Anda di halaman 1dari 2

Peran Mahasiswa dalam Mencegah Radikalisme

Mahasiswa sebagai agent of change memiliki peran penting dalam mencegah radikalisme.
Yang tidak kurang kalah penting adalah revitalisasi lembaga, badan, dan organisasi
kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Organisasi-organisasi yang ada di kampus
memegang peranan penting untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme ini melalui
pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang komprehensif dan kaya makna. Disini peran
mahasiswa dalam mencegah paham radikal berkembang. Keanggotaan dan aktivisme
organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam
gerakan radikal yang ekstrem. Sebaliknya terdapat gejala kuat para mahasiswa yang non
aktivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga dapat segera mengalami brain wash
dan indoktrinasi pemikiran radikal dan ekstrem. Menggalakkan propaganda anti radikalisme
seharusnya menjadi salah satu agenda utama untuk memerangi gerakan radikalisme dari
dalam kampus. Peran itu menjadi semakin penting karena organisasi memiliki banyak
jaringan dan pengikut sehingga akan memudahkan propaganda kepada kadernya. Jika ini
dilaksanakan dengan konsisten dan kontinyu, maka pelan tapi pasti gerakan radikalisme bisa
dicegah tanpa harus menggunakan tindakan represif yang akan banyak memakan korban dan
biaya. Karenanya, perlu langkah strategis, inovatif, sistematis, serius, dan komprehensif.
Bukan hanya pendekatan keamanan dan ideologi, tetapi juga memperhatikan jaringan, modus
operandi, dan raison d’entre gerakan ini.

Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Penyusupan/Infiltrasi Paham Radikalis di Kampus

Orang radikal yang siap mati hari ini, saat ini, dan memandang bahwa umat agama lain di
sekitarnya layak dibunuh. Itulah para pelaku teror yang selama ini beraksi di Indonesia.
Mereka adalah orang yang paling tinggi intensitas radikalnya. Di bawah tingkat itu ada
orang-orang yang tidak mau menjadi mujahid secara praktis, tapi mendukung aksi itu. Orang-
orang jenis ini dapat dengan mudah kita temukan di media sosial. Di tingkat yang lebih
bawah ada orang-orang yang tidak mendukung aksi teror itu. Bagi mereka, aksi teror itu tidak
tepat, karena berbagai alasan. Ada yang menganggap belum saatnya. Ada pula yang
menganggapnya tidak strategis dalam konteks mencapai tujuan yang lebih besar. Meski
demikian, kelompok ini tetap harus dikategorikan sebagai penganut paham radikal, karena
pada akhirnya mereka akan bergerak. Ini hanya soal waktu. Kelompok-kelompok ini, dengan
berbagai intensitas radikalisme tadi, ada di kampus. Bibitnya sudah ada sejak sebelum
kemerdekaan. Apalagi seiring berkembangnya zaman, teknologi semakin canggih dan
diiming-iming penganut radikalis akan masuk surga. Banyak orang yang berjuang untuk
merdeka, dengan niat untuk mendirikan negara Islam. Tapi, lebih banyak lagi yang
menginginkan negara kesatuan. Itu tercermin dalam proses pembahasan soal dasar negara di
PPKI. Akhirnya diputuskan untuk membentuk NKRI. Semangat itu tidak pernah padam. Itu
tercermin dalam sidang-sidang Konstituante yang berjalan alot. Soekarno kemudian
menghentikannya dengan Dekrit 5 Juli. Di sisi lain semangat yang sama menimbulkan
sejumlah pemberontakan bersenjata. Di zaman Orde Baru, Soeharto menekan semua
kekuatan politik yang bisa mengancam stabilitas politik dan keamanan. Dia menyebutnya
sebagai dua ekstrem, yaitu ekstrem kiri (komunis) dan ekstrem kanan (Islam). Keduanya
ditekan dengan keras. Orang-orang dari golongan itu ditangkap dan dikurung tanpa proses
pengadilan. Tindakan Soeharto itu dilakukan dalam semangat menjaga Pancasila sebagai
dasar negara. Tapi, tidak bisa dipungkiri bahwa Soeharto melakukan banyak tindakan untuk
mengamankan kepentingan kekuasaan dia sendiri, atas nama Pancasila. Maka waktu itu
paham anti-Pancasila dianggap terpuji oleh banyak orang. Anti-Pancasila berimpit dengan
anti Soeharto. Dalam suasana itu paham-paham radikal tadi bersemi, khususnya di kampus-
kampus. Aktivitas politik oleh mahasiswa yang dilarang melalui kebijakan NKK/BKK,
bergeser menjadi pengajian-pengajian dalam jaringan besar, yang dipecah-pecah dalam
kelompok-kelompok kecil. Di masa inilah pemikiran-pemikiran Ikhwanul Muslimin dan
Hizbut Tahrir tumbuh subur. Yang kita saksikan sekarang adalah kelanjutan dari proses itu.
Definisi yang saya buat soal paham radikal itu adalah definisi di level pemikiran. Artinya,
orang-orang itu punya keinginan untuk mengubah bentuk negara ini, dan mengganti dasar
negara. Mereka tidak otomatis adalah pelaku atau calon pelaku tindak kekerasan. Tapi,
mereka sangat potensial untuk setidaknya membenarkan aksi-aksi kekerasan. Nah,
pernyataan BNPT tadi ada di tingkat mana, dan untuk konteks apa? Kalau sekadar
menyatakan bahwa kampus sudah terpapar, itu fakta basi. Sudah dari dulu begitu. Kalau yang
dimaksud adalah radikalisme dalam bentuk yang lebih tinggi intensitasnya, yaitu siap
melakukan tindak kekerasan sekarang, maka arah pernyataan itu tidak ditujukan hanya
kepada Kemenristek Dikti, tapi kepada kepolisian. Meski fakta basi, pemerintah dalam hal ini
Kemenristek Dikti memang harus bertindak. Banyak dosen yang berpaham radikal, dan
mengajarkannya kepada mahasiswa. Apa tindakan yang akan diambil? Belum jelas. Secara
politis ini soal yang jauh lebih pelik. Tindakan anti-radikalisme yang dilakukan pemerintah
dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk membangun dukungan. Mereka mencitrakan tindakan
itu sebagai tindakan anti-Islam. Mereka justru menentang tindakan pemerintah, dan
menyatakan bahwa pemerintah ini harus diganti karena tindakan-tindakan itu

Anda mungkin juga menyukai