Anda di halaman 1dari 3

INI RUMAH KITA

Sebuah Kisah Nyata

Sebut saja ia bernama Firman, seorang ayah dari satu orang anak yang bekerja pada bagian checker di
sebuah perusahaan otomotif besar asal negeri sakura Jepang.
Ia telah bekerja selama delapan tahun dengan gaji yang cukup besar, maklum perusahaan asal Jepang
itu memberikan banyak tunjangan yang cukup untuk semua karyawannya.

Tetapi mas Firman ini lupa, bahwa persaingan kerja di Jakarta sangat ketat. Apalagi banyak lulusan dari
universitas-universitas ternama di Indonesia yang siap merebut pekerjaan atau jabatan dengan lebih
siap dan memadai dari sisi akademis dan ketrampilannya.

Hal ini mampu dibaca oleh sang istri yang hanya bekerja sebagai Sales Promotion Girl (SPG) pada sebuah
optik kecil di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
Sebagai seorang teman, saya menilai bahwa istri mas Firman ini smart dan humoris. Gaya rambutnya
yang ikal dan panjang, serta kacamata minusnya menambah aura pribadinya yang supel, ramah dan
rendah hati.

Pada satu kesempatan mba Atin (nama panggilannya) mengikuti acara refraksi di sebuah perusahaan
tekstil di daerah Pulogadung. Dalam acara itu terdapat counter yang memasarkan unit perumahan dari
sebuah pengembang nasional di Depok. Ia pun meminta brosur pada SPG yang menjaga counter
tersebut dan meminta beberapa keterangan yang ia butuhkan.
“Mar, aku mau kredit rumah ah, bagus neh” begitu ucapnya kepada saya.
“Tapi, mas Firman mau ga?” Tanya saya kepada Atin. “Bolehlah, kan buat keluarga masa ga boleh?”
Jawabnya lagi.

Esok harinya Atin bercerita bahwa suaminya tidak menyetujui keinginannya untuk kredit rumah.
“Apa alasan mas Firman” Tanya saya. “Kejauhan katanya” begitu jawabnya.

Tahun berganti, tidak terasa saya dan Atin sudah bekerja di optik kecil itu telah memasuki tahun ke-4.
Tepatnya pada tahun 2003 mas Firman yang tidak lain adalah suami dari mba Atin, harus dihadapkan
dengan kenyataan bahwa dirinya akan terkena dampak pengurangan karyawan. Sementara sebagai
seorang suami ia harus bertanggung jawab dengan kelangsungan ekonomi keluarga, termasuk
memenuhi kewajibannya untuk menyediakan tempat tinggal yang layak bagi keluarganya.
Rumah impian belum terbeli dengan hasil jerih payahnya, tetapi ia harus rela menerima keputusan
perusahaan yang akan mem-PHK dirinya sebagai dampak efesiensi tenaga kerja.

PHK pun terjadi, uang pesangon yang ia dapatkan mereka gunakan untuk membayar kontrakan selama
satu tahun dan memenuhi biaya hidup sehari-hari, melunasi angsuran sepeda motor, dan termasuk
biaya sekolah putri semata wayangnya yang masih berusia 6 tahun. Walaupun begitu mba Atin terlihat
tenang dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan keluarganya.

Satu tahun telah berlalu, mas Firman belum juga mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan
dan ketrampilannya. Uang simpanan sisa pesangon mulai menipis, kontrakan harus diperpanjang
masanya dan putri kecilnya beranjak naik kelas dua sekolah dasar.

Suatu ketika mas Firman mengantarkan mba Atin sampai depan optik dengan sepeda motornya. Tidak
seperti biasanya ia duduk dan menyempatkan berbincang-bincang dengan saya di warung kopi persis
didepan optik tempat saya bekerja. Ternyata ia bermaksud mengajukan diri untuk menjadi karyawan
optik untuk bagian pengantaran pesanan kacamata sekaligus bagian penagihan.
“Maaf mas Firman, saat ini belum ada kebutuhan untuk bagian itu, nanti kalau ada saya kabari lewat
mba Atin” Begitulah jawaban saya atas permintaan mas Firman tersebut.
Diluar itu iapun bercerita tentang kondisi ekonominya yang semakin berat dan sulitnya mencari
pekerjaan. Tetapi saya tidak mampu menjawab apapun kecuali dengan kata, “sabar.”

Bulan November 2004 masa rumah kontrakan sudah harus dibayar oleh mas Firman, tetapi ia bingung
darimana ia mendapatkan uang.

Tepatnya tanggal 16 November 2004 setelah menurunkan mba Atin dari sepeda motornya, mas Firman
menghampiri saya dan berkata, “ Mas Umar, bisa ga saya dipinjemi uang 5 juta, tiga bulan aku ganti deh
sama bunganya”
Mendengar ucapan mas Firman saya terdiam dan berpikir (darimana saya dapet uang 5 juta?).
Kemudian saya tanya mas Firman, “emang berapa bayar rumah kontrakannya?”
“Dua belas juta mas setahun” begitu jawab mas Firman.
“Waduh!!! Mahal juga yah!!!” jawab saya kaget.
Saya pun menjawab permintaan mas Firman, “Saat ini saya ga punya dana segitu banyak mas, paling ada
satu juta, iItupun nanti kalau gajian”
Mendengar jawaban itu mas Firman hanya diam dan terlihat bingung.

Jarum jam menunjukkan pukul 07.45, pemilik sekaligus bos optik dimana saya bekerja datang dengan
mobil kijang kapsul warna hitam. Pada waktu yang bersamaan Atin keluar dari optik dan berpapasan
dengan pak Mulyadi (nama pimpinan optik)
Terdengar pak Mulyadi sedang berbicara dengan Atin, “Mau kemana Tin?”
“Kedepan pak, itu ada suami saya sama mas Umar” Jawab Atin.
“Lho, kenapa ga disuruh masuk aja, ngapain pada nongkrong di depan?”

Setelah dipanggil Atin, saya dan mas Firman pun masuk kedalam optik dan duduk diruang tamu optik.
Perbincangan kesulitan mas Firman pun berlanjut dengan langsung didengarkan oleh Atin (istrinya) dan
pak Mulyadi (pimpinan optik) serta beberapa karyawan lain.
Ditengah perbincangan yang semakin tidak jelas arahnya, tiba-tiba Atin mengambil map dari dalam tas
yang biasa ia bawa dan menyodorkan map itu kepada mas Firman.
Setelah map itu diterima, mas Firman membuka dan membacanya bolak-balik seperti ada yang dia tidak
mengerti.

Ternyata map itu berisi surat bukti akad kredit atas kepemilikan rumah yang berlokasi di kota Depok,
Jawa Barat yang telah memasuki masa angsuran satu tahun lebih. Rumah itu sudah ada pada satu tahun
yang lalu dan dikontrakkan kepada karyawan pabrik yang berada di jalan raya Bogor.

Kontan suasana menjadi berubah, mata mas Firman terlihat merah dan terlihat hendak menangis.
Seolah ia tidak percaya dengan apa yang terjadi dan apa yang telah dilakukan istrinya.
Atin tetap dengan gayanya yang cengegesan, “kenapa diem mas? Marah yah aku kredit rumah?”

Dan inilah pemandangan yang baru pertama kali saya lihat, seorang suami menangis didepan istri,
pimpinan perusahaan, dan teman-teman istrinya. Mas Firman pun memeluk istrinya. Kami semua
akhirnya keluar dari ruang tunggu optik meninggalkan mereka berdua.
Alhasil, mas Firman dan mba Atin serta putrinya yang bernama Syasya akan menempati rumah mereka
yang awalnya tidak diinginkan oleh salah satu dari mereka.
Akhir bulan November 2004 dengan mobil milik optik, mereka dibantu pindahan dari rumah kontrakan
menuju rumah KPR yang statusnya akan menjadi rumah pribadi selamanya.

***Kisah ini nyata dan benar adanya. Terjadi pada rentang waktu tahun 2001 hinggi 2004 akhir pada
sebuah perusahaan Optik Tebet Mulya – Jakarta Selatan. Nama sebenarnya dari masing-masing adalah :
Supriatin (Atin), Firmansyah (Firman), Mulyadi (Pimpinan Optik), Umar Wachid (Saya/penulis)

Anda mungkin juga menyukai