Anda di halaman 1dari 34

BAB II

PEMBAHASAN

2.1.Trauma Muskuloskeletal
Trauma muskuloskeletal adalah suatu keadaan ketika seseorang
mengalami cedera pada tulang, sendi dan otot karena salah satu sebab.
Kecelakaan lalu lintas, olahraga dan kecelakaan industri merupakan
penyebab utama dari trauma muskuloskeletal.
Seorang perawat dituntut untuk mengetahui bagaimana perawatan
klien dengan trauma muskuluskoletal yang mungkin dijumpai di jalanan
maupun selama melakukan asuhan keperawatan di rumah sakit.
Pengangan untuk klien dengan trauma muskuloskeletal memerlukan
peralatan serta ketrampilan khusus yang tidak semuanya dapat dilakukan
oleh perawat. Trauma muskuloskeletal biasanya menyebabkan difungsi
struktur disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau
disanggahnya.

2.2.MekanismeTrauma
Menentukan mekanisme terjadinya trauma merupakan hal yang
penting karena dapat membantu kita dalam menduga kemungkinan trauma
yang mungkin saja tidak segera timbul setelah kejadian. Trauma
musculoskeletal bisa saja dikarenakan oleh berbagai mekanisme. Ada
beberapa macam mekanisme trauma diantaranya:
a. Direct injury
Dimana terjadi fraktur pada saat tulang berbenturan langsung
dengan benda keras seperti dashboard atau bumper mobil.
b. Indirect injury
Terjadi fraktur atau dislokasi karena tulang mengalami benturan
yang tidak langsung seperti frkatur pelpis yang disebabkan oleh
lutut membentur dashboard mobil pada saat terjadi tabrakan.
c. Twisting injury
Menyebabkan fraktur, sprain, dan dislokasi, biasa terjadi pada
pemain sepak bola dan pemain sky, yaitu bagian distal kaki
tertinggal ketika seseorang menahan kaki ke tanah sementara
kekuatan bagian proksimal kaki meningkat sehingga kekuatan yang
dihasilkan menyebabkan fraktur.
d. Powerfull muscle contraction
Seperti terjadinya kejang pada tetanus yang mungkin bisa merobek
otot dari tulang atau bisa juga membuat fraktur.
e. Fatique fracture
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya
terjadi pada telapak kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan
dengan jarak yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang
seperti kanker yang sudah metastase.

2.3.Penilaian Awal Trauma Muskuloskeletal


Trauma muskuloskeletal tidak mengubah urutan prioritas resusitasi
(ABCDE), Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan
pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang
mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment
(penilaian awal), penilaian awal meliputi:
1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Secondary survey
Urutan kejadian diatas diterapkan seolah-seolah berurutan namun dalam
praktek sehari-hari dapat dilakukan secara bersamaan dan terus menerus.
1. Persiapan
a. Fase Pra-Rumah Sakit
1) Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dan
petugas lapangan
2) Sebaiknya terdapat pemberitahuan terhadap rumah sakit
sebelum penderita mulai diangkut dari tempat kejadian.
3) Pengumpulan keterangan yang akan dibutuhkan di rumah
sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian, mekanisme
kejadian dan riwayat penderita.
b. Fase Rumah Sakit
1) Perencanaan sebelum penderita tiba
2) Perlengkapan airway sudah dipersiapkan, dicoba dan
diletakkan di tempat yang mudah dijangkau
3) Cairan kristaloid yang sudah dihangatkan, disiapkan dan
diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau
4) Pemberitahuan terhadap tenaga laboratorium dan radiologi
apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
5) Pemakaian alat-alat proteksi diri
2. Triage
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan
terapi dan sumber daya yang tersedia. Dua jenis triase :
a. Multiple Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma tidak
melampaui kemampuan rumah sakit. Penderita dengan
masalah yang mengancam jiwa dan multi trauma akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
b. Mass Casualties
Jumlah penderita dan beratnya trauma melampaui
kemampuan rumah sakit. Penderita dengan kemungkinan
survival yang terbesar dan membutuhkan waktu,
perlengkapan dan tenaga yang paling sedikit akan
mendapatkan prioritas penanganan lebih dahulu.
3. Primary Survey
a. Airway dengan kontrol servikal
1) Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi,
palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya
obstruksi
2) Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol
servikal in-line immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu
suctioning dengan alat yang rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi.
3) Fiksasi leher
4) Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal
pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada
gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula.
5) Evaluasi
b. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1) Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk
mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea,
ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian
otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau
hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2) Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi (
nonrebreather mask 11-12 liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3) Evaluasi
c. Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
1) Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan,
pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi
dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya
resusitasi masif segera.
d) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
e) Periksa tekanan darah
2) Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan
eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk
intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus
mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin,
kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur),
golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas
Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan
dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol
perdarahan pada pasien-pasien fraktur pelvis yang
mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3) Evaluasi
d. Disability
1) Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS
2) Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan
awasi tanda-tanda lateralisasi
3) Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan
circulation.
e. Exposure/Environment
1) Buka pakaian penderita
2) Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada
ruangan yang cukup hangat.
4. Resusitasi
a. Re-evaluasi ABCDE
b. Dosis awal pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada
dewasa dan 20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat
c. Evaluasi resusitasi cairan
1) Nilailah respon penderita terhadap pemberian cairan awal
2) Nilai perfusi organ ( nadi, warna kulit, kesadaran dan
produksi urin ) serta awasi tanda-tanda syok
3) Pemberian cairan selanjutnya berdasarkan respon terhadap
pemberian cairan awal.
4) Respon cepat
a) Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan
maintenance
b) Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain
atau pemberian darah
c) Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
d) Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi
operatif mungkin masih diperlukan
5) Respon Sementara
a) Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah
dengan pemberian darah
b) Respon terhadap pemberian darah menentukan
tindakan operatif
c) Konsultasikan pada ahli bedah.
6) Tanpa respon
a) Konsultasikan pada ahli bedah
b) Perlu tindakan operatif sangat segera
c) Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard
d) Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya

2.4.Masalah – Masalah Kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal


2.2.1 Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah gangguan komplet atau tak—komplet pada
kontinuitas stuktur tulang dan didefinisikan sesuai dengan jenis
dan keluasannya. Fraktur terjadi ketika tulang menjadi subjek
tekanan yang lebih besar dari yang dapat diserapnya. Fraktur
dapat disebabkan oleh hantaman langsung, kekuatan yang
meremukan, gerakan memuntir yang mandadak, atau bahkan
karena kontraksi otot yang ekstrem. Ketika tulang patah,
struktur di sekitarnya juga terganggu, menyebabkan edema
jaringan lunak, hemoragi ke otot dan sendi, dislokasi sendi,
ruptur tendon, gangguan saraf, dan kerusakan pembuluh darah.
Organ tubuh dapat terluka akibat gaya yang disebabkan oleh
fraktur atau oleh fragmen fraktur. (Brunner & Suddarth 2017)
b. Tipe Fraktur
 Fraktur komplet : patah di seluruh penampang lintang
tulang, yang sering kali tergeser.
 Fraktur Inkomplet, juga disebut sebagai fraktur
greenstick : Patah terjadi hanya pada sebagian dari
penampang lintang tulang.
 Fraktur remuk (comminuted): Patah dengan beberapa
fragmen tulang.
 Fraktur tertutup, atau fraktur sederhana: tidak
menyebabkan robekan di kulit.
 Fraktur terbuka, atau fraktur campuran atau kompleks :
patah dengan luka pada kulit atau membran mukosa
meluas ke tulang yang fraktur. Fraktur terbuka diberi
peringkat sebagai berikut: derajat I: luka bersih
sepanjang kurang dari 1 cm; derajat II: luka lebih luas
tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas; derajat III:
luka sangat terkontaminasi dan menyebabkan kerusakan
jaringan lunak yang luas (tipe paling berat).
 Fraktur dapat juga dideskripsikan menurut penempatan
fragmen secara anatomik, terutama jika fraktur tergeser
atau tidak tergeser.
 Fraktur intra-artikular meluas ke permukaan sendi
tulang.
c. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala klinis fraktur mencakup nyeri akut, kehilangan
fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, dan
edema lokal serta ekimosis. Tidak semua manifestasi ini
terdapat dalam setiap fraktur.
d. Manifestasi Komplikasi
 Jika sindrom embolisme lemak terjadi, yang menyumbat
pembuluh darah kecil yang menyuplai otak, paru, ginjal,
dan organ lain (awitan mendadak, biasanya terjadi dalam
12 sampai 48 jam tetapi dapat terjadi sampai dengan 10
hari setelah cedera), manifestasi berikut dapat terlihat:
hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia; dispnea,
krakel, mengi, nyeri dada prekordium, batuk, sputum
kental berwama putih dan banyak; hipoksia dan nilai gas
darah dengan PaO2 kurang dari 60mm Hg, dengan diawali
oleh alkalosis respiratorik dan selanjutnya menjadi
asidosis respiratorik; perubahan status mental beragam
dari sakit kepala dan agitasi ringan sampai delirium dan
koma. Radiograf dada menunjukkan infiltrat “badai salju
(smowstrom)” yang khas. Pada akhirnya, edema pulmonal
akut, sindrom gawat napas akut (ARDS), dan gagal
jantung dapat terjadi.
 Pada embolisasi sistemik, pasien tampak pucat. Petekie
muncul di membran bukal dan kantung konjungtiva, di
palatum durum, dan di atas dada serta lipatan aksila
anterior. Demam (suhu lebih dari 39,5°C) terjadi. Lemak
bebas dapat ditemukan di dalam urine ketika emboli
mencapai ginjal. Nekrosis tubular akut dan gagal ginjal
dapat terjadi.
 Sindrom kompartemen (terjadi ketika tekanan perfusi
turun di bawah tekanan jaringan di dalam kompartemen
anatomi yang tertutup). Sindrom kompartemen akut dapat
menyebabkan nyeri yang dalam, berdenyut, tidak reda
yang tidak dapat dikontrol oleh opioid (dapat disebabkan
oleh gips yang terlalu ketat atau balutan konstriktif atau
peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau
hemoragi). Terjadi sianosis (warna biru) pada bantalan
kuku; dan jari tangan atau kaki pucat atau kusam dan
dingin; waktu pengisian kapiler bantalan kuku memanjang
(lebih dari 3 detik); denyut nadi mungkin berkurang
(Doppler) atau tidak ada; dan kelemahan, paralisis, dan
parestesia motorik dapat terjadi.
 Manifestasi koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
mencakup perdarahan yang tidak terduga setelah
pembedahan dan perdarahan dari membran mukosa, lokasi
punksi vena, dan saluran gastrointestinal dan perkemihan.
 Gejala infeksi dapat mencakup nyeri tekan, nyeri,
kemerahan, pembengkakan, kehangatan lokal,
peningkatan suhu tubuh, dan drainase purulen.
 Tidak menyatu (nonunion) dimanifestasikan dengan
ketidaknyamanan persisten dan abnormalitas pergerakan
di lokasi fraktur. Beberapa faktor risiko mcncakup infeksi
di tempat fraktur, interposisi jaringan di antara ujung
tulang, imobilisasi yang tidak adekuat atau manipulasi
yang mengganggu pembentukan kalus, ruang berlebih di
antara fragmen tulang, keterbatasan kontak tulang, dan
gangguan suplai darah yang menyebabkan nekrosis
avaskular.
 Manifestasi komplikasi lain mungkin akan terlihat (DVT,
tromboembolisme, embolus pulmonal). Lihat gangguan
spesifik untuk informasi tambahan.
e. Penalaksanaan Fraktur Tertutup
 Informaasikan pasien mengenai metode pengontrolan
edema dan nyeri yang tepat (mis., meninggikan eksremitas
setinggi jantung, menggunakan analgesik sesuai resep)
 Ajarkan latihan untuk mempertahankan kesehatan otot yang
tidak terganggu dan mempeerkuat otot yang diperlukan
untuk berpindah tempat dan untuk menggunakan alat bantu
(mis., tongkat, alat bantu berjalan [walker]).
 Ajarkan pasien tentang cara menggunakan alat bantu
dengan aman.
 Bantu pasien memodifikasi lingkungan rumah mereka
sesuai kebutuhan dan mencari bantuan personal jika
diperlukan.
 Berikan pendidikan kesehatan kepada pasien mengenai
perawatan diri, informasi medikasi, pemantauan
kemungkinan komplikasi, dan perlunya supervisi layanan
kesehatan yang berkelanjutan.
f. Penalaksanaan Fraktur Terbuka
 Sasaran penatalaksanaan adalah untuk mencegah infeksi
luka, jaringan lunak, dan tulang serta meningkatkan
pemulihan tulang dan jaringan lunak. Pada kasus fraktur
terbuka, terdapat resiko ostemielitis, tetanus, dan gas
gangren.
 Berikan antibiotik IV dengan segera saat pasien tiba di
rumah sakit bersama dengan tetanus toksoid jika
diperlukan.
 Lakukan irigasi luka debridemen.
 Tinggikan eksremitas untuk meminimalkan edema.
 Kaji status neurovaskular dengan sering.
 Ukur suhu tubuhpasien dalam interval teratur dan pantau
tanda-tanda infeksi.
g. Penalaksanaan Kedaruratan
 Segera setelah cedera, imobilisasi bagian tubuh sebelum
pasien dipindahkan.
 Bebat fraktur, termasuk sendi yang berada di dekat fraktur,
untuk mencegah pergerakan fragmen fraktur.
 Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat
dilakukan dengan mengikat (membebat) kedua tungkai
bersama-sama: ekstremitas yang tidak terganggu berperan
sebagai bebat untuk ekstremitas yang cedera.
 Pada cedera ekstramitas atas, lengan dapat dibidai ke dada,
atau lengan bawah yang cedera dapat digendong dengan
mitela (kain gendong).
 Kaji status neurovaskular di sisi distal area cedera sebelum
dan setelah pembebatan untuk menentukan keadekuatan
perpusi jaringan perifer dan fungsi saraf.
 Tutupi luka fraktur terbuka dengan balutan steril untuk
mencegah terjadinya kontaminasi jaringan lebih dalam.
h. Penalaksanaan Komplikasi
 Terapi syok terdiri dari menstabilkan fraktur untuk
mencegah hemoragi lebih lanjut, mengembalikan volume
dan sirkulasi darah, meredakan nyeri pasien, memberikan
imoobilisasi yang tepat, dan melindungi pasien dari cedera
lebih lanjut dan dari komplikasi lain.
 Pencegahan dan penatalaksanaan embolisme lemak
mencakup mengimobilisasi fratur dengan cepat,
memopong tulang yang mengalami fraktur ketika
berpindah dan memperbaiki posisi secara tepat, dan
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Memulai bantuan pernapasan secara cepat dan tepat di
ikuti dengan pencegahan asidosis respiratorik dan asidosis
metabolik serta memperbaiki ganggung hemeostatik
merupakan langkah yang penting. Kortikosteroid dan obat
vasopresor dapat diberikan.
 Sindrom kompartemen ditangani dengan dengan
mengendalikan pembengkakan dengan meninggikan
ekstremitas setinggi jantung atau dengan melepaskan alat
restriktif (balutan atau gips). Fasiotomi (dekompresi bedah
dengan eksisi fasia) mungkin diperlukan untuk meredakan
fasi otot yang mengalami konstriksi. Luka tetap terbuka
dan tutupi dengan balutan salin steril yang basah selama 3
sampai 5 hari. Tungkai dibebat dan ditinggikan. Latihan
rentang pergerakan pasif yang telah diprogramkan dapat
dilakukan setiap 4 sampai 6 jam.
 Fraktur yang tidak menyatu (nonunion) (kegagalan ujung
tulang fraktur untuk menyatu) tetapi dengan fiksasi
internal, tandur tulang (osteogenesis,osteokonduksi,
osteoinduksi), stimulasi tulang elektrik atau kombinasi
dari semua ini.

2.2.2 Dislokasi
a. Definisi
Dislokasi sendi atau luksasio adalah tergesernya permukaan
tulang yang membentuk persendian terhadap tulang lain.
(Sjamsuhidajat,2011)
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi
tulang yang membentuk sendi tak lagi dalam hubungan
anatomis. (Brunner & Suddart, 2002)
Dislokasi sendi adalah fragmen fraktur saling terpisah dan
menimbulkan deformitas. (Kowalak, 2011).
Dislokasi adalah deviasi hubungan normal antara rawan yang
satu dengan rawan yang lainnya sudah tidak menyinggung satu
dengan lainnya. (Price & Wilson).
Jadi, Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang
dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen
tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh
komponen tulang dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk
sendi). Sebuah sendi yang ligamen-ligamennya pernah
mengalami dislokasi, biasanya menjadi kendor. Akibatnya
sendi itu akan gampang mengalami dislokasi kembali. Apabila
dislokasi itu disertai pula patah tulang, pembetulannya menjadi
sulit dan harus dikerjakan di rumah sakit. Semakin awal usaha
pengembalian sendi itu dikerjakan, semakin baik
penyembuhannya.
b. Klasifikasi Dislokasi
Klasifikasi dislokasi menurut penyebabnya (Brunner &
Suddart) adalah:
1. Dislokasi congenital, terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan, paling sering terlihat pada pinggul.
2. Dislokasi spontan atau patologik, akibat penyakit sendi
dan atau jaringan sekitar sendi. misalnya tumor, infeksi,
atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan
tulang yang berkurang
3. Dislokasi traumatic, kedaruratan ortopedi (pasokan
darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat,
kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena
mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat
sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan
terjadi pada orang dewasa.
Dislokasi berdasarkan tipe kliniknya (Brunner & Suddart)dapat
dibagi menjadi :
1. Dislokasi Akut, Umumnya terjadi pada shoulder, elbow,
dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar
sendi
2. Dislokasi Berulang. Jika suatu trauma Dislokasi pada
sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut
dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi
berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan
patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan
dengan patah tulang / fraktur yang disebabkan oleh
berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena
kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
Disloksi berdasarkan tempat terjadinya :
1. Dislokasi Sendi Rahang .Dislokasi sendi rahang dapat
terjadi karena :Menguap atau terlalu lebar dan terkena
pukulan keras ketika rahang sedang terbuka, akibatnya
penderita tidak dapat menutup mulutnya kembali.
2. Dislokasi Sendi Bahu. Pergeseran kaput humerus dari
sendi glenohumeral, berada di anterior dan medial
glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi
posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior).
3. Dislokasi Sendi Siku. Merupakan mekanisme cederanya
biasanya jatuh pada tangan yang dapat menimbulkan
dislokasi sendi siku ke arah posterior dengan siku jelas
berubah bentuk dengan kerusakan sambungan tonjolan-
tonjolan tulang siku.
4. Dislokasi Sendi Jari. Sendi jari mudah mengalami
dislokasi dan bila tidak ditolong dengan segera sendi
tersebut akan menjadi kaku kelak. Sendi jari dapat
mengalami dislokasi ke arah telapak tangan atau
punggung tangan.
5. Dislokasi Sendi Metacarpophalangeal dan
Interphalangeal. Merupakan dislokasi yang disebabkan
oleh hiperekstensi-ekstensi persendian.
6. Dislokasi Panggul. Bergesernya caput femur dari sendi
panggul, berada di posterior dan atas acetabulum
(dislokasi posterior), di anterior acetabulum (dislokasi
anterior), dan caput femur menembus acetabulum
(dislokasi sentra).
7. Dislokasi Patella. Paling sering terjadi ke arah lateral,
reduksi dicapai dengan memberikan tekanan ke arah
medial pada sisi lateral patella sambil mengekstensikan
lutut perlahan-lahan.Apabila dislokasi dilakukan
berulang-ulang diperlukan stabilisasi secara bedah.
c. Manifestasi Klinis
1. perubahan kontur sendi
2. perubahan panjang ekstremitas misalnya dislokasi
anterior sendi panggul.
3. perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
4. Deformitas pada persendiaan : Kalau sebuah tulang
diraba secara sering akan terdapat suatu celah.Hilangnya
tonjolan tulang yang normal, misalnya trauma ekstensi
dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu.
5. Gangguan gerakan (kehilangan mobilitas normal) : Otot-
otot tidak dapat bekerja dengan baik pada tulang
tersebut.
6. Pembengkakan : Pembengkakan ini dapat parah pada
kasus trauma dan dapat menutupi deformitas.
7. Rasa nyeri sering terdapat pada dislokasi : Sendi bahu,
sendi siku, metakarpal phalangeal dan sendi pangkal
paha servikal.
8. Kekakuan
d. Komplikasi
a. Komplikasi Dini
 Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien
tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin
terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot
tesebut.
 Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.\
 Fraktur disloksi
b. Komplikasi lanjut.
 Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama
pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya
kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis
membatasi abduksi.
 Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum
glenoid robek atau
 Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
 Kelemahan otot
e. Penatalaksanaan Dislokasi
 Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi
adalah imobilisasi pasien pada posisinya saat
pertama kali ditemukan.
 Jangan coba meluruskan atau mengurangi dislokasi
kecuali jika ada seorang ahli.
 Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan bawah
sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan
waktu transport.
Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada
ektremitas bawah adalah dislokasi pada lutut, sedangkan
dislokasi pada pergelangan, siku, bahu, panggul dan
pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa
adanya bahaya kerusakan permanen.
Bagaimanapun juga ketika menolong pasien dengan dislokasi
lutut dan tidak ada pulsasi pada bagian distal. Maka harus
dikoreksi dalam waktu 1 atau 2 jam setelah terjadi trauma. Dan
seharusnya waktu sejak terjadinya kecelakaan hingga sampai
ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.

2.2.3 Sprain
a. Definisi
Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya
disebabkan memutar secara mendadak dimana sendi bergerak
melebihi batas normal. Organ yang sering terkena biasanya
lutut, dan pergelangan kaki, cirri utamanya adalah nyeri,
bengkak dan kebiruan pada daerah injuri.

Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya


tidak disertai deformitas. Bagaimanapun juga lebih bail
lakukan penanganan sprain seperti penanganan fraktur lalu
imobilisasi. Biarkan sendi yang mengalami sprain pada posisi
elevasi dan berikan kompres dingin jika mungkin.
b. Etiologi
 Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak
sendi yang normal, seperti melingkar atau memutar
pergelangan kaki.
 Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa
bergeser dari posisi normalnya karena anda terjatuh,
terpukul atau terkilir.
c. Manifestasi klinis
 Nyeri
 Inflamasi/peradangan
 Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
 Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
 Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih
nyata.
 Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan
tendon.
 Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan
konstan.
d. Penatalaksanaan
a. Pembedahan.
Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi
sepenuhnya; pengurangan-pengurangan perbaikan
terbuka terhadap jaringan yang terkoyak.
b. Kemotherapi
Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam)
untuk meredakan nyeri dan peradangan. Kadang
diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4
jam) untuk nyeri hebat.
c. Elektromekanis.
 Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C
 Pembalutan / wrapping eksternal. Dengan
pembalutan, cast atau pengendongan (sung)
 Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian
ekstremitas.
 Latihan ROM. Tidak dilakukan latihan pada saat
terjadi nyeri hebat dan perdarahan. Latihan pelan-
pelan dimulai setelah 7-10 hari tergantung jaringan
yang sakit.
 Penyangga beban. Menghentikan penyangga beban
dengan penggunaan kruk selama 7 hari atau lebih
tergantung jaringan yang sakit.

2.2.4 Strain
a. Definisi
Strain adalah “tarikan otot” akibat penggunaan berlabihan,
peregangan berlebihan, atau stres yang berlebihan. Strain adalah
robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan kedalam
jaringan (Brunner & Suddart).
Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot
di sekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain
tidak ada deformitas atau bengkak. Strain lebih baik ditangani
dengan menghilangkan beban pada daerah yang mengalami
injuri.
Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi
ekstremitas dan evaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.
b. Etiologi
 Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara
mendadak, seperti pada pelari atau pelompat.
 Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara
mendadak.
 Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena
penggunaaan yang berlebihan/tekanan berulang-
ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon).
c. Manifestasi Klinis
Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa:
 Nyeri
 Spasme otot
 Kehilangan kekuatan
 Keterbatasan lingkup gerak sendi.
 Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh
karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang.
d. Klasifikasi Strain
 Derajat I/Mild Strain
Derajat i/mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat
penggunaan yang berlebihan pada penguluran unit
muskulotendinous yang ringan berupa stretching/kerobekan
ringan pada otot/ligament (Chairudin Rasjad).
a. Gejala yang timbul :
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/bila ada beban
pada otot
b. Tanda-tandanya :
 Adanya spasme otot ringan
 Bengkak
 Gangguan kekuatan otot
 Fungsi yang sangat ringan
 Komplikasi
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
c. Perubahan patologi
Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan
otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar.
d. Terapi
Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian
istirahat,kompresi dan elevasi,terapi latihan yang
dapat membantu mengembalikan kekuatan otot.
 Derajat II/Medorate Strain
Derajat ii/medorate strain yaitu adanya cidera pada unit
muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang
berlebihan.
a. Gejala yang timbul
 Nyeri local
 Meningkat apabila bergerak/apabila ada
tekanan otot
 Spasme otot sedang
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b. Komplikasi sama seperti pada derajat I :
 Strain dapat berulang
 Tendonitis
 Perioritis
 Terapi :
 Immobilisasi pada daerah cidera
 Istirahat
 Kompresi
 Elevasi
d. Perubahan patologi :
Adanya robekan serabut otot
 Derajat III/Strain Severe (Berat)
Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya
tekanan/penguluran mendadakyang cukup
berat. Berupa robekan penuh pada otot dan
ligament yang menghasilkan ketidakstabilan
sendi.
a. Gejala :
 Nyeri yang berat
 Adanya stabilitas
 Spasme
 Kuat
 Bengkak
 Tenderness
 Gangguan fungsi otot
b. Komplikasi :
Distabilitas yang sama
c. Perubahan patologi :
Adanya robekan/tendon dengan
terpisahnya otot dengan tendon.
d. Terapi:
Imobilisasi dengan kemungkinan
pembedahan untuk mengembalikan
fungsinya.
e. Komplikasi
 Strain yang berulang
 Tendonitis
f. Penatalaksanaan
 Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat
penyembuhan
 Meninggikan bagian yang sakit,tujuannya peninggian akan
mengontrol pembengkakan.
 Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau
kering diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang
akan mengurangi perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
 Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam
sedangkan mati rasa biasanya menghilang dalam 1 jam.
Perdarahan biasanya berlangsung selama 30 menit atau
lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin untuk
menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram
akan memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah
diberikan perawatan konservatif.

2.2.5 Kontusio
a. Definisi
Kontusio adalah cedera jaringan lunak, akibat kekerasan
tumpul,mis pukulan, tendangan atau jatuh (Brunner &
Suddart).
Kontusio adalah cedera yang disebabkan oleh benturan atau
pukulan pada kulit. Jaringan di bawah permukaan kulit rusak
dan pembuluh darah kecil pecah, sehingga darah dan cairan
seluler merembes ke jaringan sekitarnya (Morgan)
b. Etiologi
Benturan benda keras :
 Pukulan.
 Tendangan/jatuh

c. Manifestasi Klinis
 Perdarahan pada daerah injury (ecchymosis) karena
rupture pembuluh darah kecil, juga berhubungan
dengan fraktur.
 Nyeri, bengkak dan perubahan warna.
 Hiperkalemia mungkin terjadi pada kerusakan jaringan
yang luas dan kehilangan darah yang banyak (Brunner &
Suddart).
d. Penatalaksanaan
 Mengurangi/menghilangkan rasa tidak nyaman.
 Tinggikan daerah injury.
 Berikan kompres dingin selama 24 jam pertama (20-30
menit setiap pemberian) untuk vasokonstriksi,
menurunkan edema, dan menurunkan rasa tidak nyaman.
 Berikan kompres hangat disekitar area injury setelah 24
jam prtama (20-30 menit) 4 kali sehari untuk melancarkan
sirkulasi dan absorpsi.
 Lakukan pembalutan untuk mengontrol perdarahan dan
bengkak.
 Kaji status neurovaskuler pada daerah extremitas setiap 4
jam bila ada indikasi (Brunner & Suddart).
 Menurut Agung Nugroho penatalaksanaan pada cedera
kontusio adalah sebagai berikut:
 Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk
menghentikan pendarahan kapiler.
 Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan
mempercepat pemulihan jaringan-jaringan lunak yang
rusak.
 Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan
maupun pertandingan berikutnya.

2.5 Penanganan kegawatdaruratan Trauma Muskuloskeletal (Fraktur)


2.5.1. Definisi Pembidaian
Bidai atau spalk adalah alat dari kayu, anyaman kawat atau bahan lain
yangkuat tetapi ringan yang digunakan untuk menahan atau menjaga a
gar bagiantulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi), memberik
an istirahat danmengurangi rasa sakit.
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/
traumasistem muskuloskeletal untuk mengistirahatkan ( immobilisasi)
bagian tubuh kitayang mengalami cedera dengan menggunakan suatu
alat.
Pembidaian adalah tindakan memfixasi/mengimobilisasi bagian tubuh
yang mengalami cedera, dengan menggunakan benda yang bersifat
kaku maupun fleksibel sebagai fixator/imobilisator.
Hal-hal yang harus diperhatikan saat Pembidaian
1. Bebaskan area pembidaian dari benda-benda (baju, cincin, jam,
gelang dll)
2. Periksalah denyut nadi distal dan fungsi saraf sebelum dan ses
udah pembidaian dan perhatikan warna kulit ditalnya.
3. Pembidaian minimal meliputi 2 sendi (proksimal dan distal
daerah fraktur). Sendi yang masuk dalam pembidaian adalah
sendi di bawah dan di atas patah tulang. Sebagai contoh, jika
tungkai bawah mengalami fraktur, maka bidai harus bisa
mengimobilisasi pergelangan kaki maupun lutut.
4. Luruskan posisi korban dan posisi anggota gerak
yang mengalami
fraktur maupun dislokasi secara perlahan dan berhati-hati dan
jangan sampai memaksakan gerakan. Jika terjadi kesulitan
dalam meluruskan, maka pembidaian dilakukan apa adanya.
Pada trauma sekitar sendi, pembidaian harus mencakup
tulang di bagian proksimal dan distal.
5. Fraktur pada tulang panjang pada tungkai dan lengan,
dapat terbantu dengan traksi atau tarikan ringan ketika
pembidaian. Jika saat dilakukan tarikan terdapat tahanan yang
kuat, krepitasi, atau pasien merasakan peningkatan rasa nyeri,
jangan mencoba untuk melakukan traksi.
6. Jika anda telah berh sil melakukan
traksi, jangan melepaskan tarikan sebelum ekstremitas yang
mengalami fraktur telah terfiksasi dengan baik, karena kedua
ujung tulang yang terpisah dapat menyebabkan tambahan
kerusakan jaringan dan beresiko untuk mencederai saraf atau
pembuluh darah.
7. Beri bantalan empuk dan penopang pada anggota gerak yang
dibidai terutama pada daerah tubuh
yang keras/peka(lutut,siku,ketiak,dll), yang sekaligus
untuk mengisi sela antara ekstremitas dengan bidai.
8. Ikatlah bidai di atas dan bawah luka/fraktur. Jangan mengikat
tepat di bagianyang luka/fraktur. Sebaiknya dilakukan
sebanyak 4 ikatan pada bidai, yakni pada beberapa titik yang
berada pada posisi :
9. Superior dari sendi pro!imal dari lokasi fraktur,diantara lokasi
fraktur dan lokasi ikatan pertama,
10. inferior dari sendi distal dari lokasi fraktur ,diantara lokasi
fraktur dan lokasi ikatan ketiga (point c)
11. Pastikan bahwa bidai telah rapat, namun jangan terlalu ketat se
hingga
mengganggu sirkulasi pada ekstremitas yang dibidai. Pastikan
bahwa
pemasangan bidai telah mampu mencegah pergerakan atau per
egangan pada bagian yang cedera.
12. Pastikan bahwa ujung bidai tidak menekan ketiak atau pantat.
Jika mungkin naikkan anggota gerak tersebut setelah dibidai.
13. Harus selalu diingat bahwa improvisasi seringkali diperlukan
dalam tindakan pembidaian. Sebagai contoh, jika tidak
ditemukan bahan yang sesuai untuk membidai, cedera pada
tungkai bawah seringkali dapat dilindungi denganmerekatkan
tungkai yang cedera pada tungkai yang tidak terluka. Demikian
pula bisa diterapkan pada fraktur jari, dengan merekatkan pada
jari disebelahnya sebagai perlindungan sementara.
2.5.2. Prinsip pembidaian
1. Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui
dua sendi, sendi di sebelah proksimal dan distal fraktur.
2. Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera
dilepas, periksa adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah
dan dislokasi.
3. Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan
neurologis (status vaskuler dan neurologis) pada bagian distal
yang mengalami cedera sebelum dan sesudah pembidaian.
4. Tutup luka terbuka dengan kassa steril.
5. Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal
daerah trauma (dicurigai patah atau dislokasi).
6. Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan
pembidaian kecuali ada di tempat bahaya.
7. Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.
a. Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar
ataupun terlalu ketat sehingga menjamin pemakaian
bidai yang baik
b. Perhatikan respons fisik dan psikis pasien.
2.5.3. Contoh penggunaan bidai
1). Fraktur humerus (patah tulang lengan atas).
Pertolongan :
- Letakkan lengan bawah di dada dengan telapak tangan
menghadap ke dalam.
- Pasang bidai dari siku sampai ke atas bahu.
- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
- Lengan bawah digendong.
- Jika siku juga patah dan tangan tak dapat dilipat, pasang
spalk ke lengan bawah dan biarkan tangan tergantung
tidak usah digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 10. Pemasangan bidai pada fraktur humerus, atas :
hanya fraktur humerus, siku bisa dilipat, bawah : siku tidak
bisa dilipat, juga fraktur antebrachii
2). Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan bawah).
Pertolongan:
- Letakkan tangan pada dada.
- Pasang bidai dari siku sampai punggung tangan.
- Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang yang patah.
- Lengan digendong.
- Bawa korban ke rumah sakit.

Gambar 11. Pemasangan bidai pada fraktur antebrachii


Gambar 12. Pemasangan sling untuk menggendong lengan yang cedera

1) Fraktur clavicula (patah tulang selangka).


a) Tanda-tanda patah tulang selangka :
- Korban tidak dapat mengangkat tangan sampai ke atas bahu.
- Nyeri tekan daerah yang patah.

b) Pertolongan :
- Dipasang ransel verban.
- Bagian yang patah diberi alas lebih dahulu.
- Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui
punggung ke ketiak kanan.
- Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak kanan, dari pundak
kanan disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak kanan,akhirnya
diberi peniti/ diikat.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 13. Kanan atau kiri : Ransel perban
2) Fraktur Femur (patah tulang paha).
Pertolongan :
- Pasang 2 bidai dari :
a.Ketiak sampai sedikit melewati mata kaki.
b.Lipat paha sampai sedikit melewati mata kaki.
- Beri bantalan kapas atau kain antara bidai dengan tungkai yang
patah.
- Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk
mengurangi pergerakan.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 14. Pemasangan bidai pada fraktur femur

3) Fraktur Cruris(patah tulang tungkai bawah).


Pertolongan :
- Pasang 2 bidai sebelah dalam dan sebelah luar tungkai kaki yang
patah.
- Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau kain sebagai alas.
- Bidai dipasang di antara mata kaki sampai beberapa cm di atas
lutut.
- Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar 15. Pemasangan bidai pada fraktur cruris

Anda mungkin juga menyukai