Anda di halaman 1dari 3

BUY-SELL-HOLD: Memahami Konflik Kepentingan Analis Saham

Bagi sebagian investor, salah satu data yang kerap dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk
membeli ataupun menjual sahamnya adalah rekomendasi dari analis saham. Dalam meliput suatu
saham, seorang analis biasanya akan mengeluarkan rekomendasi berbentuk BUY (Beli), HOLD
(Netral), ataupun SELL (Jual). Apakah rekomendasi dari para analis ini bisa dipakai sebagai dasar
pertimbangan melakukan investasi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus memahami ‘cara kerja’ di Wall Street.

Hal yang pertama-tama harus kita tahu bahwa analis saham (yg sering kita lihat di tv Bloomberg
ataupun MSNBC itu) bekerja di perusahaan brokerage ataupun juga di Investment Bank.
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh para analis tersebut ditujukan kepada para Investor Individual
spt kita dan bukan kepada Investor Institusional (Bank, Perusahaan Reksadana, Perusahaan Besar,
Pengelola Dana Pensiun, dll). Ini karena umumnya para Investor Institusional besar mempekerjakan
analis saham mereka sendiri (in-house) untuk melakukan analisa dan seleksi saham, sehingga
mereka tidak membutuhkan rekomendasi dari para analis saham dari ‘luar’ organisasi mereka.

Hal lain yang juga harus kita sadari adalah betapa pentingnya Investor Institusional bagi perusahaan
brokerage ataupun Investment Bank tempat para analis itu bekerja. Kebanyakan perusahaan-
perusahaan ini umumnya mempunyai 3 sumber pendapatan utama:
Komisi dan Fee dari menjalankan kegiatan trading pelanggannya
Keuntungan dari trading sekuritas antar berbagai account perusahaan itu
Komisi Underwriting dari aktivitas menjual saham di Penawaran Saham Perdana (IPO/Initial Public
Offering)

Bagi mereka, Investor Institusional merupakan klien utama, karena besarnya income yang bisa
didapat dari berbagai kegiatan di atas. Akibatnya, Investor Institusional ini mempunyai pengaruh
kepada apa yang akan dikatakan oleh para analis tersebut.

Suatu ilustrasi yang kerap dipakai untuk menjelaskan kondisi di atas adalah dengan membandingkan
bursa saham dengan industri otomotif. Perusahaan otomotif memproduksi berbagai jenis
kendaraan. Kendaraan ini lalu dijual melalui para Dealer yang lalu mempromosikan kendaraan itu
kepada masyarakat. Tentunya tidak ada Dealer ‘waras’ yang akan mengatakan bahwa kendaraan
yang dijualnya itu jelek.

Hal yang sama terjadi juga di dalam bursa saham. Para analis saham yang bekerja di perusahaan
brokerage ataupun Investment Bank, akan sangat enggan untuk ‘menjelek-jelekkan’ saham suatu
perusahaan. Bayangkan jika misalkan salah satu klien dari perusahaan brokerage tersebut
memegang saham perusahaan X dalam jumlah yang besar. Apa yang akan terjadi jika analis dari
perusahaan brokerage itu mengeluarkan rekomendasi SELL (jual) yang lalu mengakibatkan harga
saham perusahaan X itu turun? Kemungkinan besar klien tersebut akan marah besar kepada analis
dan perusahaan brokerage tersebut sehingga kemudian; mengutip KLA Project; ‘pindah ke lain hati’
(alias pindah ke brokerage/investment bank lain)
—–oOo—–

Kondisi di atas mengakibatkan suatu ‘bias’ yang cukup menarik di dalam rekomendasi saham. Karena
analis enggan mengeluarkan rekomendasi SELL, maka ketika mereka mempunyai pandangan yang
negatif terhadap suatu saham, umumnya mereka hanya mengeluarkan rekomendasi berupa HOLD
(Netral). Akibatnya, jumlah rekomendasi BUY dan HOLD jauh melebihi rekomendasi SELL.

Sebagai ilustrasi, sebuah contoh yang saya dapatkan di sebuah publikasi universitas Wharton (July
2000) yang mengulas rekomendasi analis untuk saham Amazon (NASDAQ:AMZN). Sekitar bulan
February tahun 2000, harga saham Amazon berada di kisaran $70/lembar. Ketika itu survey yang
dilakukan oleh badan Riset First Call menemukan bahwa rekomendasi yang dikeluarkan berbagai
analis di saat itu adalah : 13 rekomendasi Strong Buy, 11 rekomendasi Buy, hanya 7 yang
memberikan rekomendasi Hold dan tidak ada satupun analis yang merekomendasikan Sell/Jual.

Di bulan Juni tahun 2000 itu, saham Amazon turun hingga mencapai $35. Bagaimana dengan
rekomendasi para analis? Di akhir Juni, saham Amazon masih mendapatkan 13 rekomendasi Strong
Buy, 11 Buy, 7 Hold, dan tetap tidak ada satupun analis yang merekomendasikan Sell/Jual.

—–oOo—–

Mungkin sebagian para pembaca blog ini yang sudah berpikir ‘ala’ Investor akan bertanya ‘Bukankah
4 bulan itu jangka waktu yg sangat pendek dalam investasi? Bukankah mungkin saja para analis
tersebut berpikir jangka panjang dan yakin kepada prospek Amazon di masa depan, sehingga tidak
merubah rekomendasi mereka?‘

Pertanyaan ini tentunya sangat relevan. Mari kita sekarang lanjutkan sendiri penelitian universitas
Wharton di atas.

Bagaimana performa Amazon selama 8 tahun ini? Harga penutupan Amazon kemarin adalah sekitar
$76. Ini pun tercapai berkat kenaikan besar-besaran dalam 1,5 tahun terakhir. Jika kita lihat kembali
data tahun 2000 di artikel universitas Wharton di atas, berarti setelah rekomendasi yang ‘gemilang’
dari para Analis di bulan July 2000 tersebut, saham Amazon hanya ‘jalan di tempat’ selama 8 tahun
ini. Fakta bahwa Amazon tidak pernah membagikan deviden sepanjang sejarahnya membuat kondisi
ini semakin menyakitkan. Bahkan jika investor tersebut menaruh uangnya di deposito, ia akan
mendapatkan hasil yang lebih baik.

Dengan prestasi yang begitu ‘mengenaskan’ selama 8 tahun ini, bagaimana rekomendasi para analis
selama periode ini? Jika kita lihat dari situs Finance Yahoo ini, kita akan bisa mendapatkan info
tentang rekomendasi berbagai analis dari bulan July tahun 2000 sampai saat ini.

Dari data selama 8 tahun itu (kalau saya tidak salah hitung) ada 123 rekomendasi untuk saham
Amazon, baik yg berupa rekomendasi baru maupun perubahan rekomendasi. Dari angka 123 itu,
kembali terlihat keengganan para analis untuk mengeluarkan rekomendasi SELL/Jual, karena hanya
ada 24 rekomendasi yang bernada ‘JUAL’. Itupun 10 di antaranya baru dikeluarkan dalam 2 tahun
terakhir. Mungkin karena analisnya sudah kehabisan ‘alasan’ untuk mempertanggung-jawabkan
rekomendasinya atas Amazon selama ini.

Anda mungkin juga menyukai