Anda di halaman 1dari 14

TUGAS DIAGNOSA KLINIK

“DERMATOPHYTOSIS”

NAMA KELOMPOK:

Serlly Kuswandari (135130101111063)


Bagas Abrianto (135130101111064)
Latiffatul ‘Ainiyah (135130101111065)
Hana Razanah (135130101111066)
Niza Novita W. (135130101111067)
Yurista Pramudi Lestari (135130101111068)
Ikrar Hakiki (135130101111069)
KELAS 2013-D

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anjing atau kucing sebagai hewan kesayangan mempunyai nilai estetika
tinggi seperti keindahan rambut dan warna kulit yang banyak disukai dan
dipelihara banyak orang, tetapi sering mengalami infeksi jamur yang disebut
dermatofitosis. Dermatofitosis juga dikenal sebagai ringworm yang dapat menular
antar sesame hewan, dari manusia ke hewan (antropozoonosis) dan hewan ke
manusia (zoonosis) (Ahmad, 2009).
Menurut Sunartatie (2010), dermatofitosis adalah penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh kelompok kapang dermatofita, meliputi genus Microsporum,
Trichophyton dan Epidermophyton. Kelompok kapang ini bersifat keratinofilik,
menyerang lapisan superfisial tubuh, seperti kulit, rambut dan kuku. Microsporum
dan Trichophyton biasa menyerang hewan dan manusia, sedangkan
Epidermophyton hanya menyerang manusia. Microsporum canis adalah salah satu
agen etiologis yang sering ditemukan pada dermatofitosis anjing dan kucing, serta
dapat menyerang manusia, ruminansia, kuda, babi, primata, dan hewan lainnya
(Ahmad, 2009).
Gejala klinis dermatofitosis yang pertama kali muncul adalah terlihat
warna kemerahan pada permukaan kulit dan bersisik. Beberapa dermatofitosis di
kulit dan rambut memproduksi fluorescence hijau karena metabolit triptofan yang
terlihat dibawah lampu Wood atau ultraviolet. Dermatofitosis pada hewan, hanya
Microsporum canis yang menghasilkan reaksi ini (Ahmad, 2009).
Dermatofitosis tidak hanya menyebabkan kerusakan kulit, tetapi juga
menyebabkan kerusakan rambut. Semakin lama jamur menempel di kulit akan
semakin menyebar luas dan merusak kulit dan rambut. Kerusakan rambut
kemungkinan dapat dipakai sebagai penanda spesifik adanya infeksi jamur. Oleh
karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran rambut anjing
lokal yang terinfeksi Microsporum canis secara klinis makroskopis dan
mikroskopis (Ahmad, 2009).
1.2 Rumusan Masalah
 Apa definisi dari dermatophytosis?
 Apa saja gejala klinis dari dermatophytosis?
 Apa saja faktor predisposisi dari dermatophytosis?
 Bagaimana penanganan dari dermatophytosis?
 Bagaimana cara mencegah terjadinya dermatophytosis?
 Apa saja etiologi dari dermatophytosis?
 Bagaimana diagnosa klinis dari dermatophytosis yang terdiri dari
pemeriksaan umum dan khusus?
 Bagaimana diagnosa laboratories dari dermatophytosis?

1.3 Tujuan
 Untuk mengetahui definisi dari dermatophytosis.
 Untuk mengetahui gejala klinis dari dermatophytosis.
 Untuk mengetahui faktor predisposisi dari dermatophytosis.
 Untuk mengetahui penanganan dari dermatophytosis.
 Untuk mengetahui cara mencegah terjadinya dermatophytosis.
 Untuk mengetahui etiologi dari dermatophytosis.
 Untuk mengetahui diagnosa klinis dari dermatophytosis yang terdiri dari
pemeriksaan umum dan khusus.
 Untuk mengetahui diagnosa laboratoris dari dermatophytosis.

1.4 Manfaat
 Dapat mengetahui definisi dari dermatophytosis.
 Dapat mengetahui gejala klinis dari dermatophytosis.
 Dapat mengetahui faktor predisposisi dari dermatophytosis.
 Dapat mengetahui penanganan dari dermatophytosis.
 Dapat mengetahui cara mencegah terjadinya dermatophytosis.
 Dapat mengetahui etiologi dari dermatophytosis.
 Dapat mengetahui diagnosa klinis dari dermatophytosis yang terdiri dari
pemeriksaan umum dan khusus.
 Dapat mengetahui diagnosa laboratoris dari dermatophytosis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dermatophytosis


Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Dermatofita dibagi menjadi genera
Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies
dermatofita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17 spesies
Microsporum dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2005)

2.2 Gejala Klinis Dermatophytosis


Gejala klinis dari dermatophytosis berhubungan dengan pathogenesisnya,
dermatophytosis memnginvasi rambut dan epitel tanduk. Jamur akan merusak
rambut, dan mengganggu keratinisasi kulit normal, secara klinis bulu rontok,
timbul kerak, sehingga dapat juga terinfeksi dengan kuman lain. Hewan yang
terinfeksi aka menunjukan tanda-tanda sebagai berikut: (Karen, 2003)
 Gatal
 Bulu rontok dan pitak bisa sebagian kecil simetris ataupun
asimetris dengan peradangan maunpun tanpa peradangan
 Kerak-kerak, kemerahan, sampai lecet dapat berkembang di daerah
muka, pipi, telinga, kuku, kaki depan, ekor dan sebagian badan
 Komedo sering ditandai dengan kerak-kerak tipis dibawah dagu
untuk kucing muda
 Hyperpigmemtasi walaupun jarang terjadi
 Kucing dengan dermatophytosis yang parah dan sistemik kadang
disertai dengan muntah, konstipasi atau hairball

2.3 Faktor Predisposisi Dermatophytosis


Dalam keturunan kucing-kucing yang mempunyai masalah
dermatophytosis secara genetik (walaupun tidak terlihat secara klinis) selalu
memiliki titer antibodi tinggi terhadap antigen microsporum demikian pula
adanya perbedaan respon lymphocyte blastogenesisnya, jika dibandingkan dengan
kucing-kucing di catteries yang tidak bermasalah dermatophytosis, ataupun jika
dibandingkan dengan kucing-kucing yang sudah sembuh dari infeksi
dermatophytosis. Oleh karena itu pembiak sebaiknya juga perlu mewaspadai
dalam memilih kucing-kucing yang rentan, baik dilihat dari warna bulu ataupun
karakter fisik, disamping kerentanan untuk terinfeksi dermatophytosis tersebut.

Faktor-faktor predisposisi kucing yang mudah terkena infeksi jamur ini


adalah: (George, 1994)
 Iklim yang lembab dan hangat
 Kesehatan yang memburuk
 Rendahnya nilai kesadaran akan pentingnya kesehatan hewan
kesayangannya untuk tingkat sosial tertentu
 Buruk sanitasi kandang per grup, kucing liar yang tidak terkontrol
karena dibebaskan keluar rumah
 Berhubungan atau berdekatan dengan sejumlah kucing liar atau
kelompok kucing yang berjumlah besar (misalnya ditempat penitipan)
 Kucing dari segala umur, namun di tempat klinik sering ditemukan
pada usia mudan dan kucing tua
 Kucing dengan bulu panjang

2.4 Penanganan Dermatophytosis


 Mencukur Rambut Hewan
Hewan yang terikfeksi jamur dermatofit sebaiknya dilakukan
pencukuran rambut. Pencukuran rambut berguna ketika diberikan terapi
ibat topikal, obat dapat penetrasi secara baik ke dalam kulit yang sedang
terinfeksi. Dengan demikian, lama terapi yang dilakukan juga dapat lebih
singkat mengingat semua masalah jamur lama terapi nya sangat panjang
karena mencegah jamur tidak menginfeksi kembali. Jika lesi yang
disebabkan oleh kamur tidak lebih dari 4 lesi, maka dapat dilakukan
pencukuran rambut pada bagian lesi saja. Jika jamur menginfeksi hamper
seluruh bagian kulit hewan, maka pencukuran rambut dilakukan secara
keseluruhan.
 Pemberian Obat Topikal
Pemberian obat topikal pada kulit yang telah dicukur rambutnya
akan lebih efektif untuk proses penyembuhan karena pencukuran rambut
dapat membeantu mengurangi infeksi jamur dari rambut atau daerah di
sekitar lesi. Obat-obatan topikal yang dapat digunakan yaitu lime sulfur,
klorhexidine, ketokonazol, clotrimazol, eniconazole, miconazol, dan
povidone iodine. Pengobatan secara topikal lebik baik dilakukan dengan
cara dipping serta memandikan hewan menggunakan shampoo
mengandung obat-obatan yang telah disebutkan diatas. Beberapa obat
topikal yang dapat digunakan sebagai obat lokal seperti krim atau lotion
yaitu ketokonazol, mikonazol, dan clotrimazol. Langkah pengobatan
secara topikal pertama memandikan hewan dengan shampoo mengandung
obat seperti klorhexidin, hewan yang telah dicukur bulu nya disikan pada
seluruh kulit tubuh hingga kerak yang disebabkan oleh jamur terangkat.
Selanjutnya akan lebih baik jika dilakukan dipping dengan cairan obat.
Setelah hewan selesai dimandikan, hewan dikeringkan dan diberi obat
topikal krim atau lotion.
 Pemberian Obat Sistemik
Pemberian pengobatan secara sistemik bertujuan untuk
mempercepat proses penyembuhan karena infeksi jamur. Pemilihan obat
sistemik yang akan digunakan yaitu berdasarkan harga, spesies jamur,
spesies hewan, dan pengaruh toksisitas. Obat-obatan sistemik yang dapat
digunakan untuk pengobatan infeksi jamur yaitu preparat griseofulvin,
ketokonazol, dan itrakonazol.
 Penanganan Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal hewan harus dilakukan pembersihan
agar pengobatan yang dilakukan dapat lebih optimal. Faktor lingkungan
merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi penularan infeksi
jamur. Kandang hewan dibersihkan menggunakan desinfektan, serta alat-
alat yang biasa kontak dengan hewan harus segera dibersihkan.
Pembersihan kandang dan peralatan hewan dapat menggunakan deterjen
dan selanjutnya menggunakan desinfektan agar jamur yang menempel
dapat hilang. Kangang dan peralatan yang telah dicuci, lalu dikeringkan.
Dengan tindakan demikian dapat lebih mengoptimalkan proses
pengobatan dan mencegah terjadinya jamur menginfeksi kembali.
(Greene, 2012)

2.5 Pencegahan Dermatophytosis


Pencegahan yang dapat dilakukan adalah sanitasi kesehatan, lingkungan
maupun hewannya. Terdapat 5 kelompok macam obat dengan berbagai cara dapat
dipakai untuk menghilangkan dermatofit, yaitu: (1). Iritan, dilakukan untuk
membuat reaksi radang sehingga tidak terjadi infeksi dermatofit; (2). Keratolitik,
digunakan untuk menghilangkan dermatofit yang hidup pada stratum korneum;
(3) Fungisidal, secara langsung merusak dan membunuh dermatofit; (4). Perubah.
Merubah dari stadium aktif menjadi tidak aktif pada rambut.

Salah satu cara yang efektif untuk penanggulangan adalah mencegah


penyebaran sehingga tidak terjadi endemik, peningkatkan masalah kebersihan,
perbaikan gizi dan tata laksana pemeliharaan. Hewan kesayangan harus terawat
dengan cara memandikan secara teratur, pemberian makanan yang sehat dan
bergizi sangat diperlukan untuk anjing dan kucing. Vaksinasi adalah pencegahan
yang baik. Di Indonesia pemakaian vaksin dermatofit belum dilaksanakan.
Pengobatan dapat dilakukan secara sistemik dan topikal. Secara sistemik dengan
preparat Griseofulvin, Natamycin, dan azole peroral maupun intravena dengan
cara topikal menggunakan fungisida topikal dengan berulang kali, setelah itu kulit
hewan penderita tersebut disikat sampai keraknya bersih; setelah itu dioles atau
digosok pada tempat yang terinfeksi. Selain itu, dapat pula dengan obat tradisional
seperti daun ketepeng (Cassia alata), Euphorbia prostate dan E. thyophylia
(Ahmad., R.Z. 2009).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Etiologi Dermatophytosis


Berdasarkan sifat makro dan mikro, dermatofita dibagi menjadi:
microsporum, tricopyton, dan epidermophyton.
 Microsporum
Kelompok dermatofita yang bersifat keratofilik, hidup pada tubuh manusia
(antropofilik) atau pada hewan (zoofilik). Merupakan bentuk aseksual dari jamur.
Terdiri dari 17 spesies, dan yang terbanyak adalah:
SPECIES CLASSIFICATION (NATURAL RESERVOIR)
Microsporum audouinii Anthropophilic
Microsporum canis Zoophilic (Cats and dogs)
Microsporum cooeki Geophilic (also isolated from furs of cats, dogs, and
rodents)
Microsporum ferrugineum Anthropophilic
Microsporum gallinae Zoophilic (fowl)
Microsporum gypseum Geophilic (also isolated from fur of rodents)
Microsporum nanum Geophilic and zoophilic (swine)
Microsporum persicolor Zoophilic (vole and field mouse)

Koloni mikrosporum adalah glabrous, serbuk halus, seperti wool atau


powder. Pertumbuhan pada agar Sabouraud dextrose pada 25°C mungkin
melambat atau sedikit cepat dan diameter dari koloni bervariasi 1- 9 cm setelah 7
hari pengeraman. Warna dari koloni bervariasi tergantung pada jenis itu. Mungkin
saja putih seperti wol halus yang masih putih atau menguning sampai cinnamon.
 Epidermophyton
Jenis Epidermophyton terdiri dari dua jenis; Epidermophyton floccosum
dan Epidermophyton stockdaleae. E. stockdaleae dikenal sebagai non-patogenik,
sedangkan E. floccosum satu-satunya jenis yang menyebabkan infeksi pada
manusia. E. floccosum adalah satu penyebab tersering dermatofitosis pada
individu tidak sehat. Menginfeksi kulit (tinea corporis, tinea cruris, tinea pedis)
dan kuku (onychomycosis). Infeksi terbatas kepada lapisan korneum kulit luar.
koloni E. floccosum tumbuh cepat dan matur dalam 10 hari. Diikuti inkubasi pada
suhu 25° C pada agar potato-dextrose, koloni kuning kecoklat-coklatan
 Tricophyton
Trichophyton adalah suatu dermatofita yang hidup di tanah, binatang atau
manusia. Berdasarkan tempat tinggal terdiri atas anthropophilic, zoophilic, dan
geophilic. Trichophyton concentricum adalah endemic pulau Pacifik, Bagian
tenggara Asia, dan Amerika Pusat. Trichophyton adalah satu penyebab infeksi
pada rambut, kulit, dan kuku pada manusia.
NATURAL HABITATS OF TRICHOPHYTON SPECIES
Species Natural Reservoir
Ajelloi Geophilic
Concentricum Anthropophilic
Equinum zoophilic (horse)
Erinacei zoophilic (hedgehog)
Flavescens geophilic (feathers)
Gloriae Geophilic
Interdigitale Anthropophilic
Megnini Anthropophilic
Mentagrophytes zoophilic (rodents, rabbit) /
anthropophilic
Phaseoliforme Geophilic
Rubrum Anthropophilic
Schoenleinii Anthropophilic
Simii zoophilic (monkey, fowl)
Soudanense Anthropophilic
Terrestre Geophilic
Tonsurans Anthropophilic
Vanbreuseghemii Geophilic
Verrucosum zoophilic (cattle, horse)
Violaceum Anthropophilic
Yaoundei Anthropophilic

3.2 Diagnosa Klinis


Diagnosa klinis pada penyakit dermatophytosis meliputi pemeriksaan
umum dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan umum meliputi pemeriksaan fisik
dan anamnesis pada paisen yang mengalami penyakit ini. Sedangkan pemeriksaan
khusus ditujukan untuk menegakkan diagnosa yang didapatkan dari pemeriksaan
umum. Sehingga nantinya akan didapatkan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
 Anamnesa
Anamnesa / Anamnesis adalah suatu kegiatan wawancara antara
pemilik hewan/pasien (klien) dan dokter atau tenaga kesehatan lainnya
yang berwenang untuk memperoleh keterangan-keterangan tentang
keluhan, riwayat penyakit yang diderita pasien. Anamnesa dapat dilakukan
dengan cara mewawancarai langsung pemilik hewan (klien) untuk
mengetahui sejarah penyakit / riwayat penyakit pasien. Kejadian yang
biasa terjadi pada penyakit ini didapatkan karena adanya kontak langsung
dengan manusia/hewan yang menderita penyakit ini. Dikarenakan
penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia ataupun sebaliknya.
Anamnesa juga dapat ditujukan untuk mengetahui gejala klinis yang
ditimbulkan pada hewan. Secara umum, anamnesa memiliki peran 60 -
70% dalam penentuan diagnosa yang tepat (Thomsett, 2007).
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk diagnosa penyakit
dermatophytosis sama dengan pemeriksaan fisik yang lainnya, yaitu
dilakukan dengan pemeriksaan awal seperti pemeriksaan pulsus, respirasi,
suhu tubuh serta berat badan. Kemudian dilakukan pemeriksaan sesuai
dengan keluhan yang disampaikan klien. Pemeriksaan fisik juga ditujukan
untuk mengetahui secara langsung gejala klinis yang nampak dari penyakit
dermatophytosis ini. Selanjutnya dilakukan Inspeksi pada keseluruhan
tubuh hewan (pasien) untuk menemukan adanya lesi. Penyakit ini
biasanya dapat terjadi pada hewan umur muda. Lesi biasanya ditemukan
dikepala yaitu di moncong dan rambut sekitar mata, di kaki dan dibagian
bawah perut. Lesi primer timbul pada minggu ke 2 - 4 setelah infeksi
berupa papula yang diikuti bercak - bercak kemerahan dan kadang -
kadang ada vesikel - vesikel. Sedangkan lesi sekunder berupa timbulnya
sisik kulit, keropeng, atau kerak kulit dan akhirnya timbul hiperpigmentasi
(Sajuthi, 2008).
 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang digunakan untuk memeriksa secara khusus
atas indikasi pemeriksaan fisik dan anamnesa untuk memperoleh
keterangan yang lebih mendalam. Pemeriksaan ini dikhususkan untuk
menegakkan diagnosa dari penyakit dermatophytosis. Pemeriksaan khusus
yang dilakukan pada penyakit dermatophytosis dilakukan dengan
menggunakan wood lamp. Prinsip kerja dari wood lamp adalah filtrasi
sinar ultraviolet melalui filter nikel oxide yang mengahasilkan cahaya
dengan panjang gelombangyang spesifik untuk menginduksi flourecen.
Pemeriksaan dermatophytosis dengan menggunakan lampu wood lamp
dilakukan di ruang gelap. Lesi yang dicurigai sebagai tanda klinis
dermatophytosis disinari dengan wood lamp. Apabila positif lesi akan
berpendar dengan jelas berwarna kuning kehijauan (Budiantono,1995).

Gambar pemeriksaan dermatophytosis dengan menggunakan wood lamp

3.3 Diagnosa Laboratoris


Untuk mendiagnosa melalui pemeriksaan laboratorium diperlukan sampel
kerokan kulit, serpihan kuku, rambut. Kemudian dapat diperiksa dengan Wood
light, atau pemeriksaan langsung dengan mikroskop dengan KOH, atau
pewarnaan, atau dengan membuat biakan pada media. Penyakit ini dapat
dikelirukan dengan lesi yang diperlihatkan seperti gigitan serangga, urtikaria,
infeksi bakteri dan dermatitis lainnya, namun dengan adanya bentuk cincin pada
derah yang terinfeksi dan peneguhan diagnose dengan pemeriksaan laboratorium
akan memastikan bahwa hewan tersebut menderita penyakit (Ahmad., R.Z. 2009).
Diagnosa dilakukan berdasarkan pada hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris.
Pemeriksaan klinis seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, yaitu dengan
melihat gejala yang diakibatkan oleh penyakit. Pemeriksaan laboratoris meliputi
pemeriksaan langsung pada sampel kerokan kulit dan bulu dari bagian yang
terkena penyakit secara mikrokopik, serta penanaman sampel pada media agar
glukosa Sabouraud (SGA). Adapun metode pemeriksaan laboratoris terdiri dari
(Gholib, D. 2005):
 Pemeriksaan sampel langsung
Bersihkan bagian kulit yang terkena penyakit dengan alkohol 70%,
lalu kerok bagian tepinya (batas kulit yang berpenyakit dan yang
sehat/normal), dengan menggunakan pisau skalpel. Sampel berupa
kerokan kulit dan bulu disimpan di dalam kertas sampul atau toples plastik
steril bertutup longgar agar sampel mongering sehingga bakteri yang
mencemari mati, dan spora kapang dermatofit bertahan hidup. Di
laboratorium, sampel diperiksa langsung dengan melarutkan sedikit
sampel di dalam larutan KOH atau NaOH (10-20%) di atas kaca objek dan
ditutup dengan gelas penutup. Pemeriksaan di bawah mikroskop akan
memperlihatkan komponen kapang dermatofit (miselium bersekat atau
berbuku, mikro atau makrokonidia) yang khas. Pada sampel bulu akan
terlihat gambaran rantai sel konidia/spora yang bulat di sekeliling atau di
dalam bulu (folikel bulu).
 Pemeriksaan kulturil dengan penanaman sampel pada media agar
Sabouraud
Sampel kerokan kulit atau bulu diambil secukupnya, lalu
ditanamkan ke dalam media agar Sabouraud yang mengandung
kloramfenikol (0,05%) dan aktidion (0,5%), masing-masing berfungsi
untuk mencegah kontaminasi oleh baktri dan kapang lain. Inkubasi di
dalam suhu ruangan (25-27O C). Koloni kapang yang tumbuh kemudian
diperiksa secara makro dan mikroskopik.

Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan Makroskopik


BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat
tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang
disebabkan golongan jamur dermatofita. Dermatofita dibagi menjadi genera
Microsporum, Trichophyton dan Epidermophyton. Gejala klinis dari
dermatophytosis berhubungan dengan pathogenesisnya, dermatophytosis
memnginvasi rambut dan epitel tanduk. Jamur akan merusak rambut, dan
mengganggu keratinisasi kulit normal, secara klinis bulu rontok, timbul kerak,
sehingga dapat juga terinfeksi dengan kuman lain. Salah satu cara yang efektif
untuk penanggulangan adalah mencegah penyebaran sehingga tidak terjadi
endemik, peningkatkan masalah kebersihan, perbaikan gizi dan tata laksana
pemeliharaan.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad., R.Z. 2009. Permasalahan & Penanggulangan Ring Worm Pada Hewan.
Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis. Bogor: Balai Penelitian
Veteriner.
Budiantono. 1995. Cara Diagnosa Kurap (Dermatophytosi) pada Anjing. Bogor :
Fakultas Kedokteran Hewan IPB
Budimulja, N. 2005. Penyakit Kulit Pada Hewan Kecil. Buku Mikrobiologi Dasar.
Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.
George T. Wilkinson and Richard G Harvey. 1994. Small animal dermatology a
guide to diagnosis, pp. 283-292, 1994.
Gholib, D. 2005. Penyakit Kulit Oleh Kapang Dermatofit (Ringworm) Pada
Kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha
Agribisnis Kelinci. Bogor: Balai Penelitian Veteriner.
Greene, Craig E. 2012. Infectious Disease of the Dog and Cat. Missouri : Elsevier
Karen A. Moriello, dvm, dacvd. 2003. Symposium on feline Dermatology, Oct.
2003. Veterinary Medicine, pp. 884-890. Department of Medical Science
School of Veterinary Medicine University of WisconsinMadison.
Sajuthi, Cucu Kartini. 2008. Dermatophytosis Pada Kucing Sebagai Penyakit
Zoonosis : Monitoring dan Pencegahan Reinfeksi. Jurnal. Lokakarya
Nasional Penyakit Zoonosis : 294 - 296
Thomsett. 2007. The Diagnosis of Ringworm Infect in Small Animals. Journal.
Small Animal. Pract. 18 : 803 - 814

Anda mungkin juga menyukai