Anda di halaman 1dari 62

BAB I

PENDAHULUAN

Sabda Rasulullah saw memang benar dan sunnah Allah telah menjadi kenyataan bagi makhluk-Nya.
Umat selalu terpecah belah sepeninggal rasul-Nya. Setelah datang ilmu kepada mereka (namun
mereka saling berlaku zalim) maka manusiapun berjalan mengikuti hawa nafsunya. Mereka saling
berbeda pendapat hingga timbullah berbagai mahdzab, aliran, bid’ah dan berbagai pandangan.
Mereka meninggalkan kitab Rabbnya dan sunnah Nabi. Akibatnya mereka terlempar dalam jurang-
jurang kesesatan, mereka lebih mengikuti keinginannya daripada mengikuti petunjuk Allah dan
Rasulullah.

Menurut riwayat Ibrahim At Taymi rahimahullah, suatu hari khalifah Umar nin Khattab r.a merenung
“Mengapa pendapat umat ini berbeda – beda? Bukankah nabi mereka satu, kiblat mereka satu, dan
kitab mereka pun satu?” Maka ditanyalah seorang ahli tafsir Al-Quran, Abdullan ibnu Abbas r.a
tentang masalah itu. Abdullah menjawab “Wahai Amirul mukminin, kepada kita telah diturunkan Al-
Quran, lalu kita para shahabat membacanya dan mengetahui tentang masalah yang diturunkan
dalam Al-Quran. Sungguh akan datang setelah kita berbagai kaum yang membaca Al-Quran tanpa
berusaha mengetahui sebab turunnya. Maka bagi setiap kaum ada pendapat yang berbeda – beda.”

Namun disela-sela itu semua, sebagai realisasi sunnah Allah seperti yang disabdakan Rasul-Nya,
ternyata bendera golongan yang selamat (Firqah an-Najiyah) tetap berkibar dengan megahnya. Di
bawah panji inilah bernaung orang-orang yang menginginkan keselamatan dan perlindungan Allah
dari segala ajaran sesat. Mereka inilah yang berpegang pada al-jamaah, yaitu golongan yang
senantiasa mengikuti jejak Rasul, para sahabat, dan generasi setelah itu.

“Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka
(cukuplah) DIa hanya mengatakan kepadanya ‘Jadilah. Lalu jadilah ia.” (Al-Baqarah 117)

“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali – kali tidak ada pilihan
bagi mereka. Mahasuci Allah dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Al-
Qashash 68)

“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Al-Anbiya
23)

Sabda Rasulullah saw : “Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafa yang mendapat hidayah
dan petunjuk sesudahku. Gigitlah kuat – kuat dengan gigi gerahammu. Waspadalah terhadap ciptaan
persoalan – persoalan baru (dalam agama)” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, dan yang lainnya, shahih).
SEJARAH PENYIMPANGAN MANUSIA DARI JALAN YANG BENAR

A. Amanat Allah bagi manusia


Allah swt telah menciptakan manusia dalam kehidupan ini untuk tujuan dan tugas tertentu. Dia
telah menundukkan semua yang ada di muka bumi, berupa lautan, sungai, angin, hujan, gunung,
lembah, binatang, tumbuhan hingga makhluk Allah lainnya, semata-mata untuk kepentingan
manusia. Allah juga telah memberikan ilham kepada manusia agar dapat menangkap sebagian
hukum alam dan berbagai peraturan hidup hingga manusia dengan mudah dapat mencapai
tujuan yang penting ini. Tujuannya besar, tugas dan amanatnya berat hingga langit, bumi, dan
gunung merasa takut serta tidak berani memikulnya. Sebagaimana Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat* kepada langit, bumi, dan gunung-gunung,
tapi semuanya enggan memikulnua karena khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan bodoh” (Al Ahzab
33:72)
*Menurut Ibnu Abbas, amanat adalah ketaatan, sedangkan menurut Ibnu Katsir, amanat
adalah taklif(tugas), menerima perintah dan larangan dengan bersyarat. Syaratnya adalah
jika ia melakukan ketaatan, akan mendapat pahala, dan jika meninggalkannya, ia akan
mendapat siksa. (Tafsir Ibnu Katsir 6:477)
Sesungguhnya tujuan besar, tugas dan amanat berat yang dipikul manusia ini tidak lain adalah
sebagai khalifah Allah di bumi-Nya. Allah sebagai Rabb semua makhluk, Raja segala raja, serta
Penguasa langit dan bumi telah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi dan
menjadikannya agar bertanggung jawab kepada-Nya sehubungan dengan tugas kekhalifahannya.
Allah memberitahu para malaikat tentang tugas penting yang dibebankan kepada manusia,
sebagaimana firman-Nya:
“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al Baqarah 2:30)
Imam Ath Thabari menafsirkan ayat di atas dengan, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi dari-Ku yang mewakili-Ku dalam memutuskan hukum di antara
makhluk-Ku. Khalifah itu adalah Adam dan orang yang bersikap seperti dia dalam mentaati Allah
serta memutuskan hukum dengan adil di antara makhluk-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir 1:70)
Ibnu Katsir mengatakan, mereka memahami tentang khalifah, yakni orang yang memutuskan
perselisihan di antara manusia dan mencegah melakukan perbuatan haram dan dosa. Demikian
perkataan al-Qurthubi (Tafsir Ibnu Katsir 1:69). Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, dengan ayat
ini Al-Qurthubi dan yang lainnya menjadikan dalil atas wajibnya mengangkat seorang khalifah
untuk memutuskan perselisihan di antara manusia, menolong orang yang teraniaya, dan
dianiaya oleh orang zhalim, menegakkan hukum, mencegah perbuatan keji, melaksanakan
perkara penting lainnya yang hanya bisa ditegakkan oleh seorang Imam.

B. Kekhalifahan manusia di bumi dan syarat-syaratnya


Kekhalifahan manusia di bumi memiliki syarat tertentu, yakni selalu iltizam dengan ketaatannya
terhadap Rabb yang memiliki perintah dan larangan. Manusia senantiasa dituntut melaksanakan
segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya karena takut siksaan-Nya. Oleh karena
itu, masalah khilafah manusia di bumi ini tidak lain adalah masalah ibadah manusia kepada
Allah. Seperti dalam firman-Nya pada surat Adz Dzariyat ayat 56 “Dan tidaklah Aku menciptakan
jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
C. Perjanjian fithrah
Allah mengetahui betapa besar amanat dan berat beban taklif yang diemban manusia, sehingga
Allah tidak membebani seseorang kescuali dengan kemampuannya. Allah telah menciptakan
manusia dengan tabiat mengenal Rabbnya, mentauhidkan-Nya, mentaati-Nya, serta beribadah
hanya kepada-Nya dengan tidak mempersekutukan-Nya. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’
mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi.’ (Kami lakukan yang
demikian itu) agar pada hari kiamat kelak kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini.’ Atau agar kamu tidak
mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Rabb sejak
dahulu, sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka.
Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang sesat yang
dahulu.’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu, agar mereka kembali (kepada
kebenaran).” (Al A’raf 7:172-174)
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, Nabi saw bersabda: “dikatakan pada
salah seorang penghuni neraka pada kari kiamat, ‘Bagaimana pendapatmu jika kamu
mempunyai sesuatu di muka bumi ini, apakah kamu akan menebus dirimu dengannya?’ Orang
tersebut menjawab, ‘Ya.’ Allah berfirman, ‘Aku telah menghendaki dirimu sesuatu yang lebih
ringan daripada itu. Aku telah menyuruhmu berjanji di punggung Adam untuk tidak
menyekutukan sesuatu pun dengan-Ku. Namun, kamu tetap mempersekutukan Aku’.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Allah mengambil janji dari mereka agar
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya. Diriwayatkan pula
oleh Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Ahmad dalam musnad ayahnya, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir,
dan Ibnu Mardawih bahwa Allah berfirman kepada mereka, “Aku jadikan ketujuh langit dan
bumi serta bapak-bapakmu sebagai saksi agar kamu pada hari kiamat nanti tidak mengatakan,
‘Kami tidak mengetahui hal ini (eksistensi dan keesaan Allah).’ Ketahuilah bahwa tidak ada ilah
selain Aku, tidak ada Rabb selain Aku, dan janganlah mempersekutukan Aku. Sesungguhnya Aku
akan mengutur rasul kepadamu untuk mengingatkanmu akan janji-Ku dan Aku turunkan kitab-
kitab-Ku kepadamu.” Mereka menjawab, ‘Kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah
Rabb dan ilah kami, dan tiada Rabb bagi kami selain Engkau.’ Maka pada saat itu mereka
menyatakan taat kepada-Nya. (Ma’arijul Qabul 1:34 dan seterusnya).

D. Rahmat Allah : Allah tidak menyiksa seseorang, kecuali setelah ditegakkannya hujjah risalah
Meskipun hujjah telah ditegakkan dan alasan telah dipathkan, namun sebagai rahmat dan
karunia-Nya, Allah jelas tidak akan menyiksa bani Adam karena adanya perjanjian fithrah
semata-mata. Dan Ia tidak akan menyiksa seorangpun kecuali setelah ditegakkannya hujjah
berupa risalah, sebagaimana firman-Nya:
“...dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al Isra’ 17:15)
Maka Allah mengutus rasul-Nya secara berkesinambungan untuk mengingatkan manusia akan
janji mereka dan amanat besar yang dibebankan-Nya kepada mereka di bumi ini. Para rasul pun
menyuruh manusia melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di bumi dan menanggalkan alasan
lain untuk membantah Allah sebagai Rabb mereka.
Allah berfirman:
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar
tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu.
Dan Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nisa’ 4:165)
Menurut Ibnu Qayyim, dalam akal manusia tidak ada sesuatu yang lebih jelas dan terang kecuali
mengenal kesempurnaan Sang Pencipta serta membersihkannya dari kejelekan dan kekurangan.
Para rasul pun diutus untuk mengingatkan dan menjelaskannya. Begitu pula fithrah manusia,
terdapat pengakuan akan kebahagiaan dan kesengsaraan jiwa serta balasan yang akan diterima
di akhirat nanti. Penjelasan mengenai hal ini tidak dapat diketahui kecuali melalui para rasul.
Karena itu, akal yang tegas sesuai dengan naql (nash) yang shahih. Dan syariat sesuai dengan
fithrah. Keduanya tidak saling bertentangan (Syifa’ul ‘Alil 301-302)
Ibnu Taimiyah mengatakan hujjah tidak akan dijatuhkan kepada mereka yang berbuat dosa
karena kebodohannya sebelum mereka mengetahui bahwa hal tersebut merupakan perbuatan
dosa, sebelum diutusnya seorang rasul kepada mereka, dan sebelum ditegakkannya hujjah atas
mereka.
Allah tidak membiarkan manusia sendirian, mereka senantiasa dibimbing ajaran nabi sejak nabi
Adam as. Allah menjadikan risalah tersebut beserta akal dan fithrahnya dengan tanda-tanda
kekuasaan-Nya yang terbesar di alam semesta. Namun, manusia ternyata berselisih pendapat
mengenai rasul-rasul mereka. Sebagaimana firman Allah:
“Tapi, kebanyakan manusia tidak mau, kecuali mengingkarinya.” (Al Isra’ 17:89)
Dan berimanlah orang yang mau beriman, tapi jumlahnya sangat sedikit. Itulah sunnatullah yang
berlaku pada makhluk-Nya.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka
akan menyesatkanmu dari jalan Allah...” (Al An’am 6:116)
“...dan sekali-kali kamu tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.” (Al Ahzab
33:62)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
“Manusia itu umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi,
sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama
mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara
yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih mengenai Kitab itu, melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata,
karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang
beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-
Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang
lurus.” (Al Baqarah 2:213)

E. Kerusakan fithrah
Ketika fithrah manusia mulai rusak, dan ketika ‘manusia menjadi makhluk yang paling banyak
membantah’ (Al Kahfi 18:54), maka saat itulah setan menghiasi amal buruk manusia sehingga
tampak bagus dan indah. Setan mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil serta
mengilhami manusia dengan berbagai perilaku buruk hingga manusia bertahan dengan
kebatilannya.
“Tetapi orang-orang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian itu mereka
dapat melenyapkan yang hak.” (Al Kahfi 18:56)
Lantas manusia akan melihat kebatilan sebagai kebenaran, dan sebaliknya kebenaran menjadi
kebatilan. Atau ia menyimpang sama sekali sehingga tak mampu melihat mana yang hak dan
mana yang batil. Seperti pada firman Allah:
“...maka Allah menyesatkan siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan memberi petunjuk
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang Mahakuasa serta Mahabijaksana.”
(Ibrahim 14:4)
“...Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk, dan
barangsiapa disesatkan-nya maka kamu tak aakan mendapatkan seorang pemimpin pun
yang mampu memberi petunjuk kepadanya.” (Al Kahfi 18:17)
Kelompok-kelompok utama yang bertentangan dengan Dinul Islam ada enam, yang masing-
masing terpecah lagi menjadi beberapa golongan. Keenam golonagn tersebut menurut
tingkatannya, adalah:
a) Golongan yang mengingkari adanya hakikat alam semesta. Golongan ini (oleh para
mutakalimin) disebut kaum sofistis (sesat)
b) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam (dengan mengatakan sesungguhnya alam
ini tetap ada) tetapi mereka tidak mengakui adanya pencipta dan pengaturnya.
c) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam dan
pengaturnya tetap ada.
d) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam. Sebagian dari mereka berpendapat
bahwa sesungguhnya alam itu tetap ada, sebagian lain berpendapat bahwa alam
mempunyai pengatur yang tetap ada dan lebih dari satu. Namun, mereka berselisih
mengenai jumlahnya.
e) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu
diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka mengingkari seluruh kenabian.
f) Golongan yang mengakui adanya hakikat alam dan berpendapat bahwa alam itu
diciptakan oleh satu pencipta. Namun, mereka berbeda dalam mengakui sebagian nabi-
nabi dan mengingkari sebagiannya...(Al-Fashl Fil Milal wal Ahwa’ wan-Nihal 1:3)
Adapun mengenai penganut Dinul Islam adalah mereka yang mengikuti ajaran rasulnya.
Sesungguhnya Allah mengutus seorang rasul pada setiap umat, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada setiap umat (untuk menyerukan):
beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah thaghut...” (An Nahl 16:36)
Setiap rasul menyeru kaumnya pada Din Allah yaitu Al-Islam, yang berarti menyerahkan diri
secara total hanya kepada Allah. Firman-Nya:
“Sesungguhnya din (yang diridhai) Allah hanyalah Islam...” (Al Imran 3: 19)
“Barangsiapa mencari din selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (din tersebut)
dan di akhirat kelak ia termasuk orang yang rugi.” (Al Imran 3: 85)
Menurut Ibnu Taimiyah “Adapun kitab-kitab samawi yang mutawatir dari para nabi as semuanya
memastikan bahwa Allah tidak menerima din dari seseorang, kecuali Din yang benar (hanif),
yaitu Al-Islam, yakni berarti beribadah hanya kepada Allah Yang Esa dan tidak
mempersekutukan-Nya dengan yang lain, beriman kepada kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan
hari akhir.” (Al-Fatawa Al-Kubra 1:335)
Firman Allah:
“Katakanlah, ‘Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan.’ Dan (katakanlah), ‘Luruskan muka
(diri)mu di setiap shalat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu pada-
Nya...” (Al A’raf 7:29)
Yang dimaksud keadilan di sini adalah tauhid, yakni beribadah hanya kepada Allah, yang tiada
sekutu bagi-Nya. Inilah dasar ad-din, sedangkan kebalikannya adalah dosa yang tak terampuni.
Firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa
selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” (An Nisa’ 4:48)
Ibnu Taimiyah mengatakan, Islam sebagai Din Allah dibangun atas dua landasan. Pertama,
mengabdi hanya kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Kedua, mengabdi kepada Allah
dengan syariat yang ditetapkan-Nya melalui lisan rasul-Nya. Kedua landasan ini merrupakan
hakikat syahadat. (Qa’idah Jalilah Fit Tawassul wal Wasilah: 162).
Namun, setelah rasul meninggal dunia dan para sahabat berpencar-pencar, generasi datang silih
berganti. Maka syubhat pun mulai timbul, hati pun menjadi keras, teladan mulai minim, sunnah
mulai memudar, bid’ah makin merajalela, yang hak bercampur dengan yang batil. Kitab suci dan
atsar nabawiyah bercampur dengan filsafat keberhalaan, dan keutamaan berpikir (bersih)
terkalahkan oleh logika. Sehingga, umat yang bersatu di atas kebenaran, menjadi berselisih dan
berpecah, sebagaimana firman Allah pada QS Yunus (10:19), QS Al Jatsiyah (45:17), QS Al
Mu’minun (23:53), dan QS Al Baqarah (2:176).

F. Penutup para Nabi dan Rasul saw


Setelah manusia berada dalam kesesatan dan larut dalam berbagai ikhtilaf, Allah hendak
memberi petunjuk dan menempatkan mereka atas kebenaran. Allah menutup risalah-Nya
kepada semua manusia dengan risalah nabi penutup, Muhammad Ibnu Abdillah saw, maka
diturunkan-Nya kepada beliau kitabullah, Al Qur’anul Karim, yang berlaku untuk semua manusia
hingga Allah mewariskan bumi beserta isinya.
Allah berfirman:
“...Maka Allah memberi petunjuk orang-orang beriman kepada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya...” (Al Baqarah 2:213)
Allah azza wa jalla berjanji akan memelihara din ini dengan menjaga kitab-kitab-Nya hingga hari
kiamat. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an dan sungguh Kami benar-benar akan
memeliharanya.” (Al Hijr 15:9)
Allah memerintahkan rasul-Nya agar menjelaskan pada manusia –dengan sunnahnya- tentang Al
Qur’anul Karim ini, sebagaimana firman allah pada QS An Nahl (16:44). Dan dengan risalah itu
Allah membuka hati yang lupa dan telinga yang tuli, sebagaimana firman Allah pada QS Al
Maidah (5:67). Rasullullah tidak wafat kecuali setelah kaumnya bersatu di atas jalan yang terang
benderang. Malam bagaikan siang, terutama setelah Allah menurunkan firman-Nya QS Al
Maidah (5:3). Rasulullah juga bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama
berpegang teguh kepada keduanya, kalian tidak akan tersesat. Dua perkara itu adalah
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.” (HR Malik)

G. Allah menyuruh kaum muslimin bersatu dan melarang berpecah-belah


Allah azza wa jalla menyuruh pengikut Dinul Islam ini agar bersatu di atas kebenaran serta
memperingatkan mereka agar tidak berpecah belah dan berselisih seperti yang terjadi pada
umat terdahulu. Sebagaimana firman Allah pada QS Al Imran (3:103,105) dan Al An’am (6:159).
Sedangkan apabila ada manusia yang bergolong-golong atau berpecah mengikuti aliran-aliran
dan hawa nafsu serta kesesatan, maka allah telah membebaskan tanggungjawab Rasulullah dari
apa yang mereka perbuat (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:637-638)

H. Perpecahan umat : semua masuk neraka, kecuali satu


Kebanyakan manusia tetap berselisih dan berpecah belah kecuali yang diberi rahmat oleh Allah.
mereka terpecah menjadi berbagai kelompok dan golongan, mereka menjadikan Al Qur’an
terpilah-pilah*. Setelah datang ilmu dan keterangan yang jelas kepada mereka. Sebagaimana
firman Allah pada QS Hud (11:118-119).
*Ibnu Katsir menafsirkan ayat alladzina ja’alul Qur’aana ‘idlin (15:91), mereka memilah-
milah semua kitab yang diturunkan kepada mereka. Maksudnya, sebagian diimani dan
sebagian dikufuri. Menurutnya, Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat
tersebut, katanya: “Mereka adalah penganut Al-Kitab, tetapi mereka membagi-baginya
dengan mengimani sebagian dan mengkafiri sebagian.” (Mukhtashar Ibnu Katsir 2:319)
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya pengikut kedua kitab (Yahudi dan Nashrani) dalam hal
agama mereka- terpecah belah menjadi 72 aliran. Dan sungguh umat (Islam) ini pun akan
terpecah menjadi 73 aliran. Semuanya masuk neraka kecuali satu, yaitu al-jama’ah.” (HR Abu
Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam catatan kakinya atas syarah Ath-Thahawiyah, hlm
578, Al-Maktabul Islami). Dalam suatu riwayat disebutkan: “Para sahabat bertanya: ‘Siapakah
golongan yang selamat itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘yaitu orang yang mengikuti
jalanku dan para sahabatku.” (HR Turmudzi)

I. Bendera sunnah tampak berkibar pada setiap masa dan generasi


Ditengah-tengah perpecahan dan perselisihan, Allah menakdirkan ada orang-orang yang
memelihara dan melaksanakan sebaik-baiknya din ini, sepeninggal Rasulullah saw. Dalam QS Al
Ahzab (33:23) disebutkan bahwa mereka adalah ‘orang-orang yang menepati janji kepada Allah’.
Rasulullah bersabda: “Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tampil (membela
kebenaran) hingga datang keputusan Allah kepada mereka, sedang mereka dalam keadaan
unggul.” (HR Bukhari)
Golongan yang selamat berbeda dengan golongan yang lain dalam hal aqidah dan fiqih maupun
dalam hal akhlak dan perilaku. Salah seorang ulama salaf mengatakan, ‘Ahli Sunnah dalam Islam
(jika dibandingkan dengan golongan lainnya) bagaikan penganut Islam dengan penganut agama-
agama lain.’

J. Keutamaan para sahabat Rasulullah saw.


Pensyarah kitab Durratul Mudli’ah mengatakan, “Tidak ada umat Muhammad yang diunggulkan
(karena keutamaannya) atas umat-umat lainnya, kecuali sahabat yang mulia. Mereka beruntung
karena menjadi sahabat manusia terbaik (yakni Rasulullah saw). pendapat yang bisa
dipertanggungjawabkan datangnya dari imam-imam sunnah yang menyebutkan bahwa semua
sahabat berperilaku adil. Sebagaimana Allah berfirman pada QS Al Fath (48:29) “Muhammad
adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya keras terhadap orang kafir
tetapi berkasih sayang sesama mereka.”
Mengenai keutamaan sahabat dibanding dengan umat Muhammad lainnya, tersebut dalam
dua hadits.
Pertama, diriwayatkan dari Abi SA’id al-Khudri ra bahwa Rasulullah saw bersabda “Janganlah
kamu mencaci maki sahabat-sahabatku, demi Allah yang diriku ada di tangan-Nya, seandainya
salah seorang di antara kamu menginfakkan sebesar gunung Uhud, nilainya tidak mencapai
satu mud yang diinfakkan mereka (para sahabat), bahkan setengahnya pun tidak.”.
Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi dari Ibnu Mughaffal ra. katanya, “Saya
mendengar Rasulullah saw bersabda ‘Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak
hadir. Takutlah pada Allah, takutlah pada Allah mengenai sahabat-sahabatku. Janganlah kamu
menjadikan mereka sebagai sasaran sepeninggalku nanti. Barangsiapa mencintai mereka,
karena mencintai aku, maka aku mencintai mereka. Barangsiapa membenci mereka karena
membenci aku, maka aku membenci mereka. Barangsiapa menyakiti mereka, ia menyakitiku,
barangsiapa menyakitiku, ia menyakiti Allah. Barangsiapa menyakiti Allah, ia akan mendapat
hukuman Allah. Dan barangsiapa dihukum Allah, ia tak akan lolos.’”.
Dalam hal ketaatan terhadap hukum Allah dan Sunnah Nabi, tidak ada umat yang menyamai
para sahabat. Merekalah yang paling konsekuen mengamalkan Al Qur’an dan sunnah nabi. Hal
ini ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad da’i Ibnu Mas’ud ra.
“Barangsiapa hendak menjadikan teladan, teladanilahh para sahabat Rasulullah saw. Sebab,
mereka itu paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit takallufnya (tidak suka
mengada-ada), paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah kaum
yang dipilih Allah untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan din-Nya. Karena itu, hendaklah
kalian mengenali keutamaan jasa-jasa mereka dan ikutlah jejak mereka, sebab mereka
senantiasa berada di atas jalan (Allah) yang lurus.”

K. Cara para sahabat menerima Al Qur’an dan As Sunnah


Ibnu Qayyim mengatakan bahwa cara Nabi saw menyampaikan Al Qur’an kepada para sahabat
adalah langsung dengan lafazh dan maknanya. Tidak ada penyampaian lain, kecuali dengan cara
tersebut. Firman Allah: “...Dan tiada lain kewajiban Rasul itu kecuali menyampaikan (amanat
Allah) dengan terang.” (An Nur 24:54)
Ayat di atas mengandung maksud bahwa penyampaian makna merupakan tingkat penjelasan
tertinggi. Para ahli ilmu dan iman mengakui apa yang dinyatakan Allah, para malaikat dan
generasi terbaik (sahabat) bahwa nabi saw telah menyampaikan secara jelas dan pasti
mengenai makna-makna Al Qur’an dan Sunnah berikut lafazh-lafazhnya. Bahkan, porsi
penyampaian makna lebih besar daripada penyampaian lafazh. Sebab, lafazh-lafazh Al Qur’an
dan Sunnah hanya dihafal oleh orang-orang tertentu, sedangkan makna disampaikan Nabi
untuk umum dan khusus.
Hubaib bin Abdullah al-Bajali dan Abdullah bin Umar berkata, “Kami belajar beriman, kemudian
belajar Al Quran. Maka bertambahlah iman kami.”
Demikianlah para sahabat mengambil lafazh-lafazh Al Qur’an dan maknanya dari Rasulullah
saw, bahkan perhatian mereka lebih besar terhadap pengambilan makna daripada lafazh.
Mereka terlebih dahulu mengambil makna, baru lafaazh, agar makna tersebut tetap terpelihara
dan tidak lepas dari mereka.
Dalam hal menerima hadits juga demikian. Para sahabat langsung mendengarnya dari nabi saw.
Mereka telah banyak menyaksikan dan mengetahui dengan hati mengenai tujuan dan dakwah
rasulullah saw. Maka tidaklah sama orang yang mendengar, mengetahui, dan melihat langsung
keadaan Nabi dengan yang hanya mendengar melalui perantara.
Sehubungan dengan itu Imam Ahmad mengatakan bahwa prinsip sunnah berpegang pada apa
yang dijalankan para sahabat Rasulullah saw dengan i’tikad bahwa golongan yang selamat (ahli
sunnah) adalah golongan yang mengikuti Rasulullah dan para sahabatnya, sebagaiman Rasul
bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalanku dan para sahabatku.”
Maka jelaslah dalam menafsirkan Al Qur’an serta mentakwilkannya wajib merujuk pada
sahabat Nabi. Dan telah diketahui bahwa generasi sesudah mereka mengikuti jejak mereka
dengan baik, yaitu mengambil sesuatu (pengetahuan Al Qur’an dan Sunnah) tanpa
menyimpang seperti yang diajarkan Nabi pada mereka.” (Mukhtashar ash-Shawa’iqul Mursilah
2:335 dst)

L. Hadits - hadits tentang perpecahan umat, golongan yang benar, dan kewajiban mengikuti
jama’ah
a. Riwayat dan alur hadits tentang perpecahan umat
i. Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Kaum Yahudi terpecah
belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Kaum Nashrani terpecah
belah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan. Begitu pun umatku
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Daud, Turmudzi, al-Hakim,
Ahmad, dll)
ii. Dari Amir Abdullah bin Luhai. Ia berkata, “kami berangkat haji bersama Mu’awiyah bin
Abi Sufya. Ketika sampai di Makkah, Mu’awiyah berdiri –saat akan menunaikan shalat
dzuhur- dan berkata, sesungguhnya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya
pengikut dua kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah mengenai agama mereka menjadi
tujuh puluh dua aliran, dan umat (Islam) ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga
aliran, yakni al-ahwa (mnegikuti hawa nafsu). Semuanya masuk neraka, kecuali satu,
yaitu al-jama’ah. Sungguh akan muncul di kalangan umatku golongan-golongan yang
akan diikuti oleh hawa nafsu seperti anjing kejar-kejaran bersama kawanannya. Tidak
ada urat dan persendian yang tidak dimasukinya. Demi Allah, wahai bangsa Arab! Jika
kalian tidak menegakkan ajaran Nabi kalian, maka bangsa lain lebih pantas untuk tidak
menegakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, al-Hakim, dll, hadits dishahihkan oleh Al-
Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Iraqi, Ibnu Hajar, Ibnu taimiyah, dan Al-Albani).
iii. Dari Abdullah bin Amr. Ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabd: “ Sungguh akan
terjadi pada umatku apa yang pernah terjadi atas Bani Israil, bagaikan sepasang sandal.
Jika di antara mereka ada yang menggauli ibunya secara terang-terangan, maka
umatku pun akan ada orang yang berbuat demikian. Sesungguhnya Bani Israil telah
terpecah menjadi tujuh puluh dua aliran. Semuanga akan masuk neraka kecuali satu.
Dan umatku pun akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga aliran, semuanya akan masuk
neraka kecuali satu. Para sahabat bertanya,’Siapakah golongan itu ya Rasulullah?’,
Beliau menjawab, ‘Yakni mereka yang mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.’”
(HR Turmudzi, Al-Ajuri, Al-Lalaka’i, dll). Hadits tsb hasan dengan syahid-syahidnya.
Tirmudzi menilai hasan, sedangakn Al-Iraqi dan Ibnu Taimiyah menuki;nya dari Turmudzi
serta menjadikannya hujjah.
iv. Dari Auf bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Yahudi terpecah
menjadi 71 golongan. Yang satu akan masuk surga, sedangkan yang 70 akan masuk
neraka. Dan kaum Nashrani terpecah menjadi 72 golongan. Yang 71 akan masuk neraka
sedangkan yang satu masuk surga. Demi Allah, yang jiwa Muhammad ada di tangan-
Nya, sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang satu masuk
surga, sedangkan yang 72 masuk neraka. Para sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah,
siapakah mereka yang masuk surga itu?’, Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.’” (HR Ibnu
Majah, Al-Lalaka’i, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
v. Dari Anas bin Malik. Ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Bani Israil
terpecah menjadi 71 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 72 golongan.
Semuanya masuk neraka, kecuali satu yaitu al-jama’ah.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Al-
Lalaka’i, dll)
vi. Dari Abi Umamah, ia berkata: “Bani Israil terpecah menjadi 71 atau 72 golongan,
sedangkan umat (Islam) lebih satu golongan dari jum;ah ini (menjadi 73 golongan).
Semuanya masuk neraka kecuali golongan mayoritas (as-sawadul a’zham). Lalu ada
seorang laki-laki bertanya,’Wahai Abi Umamah, apakah ini pendapatmu sendiri atau
engkau mendengarnya dari Rasulullah saw?’, dia menjawab,’Jika ini pendapatku sendiri,
berarti aku orang yang terlalu berani. Aku mendengarnya dari Rasulullah saw bukan
hanya satu, dua, atau tiga kali.’” (HR. Ibnu Abi Hashim, Al-Lalaka’i, dan Thabrani)
b. Hadis tentang golongan yang membela kebenaran
i. Dari Mu’awiyah. Ia berkata, pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Akan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang menjalankan perintah Allah. mereka tak peduli akan
orang-orang yang merendahkan dan menentang mereka, hingga datang keputusan
Allah. Dan mereka lebih unggul dari yang lainnya.” (HR Muslim)
ii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya dalam soal
agama. Dan akan selalu ada segolongan dari kaum muslimin yang membela kebenaran
dan selalu unggul dalam menghadapi musuh-musuhnya, hingga datang hari kiamat.”
(HR Muslim)
iii. “Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah, ia pun akan difaqihkannya dalam soal
agama. Sesungguhnya aku adalah pembagi, sedangkan Allah pemberi. Urusan (agama)
umat ini akan senantiasa lurus hingga datangnya hari kiamat atau datangnya keputusan
Allah.” (HR Bukhari)
iv. “Kemudian berdiri Malik bin Yukhamir as-Saksaki dan berkata,’Wahai Amirul Mukminin,
saya mendengar Mu’adz bin Jabal berkata, mereka adalah penduduk Syam.’ Lalu
Mu’awiyah berkata dengan suara nyaring,’Inilah Malik yang mengaku bahwa ia
mendengar Mu’adz berkata, mereka adalah penduduk Syam.’” (HR Ahmad, Ibnu Majah,
Abu Daud ath-Thayalisi, dan Al-Lalaka’i)
v. Dari Mughirah bin Syu’bah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran sehingga datang keputusan
Allah kepada mereka dan mereka menang.” (HR Bukhari)
vi. “Akan senantiasa ada sekelompok manusia dari umatku yang berjuang membela
kebenaran dan mereka unggul sehingga datang keputusan Allah Azza wa Jalla kepada
mereka.” (HR Ahmad, Ad-Darimi, dan Al-Lalaka’i)
vii. Dari Jabir bin Abdullah ra. ia berkata, “Aku mendengar Nabi saw bersabda: ‘Akan selalu
ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dengan tegas hingga hari
kiamat. Kemudian Isa putera Maryam ra turun. Lalu pemimpin mereka berkata,’Marilah
shalat untuk kami (mengimami kami).’ Isa menjawab,’Tidak. Sesungguhnya sebagian
kamu adalah pemimpin sebagian lainnya. Itulah penghargaan Allah atas umat ini.’”
viii. Dari Tsauban ra. ia mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Akan senantiasa ada
segolongan dari umatku yang tampil membela kebenaran. Mereka tidak peduli terhadap
orang-orang yang merendahkan mereka, sehingga datang keputusan Allah, sedangkan
mereka dalam keadaan seperti itu.” (HR Muslim)
ix. Dalam satu lafazh disebutkan: “Sesungguhnya Allah mengerutkan (menyempitkan) bumi
untukku (atau beliau mengatakan: sesungguhnya Rabbku mengerutkan bumi untukku).
Lalu aku melihat bagian timur dan baratnya dan kekuasaan umatku akan mencapai apa
yang ditampakkan kepadaku. Aku diberi dua perbendaharaan: yang merah dan yang
putih. Dan aku meminta kepada Rabbku –untuk umatku- agar Dia tidak membinasakan
mereka dengan bahaya kelaparan dan tidak menjadikan mereka dikuasai musuh yang
bukan dari kalangan mereka sendiri, yang merampas kekayaan mereka. Sesungguhnya
Rabbku Azza wa Jalla telah berfirman, ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya jika Aku
sudah menetapkan suatu perkara, maka ketetapan-Ku tak dapat ditolak (dan berkata
Yunus: tidak bisa ditolak). Aku berikan (janji) kepadamu –untuk umatmu- bahwa Aku
tidak akan membinasakan mereka dengan bahaya kelaparan. Aku tidak akan
menjadikan mereka dikuasai oleh musuh yang bukan dari kalangan mereka sendiri,
meskipun musuh-musuh itu telah mengepung mereka, sehingga sebagian mereka
menawan sebagian yang lain.’ Sesungguhnya yang aku khawatirkan atas umatku adalah
para pemimpin yang menyesatkan. Jika telah diletakkan pedang pada umatku, maka ia
tidak dapat diangkat lagi hingga hari kiamat. Dan tidaklah datang hari kiamat kecuali
setelah ada beberapa golongan umatku yang berhadapan dengan orang-orang musyrik
dan para penyembah berhala.”
Selanjutnya beliau bersabda: “Sesungguhnya akan muncul tiga puluh orang pembohong
di kalangan umatku yang masing-masing mendakwakan dirinya sebagai nabi, padahal
akulah nabi terakhir. Tidak ada nabi lagi sesudahku. Dan akan senantiasa ada
sekelompok umatku yang tampil membela kebenaran dan mereka selalu unggul
(mendapat pertolongan Allah). mereka tak mempedulikan orang yang menentang
mereka, hingga datang hari kiamat dan mereka tetap demikian.” (HR Ahmad, Abu Daud,
Ibnu Majah, Al-Hakim)
x. Dari Abdurrahman bin Syamasah al-Mahri. Ia berkata: “Aku sedang berada di sampingg
Muslin bin Maklad dan di sebelahnya ada Abdullah bin Amr bin Ash. Lalu Abdullah
berkata, ‘Tidak terjadi kiamat kecuali karena ulah jahat manusia. Mereka lebih jahat
daripada orang jahiliah. Tidaklah mereka memohon sesuatu kepada Allah melainkan
akan ditolaknya.’ (Ketika mereka sedang bercakap-cakap), tiba-tiba datang Uqbah bin
Amir. Kemudian Maslamah berkata kepadanya, ‘Wahai Uqbah, dengarlah apa yang
dikatakan Abdullah!’, Uqbah pun menjawab, ‘Dia lebih mengerti tapi aku pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda: ‘Akan senantiasa ada segolongan dari umatku
yang membela agama Allah dan mengalahkan musuh mereka. Mereka tak
mempedulikan orang yang menentang mereka, sehingga datang hari kiamat, sedangkan
mereka tetap dalam keadaan seperti itu.’ Lalu Abdullah berkata, ‘Benar! Kemudian Allah
mengirim angin yang wangi bagai kesturi dan lembut bagaikan sutera. Maka Ia tak
membiarkan jiwa seseorang yang di hatinya terdapat iman sebesar biji, melainkan
dicabutnya, dan di atas mereka itulah terjadinya kiamat.’” (HR Muslim)
xi. Dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan selalu
ada penduduk kawasan barat (ahlul-gharbi)yang tegak membela kebenaran hingga
datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
xii. Dari Qurrah al-Muzani ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Jika penduduk
Syam telah rusak, maka tiada lagi kebaikan pada kalian. Dan akan senantiasa ada
orang-orang dari umatku yang mendapat pertolongan. Mereka tidak mempedulikan
orang-orang yang mengecewakan mereka, hingga datangnya kiamat.” (HR Ahmad,
Turmudzi, Ibnu Majah, dan Al-Lalaka’i)
xiii. Dari Jabir bin samurah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ad-Din (islam) ini
akan senantiasa berdiri dan dibelaoleh segolongan dari kaum muslimin sehingga
datangnya hari kiamat.” (HR Muslim)
xiv. Dari Imran bin Hushai ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Akan senantiasa
ada segolongan dari umatku yang membela kebenaran dan mereka unggul atas musuh
mereka, hingga orang terakhir dari mereka memerangi Al-masih Ad-Dajjal.” (HR Ahmad)
xv. Dari Salamah bin Nufail al-Kindi ra. ia berkata, “Aku sedang duduk di samping Rasulullah
saw. Tiba-tiba ada seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang telah
menambatkan kuda dan meletakkan senjata, serta mereka mengatakan bahwa kini tidak
ada lagi jihad karena perang telah usai.’ Maka Rasulullah saw. menoleh pada laki-laki itu
seraya bersabda: ‘Mereka berdusta. Sekarang, sekarang ini sedang terjadi peperangan.
Dan senantiasa ada segolongan dari umatku yang berjuang membela kebenaran serta
Allah menundukkan hati kaum untuk mereka, memberi rizki pada mereka, hingga
datang hari yang dijanjikan Allah (kiamat). Di punggung-punggung kuda terdapat
kebaikan-hingga kiamat. Hal itu menandakan bahwa sebentar lagi aku akan wafat, dan
kalian akan menyusul-ku sekelompok demi sekelompok. Sebagian kamu akan
membunuh sebagian lainnya. Adapun tempat kaum mukmin adalah Syam.’” (HR Nasa’i)
c. Hadits yang mewajibkan umat agar komitmen (iltizam) dengan jama’ah dan mengikuti
sunnah
i. Dari Ibnu Abbas ra. dari Nabi saw. Beliau bersabda: “Barangsiapa tidak menyukai
sesuatu dari pemimpinnya, hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa keluar sejengkal
saja dari ketaatan pemimpinnya, maka ia pun mati dalam keadaan jahiliah,” (HR
Bukhari)
ii. Dalam satu lafazh disebutkan: “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak
menyenangkan dari pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa
meninggalkan jama’ah sejengkal saja, lantas ia mati, maka matinya itu dalam keadaan
jahiliah.” (HR Bukhari Muslim)
iii. Dari Abdullah bin Umar ra. Ia berkata bahwa Umar bin Khattan ra. pernah berkhutbah di
Al-Jabiyah. Kata beliau, “Rasulullah saw. pernah berdiri di tempatku ini kemudian
bersabda: ‘Perlakukanlah para sahabatku dengan baik, kemudian orang-orang sesudah
mereka, dan sesudahnya lagi. Kelak akan tersiar kebohongan, hingga ada orang yang
mulai memberi kesaksian sebelum diminta. Maka barangsiapa di antara kamu
menghendaki tengah-tengah surga, hendaklah ia komitmen dengan jama’ah.
Sesungguhnya setan menyertai orang yang menyendiri dan lebih menjauhi dua orang...”
(HR Ahmad, Turmudzi, Hakim, dan Ibnu Abi ‘Ashim)
iv. Dari Abu Hurairah ra. ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat fardhu hingga
shalat fardhu berikutnya merupakan tebusan bagi dosa-dosa di antara keudanya. Begitu
pun shalat Jum’at hingga shalat Jum’at berikutnya, bulan Ramadhan hingga Ramadhan
berikutnya merupakan tebusan bagi dosa-dosa di antara keduanya.” Kemudian beliau
bersabda, “Kecuali tiga perkara. Tahukah kamu, apakah tiga perkara yang akan terjadi
tersebut? Ketiga perkara itu adalah: mempersekutukan Allah, mengingkari jual beli, dan
meninggalkan sunnah. Adapun mengingkari (meninggalkan) jual beli adalah engkau
berbaiat kepada seseorang lalu engkau mengingkari dan memeranginya dengan
pedangmu. Adapun meninggalkan Sunnah ialah keluar dari al-jama’ah.” (HR Ahmad dan
al-Hakim)
v. Dari Samurah bin Jundub ra. ia berkata: “Amma ba’du, sesungguhnya Nabi saw.
menamakan kuda-kuda kami sebagai kuda-kuda Allah jika kami merasa takut. Dan jika
kami merasa takut (dalam peperangan). Rasulullah saw. menyuruh kami beriltizam pada
jama’ah, bersabar, dan bersikap tenang apabila kami berperang.” (HR Abu Daud)
vi. Dari Ibnu Abbas ra. Ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tangan Allah bersama
al-jama’ah.” (HR Turmudzi, Thabrani, Abi ‘Ashim)
vii. Dari Ibnu Umar ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Allah tidak menyatukan umat
ini –atau umatku- di atas kesesatan.” (HR Turmudzi, Al-Hakim, Ibnu Abi ‘Ashim, At-
Thabrani, dan Al-Lalaka’i)
viii. Dalam suatu lafazh dan sesudahnya disebutkan: “Dan ikutilah golongan mayoritas,
karena barangsiapa menyendiri, ia akan menyendiri pula dalam neraka.” (HR Al-Hakim)
ix. Dari Ibnu Mas’ud ra. ia berkata Rasulullah saw. bersabda: “Tidak halal darah seorang
muslim yang bersyahadat bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa aku Rasulullah,
kecuali dengan salah satu dari tiga perkara, yaitu: jiwa dibalas dengan jiwa
(membunuh), duda dan janda yang berzina, serta orang yang meninggalkan din dan al-
jama’ah.” (HR Bukhari)
x. Dari Al Irbadl bin Sariyah ra. ia berkata: “Pada suatu hari ketika usai menunaikan shalat
shubuh, Rasulullah saw menasihati kami dengan kata-kata yang sangat dalam dan
mengesankan hingga kami meneteskan air mata serta hati kami merasa takut. Kemudian
ada seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan berpisah. Maka
apakah yang engkau pesankan kepada kami, wahai Rasulullah?’, Beliau menjawab,
“Kupesankan kepadamu agar bertakwa kepada Allah, mendengar dan mentaati
(pemimpinmu) sekalipun dari budak Habsyi. Karena barangsiapa yang masih hidup di
antara kamu, ia akan melihat banyak perselisihan. Jauhkanlah dirimu dari perkara yang
diada-adakan (bid’ah), karena yang demikian itu adalah kesesatan. Barangsiapa di
antara kamu mengalami jaman seperti itu, maka hendaklah berpegang teguh pada
Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin. Peganglah Sunnah itu erat-erat.’” (HR
Turmudzi, Abu Daud, dan Ahmad)
xi. Dari Jabir bin Abdullah ia berkata: “Jika Rasulullah saw berkhutbah, kedua matanya
memerah, suaranya lantang, dan dengan nada penuh semangat, seakan beliau memberi
peringatan kepada prajurit: awas ada musuh datang pada saat pagi dan petang. ‘Aku
diutus, sedangkan jarak antara diutusnya aku dengan hari kiamat seperti dua jari ini’,
kata beliau sambil merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya. Kemudia beliau
bersabda: ‘Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-
baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Adapun sejelek-jelek perkara adalah yang
diada-adakan (bid’ah), dan bid’ah adalah kesesatan.’ Kemudian beliau melanjutkan,
‘Aku lebih patut dicintai setiap mukmin daripada ia mencintai dirinya sendiri.
Barangsiapa meninggalkan harta, maka keluarganyalah yang berhak memilikinya, dan
barangsiapa meninggalkan hutang maka akulah yang mengurusi serta
menanggungnya.’” (HR Muslim)
d. Hadits Hudzaifah ra
Hudzaifah ra. berkata:
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
tentang kejelekan karena khawatir hal ini akan menimpa diriku. Pertanyaanku, ‘Wahai
Rasulullah, kami dahulu hidup pada jaman jahiliah yang penuh kejelekan, lalu Allah
mendatangkan kebaikan ini. Apakah sesudah kebaikan ini akan ada kejelekan?’ Beliau
menjawab, ‘Ya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah kejelekan itu akan ada kebaikan lagi?’
Beliau menjawab, ‘Ya tapi di dalamnya terdapat kotoran.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah
kotorannya itu?’ Beliau menjawab, ‘Kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku.
Engkau mengenali mereka tapi mengingkarinya.’ Aku bertanya lagi, ‘Apakah sesudah
kebaikan (yang terkena kekotoran itu) akan ada kejelekan lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ya, yaitu
orang-orang yang mengajak ke pintu Jahannam. Barangsiapa mengikuti ajakan mereka,
berarti ia telah dilemparkan ke neraka Jahannam.’ Aku bertanya lagi, ‘Ya Rasulullah
terangkanlah kepada kami ciri-ciri mereka.’ Beliau menjawab, ‘Kulit mereka sama dengan
kulit kita, bahasa mereka sama dengan bahasa kita.’ Aku bertanya, ‘Apakah yang engkau
perintahkan jika aku mengalami jaman seperti itu?’ Beliau menjawab, ‘Beriltizamlah pada
jama’ah muslim dan para Imam mereka.’ Aku bertanya lagi, ‘Bagaimana jika mereka tidak
mempunyai jama’ah dan imam?’ Beliau menjawab, ‘Jauhilah semua golongan itu meskipun
engkau harus mengigit akar pohon hingga engkau mati dalam keadaan seperti itu.’” (HR
Bukhari dan Muslim)
DEFINISI PENTING

A. Definisi Aqidah
Menurut bahasa berasal dari kata ‘aqd yaitu ikatan, memintal, menetapkan, menguatkan,
mengikat dengan kuat, berpegang teguh, yang dikuatkan, meneguhkan, dan diantaranya yakin
dan keteguhan.
Lawan katanya adalah al-hill (terurai). Aqidah adalah hukum yang tidak menerima keraguan di
dalamnya bagi orang yang meyakininya. Aqidah dalam agama, maksudnya adalah keyakinan
tanpa perbuatan, seperti keyakinan tentang keberadaan Allah dan diutusnya para Rasul. Apa
yang diyakini oleh hati manusia secara kukuh maka itulah keyakinan. Menurut istilah, ‘aqidah
adaah hal – hal yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa merasa tenteram kepadanya, sehingga
menjadi keyakinan kukuh yang tidak tercampur oleh keraguan. Artinya keimanan kukuh yang
tidak dapat ditembus oleh keraguan bagi orang yang meyakininya, dan keimanan tersebut wajib
selaras dengan kenyataan, tidak menerima keraguan dan dugaan. Disebut ‘aqidah karena
manusia mempertalikan hatinya kepadanya.
‘Aqidah Islamiyah adalah keimanan yang kukuh kepada Rububiyyah Allah Ta’ala, Uluhiyyah-Nya,
serta Asma’ wa shifat-Nya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir,
qadar baik dan buruknya, semua yang ada dasarnya berupa perkara – perkara ghaib, ushuluddin
(pokok – pokok agama), apa yang menjadi kesepakatan salafush shalij, dan ketundukan kepada
Allah secara paripurna dalam perintah, hukum dan ketaatan, sertaittiba’ (mengikuti) Rasulullah.
‘Aqidah Islamiyah, jika disebut secara mutlak adalah ‘aqidah ahlus sunnah wal jamaah, karena
itulah Islam yang diridhai oleh Allah sebagai agama bagi hamba-hambaNya. Ia adalah aqidah tiga
generasi terbaik yaitu para shahabat, tabi’in dan orang – orang yang megikuti mereka dengan
baik.

B. Definisi Sunnah
As-sunnah, menurut bahasa Arab adalah ath-thariqah, berarti metode, kebiasaan, perjalanan
hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Barangsiapa melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka selain memperoleh pahala bagi
dirinya, juga mendapat tambahan pahala dari orang yang mengamalkan sesudahnya, dengan
tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barangsiapa melakukan sunnah yang jelek
dalam Islam, maka selain memperoleh dosa bagi dirinya, juga mendapat tambahan dosa dari
orang yang melakukan sesudahnya, dengan tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.” (HR
Muslim)
Sunnah dalam istilah syara’, menurut para ahli hadits, adalah segala sesuatu yang diriwayatkan
dari Nabi saw, yang berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, karakter, akhlak, ataupun perilaku,
serta taqrir (diamnya beliau sebagai tanda persetujuan) baik sebelum maupun sesudah diangkat
menjadi nabi. Dalam hal ini, pengertian sunnah menurut sebagian dari mereka, sama dengan
hadits (As Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri’il Islami, Mushthafa as Siba’i, hlm 47).
Menurut ahli ushul, sunnah adalah sesuatu yang dinukil dari Nabi saw. secara khusus. Ia tidak
ada nashnya dalam Al Quran, tetapi dinyatakan oleh Nabi saw dan sekaligus penjelasan awal dari
isi Al Qur’an. (Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat 4:47)
Menurut fuqaha, sunnah adalah ketetapan dari Nabi saw. yang bukan fardhu dan bukan wajib.
(Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hlm 31). Sunnah digunakan sebagai lambang pembeda antara ahli
sunnah dan ahli bid’ah. (al Muwafaqat 4:4)
Menurut ulama hadits muta’akhirin, sunnah ibarat ungkapan yang dapat menyelamatkan dari
keragu-raguan tentang aqidah, khususnya perkara iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-
kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, takdir, dan masalah keutamaan para shahabat. Istilah
sunnah menurut ulama hadits muta’akhirin, lebih ditekankan pada aspek aqidah, karena
dianggap penting. Namun jika diperhatikan dengan seksama, lafazh ini lebih mengacu pada
pengertian jalan hidup Nabi saw dan para sahabatnya ra., baik ilmu, amal, akhlak, ataupun segi
kehidupan lain.
Kata sunnah dalam ahlussunnah mengandung dua pengertian :
- Hal hal yang ditunjukkan dengan dalil – dalil syari, baik dari Al-Quran, As Sunnah, maupun
ijma para sahabat r.a
- Lawan dari bid’ah, terutama yang diluncurkan oleh kalangan Salafus Saleh mutakhir ketika
ahlul bid’ah bermuncuan. Karena, mereka mewajibkan umat Islam untuk berpegang teguh
pada As Sunnah. Sabda Rasulullah : “Sebaik – baiknya generasi adalah generasiku, kemudian
generasi berikutnya, dan generasi berikutnya. (HR Bukhari)
- Dengan demikian pengertian sunnah berkaitan dengan dua perkara yaitu mengikuti dalil
Rasulullah saw. dan para sahabat r.a serta menentang bid’ah.

C. Definisi Al-Jama’ah
Jama’ah berasal dari kata al-ijtima’ (berkumpul atau bersatu) yang kata lainnya adalah al-firqah
(berpecah belah). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa, ‘al-jama’ah berarti persatuan, sedangkan
lawan katanya adalah perpecahan. Dan lafazh al-jama’ah telah menjadi nama bagi kaum yang
bersatu” (Majmu’ Fatawa 3:157)
Al-jamaah adalah kaum yang berkumpul (bersepakat) atas perkara tertentu juga berarti
segolongan manusia yang dihimun oleh tujuan yang sama.
Menurut istilah, jamaah adalah jama’atul muslimin, yaitu salaf umat ini dari kalangan sahabat
dan orang – orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari pembalasan, yang bersepakat
di atas Al-Quran dan as-Sunnah serta berjalan diatas jalan yang ditempuh Rasulullah saw, baik
lahir maupun bathin.
Jika lafazh jama’ah dirangkai dengan as-sunnah menjadi ahli sunnah wal jama’ah maka yang
dimaksud adalah pendahulu umat ini. Mereka adalah para sahabat dan tabi’in yang bersatu
mengikuti kebenaran yang jelas dari kitabullah dan sunnah rasulullah. (harras, syarah al-
wasithiyyah, hlm 16). Apa-apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para sahabatnya merupakan
kebenaran yang wajib diteladani dan diikuti. Dan setiap orang yang datang sesudah mereka
dengan menempuh jalan mereka dan mengikuti jejak mereka maka dia itulah al-jama’ah, baik
secara individu maupun kelompok.
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa al-jama’ah adalah para sahabat saja, bukan generasi
sesudah mereka. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz ra (Asy-Syathibi, Al-
I’tisham 2:262) menurut pendapat ini lafazh al-jama’ah sesuai dengan riwayat lain dalam
sebuah hadis Nabi: ”...yakni jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.” Kalimat ini merujuk
pada perkataan, perilaku, dan ijtihad mereka. Sehingga lafazh tersebut menjadi hujjah
mutlak dengan kesaksisan Rasulullah khususnya dengan sabda beliau: “Hendaklah kalian
berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah para Khalifah ar-Rasyidin...”
b. ada ulama yang mengartikan al-jama’ah adalah ahli ilmu, ahli fiqih, dan ahli hadits dari
kalangan imam mujtahidin. Sebab Allah telah menjadikan mereka hujjah atas manusia dan
mereka menjadi panutan dalam urusan ad-Din. Menurut Ibnu Sinan, “mereka (aljama’ah)
adalah ahli ilmu dan orang-orang yang punya atsar. (syaraf ashahbul hadits, hlm 26-27).
Sehingga tidaklah termasuk al-jama’ah mereka yang ahli bid’ah dan orang-orang awam yang
taklid, sebab mereka tidak bisa diteladani dan hanya mengikuti ulama.
c. Al-jama’ah ialah jama’ah ahlul islam yang sepakat dalam masalah syara’. Mereka tidak lain
adalah ahli ijma’ yang senantiasa bersepakat dalam masalah hukum syara’ maupun aqidah.
Berdasar hadits Rasul: “Umatku tidak bersepakat dalam kesesatan.” (al-i’tisham 2:263)
d. Jama’ah adalah as-sawadul a’zham (kelompok mayoritas) dalam kitab an-nihayah disebutkan
:”Hendaklah kamu mengikuti as-sawadul a’zham yaitu mayoritas manusia yang bersepakat
dalam mentaati penguasa dan menempuh jalan yang lurus.” As-sawadul a’zham adalah
orang-orang yang selamat dari perpecahan, maka urusan agama yang mereka sepakati itulah
kebenaran. Menurut Asy-syathibi berdasarkan pendapat tsb., maka yang termasuk al-
jama’ah ialah para mujtahid, ulama dan ahli syari’ah yang mengamalkannya.
e. Ath-thabari menyebutkan bahwa al-jama’ah ialah jama’’ah kaum muslimin yang sepakat atas
seorang amir. Pengertian beriltizam pada jama’ah ialah taat dan bersepakat atas amirnya.
Maka barangsiapa melanggar bai’atnya, ia telah keluar dari al-jama’ah. Adapun kesepakatan
mengenai pemimpin ini adalah yang sesuai dengan Al-qur’an dan sunnah. (al-i’tisham 2:265)
Sehingga kesimpulannya
- Ia disebut jama’ah apabila bersepakat dalam hal memilih dan mentaati seorang pemimpin
yang sesuai dengan ketentuan syara’. Sehingga wajib beriltizam kepadanya.
- Jama’ah ialah jalan yang ditempuh oleh ahli sunnah yang meninggalkan segala macam
bid’ah. Inilah yang disebut madhzab al-haq. Jama’ah disini merujuk pada Nabi, ahli ilmu, ahli
ijma’, atau as-sawadul a’zham. Ibnu Mas’ud berkata : “al-jama’ah adalah orang yang
menyesuaikan diri dengan kebenaran walaupun engkau seorang diri.” Dalam lafadz lain
“sesungguhnya al-jama’ah itu ialah mentaati Allah, walaupun engkau seorang diri.”
Allah ta’ala memerintahkan pada hambaNya yang beriman agar berjamaah bersatu dan tolong
menolong serta melarang mereka bercerai berai berselisih dan bermusuhan, melalui firmannya
pada QS Ali Imran 103 : “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai” dan pada ayat 105 “Dan janganlah kamu menyerupai orang –
orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka.
Mereka itulah orang – prang yang mendapat siksa yang berat.”
Sabda Rasulullah “tetaplah berjmaah dan jangan berpecah belah karena syaithan bersama orang
yang sendirian sedangkan ia lebih jauh dari dua orang. Barangsiapa menginginkan kenikmatan
Surga maka tetaplah berjamaah.” (HR Imam Ahmad. Shahih)
Abdullah bin Mas’ud mengatakan “Jamaah adalah apa (siapa) yang selaras dengan kebenaran,
meskipun engkau seorang diri.”.

D. Definisi Ahli Hadits

Menurut bahasa, al-hadits berarti baru, lawan katanya al-qadim (lama). Menurut istilah, al-
hadits berarti perkataan,perbuatan, ketetapan, sifat, atau akhlak Nabi saw. ilmu hadits terdapat
dua macam : ilmu hadits riwayat, dan ilmu hadits dirayah.
Ilmu hadits riwayat ialah ilmu yang meliputi perkataan, perbuatan, ketetapan, sifat nabi, riwayat
dan penyampaian, serta penulisan lafazhnya. Ilmu hadits dirayah ialah ilmu tentang peraturan
yang dipergunakan untuk mengetahui keadaan sanad dan matan. Yang juga disebut musthalah
hadits.
Jika dikatakan ahli hadits, ialah seseorang yang memperhatikan hadits Rasulullah saw., baik dari
segi riwayat maupun dirayah. Mengkaji hadits-hadits nabi saw dan periwayatannya, mengikuti
isinya berupa ilmu dan amal, serta menjalankan sunnah dan menjauhi bid’ah. Dengan demikian,
ahli hadits adalah orang yang patut diyakini kebenaran; mengikuti sunnah, jama’ah, dan
golongan yang selamat.
Menurut Syekh Abu Ismail Ash-shabuni ‘ahli hadits ialah mereka yang meneladani nabi saw dan
para shahabatnya, mereka meneladani orang salaf yang saleh dari imam-imam ad-din yang
kokoh dan kebenaran yang nyata, mereka membenci ahli bid’ah yang sering mengada-ada dalam
soal agama”
Ahli hadits dahulu dan sekarang adalah orang-orang yang berjalan mencari atsar-atsar yang
menunjukkan sunnah rasulullah saw. mengambil dari sumber aslinya, mengumpulkannya,
memeliharanya, menyeru orang banyak untuk mengikutinya serta mencela para penentangnya.
Ibnu Taimiyah memberi batasan mengenai ahli hadits yaitu bukan hanya terbatas pada orang-
orang yang mendengar, menulis, atau meriwayatkan hadits saja, tapi mencakup semua orang
yang lebih patut memelihara, mengetahui, memahami, dan mengikutinya secara lahir batin.
Begitu pun terhadap alqur’an.
Serendah-rendah sifat yang mereka miliki ialah mencintai alqur’an dan alhadits, membahas dan
mengkaji maknyanya, serta mengamalkan isi kandungannya yang telah mereka ketahui.

E. Definisi Salaf

Menurut bahasa berarti nenek moyang yang lebih tua dan lebih utama. Salaf berarti pendahulu.
Salaf adalah siapa yang mendahuluimu dari bapak – bapak dan kaum kerabatmu yang
melebihimu dalam usia dan keutamaan.
Menurut istilah, salaf adalah sahabat, sahabat dan tabi’in, serta pengikut mereka dari imam-
imam terkemuka yang mengikuti alqur’an dan assunnah atau sahabat dan tabi’in serta orang –
orang yang mengikuti mereka dari generasi – generasi terbaik; dari kalangan para imam
terkemuka yang diakui keimaman, keutamaan, ittiba’ sunnah dan keimaman di dalamnya, serta
menjauhi bid’ah dan hati-hati terhadapnya, dan dari kalangan mereka yang disepakati oleh umat
atas keimaman dan kedudukan mereka yang besar dalm agama. Karena itu generasi awal
disebut salafus shalih. Sedangkan imam salafus shalil adalah Rasulullah saw lihat QS An-Nisaa
:115; QS Al-Fath:29; QS At-taubah :100.
Allah menilai ketaatan kepada rasul sebagai ketaatan kepada Allah pada QS An-NIsaa 80. Bahwa
ketidakpatuhan kepada Rasul akan membatalkan amalan sesuai firman Allah pada QS
Muhammad 33. Kita diperintahkan agar melaksanakan apa yang diperintahkan Rasul sesuai pada
QS Al-Hasyr 7. Dan bahwasannya Rasul saw adalah teladan yang baik yang shalilh dan contoh
terbaik yang wajib diikuti dan diteladani sesuai firmanNya pada Q AL-Ahzab 21.
Salaf ash-shaleh ialah generasi pertama yang mendalam ilmunya, mengikuti petunjuk nabi saw
dan memelihara sunnah beliau. Mereka telah dipilih Allah untuk menemani nabiNya dan
menegakkan dinNya. Mereka adalah imam-imam umat yang diridhai Allah.
Salaf lebih mangacu pada para shahabat menurut al’adawi, salaf ashshaleh ialah sifat yang lazim
dan mutlak hanya ada pada shahabat, serta tidak terdapat pada yang lainnya.
Madzhab Salaf ialah apa yang dipegangi oleh para shahabat yang mulia, pengikut mereka yang
baik hingga hari kiamata, pengikutnya lagi, imam-imam ad-din terkemuka dan orang-orang yang
menerima perkataan mereka dari generasi ke generasi berikutnya seperti imam yang empat
(Imam Abu Hanify, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad), Sufyan Ats-Tsauri, Al-Laits bin
Sa’ad, Ibnul Mubarak, An-Nakha’i, Al-Bukhari, dan Muslim. Juga para penyusun kitab sunan yang
tidak tertuduh sebagai pembuat bid’ah dan tidak terkenal dengan gelar yang tidak
menyenangkan seperti khawarij, rafidl, murji’ah, jabariyah, jahmiyah, mu’tazilah.
Sehingga dapat ditari garis definisi bahwa salaf ialah istilah yang diperuntukkan bagi imam-imam
terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi Allah, yaitu generasi shahabat, tabi’in, dan
tabi’it-tabi’in. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. : “sebaik-baik generasi ialah generasiku,
kemudian orang-orang sesudahnya, dan orang-orang seusdahnya lagi. Lalu akan datang orang-
orang yang kesaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”
(HR Bukhari)
Karena itu setiap orang yang beriltizam pada aqidah, fiqih, dan ushul imam-imam, ia dapat
dinisbatkan pada mereka (salaf) meskipun tempat dan jamannya berjauhan. Dan setiap orang
yang menyalahi mereka sekalipun ia hidup di tengah-tengah mereka bahkan berkumpul dalam
satu tempat dan satu masa ia tidak termasuk golongan mereka.

F. Definisi Golongan yang Mendapat Pertolongan

Golongan ini adalah golongan pejuang dari kalangan ahlus sunnah yang layak memperoleh
pertolongan Allah baik itu ilmu yang shahih, perilaku yang lurus terhadap sunnah Allah di alam
semesta, serta melaksanakan hal-hal yang dijadikan Allah sebagai wasilah untuk mencapai hasil
yang diharapkan. Golongan ini jelaslah dari golongan ahlus sunnah wal jama’ah.
Sebagai makhluk Allah, golongan ini sebenarnya sama dengan makhluk lain, kecuali mereka
mendapat perlindungan Allah. Pada diri mereka terdapat kebaikan-kejelekan, keadilan-
kezhaliman, ketaatan-kemaksiatan. Dalam hal tersebut Ibnu Taimiyah berkata “Mu’awiyah dan
Al-Mughirah serta lainnya berhujjah atas keunggulan golongan penduduk Syam, berdasarkan
dua hadits shahih Nabi saw :
“Akan senantiasa ada segolongan dari umatku yang tegak menjalankan perintah Allah.
mereka tak peduli terhadap orang yang menentang dan mengecewakan mereka hingga
datangnya hari kiamat”
“Akan senantiasa ada sekelompok umatku yang menang dalam membela kebenaran hingga
datang keputusan Allah, sedangkan mereka tetap dalam keadaan demikian.”
Ada dua alasan mengapa mereka menjadikan kedua hadits tersebut sebagai hujjah akan
keunggulan Syam.
Pertama, penduduk Syam telah menzahirkan dan membela kebenaran hingga akhirnya segala
urusan diserahkan kepada mereka, setelah terjadinya peperangan dan fitnah. Nabi saw.
bersabda “mereka tak peduli terhadap orang yang menentang mereka.” Hadits ini mengandung
arti bahwa golongan yang menegakkan kebenaran dari umat ini adalah golongan yang secara
nyata akan mendapat kemenangan dan pertolongan, mereka itulah ahlul haq.
Kedua, nash-nash menentukan bahwa mereka ada di Syam sebagaimana yang dikatakan Mu’adz,
dan seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya dar Abu Hurairah dari Nabi saw,
bersabda “Penduduk kawasan barat akan senantiasa mendapat kemenangan”
Imam Ahmad berkata, “Yang dimaksud penduduk kawasan barat ialah penduduk Syam. Hal ini
disebabkan Nabi saw berdomisili di Madinah. Dengan demikian kawasan yang ada di sebelah
barat Madinah disebut kawasan barat, sedangkan sebelah timurnya adalah kawasan timur.
Penduduk Najd dan sebelah timurnya di sebut penduduk kawasan timur, sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Umar, “telah datang dua orang dari kawasan timur, lalu berkhutbah.”
Banyak pula hadits Nabi yang menjelaskan bahwa kejelekan itu berasal dari timur seperti sabda
beliau “Fitnah itu berasal dari sini, fitnah itu berasal dari sini” (seraya beliau menunjuk ke arah
timur) “Biang kekufuran berasal dari timur”
Hadits-hadits di atas mengandung maksud bahwa golongan yang mendapat pertolongan dari
umat yang menegakkan kebenaran itu di kawasan barat, yaitu di Syam dan kawasan sebelah
baratnya, sedangkan fitnah dan kekufuran akan timbul dari kawasan timur.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kelompok yang ada di Syam, Mesir dll, yang membela Dinul Islam
adalah kelompok yang lebih layak menyandang predikat Thaifah Manshurah, golongan yang
mendapat pertolongan, sebagaimana disebutkan bahwa diantara ciri-ciri Thaifah Manshurah ini
ialah ‘mereka berada di baitul maqdis’. Dan sekarang, mereka inilah yang berada dibaitul
maqdis. (Majmu’ Fatawa 28:531,532,552)

G. Sikap seorang muslim dalam menjalankan perintah syar’i dan hukum alam
Terdapat perbedaan antara peristiwa alami (alam semesta) dengan perintah syar’i, antara
kehendak alam dengan kehendak syari’at, antara yang Allah kehendaki terhadap kita dengan
yang Allah kehendaki dari kita. Artinya setiap muslim senantiasa dituntut mengikuti dan
melaksanakan segala perintah syara’ sekuat tenaga, kapanpun saatnya, dimanapun berada.
Adapun diluar itu merupakan urusan-urusan alami yang berjalan menurut kehendak Allah yang
mutlak dan kebijaksanaanNya yang luhur. Untuk urusan ini Allah lebih tahu dimana dan kapan
Dia memberikan pertolongan kepada yang berhak memperolehnya diantara hamba-hambaNya.
Sikap yang dituntut dari seorang muslim ialah mengimani, menerima, dan melakukan usaha
positif semaksimal mungkin untuk mencapai keberhasilan.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ahlus sunnah wal jamaah mempercayai bahwa iradah (kemauan)
Allah ada dua macam :
1. Iradah kauniyah
Yaitu terdapat adanya iradah dan tidak harus mesti disenangi Nya, atau dalam istilah lain
disebut masyiah seperti firman Allah dalam QS Al-Baqarah 253 “ Seandainya Allah
menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang
dikehendakiNya”
2. Iradah syar’iyah
Yaitu yang dimaui tidak mesti harus terjadi dan yang dimaui ini disenangi Allah, seperti
firmanNya pada QS An-Nisa 27 : ”Dan Allah hendak menerima taubatmu”
Kita meyakini bahwa iradah kauniyah dan iradah syar’iyah itu adalah berdasarkan hikmah,
dan tentang hikmah itu hanya Allah swt Yang Maha Mengetahui dengan sebenarnya. Kita
hambaNya mungkin tahu sebagian atau tidak tahu sama sekali akan hikmah apa yang terjadi
karena jangkauan akal manusia yang sangat terbatas. “Dan hukum siapakah yang lebih baik
daripada hukum Allah bagi orang – orang yang yakin” QS Al-Maidah 50.
ASAL USUL PENAMAAN AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH

A. Bagaimana nama itu lahir?


Ahlus sunnah wal jamaah adalah orang – orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi saw,
para sahabatnya dan orang – orang yang mengikuti mereka, menempuh jalan mereka dalam
keyakinan, ucapan dan perbuatan, serta orang – orang yang beristiqamah di atas ittiba’ dan
menjauhi bid’ah. Mereka tetap muncul dan diberi pertolongan hingga hari Kiamat. Mengikuti
mereka adalah petunjuk, dan menyelisihi mereka adalah kesesatan.
Menurut Ibnu Taimiyah, mazhab Ahli Sunnah wal Jama’ah telah ada sejak dulu. Ia sudah dikenal
sebelum Allah menciptakan Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Ahli Sunnah ialah mazhab
sahabat yang telah menerimanya dari nabi mereka. Barangsiapa menentang itu, menurut
pandangan ahli sunnah, berarti ia pembuat bid’ah. Mereka telah sepakat bahwa ijma’ sahabat
ialah hujjah, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan ijma’ orang-orang sesudah
sahabat.
Ahli sunnah waljama’ah merupakan kelanjutan dari jalan hidup Rasulullah saw dan sahabatnya.
Jikapun bangkit seorang Imam, pada jaman bid’ah dan keterasingan ahli sunnah, yang menyeru
kepada aqidah yang benar dan memrangi pendapat yang menentangnya, maka ia tidaklah
membawa sesuatu yang baru. Ia hanya memperbarui mazhab ahli sunnah yang sudah usang dan
menghidupkan ajaran yang sudah terkubur. Sebab aqidah dan manhaj bagaimanapun tidak
pernah berubah.
Dan jika pada suatu masa atau suatu tempat terjadi penisbatan mazhab ahli sunnah terhadap
seorang ulama atau mujadid, maka hal itu bukan karena ulama tersebut telah menciptakan
sesuatu yang baru atau mengada-ada. pertimbangannya semata-mata karena ia selalu
menyerukan manusia agar kembali kepada as-sunnah.

B. Awal timbulnya fitnah?


a. Awal munculnya bid’ah adalah bid’ah kaum Khawarij dan Rawafidl (Syi’ah). Bid’ah ini terjadi
setelah timbulnya fitnah Abdullah bin Saba’ dan terbunuhnya Utsman ra. Kaum khawarij
mengkafirkan Ali dan menyatak keluar dari kelompok Ali, sedangkan kaum syi’ah mengakui
imamah Ali, kema’shuman, kenabian bahkan ketuhanannya. Bid’ah terus berlanjut, pada akhir
masa sahabat, pemerintahan Ibnu Zubeir dan Abdul Malik, timbul bid’ah Murji’ah dan
Qadariyah. Kemudian pada masa tabi’in, pemerintahan bani Umayah muncul bid’ah Jahmiyah,
Musyabbihah, Mumatstsilah. Padahal kesemuanya itu tak pernah terjadi pada masa sahabat.
b. Sejak timbulnya fitnah, kaum muslimin mulai memperhatikan sanad dan menyeleksi rawi.
Sebab kaum salaf takut berdusta terhadap Rasulullah saw. terutama setelah timbul berbagai
aliran bid’ah. Ibnu Sirin mengatakan “sesungguhnya hadits ini adalah din, perhatikanlah dari
siapa kalian mengambil din kalian.” (al kifayayah 162)
Upaya memperhatikan hadits dari segi riwayat baru dimulai pada jaman fitnah. Pada masa
ulama sunnah mulai mengklasifikasikan siapa orang yang dapat diterima riwayatnya dan siapa
yang ditolak. Maka orang yang mengikuti sunnah diterima riwayatnya, sedangkan ahli bid’ah
ditolak, kecuali dengan persyaratan ketat
Jelas bahwa kebohongan telah tersebar di kalangan kaum Rafidlah. Imam Syafi’i mengatakan
“aku belum pernah melihat seorangpun dari kalangan pengikut aliran sesat (ahlul hawa) itu
yang lebih suka berdusta kecuali Rafidlah”. Ketika timbul fitnah Al-Mukhtar yang cenderung
syi’ah tersebarlah kebohongan dan pemalsuan terhadap hadits nabi saw. Pada jaman itu
banyak sekali kebohongan atas diri Ali.
Dengan dimulainya pemeriksaan terhadap sanad dan rawi serta dipilah-pilahnya riwayat
mereka, maka muncullah identitas ahli hadits yang berbeda dengan pengikur aliran lain. Inilah
awal mual lahirnya ilmu musthalah hadits atau kelompok ahli sunnah yang memperhatikan
hadits.
c. Kebalikan dari mereka adalah Rafidah dan Khawarij. Keduanya merupakan pelopor fitnah dan
bid’ah. Namun Khawarij masih dikenal suka berkata benar*. Oleh karena itu Imam Bukhari dan
lainnya meriwayatkan dari juru dakwah mereka.
*)Al-khathib al-baghdadi meriwayatkan dengan sanad yang didalamnya terdapat Ibnu
Luhai’ah, ia berkata “aku mendengar seorang syekh dari kwarij berkata : ‘sesunnguhnya hadits
ini adalah din, karena itu perhatikanlah dari siapa kamu mengambil din kamu, sesungguhnya
jika kami menyukai sesuatu, maka kami jadikanlah hal itu sebagai hadits.’”(al-kifayah 163)
Yang jelas kaum khawarij terkenal dengan fitnah dan kesesatannya. Kaum yang keluar dari
jama’atul muslimin ini cenderung mengkafirkan, memerangi, dan membunuh orang diluar
kelompoknya. Oleh karena itu khalifah Ali ra memerangi mereka begitu pun para sahabatnya.
Ketika kaum khawarij keluar dari jama’ah islam dan fitnah merajalela, maka kaum muslimmin
sangat antusias untuk memelihara jama’ah dan menjauhkan diri dari perpecahan.
Ahli sunnah mulai menyusun kitab mengenai aqidah yang mereka namakan kitab sunnah.
Mereka meriwayatkan berdasarkan isnad dari Rasulullah saw, sahabat, tabi’in, yakni kalangan
salaf al-ummah. Dalam masalah aqidah, mereka memfokuskan pembahsan tentang wajibnya
mengikuti sunnah (ittiba’) dan haramnya bid’ah. Mereka juga mewajibkan umat mengikuti
aqidah salaf mengenai nama-nama Allah dan sifat-sifatnNya, keimanan kepadaNya, mengenai
takdir, dan masalah aqidah lain. Secara khusus mereka mewajibkan umat agar mengikuti
jama’ah dan tidak boleh keluar dari imam sekalipun ia fasik. Mengenai segi ini, banyak
golongan yang salah tafsir: ada yang berlebihan dan ada pula yang sebaliknya. Adapun ahli
sunnah berada di antara mereka, sebagaimana kaum muslimin yang senantiasa berada di
tengah-tengah antara pemeluk agama-agama.
Ahlus sunnah wal jamaah memiliki kekhususan dibandingkan golongan lainnya dengan
berbagai sifat, spesifikasi, dan keistimewaan, di antaranya :
1. Mereka adalah golongan pertengahan dan bersikap adil di antara ifrath (ekstrim) dan
tafrith (meremehkan), antara ghuluww (berlebih-lebihan) dan jafaa’ (tidak ramah), baik itu
dalam masalah ‘aqidah, hukum maupun perilaku. Mereka adalah pertengahan di antara
golongan – golongan umat, sebagaimana halnya umat ini pertengahan di antara semua
agama.
2. Mereka hanya mengacu pada Al-Quran dan Sunnah, memperhatikan keduanya, tunduk
kepada nash – nashnya, dan memahami keduanya berdasarkan manhaj salaf.
3. Mereka tidak mempunyai imam yang dielu – elukan yang mereka ambil semua ucapannya
dan mereka tinggalkan segala hal yang menyelisihinya, kecuali Rasulullah. Mereka adalah
manusia yang paling tahu tntang ihwal, ucapan dan perbuatan beliau. Karena itu, mereka
adalah manusia yang paling mencintai Sunnah, paling bersemangat untuk mengikutinya,
dan paling mencintai ahlinya.
4. Mereka meninggalkan pertikaian dalam urusan agama, dan menjauhi para pelakunya,
meninggalkan perdebatan dalam masalah – masalah halal dan haram, dan mereka amsuk
dalam agama secara keseluruhan.
5. Mereka memuliakan salafus shalih, dan mereka meyakini bahwa metode salaf adalah lebih
selamat, lebih berilmu, dan lebih tangguh.
6. Mereka menolak takwil dan menerima syariat, serta mereka mendahulukan naql (wahyu)
daripada ‘aql (akal) –wawasan otak- dan menundukkan kedua kepada yang pertama.
7. Mereka menghimpun di antara nash – nash dalam satu masalah dan mengembalikan al-
mutasyaabih kepada yang mahkam.
8. Mereka adalah teladan kaum yang shalih yang menuntun kepada kebenaran dan
membimbing kepada jalan yang lurus; berkat keteguhan mereka di atas kbenaran tanpa
kebimbangan, kesepakatan mereka atas perkara – perkara ‘aqidah, dan kompromi mereka
antara ilmu dan ibadah, antara tawakkal kepada Allah dan ikhtiyar, antara mencari
keluasan dunia dan wara’ didalamnya, antara takut dan harap, antara cinta dan benci,
antara kasih dan lemah lemut kepada kaum mukminin dan keras terhadap kaum kafir, dan
mereka tidak berselisih dengan beruabahnya situasi dan kondisi.
9. Mereka tidak memberi sebutan selain dengan Islam, Sunnah dan Jama’ah.
10. Mereka bersemangat untuk menyebarkan ‘aqidahh yang shahih dan agama yang lurus,
mengajarkan kepada khalayak, membimbing, dan menasihati mereka, serta peduli dengan
berbagai urusan mereka.
11. Mereka adalah manusia yang paling sabar atas ucapan-ucapan, keyakinan-keyakinan dan
seruan mereka.
12. Mereka bersemangat dalam jamaah dan persatuan, menyerukan dan memerintahkan
manusia kepadanya, mengenyahkan perselisihan dan perpecahan, serta memperingatkan
manusia agar waspada terhadapnya.
13. Allah melindungi mereka dari sikap mengkafirkan satu sama lain. Kemudia mereka
menghukumi orang lain berdasarkan ilmu dan keadilan.
14. Mereka saling mencintai satu sama lain, mengucapkan tarahhum (penghormatan) satu
sam lain, tolong menolong di antara mereka, dan menutupi kekurangan satu sama lain.
Mereka tidak mencintai dan memusuhi kecuali berdasarkan atas perkara agama.
Secara umum mereka adalah manusia yang memiliki akhlak paling luhur, paling bersemangat
menyucikan jiwanya dengan mentaati Allah, wawasannya paling luas, pandangannya paling
jauh, paling lapang dada dengan perselisihan, dan paling tahu tentang etika-etika dan akar-
akar perselisihan.
Sehingga definisi ahlus sunnah wal jamaah tidak keluar dari definisi salaf. Kita tahu bahwa salaf
adalah kaum yang mengamalkan al-Quran serta berpegang teguh dengan as-Sunnah. Jadi salaf
adalah ahlus sunnah yang dimaksud oleh Nabi saw, dan ahlus sunnah adalah salafus salih serta
siapa saja yang meniti jalan mereka.
Inilah makna yang lebih khusus mengenai ahlus sunnah wal jamaah, dan keluar dari makna ini
adalah semua golongan pelaku bid’ah dan ahlul ahwa’, seperti khawarij, jahmiyyah,
qadariyyah, mu’tazilah, murjiah, rafihah dan selainnya dari ahli bid’ah yang meniti jalan
mereka.
BAB II
AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH

Dasar – dasar aqidah ahlus sunnah wal jamaah –orang orang yang berjalan di atas manhaj salafus
shalh- berjalan di atas dasar – dasar yang kukuh dan jelas da;am keyakinan, amal dan perilaku. Dasar
– dasar ini diambil dari kitabullah dan semua yang shahih dari Sunnah Rasul saw, baik mutawatir
maupun ahad, serta dengan pemahaman salaful ummah dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang –
orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Ushuluddin (pokok – pokok agama) telah dijelaskan oleh Nabi saw secara lengkap. Tidak boleh
seorang pun mengada – adakan sesuatu berkenaan dengannya dan menyangka bahwa itu termasuk
agama. Karena itu, ahlus sunnah berpegang teguh dengan dasar – dasar ini, menjauhi lafazh – lafazh
yang diada-adakan dan berkomitmen dengan lafazh yang syari. Dari sinilaj diperleh pemahaman
yang hakiki tentang salafus shalih.
Adapun ushuluddin menurut ahlus sunnah wal jamaah secara global sebagaiman dijelaskan berikut
ini.
ASAS MANHAJ ‘AQIDAH PARA SALAFUS SHALIH

Secara rinci asas – asas manhaj aqidah para salafus shalih adalah
1. Kitabullah dan sunnah Rasulullah saw, yang merupakan sumber aqidah maupun syar’i.
keharusan berpegang pada kedua sumber tersebut meliputi tiga perkara berikut
a. Wajib berhukum kepada keduanya jika berselisih sebagaimana firman Allah
“…kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian…” (An-Nisaa 59)
Mereka hanya berhukum pada Quran dan Sunnah tidak pada ra’yu dan akal manusia, tidak
pula pada filsafat barat maupun berkiblat pada putusan organisasi. Setiap masalah
dikembalikan pada Pemilik segala perkara yaitu Allah SWT
b. Agama Islam mengandung kesempurnaan sehingga sumber kehidupan pun cukup
mengambil dari Al-Quran dan As sunnah. Seperti pada firman Allah pada QS AL-Maidah 3 :
“…pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu dan Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…”
c. Dengan membahas masalah aqidah yang tercantum dalam Al Quran dan sunnah, para
salafus shalih menggunakan tatacara yang baik (adab). Karena aqidah merupakan masalah
yang penting dan peka serta berhubungan dengan asma dan sifat Allah, berita dan hukum-
hukumNya, malaikat dan masalah masalah ghaib.
2. Wajib mendahulukan syar’i daripada akal, terutama ketika seolah – olah merada ada perbedaan
antara keduanya. Jika kita menemukan keraguan atas suatau masalah, yang patut kita dahulukan
adalah syar’i dan naqli yang shahih. Tak mungkin ada pertentangan antara wahyu yang shahih
dan akal yang sehat.
3. Manhaj salafus shalih jauh dari ilmu kalam dan filsafat apalagi ikut campur di dalamnya serta
sangat keras menentang ahli bid’ah. Imam syafi’i mengatakan “hukuman bagi ahli bid’ah adalah
hukuman cambuk dengan pelepah kurma serta diarak keliling pasar sambil diumumkan kepada
khalayk. Inilah hukuman bagi orang yang meninggalkan Al-Quran dan sunnah serta menerima
ilmu kalam.
4. Salafus shalih menolak pendapat orang – orang yang mengikuti hawa nafsu, menentang manhaj
mereka, dan teguh memegang dalil kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Sebagian orang
menuduh bahwa manhaj salaf adalah manhaj naqi sehingga pengikutnya menerima kandungan
Al-Quran dan as sunnah mentah – mentah tanpa pemanfaatan akal. Padahal ketika menjelaska
suatu kebenaran Al-Quran menggunakan dalil naqli yang juga menyangkut dalil – dalil aqli dan
berbagai fakta. Dengan begitu, orang yang beriman yang mengikuti syariat Allah serta
memegang teguh Al-Quran dan As sunnah adalah orang yang akalnya paling sempurna. Orang –
orang yang menjelaskan masalah aqidah atau masalah – masalah Islam melalui ketengan lain
dari ilmu mantik, ilmu kalam, pendapat barat dan timur, filsafat, sejarah, materialisme, atau
sekulerisme justru merupakan orang – orang yang kurang akal karena mereka mengambil
hukum bukan dari sumbernya. Selain itu, kita pun tahu, urusan aqidah itu bersifat ghaib,
sehingga hanya dapat kita peroleh dari Pemilik keghaiban, Allah swt.
5. Ahlussunnah wal jamaah menggunakan hadits aahaad yang shahih, sebagai hujjah dalam
masalah aqidah. Banyak ahli bid’ah, baik dahulu seperti Jahmiyyah dan Mu’tazilah maupun
sekarang sepeti ahli – ahli kalam dan golongan sekular yang telah terbukti menyepelekan sunnah
rasulullah saw, serta menganggap beliau sebagai manusia biasa. Ahlus sunnah wal jamaah
beriktikad bahwa apapun yang datang dari Rasulullah yang kemudian dikutp oleh para sahabat
baik dalam masalah aqidah maupun hukum, adalah wahyu Allah. Sehingga mereka berpegang
kepada keduanya asalkan shahih menurut para ulama seperti Bukhari atau Muslim, dengan
demikian manhaj ahlussunnah wal jamaah dibagi atas tiga perkara penting yaitu :
a. Konsekuen
b. Rasulullah saw,
c. Rasulullah saw,
6. Para sahabat adalah

SIFAT AHLUS SUNNAH DALAM BERAMAL

IMAN DAN RUKUN – RUKUNNYA

SISTEM PENERIMAAN ILMU MENURUT AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH

1. Semua ilmu yang selaras dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul mereka sepakati sebagai
ketetapan yang benar, sedangkan yang bertentangan dengan keduanya mereka tolak
Ciri pertama yang membedakan ahli sunnah waljama’ah dengan yang lain adalah dalam hal
system penerimaan ilmu dan sumber pengambilan ilmu dan sumber pengambilannya yang haq,
baik dalam hal aqidah, konsepsi, ibadah, muamalah, perilaku maupun akhlak, yaitu mengambil
dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Maka tak seorangpun berkata mendahului
Kalamullah, dan tak mengambil petunjuk sebelum petunjuk Muhammad saw.
Mereka tidak menetapkan suatu perkataan serta tidak menjadikannya prinsip keagamaan dan
pernyataan pembicaraan mereka jika tidak sah berasal dari Rasulullah. Tetapi segala sesuatu
yang telah ditetapkan Rasul, dari kitab dan hikmah, mereka jadikan sebagai prinsip yang mereka
yakini sekaligus menjadikannya sandaran.
Hal-hal yang dipersilisihakan manusia, baik tentang sifat Allah, qadar, ancaman, nama Allah,
amar ma’ruf nahi munkar, maupun hal lain, mereka kembalikan pada Alquran dan sunnah Rasul.
Mereka menafsirkan lafazh yang tengah diperselisihkan ahli tafaruq dan ahli ikhtilaf (golongan
sempalan yang menentang ahli sunnah waljama’ah). Jika makna penafsiran selaras dengan
Alquran dan Sunnah, mereka tetapkan sebagai kebenaran. Sedangkan yang menyalahi kedua
sumber itu mereka tolak. Mereka juga tidak mengikuti prasangka dan kemauan hawa nafsu,
karena mengikuti prasangka adalah kebodohan, dan menuruti hawa nafsu tanpa petunjuk dari
Allah merupakan kezhaliman (Majmu’ Fatawa 3:347)

2. Ahli sunnah waljama’ah berpendapat bahwa tidak ada seorangpun yang ma’shum kecuali
Rasulullah saw
Para imam tidaklah terpelihara dari dosa, menurut pandangan ahli sunnah waljama’ah. Sehingga
ucapan mereka boleh diambil dan ditinggalkan. Hanya ucapan Rasulullah yang mengikat. Tidak
ada yang diteladani dan diikuti kecuali Rasulullah. Maka semua berita dan perintah beliau wajib
dibenarkan dan ditaati. Kedudukan seperti ini tidaklah layak dimiliki oleh para imam.
3. Mereka berpendapat bahwa ijma’ salafus shaleh merupakan hujjah syari’iyah yang
sepatutnya diikuti oleh generasi sesudah mereka
Ahli sunnah waljama’ah meyakini bahwa generasi yang paling mengetahui kebenaran syariat
Allah setelah Nabi saw adalah para sahabat dan salafus shaleh. Sehingga ijma’ di kalangan
mereka terpelihara dari kesalahan. Ijma’ mereka merupakan hujjah syariah yang harus diikuti
generasi sesudah mereka.
Mereka adalah jama’ah karena jama’ah adalah al-ijtima’ yang merupakan lawan kata dari al-
firqah. Kata al-jama’ah menjadi sebutan bagi kaum yang bersatu, berhimpun dalam mengikuti
jalan yang ditempuh pendahulu mereka : muhajirin dan anshar.
Ijma’ merupakan sumber hokum ketiga yang mereka jadikan sandaran ilmu dan ad-Din. Ijma’
yang berlaku adalah ijma’ yang disepakati salaf ash-shaleh, karena generasi setelah mereka
mengalami banyak perselisihan pendapat dan perpecahan umat (Juz 3:157)
Berdasarkan hal itu, ijma’ mereka terbebas dari kesalahan (Juz 13:24). Dan ad-Din muslimin
dibangun berdasarkan Alquran, sunnah Rasul, dan kesepakatan umat. Ketiga sumber itulah yang
terjaga dari kesalahan (Juz 20:164)

4. Mereka tidak menetapkan suatu pernyataan dan tidak pula menerima hasil ijtihad kecuali
setelah mengupasnya berdasarkan kitabullah, sunnah, serta ijma’
Ahli sunnah waljama’ah senantiasa mengikuti sunnah yang dibawa Rasulullah dan jama’ah
beliau. Yang dimaksud jama’ah adalah para sahabat dan orang-orang yang menempuh jalan
mereka dengan tetap. Mereka tidak menerima ijtihad atau pendapat siapapun sebelum
menyelaraskannya dengan Alquran, Sunnah Nabi, dan ijma’.

5. Mereka pantang menentang Al-Quran dan Sunnah dengan akal, rayu, dan qiyas.
Para sahabat ra mempelajari tafsir Alquran dan Alhadits langsung dari Nabi dan mereka teruskan
pada para tabi’in. mereka tidak mendahulukan akal, pendapat, perasaan dan lainnya dari
ketentuan Allah dan RasulNya. Karena kedua sumber itulah yang telah disepakati oleh para
sahabat dan tabi’in dan tak seorangpun dari mereka menerima pendapat, perasaan, pemikiran,
qiyas, dan naluri yang bertentangan dengan Alquran.
Tidak seorangpun dari salafus shaleh yang bertentangan dengan Alquran baik akal, pemikiran,
perasaan maupun naluri mereka. Mereka tidak pernah mengatakan ada pertentangan antara
akal dan naql apalagi harus mendahuluhan akal. Salafus shaleh juga tidak menerima pertentangn
ayat dalam Alquran. Jika terjadi kasus demikian, mereka mengajukan ayat lain untuk
menafsirkan atau menasakhnya atau dengan mengajukan sunnah Rasul untuk menjelaskannya
karena Sunnah Rasul berfungsi untuk Alquran, menuntuk kejelasan, dan menerangkan ungkapan
di dalamnya (juz 13:27-29).
Allah berfirman dalam QS At-Taubah ayat 100 :
“orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang
Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha pada
mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang
besar.”
Maka bagi orang-orang yang mengikuti kaum Muhajirin dan Anshar dengan baik, akan
mendapatkan ridha Allah dan berhak memperoleh surgaNya. Dan barangsiapa mengikuti jejak
para pendahulu dan yang pertama masuk Islam termasuklah ke dalam golongan mereka.
Sedangkan mereka tergolong manusia terbaik setelah Nabi mereka, karena umat Muhammad
merupakan umat terbaik yang ditampilkan untuk manusia, dan para sahabat adalah umat
Muhammad yang terbaik. Dengan demikian mengenali perkataan mereka dalam soal ilmu dan
ad-Din serta perilaku mereka adalah lebih baik dan lebih bermanfaat daripada mengenali
perkataan dan perilaku generasi sesudah mereka.
Banyak sumber hokum generasi setelah mereka melahirkan hal bid’ah di dalam Islam dan
bertentangan dengan ijma’ kaum salafus shaleh. Hal ini karena perselisihan mereka, generasi
muta’akhirin, merupakan kesalahan mutlak, sebagaimana perselisihan golongan khawarij,
rafidlah, qadariyah, dan murji’ah yang bertentangan dengan nash yang jelas dan ijma’ para
sahabat. Di samping itu kaum salafus shaleh telah membicarakan semua masalah tanpa satupun
yang tertinggal, sehingga dapat dipastikan jika ada perkataan atau pendapat yang muncul
kemudian bisa diketahui apakah bertentangan atau sesuai dengan ijma’ mereka (juz 13:23-27)

6. Ahli sunnah waljama’ah berpendapat bahwa al-jama’ah merupakan penentu keselamatan


(seseorang) di dunia dan di akhirat.
Ahli sunnah waljama’ah selalu berpegang teguh pada jama’ah Rasulullah saw dan berpaling dari
tempat-tempat yang di dalamnya terdapat perpecahan dan perselisihan dengan tetap mengikuti
kalimat-kalimat Alquran dan as-sunnah serta ijma’. Mereka menjauhi tempat yang tersamar
mengandung syubhat yang dapat memecah belah persatuan dan menceraiberaikan keutuhan
umat, karena menurut mereka al-jama’ah merupakan penentu keselamatan seseorang di dunia
dan di akhirat.
Setiap muslim wajib mengikuti sunnah Rasul saw dan jejak khulafa’ ar-rasyidin serta para
pendahulu yang masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang mengikuti mereka
dengan baik. Setiap perselisihan dan perbedaan di kalangan umat hendaknya diselesaikan
berdasarkan ilmu dan keadilan yang berlandaskan nash dan ijma’. Hendaklah mereka juga
berpaling dari orang-orang yang memecahbelah ad-Din. Karena sesungguhnya tempat-tempat
tafaruq dan ikhtilaf umumnya bersandar pada sumber zhanni (prasangka) dan kehendak hawa
nafsu, padahal telah datang kepada mereka petunjuk dari Rabb mereka. Maka merupakan
kewajiban untuk membincangkan perkara umum berdasarkan kalimat-kalimat yang dibenarkan
nash dan ijma’ agar mencegah mereka terjerumus dalam persoalan yang menimbulkan
perselisihan dan perpecahan. Sebab kedua hal tersebut merupakan larangan terbesar dari Allah
dan RasulNya (juz 12:237)

7. Ahli sunnah waljama’ah tidak mewajibkan orang yang tidak mampu untuk mengetahui ilmu
sebagaimana kewajiban terhadap orang yang memiliki kemampuan.
Ahli sunnah beriman dengan ajaran yang dibawa Nabi saw secara ijmali (global). Akan tetapi
mereka membedakan antara orang yang mampu memahami secara baik dan rinci ajaran
tersebut dengan orang yang tidak mampu untuk melakukan hal itu. Hal ini adalah prinsip penting
yang boleh jadi akan menimbbulkan fitnah disebabkan tiadanya ilmu dan pengetahuan
mengenai hal itu.
Memang setiap orang wajib untuk mengimani ajaran yang dibawa Rasulullah, iman dalam
pengertian umum dan global, dan tidak diragukan lagi pentingnya mengetahui ajaran yang
dibawa Rasulullah saw secara rinci itu adalah fardu kifayah. Tetapi yang tak kalah penting adalah
bahwa kemampuan, pengetahuan dan kebutuhan mereka berbeda-beda. Sehingga tidak
diwajibkan bagi orang yang tidak mampu untuk menyimak sebagian ilmu atau memahaminya
secara dalam, sebagaimana kewajian yang dibebankan kepada mereka yang memang memiliki
kemampuan untuk hal itu. Kewajiban itu terpikul bagimereka yang mendengarkan nash-nash
dan memahaminya secara rinci, tetapi bagi mereka yang sekedar mendengarkannya tidaklah
diwajibkan. Demikian pula wajib bagi para pemberi fatwa, ahli hadits dan ahli debat, tetapi tidak
bagi yang tidak berpredikat seperti itu. Oleh sebab itu terjadi perselisihan dikalangan umat
mengeani hal rumit sementara mereka tidak mendapatkan yang lainnya, tidaklah wajib bagi
yang tidak memiliki kemampuan untuk memecahkan permasalahan tersebut.
Bagi mereka yang tidak mampu hendaklah mengikuti dugaan yang lebih kuat jika memang tidak
mendapatkan keyakinan, apalagi jika i’tiqad itu sesuai dengan kebenaran. Sebab i’tiqad tersebut
akan membawa manfaat dan memperkokoh pelakunya.(Juz 3:312-314)
Oleh karena itu ahli sunnah waljama’ah mengambil sumber Din mereka baik dalam hal ilmu dan
amalan dari Al-Quran dan as-Sunnah berdasarkan pemahaman pada sahabat ra. mereka tidak
mendahulukan yang lain, atau menentangnya berdasarkan akal, ra’yu, qiyas, perasaan, naluri
atau hasil kajian rasio mereka.
Inilah sebenarnya prinsip utama yang membedakan antara ahli sunnah waljama’ah dengan
golongan lain. Prinsip yang mencetak “celupan” jama’ah dengan warna khas dan membentuk
sosoknya secara umum beserta predikat-predikatnya yang khas dalam perilaku dan akhlak bagi
jama’ahnya. Bahkan lebih jauh lagi mereka menetapkan prinsip aqidah, ushul fiqih, dan kaidah
fiqhiyah yang menjadi pusaka bagi jama’ah ini.
GAMBARAN UMUM AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH

1. Ahli sunnah waljama’ah mempersatukan ad-Din melalui ilmu dan amalan, lahir dan batin.
Ahli sunnah waljama’ah mempersatukan ad-Din secara keseluruhan melalui ilmu, amalan, lahir
dan batinn dengan selalu berpegang kepada kemurnian Islam yang dibawa Nabi saw dan
dipelihara oleh para sahabat.
I’tiqad golongan yang selamat (jama’ah) adalah gambaran yang dipredikatkan Nabi saw dengan
keselamatan, sebagaimana sabdanya : “umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan, yang
72 masuk neraka dan yang satu masuk surga. Golongan iniadalah yang mengikuti jalan hidup
seperti yang aku tempuh hari ini dan jalan para sahabat”
I’tiqad inilah yang ditinggalkan Nabi saw dan para sahabat yang diridhai Allah. oleh karena itu
barangsiapa mengikuti mereka termasuklah dalam firqah an-najiyah (golongan yang selamat)
(juz 3:179). Jalan hidup mereka adalah dinul Islam yang dengannya Rasulullah saw diutus. Dalam
hadits lain disebutkan : “Mereka yang menempuh jalan hidup yang aku tempuh dan para
sahabatku, yang selalu berpegang teguh pada kemurnian Islam, serta bersih dari percampuran,
merekalah ahli sunnah waljama’ah” (Juz 3:159)

2. Ahli sunnah mempersatukan ad-Din secara menyeluruh dan menegakkan ajarannya. Mereka
berhimpun di atas hal itu. Karena al-jama’ah merupakan sebab dan akibat sekaligus ketaatan
dan rahmat, maka memelihara jama’ah merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah, dan di
antara rahmat Allah bagi orang yang mentaati-Nya dalah terpeliharanya jama’ah mereka.
Yang menjadi faktor penyebab kesatuan dan kerukunan adalah menyatukan ad-Din dan
mengamalkan ajarannya secara menyeluruh dalam rangka ibadah kepada Allah semata, tiada
menyekutukanNya dengan apapuun sebagaimana yang diperintahkanNya baik lahir maupun
batin. Sedangkan faktor perpecahan adalah meninggalkan sebagian dari apa yang
diperintahkanNya dan berbuat kezhaliman di antara mereka.
Al-jama’ah akan membuahkan rahmat dan kebahagiaan di dunia-akhirat serta berserinya wajah
(tatkala menghadap Allah). sedangkan al-firqah akan mendatangkan siksa dan laknatNya,
membuat hitam dan muram wajah, di samping menjauhnya Rasulullah dari mereka.
Bahwa ijma’ adalah hujjah yang qath’i. Karena jika mereka berhimpun dan sama-sama mentaati
Allah, tentulah mereka akan mendapatkan rahmatNya. Tidak akan ada ketaatan pada Allah dan
tidak pula mendatangkan rahmatNya jika mereka melakukan perbuatan yang tidak
diperintahkanNya baik dalam hal keyakinan (i’tiqad), perkataan maupun perbuatan. Jika amalan
yang mereka himpun tidak berdasar perintah Allah, tidak akan lahir ketaatan padaNya dan tidak
pula menjadi sebab datangnya rahmatNya.
Manakala manusia telah meninggalkan sebagian perintah Allah swt. maka saat itu pula timbul
permusuhan dan kebencian. Jika satu kaum terpecahbelah akan rusak dan binasalah mereka.
Jika satu kaum berhimpun maka lahirlah kebaikan penuh damai dan mereka dapat berkuasa.
Maka jama’ah adalah rahmat sedangkan firqah adalah azab. (juz 3:421)

3. Ahli sunnah adalah golongan tengah dan lurus.


Golongan yang selamat adalah ahli sunnah waljama’ah karena mereka berada di tengah-tengah
umat, di tengah berbagai aliran, sebagaimana keberadaan Islam ditenga-tengah antara berbagai
agama (Juz 3:369).
Jalan lurus ini adalah Dinul Islam yang bersih sebagaimana termaktub dalam kitabullah. Jalan
yang lurus adalah ahli sunnah waljama’ah karena sunnah mahdlah (murni) adalah Dinul Islam
yang murni.
Dalam semua perkara sunnah, ahli sunnah mengambil jalan tengah, mereka berpegang teguh
pada Kitabullah, Sunnah Rasul, serta ijma’ para sabiqun awwalun dari kaum muhajirin dan
anshar beserta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (Juz 3:375)
Mereka berada ditengah antara firqah-firqah umat. Oleh karena itu mereka bersikap moderat
dalam masalah sifat-sifat Allah, antara golongan ta’thil (ingkar) dari golongan Jahmiyah dengan
golongan ahli tamsil (orang-orang yang menyerupakan Allah dengan lainNya) dari golongan
Musyabbihah. Mereka juga moderat dalam masalah af’al Allah, antara faham Qadariyah dengan
Jabariyah. Demikian dalam hal janji dan ancaman, antara Murji’ah dengan Wa’idiyah dari
golongan Qadariyah yang lainnya. Mereka juga moderat dalam masalah istilah iman dan ad-Din,
antara golongan Huririyah dengan Mu’tazilah serta antara Murji’ah dengan Jahmiyah. Dan dalam
soal para sahabat Rasul antara Rafidlah dengan Khawarij (juz 3: 141).

4. Ahli sunnah waljama’ah berpegang teguh pada Al-Quran, Sunnah dan ijma’
Ahli sunnah waljama’ah ada;ah orang-orang yang berpegang teguh pada Al-Qur’an, Sunnah dan
ijma’. Merekalah orang-orang yang taat mengikuti ad-Din yang datang dari Rasulullah, bukan din
yang berasal dari filsuf dan ahli kalam. Orang-orang yang menghimpun tiga hal utama yang
merupakan sumber kebaikan akan mendapat pahala dari Rabb mereka, selamat
darihukumanNya, tiada takut terhadap apa yang ada di hadapan mereka, serta tidak merasa
cemas dan sedih terhadap apa yang mereka tinggalkan. Tiga hal tersebut adalah mengimani
penciptaan dan kebangkitan, beriman pada Allah dan hari akhir, beramal shaleh.

5. Ahli sunnah waljama’ah adalah penerus sejarah bagi penganut agama Islam
Ahli sunnah waljama’ah adalah asal muasal umat Muhammad.mereka penerus tabi’at alami dan
benar bagi pemeluk agama ini, sebagaimana millah Muhammad menjadi penerus alami dan
benar bagi millah-millah para nabi pendahulunya. Oleh karena itu jika ada golongan lain di luar
ahli sunnah waljama’ah maka asing bagi millah ini, dan dianggap golongan minoritas yang
menyimpang dari jalan asli dan benar.
Adapun predikat golongan selamat yang disebutkandalam hadits-hadits shahih dikarenakan
mereka adalah ahli sunnah waljama’ah, golongan mayoritas terbesar. Sedangkan golongan
lainnya adalah menyimpang, berpecah belah, bid’ah, mengikuti hawa nafsu. Golongan-golongan
tersebut memisah-misahkan Kitabullah, sunnah dan ijma’. Maka barangsiapa berkata
berdasarkan Kitabullah, Sunnah, dan ijma’, mereka termasuk ahli sunnah waljama’ah (juz 3:245).

6. Ahli sunnah adalah ahli syariat yang mengikuti sunnah Rasul meliputi seluruh aspek ajaran
Islam, baik aqidah, manhaj-manhaj tinjauan, perbuatan-perbuatan, tujuan-tujuan esensi,
ibadah-ibadah, siasat syar’iyah, maupun lainnya.
As-Sunnah sebagaimana syariat adalah segala sesuatu yang disunnahkan dan disyariatkan Rasul
dalam hal aqidah dan amalan. Oleh karena itu, Ibnu Abbas dan lainnya menafsirkan kaliat
syir’atan waminhajan dengan sunnah dan jalan.
Istilah sunnah dan syariat terkadang menjelma dalam aqidah danperkataan, terkadang dalam
tujuan dan perbuatan. Istilah pertama menyangkut keadaan dan cara mendengarkan. Juga
digunakan untuk jalan peribadatan lahiriyah dan sistem politik kekuasaan (Juz 19:307)
7. Ahli sunnah hanya mengambil sumber hukum yang kuat ketetapannya dari Rasul dan Salaf
ash-Shaleh.
As-Sunnah yang wajib diikuti, patut dipuji pelakunya, dan dicela bagi yang menyalahinya adalah
Sunnah Rasul, dalam aqidah, ibadah, dan berbagai perkara lainnya.
Hal ini diketahui berdasarkan pengetahuan tentang hadits-hadits Nabi yang telah menajadi
ketetapan baik dalam perkataan, perbuatan maupun taqrir. Selain itu juga apa-apa yang
ditempuh oleh pendahulu dan pengikutnya (Juz 3: 378)

8. Ahli sunnah adalah orang yang paling mengetahui hal-ihwal Rasul, baik berupa perkataan
maupun perbuatannya. Serta paling besar kecintaan dan loyalitasnya baik terhadap
Sunnahnya maupun pendukungnya.
Orang yang paling berhak dikategorikan sebagai firqah an-najiyah adalah ahlul hadits dan
sunnah, yaitu meereka yang tetap mengikuti dan berta’ashub kepada Rasul. Mereka yang paling
mengetahui perkataan Nabi saw dan hal-ihwalnya. Mereka memiliki perhatian besar dalam
mempertimbangkan riwayat shahih dan lemah. Imam mereka adalah orang-orang yang mengerti
benar hadits dan maknanya, mengikuti,mengamalkannya, membenarkan, mencintainya, serta
menaruh hormat pada orang-orang yang menghormatinya dan memusuhi oraong-orang yang
memusuhinya.

9. Ahli sunnah adalah orang-orang yang mencintai Hadits Nabi dan taat dalam mengikutinya.
Ahli sunnah dan ahli hadits bukanlah mereka yang sekedar sibuk berperan dalam urusan ilmu
hadits, namunjuga mencintai dan mencurahkan perhatian padanya, iltizam dengannya, serta
menyerukan orang lain agar iltizam padanya.
Ahli hadits dalam arti cakupan yang lebih luas adalah mereka yang paling benar hafalannya,
pengetahuan, pemahaman, kemudian mengikuti secara lahir dan batin. Ahli Qur’an sekurang-
kurangnya mencintai Qur’an dan hadits, beramal dengan ilmunya. Oleh karena itu fuqaha hadits
lebih memahami perihal Rasul dibandingkan fuqaha lainnya, sufi mereka lebih murni mengikuti
jejak Rasul daripada sufi golongan lainnya, penguasa mereka lebih teguh mengikuti kebijakan
Rasul dari penguasa lainnya, dan orang awam mereka lebih loyal pada Rasulullah dibanding
orang awam lainnya (Juz 4: 95).

10. Ahli sunnah memiliki tingkatan beragam dalam mengetahui Sunnah, mengamalkannya, serta
bersabar terhadapnya.
As sunnah adalah segala sesuatu yang diterima para sahabat dari Rasulullah, kemudian
diteruskan pada para tabi’in, tabi’it tabi’in, dan seterusnya sampai hari kiamat. Dan sebagian
imam lebih mengetahui dan lebih mampu bersabar terhadapnya dari sebagian imam yang lain
(Juz 3:358)

11. Ahli sunnah berbeda dalamijtihad mereka, sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka
terhadap Sunnah.
Ahli sunnah menghadapai kenyataan beragamnya pengetahuan yang menyebabkan mereka
berbeda dalam berijtihad. Perbedaan ijtihad ini menyangkut sebagian permasalahan ilmu, dan
hal ini bisa jadi mereka menyalahi Sunnah yang shahih. Kasus seperti ini banyak terjadi di
kalangan Salaf umat dan para imam dan seringkali pernyataan-pernyataan mereka tidak sesuai
dengan Kitabullah dan Sunnah (Juz 3:349)
12. Ahli sunnah senantiasa berupaya agar perbedaan ijtihad mereka mengarah kepada satu
pendapat dan menjaga kerukunan.
Meskipun terdapat perbedaan di kalangan ahli sunnah dalam masalah ilmiah dan amaliah,
namun mereka berupaya keras mengendalikan perilaku mereka sekalipun tajamnya perbedaan
tersebut, disertai adab ikhtilaf yang menyiratkan kasih sayang, kerukunan dan saling
menghormati. Semua itu dilakukan agar terpeliharanya keutuhan dan kerukunan jama’ah dan
menyingkirkan perpecahan dan tuduhan.
Nabi tidak menyukai perselisihan atau perdebatan yang dapat menimbulkan perbedaan dan
perpecahan (tafarruq) oleh karena itu, beliau menyebut al-jama’ah sebagai golongan yang
selamat disebabkan keteguhan merekamemegang sunnahnya. Para ulama dari kalangan
sahabat, tabi’in, dan pengikut setelah mereka selalu mengikuti perintah Allah jika menemui
perselisihan perdapat, sebagaimana firmanNya dalam QS An-Nisa 59.
Setiap permasalahan mereka tinjau atas dasar musyawarah dan saling menasehati sehingga
kerukunan dan persaudaraan Islam senantiasa terpelihara. Perbedaan yang menyangkut soal
hukum, misalnya, sangatlah menyita energi, bukan hanya karena bobot masalah yang berat
tetapi jumlahnya pun cukup banyak. Kaum salafus shaleh seringkali berselisih dalam banyak
persoalan namun tak seorangpun di antara mereka mengkafiirkan yang lainnya, tidak pula
menuduh fasik dan maksiat (Juz 3:229)
Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya tidak membolehkan adanya pengecualian dalam iman,
kaena amal merupakan unsur keimanan. Mereka mencela kaum Murji’ah yang tidak mewajibkan
hal-hal yang wajib dan tidak menjauhi perbuatan-perbuatan terlarang. Kaum Murji’ah
menganggap iman hanya cukup dinyatakan dengan ucapan dengan alasan bahwa perselisihan
pendapat adalah soall lafzhiah. Yaitu peselisihan pendapat yang terjadi antara ahli ilmu dan ahli
Din termasuk jenis perselisihan pendapat yang banyak menyangkut soal hukum, dan mereka
semua termasuk ahli iman dan ahli Qur’an (Juz 13:41-47)

13. Ahli sunnah tidak melepaskan kebenaran.


Dalam keadaan apapun, ahli sunnah tidak melepaskan kebenaran dari jama’ah mereka, karena
jama’ah berdiri tegak memelihara nubuwwah untuk menjaga Al-Islam ini dengan spesialisasi
masing-masing. Mereka mengemban tugas sebagai pelanjut para nabi sesuai kemampuan,
dalam hal ini menyangkut ilmu, perkataan, ibadah dan keadaan. Di antara mereka ada shidiqin,
syuhada, shalihin. Juga juru petunjuk, juru penerang keharuman dan keutamaan yang mahsyur,
dan imam-imam tempat kaum muslimin meminta bimbingan dan pengetahuan.

14. Ahli sunnah adalah kelompok yang mendapat pertolongan.


Ahli sunnah adalah orang-orang yang berada di bawah naungan petunjuk dan Din yang benar.
Allah berjanji membela Din ini dan mengunggulkannya di atas din yang lain. Oleh karenanya, ahli
sunnah adalah golongan yang mendapatkan pembelaan dan pertolongan Allah sebagaimana
yang diberitakan Rasul : “Selalu ada sekelompok umatku yang membela kebenaran. Mereka tak
mempedulikan orang-orang yang mengecewakan atau yang menentang mereka sampai datang
hari kiamat”

15. Ahli sunnah adalah menusia biasa, diantara mereka ada yangbaik (berlaku benar) dan ada
yang maksiat.
Ahli sunnah waljama’ah adalah manusia biasa diantara mereka ada shidiqun dan syuhada, ada
pula yang maksiat dan berbuat tercela. Namun, pada umumnya mereka berperilaku baik,
sebagaimana halnya golongan lain yang banyak melakukan keburukan.
Orang yang menisbatkan diri pada Sunnah dan Hadits tentu lebih baik dibandingkan golongan
lain. As-Sunnah dalam Islam seperti halnya Islam terhadap agama lain. Di kalangan mereka juga
terdapat kebaikan dan keburukan. Meskipun demikian, kebaikan di kalangan mereka lebih
banyak dibandingkan kebaikan di golongan lain. Demikian juga jika terdapat keburukan pada
kaum muslimin, maka pada golongan selain mereka keburukan itu lebih banyak lagi. Demikian
pula dengan orang-orang yang menisbatkan diri dengan as-Sunnah, jika di kalangan mereka
terdapat keburukan maka akan lebih banyak lagi keburukan pada golongan selain mereka.
Demikian juga dengan kebaikan, ahli sunnah lebih banyak lagi memilikinya dibandingakn
golongan lainnya (Juz 12:455).

16. Ahli sunnah adalah jumhur akbar dan sawadul ‘Azham (mayoritas umat Muhammad).
Ahli sunnah adalah mayoritas umat Muhammad yang berpegang teguh pada Kitabullah dan
Sunnah Rasul, mencintai para sahabat dan mengambil hadits Nabi dari mereka, baik dalam hal
ilmu, amalan, ataupun fiqih dan perilaku. Mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi
syiar Al-Quran, Sunnah, dan ijma’. Mereka berpegangteguh pada jamaah dan berusaha menjaga
keutuhannya, memelihara kerukunan, serta bersatu di bawah bendera jamaah dan menjauhkan
diri dari panji dan syi’ar perpecahan yang sesat golongan pembangkang (syudzudz), tafarruq,
ahwa’, dan ikhtilaf.
Pada kenyataannya dalam jamaah ahli sunnah sendiri terjadi silang pendapat dalam hal ilmu,
amal, kebaikan, kejahatan, keadilan, kezhaliman, kesabaran, kekejian, perlindungan, serta
permusuhan. Namun, kesemuanya disertai kesadaran dengan berpegangteguh pada
persaudaraan dan persahabatan disertai loyalitas tinggi yang merupakan unsur utama jamaah
sekaligus merupakan pilar Din mereka. Itulah Rahmat dari Rabb mereka.
CIRI – CIRI KHUSUS AKHLAK DAN PERILAKU AHLI SUNNAH WALJAMA’AH

1. Ahli Sunnah adalah sebaik-baik manusia


Ahli sunnah adalah pengemban pusaka peninggalan Nabi saw yang menyangkut masalah ilmu
dan amal. Sedangkan aspek amaliah yang paling menonjol dalam petunjuk nubuwwah adalah
akhlak. Oleh karenanya, akhlak nubuwwah seperti cinta dan kasih sayang, keteguhan dan
kesabaran dalam berdakwah kepada sesama manusia dan lainnya merupakan ciri khas golongan
yang selamat ini, sekaligus rahmat dari Allah yang mereka terima.
Nabi Muhammad saw diutus Allah dengan membawa petunjuk dan rahmat bagi seluruh alam.
Allah mengutusnya dengan ilmu, bukti-bukti rasional, dan bukti-bukti pendengaran. Allah
mengutusnya dengan membawa kebaikan untuk umat manusia, kasih sayang, dan rahmat bagi
mereka tanpa mengharap imbalan, dan sabar dalam menghadapi cercaan. Oleh karenanya allah
membekalinya dengan ilmu, kemuliaan, serta sifat penyantun : memberi bimbingan dan
berbuat baik pada semua manusia. Dia mengajar, memberi petunjuk, memperbaiki hati, dan
menuntun manusia kepada jalan kebaikan di dunia dan di akhirat tanpa mengharap imbalan
apapun. Inilah sifat rasul. Dan inilah jalan bagi siapa saja yang mau mengikutinya. Karenanay
dalam Al-Qur’an Allah menganugerahi sifat pada umat Muhammad :
“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia” (3:110)
Abu Hurairah berkata: “Kalian adalah sebaik-baik manusia bagi manusia”. Artinya mereka
datang di tengah-tengah manusia untuk menyeru mereka masuk ke dalam surga. Mereka
berjihad dengan mengorbankan jiwa dan harta demi kepentingan dan kemaslahatan manusia,
sementara manusia tidak menyukai hal itu karena kebodohan mereka.
Allah sangat menyukai keluhuran akhlak dan sangat membenci keburukan akhlak. Dia menyukai
kehati-hatian ketika merajalelanya syubhat, menyukai keberanian (karena benar) walaupun
sekedar membunuh ular. Allah menyukai toleransi dan kemurahan hati meskipun hanya
sekedar memberi segenggam kurma (Juz 16: 313-317).

2. Ahli Sunnah mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah dalam seluruh hubungan mereka
Ahli sunnah waljama’ah selalu mengikuti AlQuran dan sunnah Rasul, dalam perilaku dan
langkan yang mereka tempuh dan dalam hubungan sesama manusia. Mereka menyuruh
bersabar menghadapi ujian, bersyukur jika mendapat kesenangan, ridla terhadap keputusan
Allah dan menyeru manusia agar menyempurnakan akhlak dan amalan yang baik. Mereka
meyakini sabda Rasul : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya”.
Ahli sunnah menganjurkan adar menyambung tali persaudaraan, memberi sesuatu kepada
orang yang enggan memberi, memaafkan yang berbuat kesalahan. Menyuruh berbakti pada
orangtua, menyambung tali kerabat, berbuat baik padatetangga, berbuat baik pada anak yatim,
orang miskin, ibnu sabil, dan bersikap lembut pada sahaya. Mereka melarang perilaku sombong
lagi membanggakan diri, melarang perbuatan keji dan menodai kehormatan makhluk tanpa hak.
Menyuruh berbuat yang baik, melarang yang jahat. Segala yang mereka katakan dan amalkan
tidak lain hanyalah mengikuti AlQuran dan Sunnah Rasul (Juz 3: 158).

3. Ahli Sunnah adalah golongan penyeru kebaikan dan pencegah kemungkaran, di samping
selalu memelihara keutuhan jama’ah
Mereka menyuruh berbuat yang baik dan mencegah berbuat yang mungkar berdasarkan
tuntunan syariat. Mereka menyuruh menunaikan haji dan jihad, menunaikan shalat Jumat dan
shalat Id bersama pemimpin mereka yang baik maupun durhaka. Termasuk menyuruh mereka
menjaga keutuhan jamaah serta memberi nasihat kepada umat.
Mereka benar-benar meyakini sabda Rasul : “Orang mukmin terhadap mukmin lainnya
bagaikan sebuah bangunan yang sebagian memperkokoh bagian lainnya”.
Kemudian beliau mengait-aitkan jari-jarinya sendiri. Mereka juga meyakini hadits Nabi :
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal kasih sayang dan saling mencintai di antara mereka
adalah bagaikan satu tubuh. Jika salah satu anggotanya mengaduh (karena sakit), maka
seluruh tubuh merasa demam dan tidak bisa tidur”. (Juz 3:158)
Wajib bagi ulil ‘amri agar menjalankan kepemimpinannya dengan baik terhadap rakyat mereka.
Juga sepatutnya memerintah berdasarkan perintah Allah dan Rasul, serta melarang berbuat
kemungkaran berdasarkan larangan Allah dan Rasul. (Juz 3:423)
Termasuk perintah kebaikan adalah menganjurkan persatuan dan kerukunan serta mencegah
timbulnya perbedaan dan perpecahan (Juz 3: 421)

4. Ahli Sunnah selalu memelihara (keutuhan) jama’ah dan iltizam melakukan ketaatan dalam
kebaikan
Ahli sunnah menjalankan fungsi ketaatan dan memelihara jamaah berdasarkan ketentuan
syariat dan pengamalannya. Maka ketaatan mereka dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan
ketaatan dalam maksiat kepadaNya. Jalan hidup moderat adalah Dinul Islam yang murni dan
memerangi orang yang harus diperangi. Berjihad bersama amir dan kelompok yang lebih
mengutamakan (jalan) Islam, jika tidak ada cara lain kecuali berperang. Tetapi tidak membantu
kelompok yang berperang untuk maksiat kepada Allah. Mereka harus mentaati penguasa dalam
mentaati Allah dan tidak mentaati mereka dalam bermaksiat kepadaNya. Jalan inilah yang
terbaik bagi umat ini, yang merupakan jalan tengah antara jalan Hururiyah yang menempuh
jalan maksiat dan kerusakan karena sedikitnya ilmu dan antara jalanMurjiah yang mentaati
pemimpin mereka dengan mutlak sekalipun bukan orang baik (Juz 28:508)

5. Ahli Sunnah memikul amanat ilmu dan memelihara jama’ah


Ahli sunnah memikul amanat ganda yaitu amanat ilmu berupa iltizam, dakwah, dan jihad. Dan
amanat memelihara jamaah Islam dalam pengertian yang luas menyeluruh. Oleh karena itu
wajib mengetahui apa-apa yang dibawa Rasul, wajib beriman kepada ajarannya, mengajak
kepada jalannya, dan berjihad untuk membelanya.
Ahli sunnah menimbang seluruh amalan dan perkataan manusia dengan Kitabullah dan Sunnah
Rasul, baik yang bersifat (ushul) maupun cabang (furu’) yang lahir maupun bathin; pantang
mengikuti hawa nafsu, baik berkaitan dengan adat, madhzab, thariqat, atau kepemimpinan
salaf. Mereka tidak mengikuti prasangka baik yang menyangkut hadits dhaif atau qiyas yang
keliru. Juga tidak bertaqlid pada orang yang tidak wajib diikuti, baik perkataan ataupun
perbuatannya. Sesungguhnya Allah mencela orang-orang yang mengikuti prasangka dan hawa
nafsu dan mereka yang tidak mengikuti petunjuk yang datang dari sisiNya. (Juz 12:467)

6. Loyalitas Ahli Sunnah hanya untuk kebenaran


Ahli sunnah memandang setiap individu atau kelompok berdasarkan loyalitas terhadap
kebenaran, bukan berdasarkan ta’ashub jahili yang bermuara pada kesukuan, kedaerahan,
madhzab, thariqat, tajammu’, atau kepemimpinan. Barangsiapa yang beriman dari golongan
manapun haruslah disikapi dengan loyal, dan barangsiapa yang kafir dari golongan manapun
mereka wajib dimusuhi.
Barangsiapa padanya terdapat keimanan dan kezhaliman, maka loyalitas dan kebencian yang
diberikan kepadanya sesuai dengan kadar kerimanan dan kezhalimannya. Seseorang tidaklah
dinyatakan keluar dari iman secara total hanya karena dosa-dosa dan kemaksiatannya,
sebagaimana pernyataan Khawarij dan Mu’tazilah. Para nabi, shidiqun, syuhada, serta orang-
orang shaleh tidaklah disamakan dengan orang fasik dalam hal iman, din, cinta,benci, muwalah,
dan mu’adah.

7. Ahli Sunnah, saling memberikan wala’ kepada sesama mereka dengan loyalitas secara umum,
dan saling memaafkan
Ahli sunnah wal jamaah saling memberikan wala’ satu dengan yang lain secara umum tanpa
memandang perbedaan asal golongan, jamaah, kecenderungan, ataupun ijtihad tertentu. Bagi
mereka yang prinsip dan penting adalah berkeinginan menjadikan jamaah sebagai sesuatu yang
utuh, kuat, serta saling memaafkan kekurangan masing-masing, dan tidak cepat melancarkan
tuduhan atau saling menyesatkan.
Menjadi kewajiban bagi mereka untuk mendahulukan siapa yang didahulukan Allah dan Rasul,
dan mengakhirkan siapapun yang diakhirkan Allah dan Rasul. Membenci siapa saja yang dibenci
Allah dan Rasul, mencegah segala sesuatu yang dilarang Allah dan Rasul, ridha kepada yang
diridhai Allah dan RasulNya. Karena kekuatan tidak mungkin terwujud jika sesama merasa
paling benar dan merasa paling sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah. Oleh karenanya sekalipun
seorang muslim telah melakukan kekeliruan dalam suatu urusan agama, tidaklah mesti dituduh
kafir atau fasik. Bahkan Allah memaafkan umat ini dari kekeliruan dan kealpaan yang mungkin
diperbuatnya. (Juz 3: 426)

8. Ahli Sunnah menentukan dukungan dan permusuhan berdasarkan prinsip ad-Din, dan mereka
tidak menguji manusia dengan sesuatu yang bukan dari Allah
Ahli sunnah wal jamaah tidaklah menguji manusia tentang perkara yang sama sekali Allah tidak
memberikan kekuasaan padanya. Mereka tidak fanatik berdasarkan nama-nama, syiar-syiar,
lambang organisasi, atau kepemimpinan, namun mereka memberikan dukungan (wala’) dan
sikap permusuhan (mu’adah) berdasrkan prinsip agama dan ketakwaan.
Mereka juga tidak berta’ashub (fanatik) kecuali untuk jamaah muslimin dengan pengertiannya
yang hakiki, yakni jamaah yang dapat meninggikan panji-panji Al-Quran dan Sunnah serta
petunjuk Salaf ash-Shalesh yang diridhai Allah.
Dalam hal ini yang wajib ditolak adalah mengenai peristiwa Yazid bin Mu’awiyah dan fitnah atas
kaum muslimin dengan kasus itu. Demikian pula memecahbelah umat serta mengujinya dengan
sesuatu yang tida ada perintah dari Allah dan rasul, seperti mengatakan “Apakah Anda seorang
syakili atau qarfandi?” Bahkan nama-nama yang muncul di kalangan kaum muslimin yang
dikaitkan dengan nama Imam (fiqih) seperti pengikut Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali atau
kepada syekh-syekh seperti Al-Qadiri, Al-Adawi, dan lainnya atau nasab yang sikaitkan dengan
suku juga terhadap tempat, maka tidak boleh menguji seseorang dengan sebutan-sebutan itu.
Juga tidak boleh mengikat persahabatan dan memusuhi seseorang berdasarkan nama tersebut.
Karena makhluk yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa padaNya, darimanapun
asal kelompoknya.
Maka bagaimana mungkin umat Muhammad diperbolehkan berselisih dan berpecah belah yang
membuat mereka berwala’ kepada satu kelompok dan bermu’adah kepada kelompok lainnya
hanya berdasarkan prasangka dan hawa nafsu tanpa bukti dalil dari Allah? Sedangkan Allah
telah membersihkan NabiNya dari perilaku seperti itu. Maka jelaslah perbuatan semacam itu
adalah bid’ah seperti halnya khawarij memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin dan
menghalalkan darah kaum muslimin yang menentangnya. Bagaimana mungkin kita bisa
membuat kelompok ditengah-tengah umat dengan nama-nama pembuat bid’ah yang tidak
berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul?

9. Ahli Sunnah beramal berdasarkan kesatuan hati dan kesamaan kalimat


Ahli sunnah wal jamaah beramal dalam kerangka kesatuan dan kerukunan serta cinta kebaikan
bagi seluruh kaum muslimin. Mereka mengetahui sebagian tonggak-tonggak besar dalam ad-
Din, yaitu kesatuan hati, kesamaan kalimat, dan kebaikan antar sesama. Allah swt berfirman
dalam QS. Al Anfal ayat 1 : “Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di
antara sesamamu.”
Contoh nash-nash seperti itu memerintahkan pentingnya berjamaah dan kerukunan, serta
melarang adanya perselisihan dan perpecahan. Orang yang mengikuti prinsip ini adalah ahlul
sunnah sedangkan yang keluar adalah ahlul firqah.
Manusia tidak terlepas dari kemungkinan-kemungkinan sebagai: mujtahid yang benar, mujtahid
yang salah dalam berijtihad, seseorang yang berbuat dosa. Mereka yang pertama tentu akan
mendapatkan pahala ijtihadnya, yang kedua akan mendapat pahala ijtihad dan dimaafkan
kesalahannya, serta mendapat ampunan, sedangkan yang ketiga, Allah akan mengampuni kita,
mereka, dan seluruh orang beriman. Wajib bagi kaum muslimin tolong-menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan, serta membela sebagian yang lainnya dengan pembelaan yang
sebenarnya.

10. Ahli Sunnah meninjau permasalahan ilmiah dan amaliah dengan memperhatikan kerukunan
dan kesatuan
Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’ij, dan pengikut setelah mereka, ketika mengalami
perselisihan pendapat dalam suatu masalah, mereka mengikuti perintah Allah, sebagaimana
firmanNya: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman pada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (AnNisa 59)
Mereka saling memberikan pandangan dalam persoalan ilmiah dan amaliah dengan
memperhatikan keutuhan persatuan dan persaudaraan agama, serta terlindung dari kesalahan.
(Juz 24: 172)
PRINSIP – PRINSIP YANG DISEPAKATI AHLI SUNNAH WAL JAMA’AH

1. Aqidah Ahli Sunnah Waljama’ah tentang sifat Allah : itsbat bilaa takyif (membenarkan tanpa
mempersoalkan bentuknya) dan mensucikanNya tanpa mengingkariNya
Termasuk beriman kepada Allah adalah mengimani sifat-sifat yang ditetapkan Allah bagi diriNya
didalam kitabNya dan disebutkan oleh Rasulullah tanpa penyimpangan, pengingkaran, tanpa
menyerupakanNya dan menggambarkanNya dengan permisalan. Akan tetapi mengimani bahwa
tidak ada sesuatu apapun yang menyerupaiNya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat
(Asysyura 11)
Ahli sunnah tidak menafikkan apa apa yang telah disifati Allah bagi diriNya, tidak
menyimpangkan kalimat dari tempat sebenarnya (tidak menyimpangkan makna ayat berkenaan
dengan sifat-sifatNya sehingga maknanya tidak sesuai lagi dengan yang dikehendakiNya).
Mereka juga tidak mengingkari asma-asma Allah dan ayat-ayatNya, tidak memvisualisasikan
dan menyerupakan sifat-sifatNya dengan sifat-sifat makhlukNya. “Maha suci Rabbmu yang
mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka sifatkan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas
para Rasul, dan segala puji bagi Allah, Tuhan sekalian alam.” (AshShaffat 180-182)
Allah swt mensucikan diriNya dari sifat-sifat rekaan orang-orang yang menentang para Rasul.
Allah telah menghimpun dalam kitabNya apa-apa yang mesti ditolak dan mesti ditetapkan
mengenai sifat-sifatNya. Oleh sebab itu pantang bagi Ahli Sunnah Waljama’ah untuk
menyimpangkan segala sesuatu yang dibawa para Rasul, karena hal itulah jalan yang lurus.

2. Ahli Sunnah Waljama’ah menetapkan aqidah mereka tentang Al-Qur’an : Al-Qur’an adalah
Kalamullah, bukan makhluk
Madhzab salaf umat dan ahli sunnah waljamaah menandaskan bahwa AlQuran adalah
kalamullah yang diturunkan, bukan diciptakan (makhluk). alQuran berasal dari Allah (ada
permulaan) dan kembali kepadaNya. Rasulullah bersadba “Bahwa Allah berkata-kata dengan
suara, memanggil Adam dengan suara...” kalimat inilah yang diyakini salaf umat dan imam-
imam sunnah.

3. Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat oleh siapapun di dalam
kehidupan dunia
Seluruh ucapan yang didalanya terdapat kalimat “Muhammad melihat Rabbnya dengan kedua
matanya di bumi” adalah dusta menurut kesepakatan kaum muslimin dan ulama-ulama
mereka. Ucapan seperti ini tidak diambil dari seorang ulama kaum muslimin manapun.
Demikian pula bagi siapapun yang mengklaim bahwa dia melihat Rabbnya sebelum dia mati.
Sebab ahli sunnah telah bersepakat bahwa tak satupun dari orang mukmin dapat melihat Allah
dengan kedua matanya di dunia. Hal ini dikuatkan oleh hadits shahih Muslim dari Nawwas Ibnu
Sam’an dari Nabi saw, ketika dia menyebut Dajjal, dia berkata : “dan ketahuilah olehmu bahwa
tak seorangpun dari kalian dapat melihat Rabbnya sampai dia mati.” (Juz 3: 386-389)

4. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat bahwa orang-orang mukmin dapat melihat Rabbnya di
surga dengan kedua mata mereka
Orang-orang mukmin akan dapat melihat Allah dengan kedua mata di surga. Demikian juga
manusia akan melihatNya di Padang Mahsyar pada hari kiamat sebagaimana diriwayatkan
hadits-hadits Nabi yang termaktub dalam kitab shahih dan diterima oleh salaf dan disepakati
oleh ahli sunnah waljamaah.
Namun demikian hadits tersebut didustakan dan disimpangkan oleh golongan Mu’tazilah,
Rafidlah, dan sejenisnya. Mereka mendustakan sifat-sifat Allah berdasarkan ra’yu, termasuk
mendustakan mengenai melihat Allah di surga, dan yang lainnya.
Sikap Islamiah tidak mendustakan sabda Nabi yang mengatakan bahwa orang mukmin akan
dapat melihat Allah di dalam surga, dan tidak membenarkan pendapat yang mengatakan bahwa
Nabi pernah melihat Allah di dunia.

5. Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani semua berita keadaan setelah mati yang disampaikan
Rasulullah
Termasuk beriman pada hari akhir adalah mengimani berita yang disampaikan Nabi perihal
keadaan sesudah mati. Oleh karena itu, mereka mengimani berita yang disampaikan adanya
fitnah kubur, azab kubur, nikmat kubur, hingga terjadinya kiamat kubra saat semua ruh
dikembalikan kepada jasad masing-masing. Pada saat itu manusia bangkit dari kubur mereka
untuk menghadap rabb yang menguasaii alam ini dalam keadaan tanpa busana dan belum
dikhitan. Matahari dekat sekali di atas kepala sehingga mereka bercucuran keringat karena
sengatannya. Neraca keadilan pun dipasang untuk menimbang amalan para hambaNya. Kitab
catatan amal dibentangkann, di antara mereka ada yang mengambilnya dengan tangan kanan,
dengan tangan kiri, atau dari belakang punggung mereka. Allah menghisab amalan makhlukNya,
menghadap hambaNya yang beriman, lalu mengakui dosa-dosa mereka sebagaimana tertulis di
dalam Kitabullah dan Sunnah.
Adapun amalan baik dan buruk orang-orang kafir tidak dihisab karena mereka tidak berhak
mengklaim kebaikan-kebaikan mereka, tak ada kebaikan bagi mereka. Tetapi amalan buruk
mereka langsung dihitung dan dijumlah, kemudia mereka mengakuinya,
mempertanggungjawabkannya dan mendapat balasan sesuai dengan amalan tersebut.
Di Padang Mahsyar terdapat telaga Muhammad yang didatangi umatnya, terdapat jembatan
Shirat yang dipasang di atas punggung jahanam. Jembatan yang menghubungkan antara surga
dan neraka, manusia berjalan di atasnya sesuai dengan kadar amalan masing-masing. Di antara
mereka ada yang tersambar lalu terlempar ke neraka, dan siapa yang berhasil melewati Ash-
Shirat itu, maka berhasil masuk surga. Pada saat melewati jembatan tersebut, manusia berhenti
di atasnya, diantara surga dan neraka, sebagian mereka menuntut balas atas sebagian yang lain.
Jika telah terseleksi, barulah mereka akan memasuki surga. Orang pertama yang dibukakan
pintu surga adalah Muhammad saw dan sekaligus yang pertama memasukinya. Sementara itu
yang paling pertama masuk surga di antara umat para nabi dan rasul adalah umat Muhammad.
Pada hari kiamat Rasulullah diberi hak oleh Allah berupa tiga macam syafaat : pertama, beliau
memberi syafaat pada orang-orang ketika berkumpul pada hari mahsyar sampai nasib mereka
diputuskan. Kedua, Nabi saw memberi syafaat bagi orang yang layak masuk surga untuk
memasuki surga yang dijanjikanNya. Kedua syafaat tersebut khusus dimiliki oleh Nabi. Ketiga,
Nabi memberi syafaat pada orang-orang yang sepatutnya masuk neraka. Syafaat yang terakhir
ini tidak hanya dimiliki oleh Rasulullah namun juga dimiliki nabi-nabi lain, para shidiqin, dan
yang lainnya. Rasulullah memberikan syafaat agar yang seharusnya masuk neraka terhindar
darinya, juga agar yang memasukii neraka dikeluarkan darinya. Allah mengeluarkan hambaNya
dari neraka tanpa melalui syafaat, tetapi semata-mata karena karunia dan rahmatNya. Allah
mengekalkan ahli surga di dalamnya dan memberi kelebihan bagi yang memasukinya dari
penduduk dunia. Sesungguhnya Allah berkehendak terhadap suatu kaum untuk memasuki
surga. (Juz 3: 145-148)

6. Ahli Sunnah Waljama’ah mengimani qadar Allah dengan segala tingkatnya


a. Tingkatan pertama
- Beriman bahwa Allah mengetahui semua perbuatan manusia berdasarkan ilmuNya yang
qadim dan azali. Allah juga mengetahui seluruh keadaan mereka : kertaatan,
kemaksiatan, rejeki, dan ajal mereka.
- Allah telah menentukan ketetapan itu dalam Lauh Mahfudz, semua ketentuan
makhlukNya, itulah yang disebut taqdir. Semuanya mengikuti ilmu Allah dimanapun
tempatnya, yang bersifat ijmali (global) ataupun tafsili (rinci). Allah telah mencatat semua
yang Ia kehendaki di Lauh Mahfudz. Pada saat Dia menjadikan janin, sebelum meniupkan
ruh Dia mengutus malaikat dan menyuruhnya menetapkan empat perkara : tulislah
rejekinya, ajalnya, amalnya, dan nasibnya (sengsara atau bahagia). Takdir seperti ini telah
diingkari oleh golongan Qadariyah secara keterlaluan pada masa lalu sedikit pada masa
sekarang.
b. Tingkatan kedua
- Dalamhal ini meliputi kehendak Allah yang berlaku dan kekuasaannNya yang menyeluruh.
Yaitu mengimani bahwa apa apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi dan segala sesuatu
yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Begitupun yang bergerak dan diam, yang di
langit maupun yang di bumi, berjalan menurut kehendakNya. Tidak ada satupun jenis
makhluk di bumi dan langit kecuali Allah yang menciptakan.
- Allah telah memerintahkan hamba-hambaNya untuk mentaatiNya dan mentaati
RasulNya, serta mencegah mereka dari perbuatan maksiat. Dia Mahasuci yang mencintai
orang yang bertakwa, yang berbuat baik dan berlaku adil. Dia juga ridha pada orang yang
beriman dan beramal shaleh. Dia tidak suka pada orang kafir, fasiq, orang yang ingkar,
dan pembuat kerusakan. Para hamba adalah pelaku yang sebenarnya sedangkan Allah
yang menciptakan perbuatan mereka. Di antara hambaNya yang durhaka ada yang
mendirikan shalat dan puasa. Mereka diberi kemampuan untuk melakukan amalan juga
diberi kemauan untuk berbuat tetapi Allah yang menciptakan mereka dan menciptakan
qudrat dan iradat mereka. Tingkatan qadar inilah yang diingkari golongan Qadariyah. Di
kalanagan umat juga dijumpai kaum yang berlebih-lebihan dalam membenarkan soal
qadar Allah ini, sehingga mereka mengingkari qudrat dan ikhtiar manusia, terbelenggu
oleh angan-angan mereka sendiri. Mereka mengeluarkan hikmah dan kemaslahatannya
dari af’al Allah dan hukum-hukumNya. (Juz 3: 148-150)

7. Ahli Sunnah Waljama’ah berpendapat : iman adalah ucapan dan perbuatan, dapat bertambah
dan berkurang
Termasuk prinsip yang diyakini ahli sunnah bahwa Din dan iman merupakan ucapan dan
perbuatan: ucapan hati dan lisan, serta perbuatan hati, lisan dan anggota badan. Dan
sesungguhnya iman dapat bertambah karena taat dan berkurang karena maksiat. (Juz 3: 151).
Meskipun pada sebagian tempat iman itu berbeda dari maknanya dengan amal (perbuatan)
tetapi semua amalan shaleh termasuk dalam lingkup ad-Din dan al-iman.
8. Ahli Sunnah Waljama’ah meyakini bahwa iman mempunyai ashl (pokok) dan furu’ (cabang).
Iman seseorang tidak terlepas kecuali dengan terlepasnya pokok keimanan. Oleh karenanya,
mereka tidak mengkafirkan seseorang dari ahli kiblat karena kemaksiatannya, kecuali jika
telah terlepas pokok keimanannya
Para mufasir ahli sunnah mengatakan bahwa iman memiliki pokok dan cabang yang meliputi
rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, dan mustahab (yang dibolehkan) sebagaimana terdapat
dalam ibadah haji, shalat dan yang lainnya. Kita dapat memisalkan ad-Din dan al-iman sebagai
pohon yang memiliki batang ranting, dan daun. Maka kalau pun hilang ranting dan daunnya
tetaplah disebut pohon, meskipun kurang lengkap keberadaannya.
Iman memiliki tiga tingkatan :
a. Iman yang dimiliki para pendahulu yang dekat dengan Allah. Mereka melakukan yang wajib
dan musahab, baik mengerjakannya maupun meninggalkannya.
b. Iman yang dimiliki oleh orang-orang muqtashid (tingkat menengah) dari ashabul yamin
(golongan kanan), yaitu orang-orang yang melakukan kewajiban-kewajiban, baik yang
harus dikerjakan maupun yang harus ditinggalkan.
c. Iman yang dimiliki orang-orang zhalim, yaitu orang yang meninggalkan sebagian kewajiban,
atau melakukan sebagian perbuatan terlarang.
Oleh karena itu ulama-ulama ahli sunnah beri’tiqad mereka tidak mengkafirkan seorangpun
ahli kiblat karena dosa yang dilakukannya sebagai isyarat terhadap bid’ah Khawarij yang
mengkafirkan seorang muslim karena melakukan dosa semata-mata.
Adapun pokok iman (ashlul iman) adalah mengakui dan membenarkan apa apa yang
disampaikan Rasulullah, dari Allah, dan tunduk mengikutinya. Maka siapapun yang tidak
melakukan hal itu tidaklah dia beriman.
Perlu diketahui bahwa iman terdiri dari bagian-bagian dan unsur-unsur (tab’idl dan juz’iyah).
Oleh karena itu, bagian iman sekecil apapun yang ada pada seseorang akan dapat
mengeluarkannya dari siksa neraka (atas izin Allah). artinya, tidak kekal ia di dalam neraka
selama masih ada unsur iman, meski sekecil apapun, namun demikian, kelompok Khawarij
mempunyai anggapan yang berbeda dengan ahli sunnah. Mereka beranggapan bahwa iman
harus secara keseluruhan atau sama sekali tidak memiliki iman.
Menurut ahli sunnah persaudaraan iman masih tetap berlaku dan dibenarkan meskipun
mereka bermaksiat. Orang-orang fasiq tidak berarti kehilangan iman secara keseluruhan, dan
mereka tidak kekal di dalam neraka, tidak sama dengan yang diyakini Mu’tazilah (bahwa fasiq
dapat menggugurkan iman secara total dan kekal di neraka). Maka ahli sunnah mengatakan
bahwa orang fasiq beriman dengan kualitas rendah dan dia disebut mukmin karena imannya
dan disebut fasiq karena dosanya.

9. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat terhadap kemungkinan berkumpulnya antara siksa dan
pahala pada diri seseorang. Namun, mereka tidak mewajibkan siksa atau pahala pada orang
tertentu kecuali dengan dalil khusus
Sesungguhnya laknat termasuk ancaman oleh karenanya tidak ditetapkan secara umum.
Seseorang dapat terhindar dari ancaman karena melakukan taubat dengan benar, karena
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, karena adanya musibah yang bisa menebusny, karena
syafaat yang diterimanya, atau sebab-sebab lain yang dapat menghilangkan hukuman
(ancaman). Ini tentang orang yang melakukan dosa dengan jelas. Maka tidaklah seseorang
dinyatakan masuk surga, kecuali dengan dalil khusus. Juga tidak boleh menjadi saksi atas
mereka semata-mata berdasarkan prasangka, sebab mereka termasuk dalam kategori umum.
Ahli sunnah waljamaah telah bersepakat atas berhimpunnya dua perkara, siksa dan pahala,
pada kebanyakan manusia, sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits mutawatir dari Nabi.
Mereka tidak mewajibkan siksa terhadap orang yang melakukan dosa besar, juga tidak
menyatakan terhadap seorang muslim tertentu, berdasarkan kesaksian matanya, patut masuk
neraka karena dosa mereka. Karena boleh jadi, Allah memasukkan mereka ke dalam surga
tanpa disiksa terlebih dahulu. Hal itu disebabkan kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dapat
menghapus dosa, atau karena musibah yang dapat menebusnya, atau karena doa mustajab
yang diucapkannya atau diucapkan orang lain. (Juz 12: 480)

10. Ahli Sunnah Waljama’ah mencintai dan mendukung sahabat Rasul, ahlul bait, dan istri-istri
Rasul tanpa meyakini adanya kema’shuman terhadap siapapun kecuali Rasulullah
Termasuk pokok aqidah ahli sunnah waljama’ah adalah menjaga keselamatan hati dan lisan
mereka dari tuduhan terhadap sahabat Rasulullah. Ahli sunnah menerima kitabullah, sunnah,
dan ijma’ sesuai keutamaan dan martabat mereka. Oleh karenanya, mereka lebih
mengutamakan orang-orang yang membelanjakan hartanya dan berperang di jalan Allah
sebelum ‘kemenangan’, perjanjian Hudaibiyah, daripada orang-orang yang membelanjakan
hartanya dan berperang di jalan Allah sesudah masa itu. Mereka mendahulukan kaum
Muhajjirin terhadap Anshar. Mereka mengimani bahwa Allah berfirman kepada Ahli Badr yang
berjumlah 300 orang lebih : “Kerjakanlah apa yang kalian suka, Aku telah mengampuni dosa
kalian”. Mereka mengimani bahwa tak ada seorangpun yang berbai’at di bawah pohon Ridlwan
masuk neraka.
Berdasarkan hal ini mereka menyatakan masuk surga kepada seseorang yang dinyatakan masuk
surga oleh Rasulullah. Mereka mengetahui berita yang mutawatir dari amirul mukminin Ali bin
Abi Thalib dan lainnya bahwa sebaik-baik umat ini sesudah Nabinya adalah Abu Bakar,
kemudian Umar bin Khathab. Mereka mengakui kedua sahabat itu adalah khalifah sesudah
Rasulullah, termasuk Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah sesudah mereka.
Mereka mencintai dan mendukung ahlul bait dan istri-istri Rasul sebagai ummahatul mukminin.
Dan mengimani bahwa istri-istri beliau akan tetap menjadi istri beliau di akhirat kelak,
khususnya Khadijah binti Khuwailid dan Aisyah binti Ash-Shidiq.
Ahli sunnahh tetap teguh dalam melihat perselisihan di antara para sahabat. Mereka
mengatakan bahwa para shahabat dimaafkan Allah, baik mereka melakukan ijtihad dengan hasil
yang benar maupun salah. Tetapi mereka tidak meyakini bahwa shahabat itu ma’shum dari
dosa.
Sahabat merupakan sebaik-baik makhluk setelah para Nabi. Tidak ada dan tidak akan terjadi
generasi seperti mereka, sebab mereka merupakan generasi yang paling terpelihara dari umat
ini, sebaik-baik umat dan semulia-mulia umat di sisi Allah. sabda Rasul : “Mereka adalah sebaik-
baik generasi”.

11. Ahli Sunnah Waljama’ah membenarkan adanya karomah para wali dan kejadian-kejadian luar
biasa yang diberikan Allah kepada mereka
Termasuk pokokkeyakinan ahli sunnah adalah membenarkan adanya karomah para wali dan
kejadian-kejadian yang diberlakukan Allah pada mereka dalam berbagai ilmu, temuan,
kemampuan, dan pengaruh-pengaruh mereka. Hal demikian telah diriwayatkan sejak umat
terdahulu, seperti yang terdapat dalam AlQur’an Surah Al-Kahfi dan lainnya sampai pada para
sahabat, tabi’in dan seluruh generasi umat ini, dan akan tetap ada sampai hari kiamat. (Juz 3:
156)

12. Ahli Sunnah Waljama’ah bersepakat untuk memerangi siapapun yang keluar dari syariat
Islam, sekalipun ia mengucapkan dua kalimat syahadat
Telah ditegaskan dalam Kitabullah, Sunnah dan ijma’ umat bahwa siapapun yang keluar dari
syariat Islam berhak diperangi sekalipun mengucapkan dua kalimat syahadat. Memerangi
mereka merupakan kewajiban yang harus didahului dengan penyampaian dakwah Nabi kepada
mereka. Maka jika mereka mendahului memerangi kaum muslimin, haruslah mereka diperangi.
Jika musuh hendak menyerang kaum muslimin, mereka wajib membela diri, sementara kaum
muslimin lainnya memberi pertolongan sesuai kemampuan masing-masing. Hal ini seperti yang
telah diperlihatkan pada Perang Khandaq yang tak seorangpun dari mereka diizinkan untuk
tidak ikut berjihad membela agama, jiwa, dan kehormatan.

13. Ahli Sunnah Waljama’ah berperang bersama pemimpin-pemimpin mereka, baik pemimpin
yang baik maupun yang durhaka demi menegakkan syariat Islam
Termasuk pokok keyakinan ahli sunnah waljama’ah adalah berperang bersama orang yang baik
dan fajir. Sebab Allah memperkuat Dinul Islam diantaranya dengan orang-orang fajir dan orang-
orang yang tidak berakhlak, sebagaimana diberitakan oleh Nabi. Maka dalam situasi seperti ini
ada dua alternatif yang harus dihadapi setiap muslim, tidak mau berperang bersama mereka
sehingga muncul kekuasaan lain yang akan membawa mudharat lebih besar dalam ad-Din dan
dunia. Atau berperang bersama mereka (pemimpin yang fajir) sehingga dapat mengalahkan
orang-orang yang lebih fajir, sehingga sebagian besar syari’at Islam bisa ditegakkan, meskipun
tidak seluruhnya. Maka dalam hal ini pilihan kedua lah yang dipilih. Bahkan kebanyakan
peperangan yang terjadi sesudah masa Khulafaur Rasyidin dalam bentuk seperti ini.
PERKARA – PERKARA YANG DIPERSELISIHKAN DI KALANGAN AHLI SUNNAH WALJAMA’AH

1. Di antara ahli sunnah berselisih tentang Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, mana yang
lebih utama diantara kedua sahabat itu, sedangkan perihal Abu Bakar dan Umar mereka
sepakat menerimanya. Ada kelompok yang mendahulukan Utsman sbagai khalifah setelah
Abu Bakar dan Umar, dan menomorempatkan Ali bin Abi Thalib, sementara sebagian yang
lain diam. Sebagian lagi mendahulukan Ali bin Abi Thalib dan sebagian tidak memberi
komentar. Ahli sunnah mendahulukan Utsman.
Masalah Utsman dan Ali bukanlah masalah prinsip yang dapat menyesatkan penentangnya,
menurut jumhur Ahli Sunnah. Tetapi persoalan yang dapat menyesatkan adalah mengenai
khilafah. Sebab ahli sunnah mengimani bahwa khalifah setelah Rasulullah wafat adalah Abu
Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Maka barangsiapa mengingkari kekhalifahan salah satunya,
dialah orang yang lebih sesat dari keledai piaraannya.
2. Apa yang dikatakan oleh sebagian Salaf, sebagian ulama, atau sebagian manusia yang dapat
dikatakan benar sebagai objek ijtihad, atau sebagai Madhzab bagi yang mengatakannya.
Sekalipun masalah tersebut lebih banyak kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip Sunnah,
namun jika ada sementara orang yang yang menentangnya tidaklah dihukum sebagai
pembuat bid’ah. Sebagai contoh masalah kenikmatan pertama yang dianugerahkan Allah
kepada hambaNya. Masalahini menimbulkan perselisihan di kalangan ahli sunnah, namun
hanya bersifat lafzhi. Sebab letak persoalannya adalah apakah kelezatan yang disusull
kepedihan itu dapat disebut sebagai kenikmatan atau bukan.
3. Aisyah ummul mukminin berbeda pendapat dengan Ibnu Abbas dan para sahabat lainnya
mengenai persoalan: Muhammad saw melihat Rabbnya. Aisyah mengatakan bahwa
barangsiapa mengakui Muhammad saw melihat Rabbnya, maka ia telah berdusta besar
terhadap allah. sedangkan jumhur umat mengikuti pendapat Ibnu Abbas, tetapi mereka
tidak memvonis sebagian penentangnya, yang menyetujui Aisyah, sebagai pelaku bid’ah.
Aisyah juga mengingkari perihal orang yang mati dapat mendengar doa orang yang hidup.
Ketika dikatakan kepadanya bahwa nabi bersabda : “Kalian tidak lebih mendengar apa yang
kukatakan daripada mereka,” maka Aisyah ra berkata, “sesungguhnya beliau hanya
mengatakan ‘sesungguhnya mereka mengetahui sekarang bahwa apa yang aku katakan
kepada mereka adalah benar’”. Meskipun demikian tidak ada keraguan bahwa orang yang
mati dapat mendengar bunyi sandal, sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits
Rasulullah “Tidaklah seseorang melewati kubur orang yang dikenalnya, lalu memberi salam
kepadanya, melainkan Allah mengembalikan ruhnya hingga ia menjawab salam itu.” Hadits
tersebut benar dari Rasulullah tetapi Aisyah ra mentakwilkannya (semoga Allah ridha
kepadanya).
Demikian juga Mu’awiyah. Ia meriwayatkan tentang mi’raj dengan mengatakan bahwa nabi
saw melakukan mi’raj dengan ruhnya. Tetapi, orang-orang berpendapat lain dengannya. Abu
Bakar dan Umar, sebagai pemimpin kaum muslimin, sering berbeda pendapat dalam banyak
hal tetapi yang mereka maksudkan adalah kebaikan. Ketika menghadapi Quraidlah, Nabi
bersabda kepada para sahabatnya: “Janganlah seseorang melakukan shalat ashar kecuali di
perkampungan Bani Quraidlah”. Maka tibalah waktu ashar, dan sebagian sahabat tidak
mengerjakan shalat ashar sampai habis waktunya, tetapi sebagian yang lain mengatakan
“Nabi tidak meyuruh kita menta’khirkan shalat” dan mereka pun shalat di perjalanan.
Ternyata Nabi tidak mencela seorangpun dari kedua kelompok tersebut. Meskipun
perselisihan semacam ini bukan merupakan prinsip penting, namun tetap digolongkan
dalam masalah hukum.
4. Kaumm muslimin bersepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat
syahadar tergolong kafir. Adapun mengenai amalan-amalan yang empat (shalat, zakat,
puasa, haji) diantara mereka berselisih pendapat soal kafir tidaknya jika meninggalkannya.
Sedangkan yang dimaksud ahli sunnah sepakat tidak mengkafirkanseseorang yang berbuat
dosa dalam hal ini adalah perbuatan maksiat seperti zina dan minum arak.
5. Mereka pun berselisih mengenai batal tidaknya wudlu seseorang karena keluar darah
disebabkan bekam, luka, mimisan, atau muntah. Mengenai hal ini ada dua pendapat
mahsyur. Telah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau berwudlu karena hal itu demikian pula
sebagian besar sahabat. Namun ada riwayat yang shahih yang mengatakan bahwa Nabi
mewajibkan berwudlu karena hal itu. Bahkan pernah terjadi pada para sahabat dalam
peperangan, mereka melakukan shalat tanpa wudlu meski penuh darah dari luka-luka
mereka. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa mengulangi wudlu karena
keluarnya darah adalah mustahab. Begitu pula mengenai memperbaharui wudhu karena
menyentuh kemaluan dan menyentuh wanita bukan mahrom dengan syahwat adalah
terhukum mustahab bukan wajib. Demikian juga halnya dengan memperbaharui wudlu
karena tertawa terbahak-bahak atau karena makan daging bakar, hal itu terhukum
mustahab. Maka barangsiapa berwudlu akan lebih baik dan yang tidak melakukannya
tidaklah menjadi soal.
Demikian juga banyak terjadi perselisihan dalam soal waris, seperti yang menyangkut hak
seorang kakek, orang musyrik, dan lainnya. Juga dalam hal thalaq, ila’, shalat, puasa, dan
haji. Perselisihan juga timbul dalam perkara ziarah kubur, di antara mereka ada yang
menghukum makruh secara mutlak ada pula yang membolehkannya. Ada juga yang
membolehkan ziarah kubur jika disertai dengan ketetapan syariat.
Mereka pun berselisih tentang cara mengucapkan salam kepada nabi saw. apakah
mengucapkannya di masjid dengan menghadap kiblat atau menghadap kamar? Apakah
berdiri mendoakannya setelah salam atau tidak perlu? Termasuk didalamny
memperselisihkan manakah yang lebih utama : Masjidil Haram atau Masjid Nabawi?
CIRI – CIRI UMUM GOLONGAN YANG MENINGGALKAN AHLI SUNNAH WALJAMA’AH

1. Tidak mengetahui kebenaran dan berhukum dengan hawa nafsu


Orang-orang yang keluar dari ahli sunnah waljamaah disebabkan oleh dua hal. Pertama,
karena jahil terhadap kebenaran sehingga memutuskan hukum berdasarkan prasangka,
tanpa ilmu. Kedua, memperturutkan hawa nafsu, sehingga dalam menentukan hukum
mereka bertindak zhalim dan berbuat tak adil.
Pertama kali munculnya orang-orang yang keluar dari jamaah pada masa Rasulullah
adalah ketika mereka melihat pembaggian hasil rampasan perang yang dilakukan oleh
Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Hai Muhammad, berbuat adillah, karena
Anda telah berlaku tidak adil. Maka Nabi saw berkata padanya: “Aku telah berbuat sia-
sia dan rugi jika aku berbuat tidak adil.” Kemudian sebagian sahabat berkata pada Nabi:
“Wahai Rasulullah biarlah aku potong leher orang munafik ini.” Lalu Nabi saw bersabda :
“Sesungguhnya akan keluar dari tempat-tempat ini satu kaum yang salah seorang di
antara kalian meremehkan shalatnya dan shalat mereka, puasanya bersama puasa
mereka, dan bacaannya bersama bacaan mereka.” Maka awal munculnya bid’ah adalah
mencela Sunnah dengan mengikuti prasangka hawa nafsu, sebagaimana iblis mencela
perintah Rabbnya dengan ra’yu dan nafsunya.

2. Saling membenturkan pendapat mereka, bertafaruq, dan bermusuhan


Orang-orang yang keluar dari ahli sunnah waljamaah mempertahankan kebodohan dan
hawa nafsu yang menyeret mereka pada pertikaian pendapat, saling memukul, dan
ikhtilaf. Dan menyeret mereka pada tafaruq, perpecahan dan saling bermusuhan.
Setiap manusia dapat diikuti dan ditinggalkan ucapannya kecuali Rasulullah saw. Lebih-
lebih generasi mutaakhirin yang tidak mengetahui kitab dan sunnah, yang dikuasai
hawa nafsu, memperbanyak pendapat mempertajam ikhtilaf. Penyebab inilah yang
memperkokoh kebodohan dan kezhaliman, dua hal yang telah disifati Allah dalam
firmanNya: “Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zhalim dan amat bodoh.” (Al Ahzab 72)
Maka juka Allah memberi manusia ilmu dan keadilan, selamatlah manusia dari kesesatan
mereka.

3. Bersikap berlebihan dalam beragama


Faktor lain yang menyebabkan orang meninggalkan ahli sunnah adalah sifat melampaui
batas yang dicela Allah dan RasulNya. Mereka mengaku ahli sunnah padahal bukan dari
golongan itu bahkan sebenarnya telah keluar dari golongan itu. Hal ini disebabkan sikap
berlebihan dalam beragama, salah satu sikap yang dicela Allah, sbagaimana firmanNya:
“Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah
kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (An Nisa 171)
Rasulullah bersabda : “Janganlah kamu melampaui batas (berlebihan) dalam agama,
karena orang-orang sebelum kamu binasa oleh sebab sifat seperti itu.”
Di samping itu, yang menyebabkan orang keluar dari ahli sunnah adalah adanya
perselisihan dan perpecahan. Hal demikian disebabkan adanya orang jahil yang
mendengar hadits, kemudian ia membenarkannya dengan prasangka dan hawa nafsu,
sedangkan kesesatan yang paling nyata adalah mengikuti prasangka dan hawa nafsu,
sebagaimana pernyataan Allah kepada orang yang patut untuk dicela: “Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka.” (An Najm
23)
Dan Allah berfirman tentang NabiNya : “Demi bintang ketika terbenam, kawanmu
(Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu
(AlQur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.” (An Najm 1-3)
Muhammad saw dibersihkan dari kesesatan dan penyimpangan yang keduanya
merupakan kebodohan dan kezhaliman. Karena kesesatan adalah tidak mengetahui
kebenaran, dan penyimpangan (al-ghawi) adalah mengikuti hawa nafsu. Allah telah
menjelaskan bahwa Nabi tidaklah mengucapkan (AlQur’an) menurut hawa nafsunya,
melainkan wahyu yang disampaikan Allah kepadanya. Maka Nabi saw dibersihkan
dengan ilmu dan disucikan dari hawa nafsu.

4. Jahil terhadap kebenaran dan berperilaku munafik


Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah, di antara mereka adalah orang yang jahil
terhadap ad-Din, termasuk di dalamnya orang-orang munafik.
Adakalanya terjadi perselisihan di dalam menjelasan al-Kitab. Kadang perselisihan terjadi
antara ulama-ulama mu’tabarin dalam masalah ijtihad, kadang terjadi pada kalngan
orang-orang jahil terhadap agama, atau orang munafik, atau orang yang setia kepada
orang munafik. Pada kebanyakan orang jahil yang menyia-nyiakan kebenaran dan
menyimpangkan pembicaraan terdapat cabang kemunafikan. Kedua kelompok ini
berlaku sesat dan perkataan mereka menjadi fitnah. Mereka meyakini bahwa apa yang
mereka katakan merupakan puncak tujuan limu agama sehingga orang-orang yang buta
agama boleh jadi mengikuti kesesatan mereka.

5. Fanatisme yang disertai perlakuan keji terhadap penentang mereka


Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah melampau batas dalam mentaati pribadi-
pribadi tertentu tanpa didasarkan pada ilmu dan keadilan. Mereka berlebihan dalam
ta’ashub terhadap persoalan-persoalan yang didalamnya boleh berijtihad, disertai
tindakan keji dan permusuhan terhadap penentang mereka.

6. Mengagung-agungkan seseorang atau pendapat yang dapat memecah-belah umat


Orang-orang yang keluar dari as-sunnah mendukung dan memusuhi orang lain
disebabkan mereka mengagung-agungkan seseorang selain Rasulullah, mengagungkan
perkataan yang bukan Kalamullah, bukan sabda Rasulullah, serta bukan yang telah
disepakati umat.
Manusia tidak akan mampu menyelesaikan perselisihan yang timbul di antara mereka
tanpa kembali kepada Kitab yang diturunkan Allah dari langit. Jika mereka
mengembalikannya kepada akal dan rasio, maka setiap orang akan mengeluarkan
pendapat akalnya. Dari sinilah timbul kesesatan para pembuat bid’ah, baik jalan yang
ditempuh maupun i’tiqad. Maka bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak
pernah disebutkan Rasulullah dan bertentangan dengan nash.
Diriwayatkan dari Imam malik bahwa Nabi saw bersabda : “Jika terdapat sedikit ilmu
maka akan muncul kebencian dan kebatilan, dan jika pengetahuan atsar (hadits dan
riwayat) sedikit makan akan muncul berbagai kemauan hawa nafsu. Oleh karena itu
akan didapati satu kaum yang jumlahnya banyak, yang mencintai suatu kaum dan
membenci kaum lain hanya berdasarkan nafsu, tanpa mengetahui makna dan dalilnya.
Bahkan mereka mendukung (umumnya) atau memusuhi tanpa mengambil hadits shahih
dari nabi dan salaf umat ini, tanpa memikirkan maknanya, tidak pula mengetahui
kewajiban dan ketentuannya.”
Sebab itulah muncul pendapat yang tidak berdasarkan nash, kemudian dijadikan
madhzab yang diserukan kepada orang lain agar mengikuti, mendukung, dan memusuhi
berdasarkan hal itu. Padahal Nabi saw telah berkata dalam khutbahnya; “Sesungguhnya
sebenar-benar kalam adalah Kalamullah...”
Islam ditegakan diatas Kitabullah, Sunnah Rasulullah, dan segala sesuatu yang telah
disepakati umat.inilah tiga sumber pokok yang bebas dari kesalahan. Sehingga jika
segala sesuatu yang menjadi perselisihan di kalangan umat hendaknya dikembalikan
kepada Allah dan RasulNya.

7. Bertindak zhalim, suka permusuhan, dan ceroboh


Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah bertindak berlebihan dan zhalim, di
samping ceroboh dan jahil. Kebanyakan ahli bid’ah, seperti Khawarij, Rafidlah,
Qadariyah, Jahmiyah, dan semisal, mereka meyakini suatu kesesatan sebagai kebenaran,
serta menganggapp kafir orang yang menentangnya. Kebanyakan mereka mengkafirkan
dengan perkataan yang sebenarnya tidak mereka pahami hakikatnya dan tidak
mengetahui hujjahnya.
Orang-orang yang menuduh kafir secara batil sebenarnya tidak mengetahui ahli sunnah
waljamaah sebagaimana mestinya, atau kalaupun mereka mengetahuinya hanyalah
sebagian.
Dan yang mereka ketahui tentang ahli sunnah tidak dijelaskan pada orang lain dan
mereka sembunyikan. Mereka tidak mencegah perbuatan bid’ah, mereka mencela
pembicaraan tentang sunnah dan prinsip-prinsip Din secara mutlak. Mereka tidak
membedakan antara apa yang ditujukan AlQur’an, Sunnah, dan ijma’, dengan apa-apa
yang dikatakan ahli bid’ah dan ahli firqah. Atau mereka membenarkan semuanya
menurut madzhab-madzhab mereka yang berbeda-beda.

8. Mengkafirkan dan menuduh fasik penentang mereka dalam ijtihad dan takwil
Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah tidak mau menerima ijtihad dan takwil
yang bertentangan dengan mereka. Bahkan mereka cenderung meninggalkan sunnah
dengan mengikuti keyakinan batil : mengkafirkan dan menuduh fasik para penentang
mereka. Kemudian menmpatkan hal itu sebagai hukum yang mereka ada-adakan untuk
menghalalkan darah, harta, dan kehormatan lawan mereka.
Menurut sunnah dan ijma’, ahli bid’ah lebih buruk dibandingkan ahli maksiat yang
memperturutkan hawa nafsunya. Sesungguhnya dosa ahli maksiat disebabkan karena
melanggar sebagian larangan Allah, seperti mencuri, berzina, minum khamr, dan
memakan harta dengan jalan bathil. Sedangkan dosa-dosa ahli bid’ah disebabkan karena
meninggalkan apa-apa yang diperintahkan Allah (syariat), seperti mengikuti sunnah dan
jamaah mukminin. Bila perbuatan semacam ini disertai i’tiqad yang diharamkan seperti
mengkafirkan orang lain, menuduh fasik, dan menganggap orang Islam yang berdosa
kekal di neraka, maka dalam hal ini kedudukan mereka terhadap ahli sunnah bagaikan
orang kafir terhadap mukmin.
Yang menyebabkan munculnya Khawarij adalah sikap dan tindakan yang dilakukan
Amirul Mukminin Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalin bersama para pengikut mereka
dalam hal-hal yang dapat ditakwilkan. Kemudian mereka tidak mau menerimanya dan
menganggap ijtihad, bahkan kebaikan-kebaikan, sebagai dosa, dan menganggap
perbuatan dosa sebagai kekafiran.
Pokok kesesatan mereka adalah menganggap bahwa pada Imam dapat mendapat
petunjuk dan jamaah kaum muslimin telah keluar dari sifat keseimbangan (lurus dan
benar) serta sesat. Inilah dasar pijakan mereka yang meninggalkan sunnah seperti
Rafidlah dan lainnya. Mereka menganggap kezhaliman sebagai kekafiran, dan
menetapkan hukum yang mereka ada-adakan. Inilah tiga tingkatan orang sesat dalam
Islam. Pada setiap tingkatan mereka meninggalkan sebagian pokok Dinul Islam sehingga
kesesatan mereka bagaikan meluncurnya anak panah dari busurnya.

9. Menyejajarkan antara kesalahan dengan dosa


Orang-orang yang menyempal dari sunnah menyejajarkan kesalahan dengan dosa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa shidiqun, syuhada, dan orang-orang shaleh bukanlah
orang-orang ma’shum, terutama mengenai dosa-dosa yang diperbuatnya. Oleh karena
itu, dalam berijtihad mereka terkadang benar tetapi juga bisa salah.
Ahli dlalal (orang-orang sesat) menganggap kesalahan dan dosa sebagai dua hal yang
tidak dapat dipisahkan. Terkadang mereka melampaui batas dengan menganggap
bahwa para mujtahid itu ma’shum. Dan terkadang mengatakan bahwa mujtahid yang
berlaku zhalim karena kesalahan ijtihad yang dilakukannya.
Adapun ahli ilmu dan ahli iman tidak mema’shumkan siapapun kecuali Rasulullah dan
tidak pula menganggap kesalahan sebagai dosa yang dapat membawa kepada kekafiran.
Dari sinilah lahir firqah-firqah dari ahli bidah dan ahli dlalal.

10. Mereka keluar dari sunnah dan jama’ah, serta menuduh ahli sunnah dengan cara
zhalim, keji, dan permusuhan
Orang-orang yang menyempal dari as-sunnah bertindak mendahului ketentuan Allah
dan Rasul-Nya sehingga mereka keluar dari sunnah. Lalu mereka keluar dari jamaah.
Pada hal yang pertama disebabkan mereka gegabah menuduh ahli suunnah dengan cara
keji, zhalimm, dan sikap permusuhan.
Awal munculnya bidah dalam Islam dan yang paling menampakkan celaan terhadap
sunnah dan atsar adalahbid’ah Hururiyah yang sesat. Keluarnya mereka dari sunnah
karena menganggap sesuatu yang baik sebagai sesuatu yang buruk, dan sebaliknya.
Mereka membenarkan yang tidak diakui sunnah dan menolak apa-apa yang
dikuatkannya.
Golongan Khawarij menganggap mungkin Rasulullah bisa berbuat zhalim dan sesat
dalam sunnahnya, serta tidak wajib mentaati dan mengikutinya. Mereka membenarkan
apa yang disampaikannya yang bersumber dari AlQur’an tanpa membenarkan syariat
yang bersumber dari sunnah.
Kedua, ciri yang terdapat pada Khawarij dan ahli bidah lain, yaitu mengkafirkan para
pelaku dosa dan kesalahan. Bahkan mereka menghalalkan darah, harta, dan kehormatan
kaum muslimin. Mereka menganggap darul Islam sebagai darul hurb (daerah perang)
sementara daerah mereka adalah darul iman.
Sehingga kaum muslim sebaiknya berhatihati terhadap kedua pokok bidah yang kotor itu
dan terhadap apa-apa yang lahir dari keduanya. Termasuk didalamnya kebencian,celaan,
dan kutukan serta penghalalan darah dan harta mereka.
Maka barangsiapa menentang sunnah yang telah disyariatkan terhukum bidah dan
keluar dari sunnah. Dan barangsiapa mengkafirkan kaum muslimin berdasarkan dosa
yang dilihatnya dalam masalah agama atau bukan, kemudian menganggapnya kafir,
meka dia telah memisahkan diri dari jamaah. Pada umumnya bidah dan hawa nafsu
terlahir dari kedua pangkal titik tersebut.
HUKUM ORANG – ORANG YANG MENENTANG SUNNAH

1. Mujtahid yang keliru


Diantara orang-orang yang menentang as-sunnah sebagian besar karena ijtihad yang
keliru dalam rangka mencari kebenaran. Bisa juga karena kurangnya pengetahuan
ilmu syariat yang mereka kuasai, atau karena semacam penakwilan khusus dengan
data-data yang syubhat. Namun dalam hal ini mereka tidak bertindak mendahului
Allah dan RasulNya, dan tidak sengaja menyalahi Allah dan RasulNya, dan beriman
kepada Allah baik lahir maupun batin.
Aqidah golongan yang selamat dipredikatkan Nabi saw dengan keselamatan,
sebagaimana sabda beliau : “Umatku akan terpecahbelah menjadi 73 golongan, 72
golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu golongan yang
menempuh jalan seperti yang aky dan para sahabatku tempuh atau al-jama’ah”.
Keyakinan ini diambil sumbernya dari Nabi saw dan para sahabatnya, merekalah
Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat) begitu pula pengikut-pengikut mereka.
Tidak mesti orang yang menyalahi satu hal dari keyakinan ini menjadi binasa, sebab
mungkin orang yang berselisih termasuk mujtahid yang melakukan kekeliruan yang
dapat diampuni Allah. boleh jadi karena ilmu yang dimilikinya belum memadai untuk
dijadikan hujjah yang kuat. Maka dengan izin Allah dapatlah keburukannya
dihapuskan karena kebaikan yang mungkin dimilikinya. Dalam hal ini, siapa yang
berkeyakinan demikian, selamatlah dalam aqidah ini, sedangkan yang memiliki
keyakinan berlawanan, mungkin saja selamat dan boleh jadi tidak selamat.
Jika telah ditetapkan kebenarannya dengan Kitabullah yang ditafsirkan menurut
sunnah, bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan dan kealpaan umat ini, maka
inilah dalil umum yang terpelihara. Dan tidak ada dalil-dalil syari yang mengharuskan
Allah menyiksa orang yang telah mengakui kesalahan yang diperbuatnya, dari umat
ini. meskipun ada siksaan bagi manusia, selain umat ini, yang melakukan kesalahan.
Al-Quran dan sunnah pun telah menjelaskan bahwa Allah tidak menyiksa seseorang
kecuali setelah disampaikannya risalah.
Begitu juga telah ditetapkan kebenaran berdasarkan Kitabullah, as-Sunnah, dan
ijma’ bahwa dalam agama adakalanya tidak bisa dikafirkan pelakunya, bahkan tidak
dituduh fasik, tidak divonis dosa, seperti kesalahan seputar furu’ amaliah. Meskipun
begitu sebagian permasalahan tersebut ada yang ditetapkan sebagai kesalahan
berdasarkan nash-nash dan ijma’ terdahulu.

2. Jahil yang bisa dimaafkan


a. Di antara mereka ada yang menyalahi sunnah karena sedikitnya sandaran
mereka kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Mereka yang menentang sunnah, khususnya dari generasi muta’akhirin, karena
sedikitnya sandaran mereka kepada Al-Quran dan sunnah. Selain itu, mereka
lebih mengandalkan pendapat-pendapat yang diciptakan para guru mereka tanpa
mengetahui hakikat beserta akibatnya. Andaikan mereka mengetahui bahwa
pendapat tersebut menyalahi sunnah, pastilah mereka meninggalkannya.
Kaum salaf berpegang teguh kepada Al-Quran dan iman. Akan tetapi ketika
terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat, ahli perpecahan dan
perselisihan menjadi berkelompok-kelompok. Dalam batin mereka tidak
berpegang lagi kepada Al-Quran dan iman, tetapi lebih mengandalkan prinsip
yang diciptakan guru mereka. Bila ada ayat Al-Quran yang mereka anggap sesuai
dengan prinsip tersebut mereka jadikan hujjah, dan jika tidak sesuai mereka
takwilkan. Oleh karena itu, jika mereka berhujjah dengan Al-Quran dan hadits,
mereka tidak memperhatikan redaksional kedua dalil tersebut, juga tidak
menyelidiki makna yang terdapat dalam Al-Quran sebab dalam hal ini mereka
mengandalkan pegangan lain. Sedangkan ayat yang bertentangan dengan
kehendak mereka ditakwilkan untuk dijadikan aturan syariat selama mungkin,
sesuai dengan tujuan yang diinginkan bukan menurut maksud yang dipahami
Rasulullah saw. bahkan mereka melawan orang yang menentangnya demi
mempertahankan hujjah mereka. Berbeda dengan umat salaf yang sempurna
dalam ilmu dan iman, kesalahan mereka lebih ringan dibandingkan kebenaran
yang mereka lakukan.
Oleh karena itu hendaknya setiap mukmin tidak berbicara mengenai suatu urusan
agama kecuali mengikuti apa-apa yang dibawa Rasulullah dan menyelaraskan
dengan ajaran beliau serta tidak mendahulukan pendapatnya. Kalau seseorang
ingin mengetahui sesuatu tentang agama dan perkataan yang ada didalamnya, ia
sesuaikan dengan firman Allah dan sunnah RasulNya. Dari sumber inilah dia
mengetahui, dan dengannya dia berbicara. Kepadanya dia melihat dan
memikirkansuatu persoalan dan dengannya dia mengambil dalih. Sedangkan ahli
bid’ah tidak menyandarkan suatu perkara kepada ajaran Rasulullah, namun
kepada pendapat merka atau perasaan mereka.
Inilah yang membedakan ahli iman dan sunnah dengan ahli nifaq dan bid’ah.
Meskipun sebenarnya mereka mempunyai iman dan masih mengikuti sunnah,
namun terdapat penyakit nifaq dan bidah sesuai dengan kapasitas ilmu mereka
terhadap Allah dan RasulNya.
Setiapp orang yang menyalahi ajaran yang dibawa Rasul, disebabkan tidak adanya
ilmu tentang hal itu dan tidak berbuat adil, bahkan jahil, zhalim, dan mengikuti
prasangka. Sesuatu yang sebelumnya jelasmenjadi samar dan rumit. Sehingga
banyak dari kalangan Muta’akhirin yang menyalahi kitabullah dan sunnah -yang
tidak pernah terjadi dikalangan salaf- sekalipun mereka termasuk dalamgolongan
mujtahid yang diampuni Allah.
Tidak diragukan lagi bahwa kekeliruan dalam ilmu yang rumit diampuni bagi umat
ini, sekalipun berkenaan dengan soal ilmiah. Andaikan tidak demikian, tentu
sudah binasa orang-orang terkemuka dari umat ini. jika Allah mengampuni orang
yang tidak mengetahui haramnya khamar karena dia dibesarkan di negeri yang
tidak mengenal hal itu hingga tidak mempelajari hal itu, maka mujtahid yang
mulia yang menuntut ilmu mengikuti rasulullah, lebih berhak iterima Allah
kebaikannya. Di juga berhak atas pahala ijtihadnya serta tidak patut dihukum
atas kesalahannya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 296 “Ya
Rabb kami, janganlah Engkau hukumi kami jika kami lupa atau kami tersalah”
Ahli sunnah tidak dapat memutuskan seseorang termasuk dalam golongan
mutaqin, karena tidak adanya ilmu tentang hal itu.

b. Di antara mereka ada yang menentang sunnah karena ijtihad yang keliru atau
takwil yang jauh
Orang yang menentang sunnah, di antara mereka ada yang membela sunnah di
hadapan musuh-musuhnya. Akan tetapi kadang mereka menyalahi sunnah
karena ijtihad yang keliru atau takwil yang jauh. Sehingga pada mereka terkumpul
dua perkara sekaligus sunnah dan bid’ah. Tetapi hal ini dimaafkan, khususnya jika
panji sunnah tidak tampak jelas dan terang.
Ada beberapa kelompok dalam hal ini, yaitu kelompok yang menyalahi prinsip
besar dalam sunnah, kelompok yang menyalahi sunnah dalam perkara yang
rumit, dan ada juga yang menolak golongan lain yang lebih jauh dari sunnah,
tetapi dalam penolakan tersebut mereka melampaui batas karena mengingkari
sebagian kebenaran dan mengatakan sebagian kebatilan. Mereka menolak bid’ah
besar dengan bid;ah yang ringan. Inilah keadaan mayoritas ahli kalam yang
menasabkan diri pada ahli sunnah wal jamaah. Jika yang mereka ucapkan tidak
dijadikan landasan untuk bersahabat atau bermusuhan dan memecah jamaah
muslimin maka hal ini termasuk jenis kekeliruan, sedangkan Allah mengampuni
kekeliruan semacam ini.
Terkadang kebaikan berdampingan dengan keburukan, baik yang diampuni
maupun yang tidak diampuni. Terkadang sulit untuk memilih syariat yang murni
bersih dari bid’ah. Karena tidak ada yang menunjukannya baik secara ilmu
maupun amaliah. Apabila tidak diperoleh cahaya yang murni maka tidak patut
seseorang mencela karena telah mengambil cahaya yang telah tercampur dengan
keburukan.
Prinsip ini dimaksudkan agar seseorang menempatkan cela dan aib yang melekat
pada kaum salaf dan para ulamanya pada proporsi yang sebenarnya. Agar dia
tahu bahwa penyimpangan dari kesempurnaan khilafah berdasarkan manhaj
nubuwwah dibenarkan menurut syara’. Karena kealpaan atau sikap permusuhan
dengan melakukan keburukan. Karena keterpaksaan atau kemauan sendiri. Bagi
setiap orang yang lemah yang tidak mampu melakukan kebaikan dengan
sempurna sehingga melakukan sebagian keburukan dengan terpaksa maka hal ini
dimaafkan.
Sesungguhnya agama melahirkan kebaikan dan berbagai kemaslahatan disamping
menghilangkan segala bentuk kejahatan dan kerusakan. Seringkali dua hal ini
berkumpul sehingga janganlah dilupakan bahwa cela dan hukuman dapat muncul
dari kebaikan atau pujian dapat muncul dari keburukan. Misalnya seseorang
dapat dipuji karena dapat meninggalkan dosa dan bid’ah, dia juga dapat dipuji
karena kebaikan yang dilakukannya. Barangsiapa berjalan diatasnya mereka telah
menegakkan keadilan. Dan Allah telah menurukan alkitab serta neraca keadilan
agar manusia menegakkannya.

3. Orang yang melampaui batas dan zhalim


Orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang jatuh pada perbuatan keji,
zhalim, baik karena kekeliruan dalam ijtihad dan takwil ataupun karena kezhaliman
dan kebodohan. Mereka termasuk pelaku maksiat yang mendapat dosa karena
melakukan kekeliruan.
Mereka terbagi menjadi kelompok yang melakukan takwil dan yang tidak melakukan
takwil. Mereka yang melakukan takwil adalah orang yang berstatus mujtahid seperti
ahli ilmu dan agama yang berijtihad dan berkeyakinan tentang halalnya sesuatu dan
sementara yang lain menentangnya. Maka kelompok mujtahid ini hanya pada
tingkatan pelaku kesalahan. Ulama merupakan pewaris para nabi maka bila
seseorang di antara mereka memahami suatu persoalan yang tidak dipahami yang
lain, tidaklah menjadikan ilmu dan dinnya salah dan tertolak. Akan tetapi jika hal itu
dilakukan tanpa ilmu dan hikmah maka akan menjadi dosa dan zhalim bahkan jika
berulang menjadi fasik. Bahkan bisa dihukumi kufur jika suatu keharaman telah
diketahui pasti namun dianggapnya halal. Maka hal tersbut merupakan bab aniaya.
Apabila yang berbuat aniaya adalah seorang mujtahid yang melakukan takwil
sementara dia tidak menyadari perbuatannya maka tidaklah menyebabkannya
berdosa apalagi menjadikannya fasik. Orang tersebut tetap berada dalam keadilan
dan tidak fasiq sebagaimana halnya anak kecil, orang gila, orang pingsan, orang tidur
yang tidak bisa dihukum karena melakukan pelanggaran sebab mereka bukan
mukallaf. Bahkan sama dengan binatang yang melakukan pelanggaran.
Orang yang berbuat aniaya dengan mentakwil dikenakan hukum dera menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad.
Kemudian jika perbuatan itu diperkirakan tanpa takwil, maka ia menjadi berdosa,
dan dosa-dosa bisa terbebas dari hukuman karena berbagai sebab.
Ahli sunnah wal jamaah bersepakat terhadap orang-orang yang dikenal kebaikannya,
seperti para sahabat yang dikenali dari pengikut perang Unta dan perang Shiffin.
Tidak seorangpun dari mereka dituduh fasiq apalagi dikafirkan. Para fuqaha
menggolongkan mereka pada umumnya pelaku aniaya.
Di antara ahli bid’ah ada yang memiliki iman lahir dan bathin. Hanya karena pada diri
mereka terdapat unsur jahil dan zhalim, maka mereka melakukan kekeliruan dalam
memahami sunnah. Maka mereka bukan kafir, bukan fasiq. Namun bisa jadi
kezhaliman dan kekliruan mereka membawa mereka jatuh sebagai prang fasiq atau
maksiat tetapi karena masih terdapat unsur iman dan takwa, mereka berhak
mendapat wilayatillah.
Kesalahan yang dilakukan seseorang karena bertindak ceroboh dalam mengikuti
kewajibannya kepada Al-quran atau karena ia melampaui batas ketentuan Allah
dengan menempuh jalan yang dilarangNya berarti dia telah menzhalimi diri sendiri
dan termasuk ahli al-wa’id (orang yang mendapat ancaman siksa Allah). Berbeda
dengan orang yang berijtihad dalam rangka mentaati Allah dan RasulNya lahir dan
batin, mencari kebenaran dengan ijtihadnya, maka kesalahannya berhak mendapat
ampunan Allah.

4. Munafiq zindiq
Orang-orang yang menyalahi sunnah di antara mereka ada yang tergolong munafiq
zindiq, yang menyembunyikan kekufuran, dendam, dan kemurkaan pada kaum
muslimin.
Sesungguhnya orang yang mengerjakan sholat namun menyimpan sifat kufur
terhadap sesuatu persoalan, maka tidaklah dia melakukan sholat kecuali sebagai
munafiq. Jika demikian, maka pada ahli bid’ah terdapat orang munafiq zindiq, dia
kafir. Orang seperti ini banyak dijumpai di kalangan Rafidlah dan Jahmiyah.
Jumhur kaum muslimin tidak mengenal lawan Sunni kecuali Rafidlah. Maka jika ada
seorang dari mereka berkata “aku sunni’ berarti dia bukan Rafidlah.
Kaum Rafidlah keluar dari ketaatan dan jamaah serta memerangi kaum mukmin dan
mu’ahid, mereka menganggap tidak penting mentaati pemimpin kaum muslimin,
mereka berperang karena fanatisme, dan pada hati mereka tersimpan dendam dan
kemarahan terhadap kaum muslimun, merekalah manusia yang paling gigih
memecah belah jamaah kaum muslimin.
Barangsiapa di antara umat berwalikan orangkafir dari golongan musyrik atau ahli
kitab dan sebagian jenis muwalah serta mengikuti satu hal dari perkataan mereka
yang bathil, maka pantas mendapat celaan dan hukuman nifaq sesuai ukuran
perbuatannya.
Barangsiapa berwalikan mereka (baik semasa hidup atau sesudah mati, disertai
kecintaan dan ta’zhim serta muwafaqah) maka termasuklah golongan mereka. Sama
halnya dengan orang-orang yang mendukung musuh Ibrahim, seperti golongan
Kildaniyah. Termasuk mereka yang mendukung musuh Musa, dari kalangan Fir’aun.
Termasuk didalamnya mereka yang menyetujui Shabi’ah dan filosof yang
membincangkan perihal Khaliq dan RasulNya. Tidak diragukan lagi sekalipun
kekufuran mereka tampak jelas, namun sesungguhnya mereka berada dalam Islam.
Mereka yang mencampurkan kebenaran yang dibawa para Rasul Allah dengan
kebatilan yang dibawa musuh mereka, mayoritas dari golongan musta’khirin.
Maka perlu diketahui bahwa kelompok tersebut termasuk munafik, atau memiliki
sifat munafik, sekalipun mereka bersama kaum muslimin. Karena orang yang muslim
secara lahiriah tidaklah menjadi halangan baginya menjadi munafik secara batiniah.
Jumlah mereka lebih banyak dan lebih jahat kedudukannya pada masa sekarang ini,
terlebih lagi penyebab kemunafikan adalah menjadi penyebab kekufuran, yakni
menentang ajaran yang dibawa para Rasul Allah.
Berdasarkan pernyataan tersebut maka kebanyakan ahli bid’ah adalah orang
munafik yang mengidap sifat nifak yang besar dan mereka adalah orang kafir yang
diancam dengan siksa api neraka. Alangkah banyaknya hal itu terjadi pada golongan
Rafidlah, Jahmiyah, yang merupakan golongan munafik zindiq.

5. Musyrik yang sesat


Orang-orang yang menentang sunnah ada yang musyrik dan sesat serta harus
disuruh bertaubat dari kemusyrikan mereka jika menampakkannya. Andaikata
menolak, mereka dibunuh sebagai orang-orang kafir yang murtad. Kaum Druz dan
Nushairiyah adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, tidak halal
memakan hewan sembelihan mereka, menikahi perempuan mereka. Bahkan
mereka tidak dikenai jizyah, karena telah murtadm mereka bukan muslim, bukan
pula Yahudi dan Nashrani.
Nushairiyah adalah para pengikut Syua’ib Muhammad bin Nushair, golongan yang
melampaui batas mengatakan Ali adalah Tuhan. Sedangkan kaum Druz adalah
pengikut Hasytekin ad-Druz, bekas sahaya Al-Hakim yang diutus kepada penduduk
Wadi Taimullah bin Tsa’labah. Ia menyeru agar menuhankan Al-Hakim, serta
menyebut Al-hakim sebagai Al-Bari dan Al-Alim. Mereka dari golongan Ismailiyah
yang mengatakan bahwa Muhammad bin Ismail menasakh syariat Muhammad bin
Abdullah. Mereka lebih besar kekafirannya dibandingkan dengan orang-orang yang
melampaui batas mengatkan bahwa alam itu qadim dan mengingkari hari akhirat
serta kewajiban dan larangan dalam syariat Islam.
Perihal kekafiran kaum Druz tidak ada perselisihan dii kalangan kaum muslimin,
golongan ini tidak sama dengan ahli kitab dan musyrikin, karena kekufuran mereka
disertai dengan kesesatan.
Mereka yang mengaku melihat Allah di dunia dengan mata tergolong sesat. Mereka
yang mengaku meyakini sebagian manusia dapat melihta Allah di dunia maka
mereka sangat besar dan nyata kesesatannya. Begitu pula yang menghalalkan segala
hal najis, seperti yang dikatakan kaum Jahmiyah dan Ittihadiyah.
Jika mereka mau bertaubat niscaya akan diterima, jika menolak dan tetap memilih
kekafiran, maka kekafiran mereka melebihi Yahudi dan Nashrani. Mereka lebih sesat
dibandingkan ekstrimis yang mengakui bahwa Ali atau yang lainnya dari ahlul bait
adalah Allah. Merekalah zindiq-zindiq yang telah dibakar oleh Ali dengan api.
GOLONGAN-GOLONGAN PENENTANG AHLI SUNNAH WAL JAMAAH

Untuk memastikan golongan yang disifati sebagai salah satu dari 72 golongan diperlukan
dalil. Karena Allah mengharamkan perkataan tanpa didukung ilmu secara umum dan mengharamkan
perkataan terntang Allah tanpa didukung ilmu secara khusus. Dalam menentukan firqah yang
menentang as-Sunnah, ahli sunnah waljamaah mengelompokkannya menjadi empat atau ilma
kelompok, yaitu Khawarij, Rafidlah, Qadariyah, Murji’ah, dan Jahmiyah.
Telah berkata Abdurrahman bin Mahdi: “Ada dua golongan yang perlu diwaspadai, yaitu
Jahmiyah dan Rafidlah. Keduanya merupakan kelompok terjahat ahli bid’ah” (Juz 35:414)
Untuk menentukan golongan yang binasa, kami memegang pembicaraan yang pertama kali
dilontarkan Yusuf bin Asbath dan Abdullah Ibnul Mubarak. Mereka adalah imam yang agung dari
kalangan kaum muslimin. Kedua imam tersebut pernah berkata bahwa pokok-pokok bid’ah ada
empat, yaitu Rafidlah, Khawarij, Qadariyah, serta Murji’ah. Dikatakan kepada Ibnul Mubarak:
“bagaimana tentang Jahmiyah?”, beliau pun menjawab “mereka tidak termasuk umat Muhammad”,
beliau pernahberkata “sungguh kami bisa berkisah tentang perkataan Yahudi dan Nasrani, tetapi
tentang perkataan Jahmiyah kami tidak bisa menceritakannya.” Pendapat Ibnul Mubarak itu diikuti
oleh kelompok ulama dari pendukung Imam Ahmad dan selain mereka. Ulama-ulama tersebut
mengayakan : “Sesungguhnya Jahmiyah adalah kafir. Mereka tidak termasuk ke dalam 72 golongan,
sebagaimana halnya kaum munafik yang tidak masuk kedalam golongan tersebut, yang
menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman mereka, sedangkan mereka adalah
zindiq”. Pendukung Imam Ahmad lainnya berkata: “Jahmiyah termasuk kedalam 72 golongan.” Dan
mereka menjadikan pokok pangkal bid’ah itu ada lima.
Manusia yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian. Diantara mereka ada yang
membagi berdasarkan waktu kejadiannya, dalam hal inimereka memulai dengan Khawarij. Ada pula
yang membaginya menurut berat dan ringan perbuatan bid’ah mereka. Kelompok ini memulai dari
Murji’ah dan berakhir sampai Jahmiyah, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat Imam
Ahmad. Kelompok ini menempatkan Jahmiyah pada urutan terakhir karena jahmiyah merupakan
pelaku bid’ah terberat. Hal ini sama dengan Bukhari dalam shahihnya, ia menempatkan Murji’ah
(menurut kitab Al-Iman) pada urutan pertama, dan (menurut kitab At-Tauhid) menempatkan
Jahmiyah pada urutan terakhir.

1. KHAWARIJ
Khawarij merupakan golongan pertama yang keluar dari Sunnah dan jamaah.
Kaum muslimin telah bersepakat dalam persoalan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin
Khathab. Hingga pada akhir pemerintahan Utsman bin affan terjadilah perselisihan yang
menyebabkan perpecahan di kalangan mereka. Muncullah pada mas itu segolongan penyebar fitnah
dan kezhaliman yang membunuh Utsman, shingga kaum muslimin menjadi terpecah belah setelah
itu. Tatkala terjadi perang saudara antar kaum muslimin, tepatnya Perang shiffin, di antara kesua
belah pihak bersepakat untuk mengangkat dua orang juru bicara sebagai pendamai. Maka ketika itu
muncullah golongan Khawarij yang keluar dari barisan Ali, mereka tidak mengakui Ali sebagai amirul
mukminin. Mereka memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, menuju suatu tempat yang
terkenal dengan nama Harura’. Amirul Mukminin membiarakan mereka seraya berkata: “Kalian
tetap berhak mendapatka fa’i, dan kami tidak melarang kalian memasuki masjid-masjid.” Pada
akhirnya mereka menghalalkan darah dan harta kaum muslimin. Mereka pun membunuh Abdullah
bin Khabbab dan menyerang kawasan ternak kaum muslimin. Maka tahulah Ali bahwa mereka
adalah sebuah kelompok sebagaimana disebutkan Rasulullah dalam sebdanya:
“Seseorang dari kamu akan meremehkan shalatnya bersama shalat mereka, dan puasanya
bersama puasa mereka, dan bacaannya bersama bacaan mereka. Mereka membaca AlQur’an tetapi
tidak sampai melewati tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti keluarnya anak
panah dari busurnya. Seorang pendatang dari kalangan mereka tangannya cacat, tumbuh gumpalan
daging penuh dengan rambut.”
Dalam riwayat lain disebutkan: “Mereka membunuh pengikut Islam, sementara membiarkan
pada penyembah berhala bebas lalu lalang.”
Kemudian Ali berkhutbah dan memberi tahu orang-orang tentang apa-apa yang didengarnya
dari Rasulullah, beliau berkata: “Merekalah kaum yang menumpahkan darah yang diharamkan dan
menyerbu kerumunan manusia.” Kemudian Ali memerangi mereka.
Bid’ah-bid’ah pertama (seperti bid’ahnya Khawarij) tak lain hanyalah karena pemahaman
mereka yang keliru terhadap AlQur’an, mereka tidak bermaksud menentangnya, namun di dalam
memahaminya tidak mengikuti dalil yang semestinya. Sehingga mereka menyangka ada keharusan
untuk mengkafirkan para pelaku dosa. Mereka beralasan jika seorang mukmin tentulah ia baik dan
bertakwa. Mereka berkata “siapapun yang tidak berbuat baik dan bertakwa maka ia kafir dan kekal
di dalam neraka.” Mereka juga berkata “Utsman dan Ali beserta siapa saja yang mendukung
kepemimpinan mereka, bukanlah orang beriman, karena mereka telah bertahkim kepada selain yang
diturunkan Allah.” Oleh karena itu, bid’ah mereka memiliki dua alasan : 1) siapa yang menyalahi Al
Qur’an dengan amal atau pendapat yang salah maka ia telah kafir. 2) Utsman dan Ali serta para
pengikut mereka termasuk kafir.
Sehingga wajib bagi kita untuk menghindari pengkafiran terhadap seorang muslim karena
semata-mata melakukan dosa dan kesalahan, sebab hal tersebut merupakan bid’ah pertama yang
muncul di dalam Islam. Pembuat bid’ah ini mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
serta harta mereka. Dan telah diriwayatkan oleh sejumlah hadist shahih dari Nabi tentang seruan
untuk mencela tindakan mereka dan memerangi mereka. Imam muslim telah mengeluarkannya
dalam kitab shahihnya dan Bukhari mengeluarkan sepenggal darinya.
Golongan khawarij tidak berpegang pada tuntunan sunnah, kecuali jika dapat ditafsiri secara
global dan menurut mereka tidak bertentangan dengan zhahir Qur’an. Mereka tidak menetapkan
hukum rajam bagi pezina, dan menganggap tidak perlu adanya nisab dalam pencurian. Mereka
berpendapat bahwa di dalam Al-Quran tidak ada hukuman bunuh untuk orang murtad. Murtad
menurut khawarij ada dua jenis, menurut riwayat orang-orang tentang mereka, bukan dari kitab
tertulis.
Apabila telah diketahui pokok pangkal bid’ah maka pokok perkataan khawarij adalah bahwa
mereka mengkafirkan muslim karena perbuatan dosanya dan menganggap sesuatu yang bukan dosa
menjadi dosa. Mereka hanya mau mengikuti Al-Quran tanpa mau mengikuti sunnah yang menyalahi
zhahir Al-Quran, sekalipun bertaraf mutawatir, dan mengkafirkan siapapun yang menyalahi
pendapat mereka. Mereka menghalalkan milik orang Islam karena menurut mereka telah murtad,
sesuatu yang tidak mereka halalkan dari orang kafir asli. Rasulullah bersabda tentang hal ini
:”Mereka membunuh orang Islam, tetap membiarkan bebas para penyembah berhala”. Khawarij
juga mengkafirkan para pengikut perang Shiffin dari kedua belah pihak, dan masih banyak pendapat
mereka yang lain yang lebih jahat dari itu.
Awal mulanya timbul bid’ah dan tafaruq dalam Islam adalah setelah terbunuhnya Utsman dan
perpecahan kaum muslimin. Ketika Ali dan Mu’awiyah bersepakat atas tahkim, kaum Khawarij
menentangnya. Mereka berkata: “Tidak ada hakim kecuali Allah. tidak ada hukum kecuali milik
Allah”. kemudia mereka memisahkan diri dari jamaatul muslimin dan diutuslah seseorang oleh Ibnu
Abbas kepada mereka untuk berdebat. Maka separo dari mereka kembali sedangkan lainnya tetap
menyerang kaum muslimin dan menumpahkan darah mereka. Lalu mreka membunuh Ibnu Khabbab
seambil berkata :”kami semualah yang membunuhnya”. Ali pun memerangi mereka.
Akar madhzab mereka adalah pengagungan terhadap Al-Quran dan tuntutan adar
mengikutinya. Akan tetapi mereka keluar dari sunnah dan jamaah. Mereka tidak mau mengikuti
sunnah yang mereka anggap bertentangan dengan Al-Quran, sehingga mereka sesat. Mereka
menganggap bahwa Nabi saw mungkin saja melakukan kezhaliman, sehingga mereka tidak
mematuhi hukum Nabi saw dan imam-imam sesudahnya.
Mereka mengatakan pengikut Utsman dan Ali telah berhukum kepada selain Allah seraya
mengutip QS Al-Maidah ayat 44. Dengan dalil inilah mereka mengkafirkan kaum muslimin.
Dalam mengkafirkan kaum muslimin, mereka (demikan dengan ahli bid’ah yang lainnya),
berdasarkan pada dua alasan yang batil, pertama, golongan ini menyalahi (menentang) Al-Quran dan
kedua, barangsiapa menentang Al-Quran mereka harus dikafirkan sekalipun kasalahan dan dosanya
masih disertai pengakuan terhadap wajib dan haramnya.

2. RAFIDLAH dan SYI’AH


Syi’ah atau Rafidlah juga muncul setelah terbunuhnya Utsman ibn ‘Affan. Mereka
menyembunyikan sikap tersebut sebab mereka tidak memiliki jamaah dan imam, tidak memiliki
negeri, dan tidak memiliki kekuatan untuk memerangi kaum muslimin.
Syi’ah telah muncul pada masa Ali ra, tetapi mereka masih menyembunyikan pendapat atau
perkataan mereka. Begitupun terhadap Ali dan pengikutnya. Mereka ada tiga golongan
a. Golongan pertama adalah mereka yang mengatakan bahwa Ali itu Tuhan. Ketika Ali dapat
membekuk merka, lalu beliau membakar mereka dengan api dan menggali parit-parit untuk
mereka di pintu Masjid Al-Kindah. Telah diriwayatkan bahwa Ali memberi waktu tiga hari
kepada mereka.
b. Golongan kedua adalah syi’ah yang suka mencaci maki Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Berita pencacimakian dari Abi Sauda’ terhadap Abu Bakar dan Umar itu telah sampai ke
telinga Ali sehingga Ali mencarinya. Ada yang mengatakan bahwa Ali mencarinya untuk
membunuhnya tetapi mereka melarikan diri.
c. Golongan ketiga adalah Al-Mufadlilah, yaitu yang menganggap Ali lebih utama daripada Abu
Bakar dan Umar.
Telah diriwayatkan dengan kabar mutawatir dari Ali ra, “Sebaik-baik umat ini sesudah Nabinya
adalah Abu Bakar, kemudian Umar.” Syi’ah terdahulu tidak berselisih tentang pengutamaan Abu
Bakar dan Umar. Mereka hanya berselisih tentang Ali dan Utsman. Sofyan Ats-Tsauri mengatakan
“barangsiapa melebihkan Ali di atas Abu Bakar dan Umar maka ia pun telah meremehkan kaum
Muhajirin dan Anshar dan aku berpendapat bahwa orang semacam itu tidak sampai amalannya
kepada Allah” (HR Abu Daud dalam kitab sunannya). Ucapan ini seakan menyindir Hasan bin Shaleh
bin Hayyi, karena kelompok Zaidiyah ash-Shalihah –kelompok Zaidiyah yang lurus- dinasabkan
kepadanya.
Syiah ketika itu tidak memiliki jamaah dan imam, tidak memiliki negara dan tidak memiliki
pedang untuk di hunus terhadap kaum muslimin. Namun yang tampak ketika itu hanyalah kaum
khawarij, karena mereka mempunyai jamaah, imam dan negara kekuasaan yang terpisah dari Ahli
sunnah wal jamaah. Mereka menamakan negeri mereka dengan Dar al-Hijrah, sementara
menamakan negeri kaum muslimin dengan sebutan dar al-Kufr wal-Harb.
Kedua golonganini mencela dan mengkairkan penguasa kaum muslimin. Jumhur khawarij
mengkafirkan Utsman dan Ali beserta pendukungnya. Sedangkan Rafidlah melaknat Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan para pedukung kepemimpinan mereka. Namun kerusakan lebih tampak pada
golongan khawarij, karena mereka melakukan pertumpahan darah merampas harta dan menghunus
pedang, sehingga dalam hadits – hadist shahih terdapat perintah untuk memerangi mereka.
Lafaz Rafidlah pertama muncul ketika Zaid bin Ali bin Al-Huain, pada awal abad kedua Hijriyah,
memberontak melawan pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik. Ketika itu syiah mengikutinya.
Kemudian Zaid dimintai pendapat mengenai Abu Bakar dan Umar, maka beliau mendukung dan
mendoakan agar mereka diberi rahmat oleh Allah swt. Tetapi kaumnya berpaling dan menolaknya.
Setelah peristiwa itu mereka dikenal dengan sebutan Rafidlah. Rafidlah mengakui kepemimpinan
Abu Ja’far Muhammad bin Ali (saudara Zaid) sebagai imam. Sedangkan Zaidiyah mengakui Zaid
sebagai imam.
Syiah bersikap melampaui batas terhadap imam- imam yang mereka anggapp ma’shum dan
mengetahui segala sesuatu. Sehingga mereka mengembalikan seluruh ajaran yang diwa Rasulullah
kepada para imam dan tidak kembali pada Al-Quran dan Sunnah, dan menganggap perkataan imam
lebih penting. Mereka akhirnya mempercayai para imam yang hakikatnya tidak berwujud.
Syiah lebih sesat dibandingkan khawarij karena khawarij masih mau kembali pada AlQuran dan
Sunnah sekalipun salah dalam mengamalkannya. Khawarij masih suka berkata benar tetapi syiah
selalu berdusta. Syiah member peluang bagi musuh Islam, seperti atheisme, bathiniyah dan lainnya
untuk menghancurkan Islam. Kaum Mulhid, seperti Qaramithah di Bahrain, Qaramithah di Maghrib
dan Mesir yang bersembunyi dibelakang tasyayyu’ (mengaku Syiah). Melalui pintu inilah musuh –
musuh Islam seperti kaum musyrikin, ahli kitab, dan kaum munafik memliki kesempatan untuk
menghancurkan Islam.
Rasulullah bersabda :”Sesungguhnya aku tinggalkan bagi kamu tsaqalain, yaitu Kitabullah,
cukup hanya dengan Kitabullah.” Beliau juga bersabda :”Dan itrahku adalah Ahlul Baitku. Aku
ingatkan kamu kepada Allah tentang Ahlul Baitku (beliau ulang tiga kali).” Maka beliau pun
mewasiatkan agar berbuat baik pada mereka dan tidak menjadikan mereka imam panutan. Khawarij
mengaku beriman pada Kitabullah, Syiah mengaku beriman pada Ahlul bait. Tetapi khawarij
menentang sunnah, padahal AlQuran memerintahkan untk mengikutinya. Mereka mengkafirkan
kaum muslimin, padahal AlQuran memerintahkan untuk mencintai mereka. Sa’ad bin Abi Waqash
menakwilkan ayat berikut :
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang – orang yang fasik. Yaitu orang – orang yang
melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan
Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka
itulah orang – orang yang rugi.” (Al-Baqarah 26-27)
Mereka mengakui ayat yang mutasyabihat tetapi sembarangan dalam menakwilkannya dan
tidak mengikuti sunnah. Sementara syiah banyak bertentangan dengan Ahlul bait yang mereka
imani.
Kaum rafidlah mengkafirkan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta kaum muslimin dari golongan
muhajirin dan anshar. Mereka menghalalkan darah orang islam, mengangap kaum muslimin itu
kufur, lebih kufur dari Yahudi dan Nasrani. Menurut mereka, kekafiran Yahudi dan Nasrani itu asli
sementara umat Islam adalah murtad.
Dalam banyak hal, Rafidlah meniru Yahudi, berlebihan dalam berbicara. Mereka juga
menyerupai nasrani dalam bertindak ekstrim mengkultuskan manusia dan ibadah yang mereka
ciptakan dan kemusyrikan lainnya.
Rafidlah mendukung dan berwalikan Yahudi, Nashrani, dan orang musyrik untuk bersekongkol
melawan kaum muslimin. Mereka tidak shalat Jumat dan tidak shalat berjamaah, karena merasa
tidak perlu terhadap masjid yang Allah perintahkan untuk ditinggikan dan disebut namaNya
didalamnya. Mereka adalah sejahat – jahat ahli hawa nafsu dan lebih layak diperangi daripada
khawarij. Pada diri mereka tampak permusuhan terhadap sunnah Rasulullah dan syariat Dinnya.
Demikian juga imam – imam mereka termasuk zindiq. Mereka menampakkan sikap perlawanan
(sifat rafidli) sebagai siasat untuk merobohkan Islam.
Pokok pendapat rafidlah adalah sebagaimana yang mereka katakan bahwa Nabi saw telah
menetapkan nash secara qath’I tentang Ali ra sebagai pengganti beliau, dia ma’shum, dan bagi siapa
yang menentangnya hukumnya kafir. Menurut mereka kaum muhajirin dan anshar
menyembunyikan nash dan mengingkari adanya imam yang ma’shum. Mereka mengatakan bahwa
Abu Bakar, Umar dan sahabat lainnya tetap sebagai munafik. Bahwa sahabat dari kaum Muhajirin
dan Anshar itu beriman kemudian kafir lagi. Mereka menjadikan negeri – negeri dan kota Islam yang
tidak mengikuti paham mereka sebagai Dar Riddah (Negeri Murtad).
Mereka mendukung (bermuwalah) kepada Yahudi, Nasrani, dan orang musyrik, untuk
menghadapi jumhur kaum muslimin, serta memusuhi dan memerangi mereka. Rafidlah
bersekongkol dengan kafir musyrik, Nashrani bangsa Eropa, dan Yahudi.
Di antara mereka ada yang menampakkan induk – induk zindiq dan nifak, seperti Qaramithah
al-Bathiniyah dan sejenisnya. Mereka lebih dikenal sebagai para penentang as-Sunnah. Sehingga di
kalangan umum tidaklah dikenal lawan sunni kecuali Rafidli, bahkan jika di antara mereka ada yang
mengatakan : “Saya adalah Sunni,” berarti dia bukan Rafidli. Mereka lebih jahat dari[ada khawarij.
Khawarij di mata Islam merupakan pedang yang senantiasa terhunus untuk memecah jamaah, akan
tetapi persekongkolan Rafidli dengan orang – orang kafir lebih berbahaya dibandingkan pedang –
pedang Khawarij.

3. MURJI’AH
Murji’ah lahir sebagai reaksi atas paham – paham Khawarij tentang iman dan kufur.

4. QADARIYAH dan JAHMIYAH

Anda mungkin juga menyukai