagnosis
Berdasarkan definisi sepsis terbaru yaitu disfungsi organ yang
mengancam jiwa yang disebabkan oleh kelainan regulasi respon host terhadap
infeksi, maka diperlukan sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA) untuk mengetahui kegagalan fungsi organ sebagain akibat dari
konsekuensi infeksi. Nilai SOFA dapat dianggap nol pada pasien yang tidak
diketahui memiliki disfungsi organ. Sementara skor SOFA ≥2 dihubungkan
dengan risiko kematian kurang lebih 10% pada populasi di rumah sakit umum
dengan kecurigaan adanya infeksi. Berikut sistem skoring SOFA.
13
Tabel 1. Sistem skoring Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA)1
Skor qSOFA ditujukan untuk mengidentifikasi pasien dewasa dengan
curiga infeksi yang memiliki kecenderungan memperoleh outcome yang
buruk. Parameter ini berguna bagi klinisi untuk secara cepat mengidentifikasi
disfungsi organ serta memberikan terapi yang tepat dan sesegera mungkin.
Pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi dan dirawat di ICU skor
qSOFA tidak terlalu signifikan dalam memprediksi kematian dalam rumah
sakit jika dibandingkan dengan skor SOFA, hal ini mungkin dipengaruhi oleh
faktor perancu salah satunya yaitu penggunaan peralatan untuk menyokong
organ (misal ventilasi mekanik, vasopresor). Namun, pada pasien dengan curiga
infeksi yang dirawat di luar ICU, validitas skor qSOFA untuk memprediksi
14
kematian di rumah sakit lebih tinggi daripada skor SOFA. Berikut adalah skor
qSOFA.
Skor qSOFA menjadi 2 kelompok yaitu kelompok skor qSOFA >2 dan
<2. Pembagian ini didasarkan pada pustaka yang menyatakan bahwa skor
qSOFA >2 merupakan salah satu dasar untuk mendiagnosis apakah pasien
dengan kecurigaan infeksi mengalami sepsis atau tidak sehingga diperkirakan
skor tersebut dapat menjadi prediktor mortalitas pada sepsis dan syok sepsis.
Tabel 3. Perbedaan diagnosis sepsis dan syok sepsis yang terbaru dengan
yang sebelumnya
15
2. 6 Penatalaksanaan
1. Resusitasi Awal
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang
dikembangkan oleh Rivers et al pada tahun 2001 diberikan
resusitasi standar atau EGDT di ruang IGD sebelum dipindahkan
ke ruang ICU. Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi
EGDT mendapatkan terapi cairan, transfusi darah, dan inotropic.
Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan
terapi EGDT, kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO2 dan
pH yang lebih tinggi dengan kadar laktat dan defisit basa yang
lebih rendah. Kadar laktat ≥4 mmol/L segera lakukan resusitasi,
namun bila kadar laktar >2, perlu dilakukan pemeriksaan 2 – 4
jam berikutnya. 7 Skor disfungsi organ lebih baik secara signifikan
pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan
masa inap rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan
16
komplikasi kardiovaskular seperti henti jantung, hipotensi, dan
gagal nafas akut.
Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan
3 protokol lain seperti ARISE (Australasian Resuscitation in
Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized Management in
Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock)
dan hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis
Guideline dimana pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi
oksigen vena sentral tidak dilakukan lagi. Dalam protokol yang
dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT telah
dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan
terapi cairan kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam
atau kurang. Dengan dihilangkannya target EGDT yang statik
(tekanan vena sentral), protokol ini menekankan pemeriksaan
ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan cairan
secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada
protokol sebelumnya merekomendasikan bahwa klinisi harus
menentukan angka tekanan vena sentral secara spesifik dan
ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk
menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini
menekankan bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid
challenge” untuk mengevaluasi efektivitas dan keamanan dari
pemberian cairan. Ketika status hemodinamik membaik dengan
pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat
dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan
apabila respon terhadap pemberian cairan tidak memberikan efek
lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah berubah dari strategi
resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus terhadap
17
kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis
untuk mengevaluasi respon dari terapi tersebut. Pemeriksaan lain
yang dapat digunakan seperti carotid doppler peak velocity,
passive leg raising, ekokardiografi.
2. Penggunaan Vasoaktif
Andrew Rhodes, et al dalam jurnal Surviving Sepsis
Campaign merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopressor
pilihan pertama. Andrew juga menyarankan penggunaan
vasopressin (hingga 0.03 U/min) atau epinefrin senagai tambahan
norepinefrin hingga mencapai target MAP atau menambahkan
vasopressin (hingga 0.03 U/min) untuk menurunkan dosis
norepinefrin.
Penggunaan dopamin sebagai vasopressor alternatif hanya
pada pasien terpilih (contoh pasien dengan risiko rendah
takiaritmia dan bradikardia absolut atau relatif). Penggunaan
dopamin dosis rendah dilarang pada pasien yang memerlukan
proteksi renal. Penggunaan dobutamin pada pasien yang terbukti
persisten hypoperfusi walaupun telah diberikan loading cairan dan
penggunaan vasopressor.
3. Penanganan Infeksi
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi
merupakan komponen penting dalam penanganan sepsis. Tingkat
kematian akan meningkat dengan adanya penundaan penggunaan
antimikroba. Protokol terbaru merekomendasikan bahwa
penggunaan antibiotik harus diberikan maksimal dalam waktu 1
jam untuk sepsis maupun syok sepsis. Rekomendasi ini
berdasarkan berbagai penelitian yang meunjukkan bahwa
penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian.
18
Pasien sepsis dan syok sepsis sebagian besar menderita
satu atau lebih bentuk imunokompromise, penggunaan antibiotik
spektrum luas mampu untuk menangani infeksi nosokomial.
Antibiotik yang sering digunakan ialah carbapenem (contoh
meropenem, imipenem/cilastatin atau doripenem) atau penisilin/
kombinasi inhibitor β-lactam (contoh piperacillin/tazobactam atau
ticarcillin/clavulanate). Cephalosporin generassi ketiga atau yang
lebih tinggi juga dapat digunakan, khususnya dalam bagian
multidrug regimen. Untuk meningkatkan keefektifitas
penggunaan antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas
sebaiknya disertai dengan kultur dan identifikasi sumber
penularan kuman.
19
- Drainase abses. Terbentuknya abses akan mengisolasi sumber
infeksi dari sirkulasi sistemik, sekaligus menghambat masuknya
sel imun dan antimikroba. Drainase memfasilitasi jalan keluar isi
abses sehingga proses inflamasi berangsur berkurang. Upaya ini
harus dapat menjamin aliran isi abses ke luar dan dianggap
berhasil bila terbentuk sinus atau fistula yang terkendali.
- Debridement jaringan non vital atau terinfeksi. Jaringan non
vital dan bekuan darah merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme. Disamping itu, benda asing
(implan) meningkatkan risiko terjadi infeksi. Debridement adalah
proses membuang jaringan non vital, termasuk benda asing
(implan) yang dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme.
- Terapi definitif untuk mengembalikan anatomi dan fungsi.
Tujuan utama terapi definitif adalah mengembalikan fungsi
dengan risiko paling minimal. Tindakan ini dilakukan dengan
tetap mengantisipasi kebutuhan rekonstruksi di kemudian hari.
Operasi ulang (reoperasi) sedapat mungkin ditunda sampai terjadi
resolusi dari seluruh komplikasi.
5. Kortikosteroid
20
neuromuscular junction serta meningkatkan afinitas terhadap
reseptor adrenergik β di otot polos arteri.
21
8. Antikoagulan
Penggunaan anti-thrombin dalam penanganan sepsis dan
syok sepsis untuk mencegah kejadian DIC. Penggunaan
trombomodulin atau heparin tidak direkomendasikan.
9. Ventilasi mekanik
Target tidal volume ventilasi mekanik pada pasien sepsis 6
mL/kg, dan pada sepsis-induced ARDS target tidal volume 12
mL/kg.
10. Sedasi, Anlgesia dan obat pelumpuh otot
Dapat digunakan untuk pasien sepsis berat dan dan syok sepsis
yang dirawat di ICU.
11. Kontrol glukosa
Target glukosa pada pasien sepsis ialah ≤180 mg/gl.insulin
digunakan bila glukosa >180 mg/dl. Monitor glukosa dilakukan
tiap 1 – 2 jam hingga target glukosa tercapai dan infus insulin
stabil.
12. Prophylaxis Stress Ulcer
Prophylaxis stress ulcer diberikan pada pasien sepsis atau
syok sepsis yang berisiko perdarahan saluran cerna.
Direkomendasikan penggunaan PPIs atau H2RAs. Prophylaxis
stress ulcer tidak dianjurkan pada pasien yang tidak berisiko
mengalami perdaharan saluran cerna.
22
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
23
DAFTAR PUSTAKA
24