Anda di halaman 1dari 9

Nama : Alfie Ibrahim

Kelas : PAI-B
NIM : 16110191

Prinsip Dasar Akhlak


Akhlak berasal dari bahasa Arab yang berarti tabiat, perangai, dan kebiasaan. Dalam al-
Qur’an ditemukan bentuk tunggal dari kata akhlaq yaitu khuluq (Qs. al-Qalam: 4). Akhlak ibarat
kelakuan manusia yang membedakan baik dan buruk. Lalu disenangi dan dipilih yang baik untuk
dipraktikkan dalam perbuatan, sedang yang buruk dibenci dan dihilangkan (Ainain, 1985:186).
Kata yang setara dengan akhlak adalah karakter.
Karakter berasal dari bahasa Yunani “charassein” yang berarti “to engrave” (Ryan and
Bohlin, 1999:5), yang bisa diterjemahkan dengan mengukir, melukis, memahatkan, atau
menggoreskan (Echols dan Shadily, 1995:214). Menurut Thomas Lickona, karakter mulia (good
character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan (moral knowing), lalu menimbulkan komitmen
(niat) terhadap kebaikan (moral feeling), dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan (moral
behavior).
Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, yang
merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang meliputi seluruh aktivitas manusia, yang terwujud
dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama,
hukum, tata krama dan budaya. Pemahaman yang baik tentang konsep akhlak merupakan sarana
yang dapat mengantarkan seseorang untuk berperilaku dan berakhlak mulia seperti yang
dipesankan oleh Nabi Muhammad saw dalam haditsnya, yang diriwayatkan oleh Abdullan Ibn
Amr, “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. At Tirmidzi).
Keseluruhan ajaran Islam tercantum dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw.
Termasuk penentuan baik dan buruknya akhlak seseorang dinilai berdasarkan kedua sumber
tersebut, bukan berdasarkan anggapan manusia. Tujuan Islam sudah pasti untuk membentuk
manusia menjadi seseorang yang berkarakter dan berakhlak mulia. Akhlak dan karakter yang
mulia tidaklah muncul tanpa sebab, melainkan terbentuk melalui berbagai tahap dalam kehidupan.
Salah satunya melalui pendidikan karakter yang diterapkan sejak dini.
Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Anak
Anak merupakan karunia terindah yang diberikan Allah swt kepada sepasang suami-istri.
Dalam al-Qur’an, anak digambarkan sebagai perhiasan hidup dan kesenangan di dunia (Qs. al-
Kahfi: 46 dan Qs. Ali Imron: 14). Keberadaan anak dalam suatu keluarga akan menjadikan
keluarga itu terasa lebih hidup, harmonis, dan menyenangkan. Anak merupakan amanah besar bagi
kedua orang tua yang kelak akan dipertanggungjawabkannya di akhirat. Orang tua wajib
memelihara, mendidik, menjaga, dan menyantuni anak-anak mereka dengan penuh rasa tanggung
jawab dan kasih sayang. Islam menjadikan orang tua bertanggung jawab terhadap pendidikan
keislaman bagi anak-anaknya sebagaiana dijelaskan dalam surat at-Tahrim ayat 6. Anak
merupakan generasi penerus umat yang hendaknya telah terbina sejak masa kecilnya agar kelak
mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang berakhlak mulia, berkarakter, dan bermanfaat
bagi orang lain.

Agama ini melarang umatnya dari akhlak-akhlak rendahan dan akhlak yang buruk.

Hal ini ditunjukkan oleh banyak hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫إِنَّ َما بُ ِعثْتُ ِِلُت َِم َم‬


ِ ‫صا ِل َح ْاِل َ ْخ ََل‬
‫ق‬

“Sesungguhnya aku hanyalah diutus untuk menyempurnakan akhlak yang luhur.” (HR. Ahmad
no. 8952 dan Al-Bukhari dalam Adaabul Mufrad no. 273. Dinilai shahih oleh Al-Albani
dalam Shahih Adaabul Mufrad.)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫سا يَ ْو َم ال ِقيَا َم ِة أ َ َحا ِسنَ ُك ْم أ َ ْخ ََلقًا‬


ً ‫ي َوأ َ ْق َربِ ُك ْم ِمنِي َمجْ ِل‬
َّ َ‫إِ َّن ِم ْن أ َ َحبِ ُك ْم إِل‬

“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya
denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR.
Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)

Bahkan dengan akhlak mulia, seseorang bisa menyamai kedudukan (derajat) orang yang rajin
berpuasa dan rajin shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
‫صائِ ِم ْالقَائِ ِم‬
َّ ‫إِ َّن ْال ُمؤْ ِمنَ لَيُد ِْركُ بِ ُحس ِْن ُخلُ ِق ِه د َ َر َجةَ ال‬

“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat
dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165.
Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)

ِ ُ‫ار ْال ُجن‬


‫ب‬ ِ ‫ار ذِي ْالقُ ْربَ ٰى َو ْال َج‬
ِ ‫ين َو ْال َج‬
ِ ‫سا ِك‬َ ‫سانًا َوبِذِي ْالقُ ْربَ ٰى َو ْاليَت َا َم ٰى َو ْال َم‬ َ ‫ش ْيئًا ۖ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِ ْح‬
َ ‫َّللاَ َو ََل ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
َّ ‫َوا ْعبُد ُوا‬
ً ‫َّللا َ ََل ي ُِحبُّ َم ْن َكانَ ُم ْخت ًَاَل فَ ُخ‬
‫ورا‬ َّ ‫َت أ َ ْي َمانُ ُك ْم ۗ ِإ َّن‬
ْ ‫سبِي ِل َو َما َملَك‬ َّ ‫ب َواب ِْن ال‬ِ ‫ب ِب ْال َج ْن‬ ِ ‫اح‬
ِ ‫ص‬َّ ‫َوال‬

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri," (QS. An-Nisa': 36)

Ada dua aspek penting yang harus ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini, yaitu
iman dan akhlak. Beberapa isyarat dan petunjuk tentang pendidikan anak dikisahkan dalam
alQur’an surat Luqman ayat 13 bahwa yang pertama kali diajarkan adalah tauhid (mengenal
Tuhan) disusul kemudian dengan pendidikan akhlak yang dijelaskan dalam surat serupa ayat 14-
17. Demikian pula dengan yang diajarkan Rasulullah, Muhammad saw, kepada umatnya, yaitu
menekankan aspek akidah lalu disusul dengan akhlak.

Strategi Kyai dalam Membentuk Akhlak di Pondok Pesantren


1. Strategi dalam Membentuk Akhlak
Perilaku merupakan seperangkat perbuatan/tindakan seseorang dalam merespon
sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku
manusia pada dasarnya terdiri dari komponen pengetahuan (kognitif), sikap (afektif), dan
keterampilan (psikomotor) atau tindakan. Perilaku menunjukkan wajah kepribadian
seorang manusia. Mereka terdiri dari kebiasaan-kebiasaan yang berulang secara tetap pada
setiap waktu dan tempat. Kebiasaan-kebiasaan ini tidak terbentuk satu kali jadi. Juga bukan
bawaan sejak lahir, tetapi merupakan suatu kebiasaan yang terbentuk dari waktu kewaktu.
Ia harus dilatih berulang kali hingga nanti tergerak otomatis. Para ahli mengatakan,
„pertama-tama kau membentuk kebiasaan, setelah itu kebiasaanmu yang akan membentuk
engkau‟ (Heri Gunawan, 2014: 265).
Perbuatan seseorang atau respon seseorang terhadap rangsang yang datang, didasari
oleh seberapa jauh pengetahuannya terhadap rangsang tersebut, bagaimana perasaan dan
penerimaannya berupa sikap terhadap obyek rangsang tersebut, dan seberapa besar
keterampilannya dalam melaksanakan atau melakukan perbuatan yang diharapkan.
Strategi Kyai dalam membentuk akhlak santri di Pondok Pesantren setidaknya ada
7 strategi yang diterapkan dalam membentuk perilaku santri, yakni :
a. Keteladanan
Secara terminologi kata “keteladanan” berasal dari kata “teladan” yang artinya
“perbuatan atau barang dan sebagainya yang patut ditiru atau dicontoh”. Sementara itu
dalam bahasa arab kata keteladanaan berasal dari kata “uswah” dan “qudwah”.Secara
etimologi pengertian keteladanan yang diberikan oleh Al-Ashfahani, sebagaimana
dikutip Armai Arief, bahwa menurut beliau “al-uswah” dan “al-Iswah” sebagaimana
kata “al-qudwah” dan “alQidwah” berarti “suatu keadaan ketika seorang manusia
mengikuti manusia lain, apakah dalam kebaikan, kejelekan, kejahatan, atau
kemurtadan”. Senada dengan yang disebutkan di atas, Armai Arief juga menutip
pendapat dari seorang 67 tokoh pendidikan islam lainnya yang bernama Abi Al-Husain
Ahmad Ibnu Al-Faris Ibn Zakaria yang termaktub dalam karyanya yang berjudul
Mu‟jam Maqayis al-Lughah, beliau berpendapat bahwa “uswah” berarti “qudwah”
yang artinya ikutan, mengikuti yang diikuti.
Secara psikologis, manusia sangat memerlukan keteladanan untuk
mengembangkan sifat-sifat dan potensinya. Pendidikan perilaku lewat keteladanan
adalah pendidikan dengan cara memberikan contoh-contoh kongkrit bagi para santri.
Dalam pesantren, pemberian contoh keteladanan sangat ditekankan. Pimpinan dan
ustadz harus senantiasa memberikan uswah yang baik bagi para santri, dalam ibadah-
ibadah ritual, kehidupan sehari-hari maupun yang lain, karena nilai mereka ditentukan
dari aktualisasinya terhadap apa yang disampaikan. Semakin konsekuen seorang
pimpinan atau ustadz menjaga tingkah lakunya, semakin didengar ajarannya.
Hal ini sebagaiman dikatakan oleh Al-Bantani dalam Usus al-Tarbiyah al-
Islamiyah, bahwa metode keteladanan merupakan metode yang paling berpengaruh
dalam pendidikan manusia, karena individu manusia senang meniru terhadap orang
yang dilihatnya (Heri Gunawan, 2014: 266).

b. Latihan dan Pembiasaan


Mendidik perilaku dengan latihan dan pembiaasaan adalah mendidik dengan cara
memberikan latihan-latihan terhadap norma-norma kemudian membiasakan santri
untuk melakukannya. Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara
berulang-ulang, agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode pembiasaan
(habituation) ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan itu ialah sesuatu yang
diamalkan. Dan inti kebiasaan adalah pengulangan. Pembiasaan menempatkan
manusia sebagai sesuatu yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan
menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan itu dapat dilakukan dalam
setiap pekerjaan. Oleh karenanya, menurut para pakar, metode ini sangat efektif dalam
rangka pembinaan karakter dan kepribadian. Dalam pendidikan di pesantren metode
ini biasanya akan diterapkan pada ibadah-ibadah amaliyah, seperti shalat berjamaah,
kesopanan pada pimpinan dan ustadz. Pergaulan dengan sesama santri dan sejenisnya.
Sedemikian, sehingga tidak asing di pesantren dijumpai, bagaimana santri sangat
hormat pada ustadz dan kakak-kakak seniornya dan begitu santunnya pada adik-adik
pada junior, mereka memang dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian (Heri
Gunawan, 2014: 267).
Latihan dan pembiasaan ini pada akhirnya akan menjadi akhlak yang terpatri dalam
diri dan menjadi yang tidak terpisahkan. Al-Ghazali menyatakan :"Sesungguhnya
perilaku manusia menjadi kuat dengan seringnnya dilakukan perbuatan yang sesuai
dengannya, disertai ketaatan dan keyakinan bahwa apa yang dilakukannya adalah baik
dan diridhai".

c. Mendidik melalui ibrah (mengambil pelajaran)


Secara sederhana, ibrah berarti merenungkan dan memikirkan, dalam arti umum
bisanya dimaknakan dengan mengambil pelajaran dari setiap peristiwa. Abd.Rahman
alNahlawi, seorang tokoh pendidikan asal timur tengah, mendefisikan ibrah dengan
suatu kondisi psikis yang manyampaikan manusia untuk mengetahui intisari suatu
perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksikan, ditimbang-timbang, diukur dan
diputuskan secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati untuk
tunduk kepadanya, lalu mendorongnya kepada perilaku yang sesuai. Adapun
pengambilan ibrah bisa dilakukan melalui kisah-kisah teladan, fenomena alam atau
peristiwa-peristiwa yang terjadi, baik di masalalu maupun sekarang.

d. Mendidik melalui mau‟idzhah (nasehat)


Mau‟idzah berarti nasehat. Rasyid Ridla mengartikan mauidzah adalah nasehat
peringatan atas kebaikan dan kebenaran dengan jalan apa yang dapat menyentuh hanti
dan membangkitkannya untuk mengamalkan”.Metode mau‟idzah, harus mengandung
tiga unsur, yakni :
a.) Uraian tentang kebaikan dan kebenaran yang harus dilakukan oleh seseorang,
dalam hal ini santri, misalnya tentang sopan santun, harus berjamaah maupun
kerajinan dalam beramal;
b.) Motivasi dalam melakukan kebaikan;
c.) Peringatan tentang dosa atau bahaya yang bakal muncul dari adanya larangan bagi
dirinya sendiri maupun orang lain (Heri Gunawan, 2014: 279).
Menurut Abdurrahman An-Nahlawi (1996: 390), terdapat perbedaan makna antara
istilah ibrah dan mau‟idzhah. ibrah berarti suatu kondisi psikis yang menyampaikan
manusia kepada inti sari sesuatu yang disaksikan, dihadapi dengan menggunakan nalar,
yang menyebabkan hati mengakuinya. Adapun kata mau‟idzhah istilah nasehat yang
lembut diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
Abdul Hamid Ash-Shaid al-Jindani dalam buku Usus al-Atrbiyah al-Islamiyah,
menyebutkan bahwa diantara metode pendidikan yang banyak memberikan pengaruh
dalam mengarahkan manusia ialah metode nasehat atau almau‟idzhah al-hasanah dan
metode bimbingan (al-irsyad). Nasehat atau mauidzhah sangat memiliki pengaruh
terhadap 71 jiwa manusia, terlebih apabila nasehat itu keluar dari seseorang yang
dicintainya.
Karena saking berpengaruhnya metode ini, Nabi Muhammad Saw sangat
memfokuskan terhadap pentingnya metode nasehat dan bimbingan ini dalam proses
pendidikan para sahabatnya. Maka Rasulullah Saw mewajibkan memberi nasehat yang
baik dan benar kepada setiap umat Islam. Dengan demekian tentunya umat Islam harus
melakukan nasehat sesuai dengan kitab Allah (Al-Qur‟an) dan sunah Rasul-Nya.
Bahkan agama itu sendiri berisi nasehat-nasehat. Dalam riwayat yang diterima dari
Tamim al-Daary, bahwasanya Nabi Muhammad Saw bersabda: “Agama itu adalah
nasehat”. Kami (para sahabat) bertanya: “untuk siapa yang Rasulullah?” Nabi
Muhammad Saw menjawab: “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi Rasul-rasul-Nya, dan
bagi semua umat Islam” (HR. Muslim). Lebih lanjut Rasulullah Saw telah menetapkan
bahwa antara hak sesama muslim terhadap muslim yang lain adalah saling menasehati
(Heri Gunawan, 2014: 271).

e. Mendidik melalui kedisiplinan


Dalam ilmu pendidikan, kedisiplinan dikenal sebagai cara menjaga kelangsungan
kegiatan pendidikan. Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sangsi.
Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran siswa bahwa apa yang 72 dilakukan
tersebut tidak benar, sehingga ia tidak mengulanginya lagi. Pembentukan lewat
kedisiplinan ini memerlukan ketegasan dan kebijaksanaan. Ketegasan mengharuskan
seorang pendidik memberikan sangsi bagi pelanggar, sementara kebijaksanaan
mengharuskan sang pendidik sang pendidik berbuat adil dan arif dalam memberikan
sangsi, tidak terbawa emosi atau dorongan lain. Dengan demikian sebelum
menjatuhkan sangsi, seorang pendidik harus memperhatikan beberapa hal berikut :
1) Perlu adanyabukti yang kuat tentang adan ya tindak pelanggaran;
2) Hukuman harus bersifat mendidik, bukan sekedar memberi kepuasan atau balas
dendam dari si pendidik;
3) Harus mempertimbangkan latar belakang dan kondisi siswa yang melanggar,
misalnya frekuensinya pelanggaran, perbedaan jenis kelamin atau jenis
pelanggaran disengaja atau tidak.
Di pesantren, hukuman ini dikenal dengan istilah takzir. Takzir adalah hukuman
yang dijatuhkan pada santri yang melanggar. Hukuman yang terberat adalah
dikeluarkan dari pesantren. Hukuman ini diberikan kepada santri yang telah berulang
kali melakukan pelanggaran, seolah tidak bisa diperbaiki. Juga diberikan kepada santri
yang melanggar dengan pelanggaran berat yang mencoreng nama baik pesantren.
f. Mendidik melalui targhib dan tarhib
Terdiri atas dua metode sekaligus yang berkaitan satu sama lain; targhib dan tahzib.
Targhibialah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai dengan
bujukan. Tarhib ialah ancaman karena dosa yang dilakukan.Targhib dan tarhib
bertujuan agar orang mematuhi aturan Allah. Akan tetapi keduanya mempunyai titik
tekan yang berbeda. Targhib agar melakukan kebaikan yang diperintahkan Allah,
sedang tarhib agar menjauhi perbuatan jelek yang dilarang (Heri Gunawan, 2014: 272).
Meski demikian metode ini tidak sama pada metode hadiah dan hukuman.
Perbedaan terletak pada akar pengambilan materi dan tujuan yang hendak dicapai.
Targhib dan tarhib berakar pada Tuhan (ajaran agama) yang tujuannya memantapkan
rasa keagamaan dan membangkitkan sifat rabbaniyah, tanpa terikat waktu dan tempat.
Adapun metode hadiah dan hukuman berpijak pada hukum rasio (hukumakal) yang
sempit (duniawi) yang tujuannya masih terikat ruang dan waktu. Di pesantren, metode
ini biasanya diterapkan dalam pengajian-pengajian, baik sorogan maupun bandongan.

g. Mendidik melalui kemandirian


Kemandirian tingkah-laku adalah kemampuan santri untuk mengambil dan
melaksanakan keputusan secara bebas. Proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan
santri yang biasa berlangsung di pesantren dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu
keputusan yang bersifat penting-monumental dan keputusan yang bersifat harian. Pada
tulisan ini, keputusan yang dimaksud adalah keputusan yang bersifat rutinitas harian.
Terkait dengan kebiasan santri yang bersifat rutinitas menunjukkan kecenderungan
santri lebih mampu dan berani dalam mengambil dan melaksanakan keputusan secara
mandiri, misalnya pengelolaan keuangan, perencanaan belanja, perencanaan aktivitas
rutin, dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kehidupan mereka yang tidak tinggal
bersama orang tua mereka dan tuntutan pesantren yang menginginkan santri-santri
dapat hidup dengan berdikari.Santri dapat melakukan sharing kehidupan dengan
teman-teman santri lainnya yang mayoritas seusia (sebaya) yang pada dasarnya
memiliki kecenderungan yang sama. Apabila kemandirian tingkah-laku dikaitkan
dengan rutinitas santri, maka kemungkinan santri memiliki tingkat kemandirian yang
tinggi.

Anda mungkin juga menyukai