PEMBAHASAN
2.2 Klasifikasi
Kelainan his dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Insersia uteri hipotoni ( disfungsi uteri hipotonik ) : kontraksi uterus
teroordinasi tetapi tidak adekuat.
Inersia uteri hipotonik terbagi dua, yaitu :
a) Inersia uteri primer
Terjadi pada permulaan fase laten. Sejak awal telah terjadi his yang
tidak adekuat ( kelemahan his yang timbul sejak dari permulaan
persalinan ), sehingga sering sulit untuk memastikan apakah penderita
telah memasuki keadaan inpartu atau belum.
Penyebab:
- Gangguan pertumbuhan uterus :
bikornis unikolis/hipoplasia uteri
- Uterus yang terlalu tegang
- Kehamilan yg sering dgn jarak
pendek
4
- tumor ddg uterus : mioma uteri
- Keadaan umum jelek : anemia,
penyakit kronis, febris
- Faktor psikologis : takut &
emosional
- Bagian bawah janin tak
berhubungan erat dg SBU
1. Telalu lama istirahat
2. Perut gantung
3. Kelainan letak
4. DKP
Komplikasi :
5
2. Insersia uteri hipertoni ( disfungsi uteri hipertonik / disfungsi uteri
inkoordinasi ) : kontraksi uterus tidak terkoordinasi, kuat tetapi tidak
adekuat.
Dibedakan menjadi :
– Uterus kolik : tidak ada koordinasi bagian yang satu dengan bagian yang
lain. Bagian yang satu kontraksi, bagian yang lain relaksasi
2.3 Etiologi
Kelainan his dapat disebabkan oleh
6
1. Insersia uteri hipotoni : panggul sempit, kelainan letak kepala, penggunaan
analgesia terlalu cepat, hidramnion, gemeli, ibu merasa takut, salah
memimpin persalinan.
2. Insersia uteri hipertoni : pemberian oksitosin berlebihan.
2.4 Penyulit
Kelainan his ( insersia uteri ) dapat menimbulkan kesulitan, yaitu :
1. Kematian atau jejas kelahiran
2. Bertambahnya resiko infeksi
3. Kelelahan dan dehidrasi dengan tanda-tanda : nadi dan suhu meningkat,
pernapasan cepat, turgor berkurang, meteorismus dan asetonuria.
1. KTG
2. USG
2.6 Penatalaksanaan
2. Insersia uteri hipotoni : jika ketuban masih ada maka dilakukan amniotomi
dan memberikan tetesan oksitosin (kecuali pada panggul sempit,
penanganannya di seksio sesar.
7
3. Insersia uteri hipertoni.
fundal dominan
simetris
makin lama, makin kuat, makin sering
relaksasi baik.
Bila satu atau lebih tanda tersebut tidak dijumpai atau tidak sesuai,
keadaan tersebut disebut gangguan / kelainan his. Kelainan his kita bedakan
menjadi 3 yaitu Inersia uteri primer ( hipotonic uterine contraction ) dan
8
sekunder, Hipertonic uterine contraction, dan Incoordinate uterine
contraction.
PENANGANAN
4. Pada inersia uteri sekunder, dalam fase aktif, harus segera dilakukan :
b. Bila tidak ada CPD, ketuban dipecahkan dan diberi pitocin infus.
9
c. Nilai kemajuan persalinan kembali 2 jam setelah his baik. Bila tidak ada
kemajuan, persalinan diakhiri dengan sectio cesarea.
d. Pada akhir kala I atau pada kala II bila syarat ekstraksi vakum atau
cunam dipenuhi, maka persalinan dapat segera diakhiri dengan bantuan
alat tersebut.
• Kala I : lakukan SC
SC
• Terapi :
– Distosia servikalis :
10
• Primer : terapi sama dengan segmen bawah rahim yang hipertonik
– Ruptur uteri
Penanganan:
a) Untuk mengurangi rasa takut, cemas dan tonus otot, berikan obat-obat anti sakit
dan penenang (sedativa dan analgetika) seperti morfin, petidin, dan valium.
b) Apabila persalinan sudah berlangsung lama dan berlarut-larut selesaikanlah
partus menggunakan hasil pemriksaan dan evaluasi, dengan ekstraksi vakum, forseps
atau seksio sesaria.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
11
His hipotonik disebut juga inersia uteri yaitu his yang tidak normal, fundus
berkontraksi lebih kuat dan lebih dulu daripada bagian lain. Kelainan terletak
pada kontraksinya yang singkat dan jarang. Selama ketuban utuh umumnya tidak
berbahaya bagi ibu dan janin. Hisnya bersifat lemah, pendek, dan jarang dari his
normal. Inersia uteri dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Inersia uteri primer
Bila sejak awal kekuatannya sudah lemah dan persalinan berlangsung
lama dan terjadi pada kala I fase laten.
b. Inersia uteri sekunder
Timbul setelah berlangsung his kuat untuk waktu yang lama dan terjadi
pada kala I fase aktif. His pernah cukup kuat tetapi kemudian melemah. Dapat
ditegakkan dengan melakukan evaluasi pada pembukaan. Pada bagian
terendah terdapat kaput, dan mungkin ketuban telah pecah. Dewasa ini
persalinan tidak dibiarkan berlangsung sedemikian lama sehingga dapat
menimbulkan kelelahan otot uterus, maka inersia uteri sekunder ini jarang
ditemukan. Kecuali pada wanita yang tidak diberi pengawasan baik waktu
persalinan.
3.2 SARAN
Kita sebagai tenaga kesehatan khusunya bidan harus mengetahui dengan
benar tanda dan gejala dari His Hipotonik agar dapat mendeteksi secara dini His
Hipotonik tersebut agar dapat berperan aktif dalam menurunkan angka kematian
pada ibu dan janin.
12