Investor Daily - Sembari ongkang-ongkang kaki, lenggang kangkung, dan tidur pulas,
Lo Kheng Hong bisa menjadi miliarder di pasar saham dan mengeduk gain hingga
150.000%. Itukah buah filosofi „menjadi kaya sambil tidur‟?
Asetnya di pasar saham disebut-sebut bernilai triliunan rupiah. Ia mengoleksi sejumlah saham
yang mampu mencetak keuntungan investasi (capital gain) hingga ratusan, ribuan, bahkan
ratusan ribu persen. Tapi, jangan bayangkan pria berusia 52 tahun ini punya karakter dan
penampilan glamour, agresif, dinamis, meledak- ledak, atau beradrenalin tinggi.
Lo Kheng Hong adalah pribadi yang bersahaja, sabar, rendah hati, kalem, bahkan terkesan
dingin. Boleh jadi, pembawaannya inilah yang menjadikan Kheng Hong sukses sebagai
investor di pasar saham.
Yang pasti, Kheng Hong tak hanya lihai memilih saham-saham yang mampu menghasilkan
gain besar. Ia juga mahir memosisikan diri di lantai bursa, baik saat pasar bearish maupun
bullish. Tapi Kheng Hong bukan tipe investor yang sepanjang hari memelototi pergerakan
harga saham atau setiap saat mencermati perkembangan isu, rumor, dan berita di lantai bursa,
dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Ia juga tidak melengkapi diri dengan handphone canggih,
laptop terkini, notebook, iPad, atau perangkat paling mutakhir sejenisnya.
Kheng Hong memang lebih memosisikan diri sebagai investor jangka panjang ketimbang
investor jangka pendek atau trader. Mungkin, itulah sebabnya, kalangan praktisi pasar saham
menjulukinya sebagai „Warren Buffett Indonesia‟.
“Investor di pasar saham kebanyakan ikut-ikutan dan tidak mengerti saham apa yang dibeli.
Kebanyakan orang panik karena mereka tidak tahu apa yang mereka beli. Semakin cepat
panik seorang investor, semakin menunjukkan bahwa ia tidak tahu apa-apa,” kata Lo Kheng
Hong kepada wartawan Investor Daily Nurfiyasari dan Abdul Aziz serta pewarta foto Eko S
Hilman di Jakarta, baru-baru ini.
Bagi ayah dua anak ini, lebih menguntungkan menjadi investor jangka panjang dibanding
menjadi trader. “Kalau trading, dapatnya receh dan bisa bikin stres. Kalau pegang saham
dalam jangka panjang, dapat uangnya besar,” ujar Kheng Hong.
Yang unik, aset kekayaan Lo Kheng Hong hampir seluruhnya dalam bentuk saham sejumlah
emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia sama sekali tidak tergoda untuk mendiversifikasi
investasinya ke instrumen lain, seperti emas, properti, atau kendaraan Bahkan, mantan kepala
cabang Bank Ekonomi ini sama sekali tak tertarik untuk mendirikan perusahaan, termasuk
perusahaan sekuritas.
“Saya hanya punya 15% dana cash untuk jaga-jaga supaya kalau terjadi krisis saya masih
punya uang untukmembeli saham. Saya tidak bekerja, tidak punya perusahaan, tidak punya
pelanggan seorang pun, tidak punya karyawan seorang pun, dan tak punya bos. Hanya punya
seorang sopir dan dua pembantu,” papar Lo Kheng Hong yang sudah 22 tahun bermain
saham.
Apa saja tips Lo Kheng Hong hingga ia mampu mengeduk keuntungan besar dari pasar
saham? Bagaimana harus bersikap saat pasar mengalami bullish, bearish, atau crash? Berikut
petikan lengkap wawancara dengan pria yang mengaku berasal dari keluarga tak mampu dan
kelak berniat menyumbangkan kekayaannya kepada fakir miskin tersebut.
Kedua, seorang pemain saham punya banyak waktu, bebas, dan tidak dipusingkan oleh urus-
mengurus karyawan, pelanggan, dan lain-lain. Di perusahaan, status investor saham adalah
sleeping partner, sehingga waktu luangnya bisa diisi dengan hal-hal yang disukai.
Ketiga, semua keuntungan perusahaan menjadi milik pemegang saham, padahal yang bekerja
keras adalah direksi, komisaris, manajer, dan seluruh karyawan, tetapi mereka hanya
menerima gaji dan bonus. Mereka tidak punya hak untuk mendapatkan bagian dari
keuntungan perusahaan. Memiliki perusahaan yang untung besar seperti memiliki mesin
pencetak uang.
Kalau trading, dapatnya receh, kalau jangka panjang dapat uangnya besar. Saya pegang
saham ini sudah enam tahun. Saya beli tahun 2005 seharga Rp 250 dan harganya sempat
menyentuh Rp 31.500. Belum saya jual, padahal gain-nya sudah 12.600%.
Istilahnya, yang menjadi pertimbangan pertama adalah manajemen, kedua manajemen, ketiga
manajemen, baru yang lain. Kemudian lihat sektor usahanya, bagus atau tidak. Ada sektor
yang kurang menarik, misalnya sepatu, tekstil, dan garmen. Tetapi ada juga yang menarik,
seperti kelapa sawit dan pakan ayam.
Orang banyak makan ayam karena ayam merupakan sumber protein termurah dan dampak
negatifnya terhadap kesehatan lebih rendah dibanding yang lain. Perhatikan juga apakah
emiten bersangkutan mengalami pertumbuhan atau tidak.
Bagaimana jika lima tahun pertama tumbuh, tetapi lima tahun berikutnya ternyata
turun?
Biasanya kalau lima tahun ke belakang tumbuh, ke depannya akan mengalami hal yang sama.
Kalau sudah lima tahun berturut-turut growing, tandanya itu super company.
Soal timing, kapan saat yang paling tepat untuk masuk pasar?
Yang paling bagus membeli saham adalah saat sedang krisis seperti di Yunani, Eropa, dan
AS. Ada pepatah lama yang tidak perlu dilupakan, buy on weakness. Dan, harus be greedy
when others are fearful dan sebaliknya, be fearful when others greedy.
Ternyata orang seperti Madoff, mantan bos bursa Nasdaq tapi tidak bisa mengelola uang
nasabah. Ini menunjukkan bahwa dia hanya tahu semua peraturan di bursa saham, tetapi tidak
mengetahui bagaimana cara menjadi kaya di pasar saham.
Tapi di pasar saham, kita sudah habiskan puluhan miliar rupiah belum tentu jadi pintar, malah
bisa tambah bingung, seperti Madoff yang sudah menghabiskan uang masyarakat sebesar
US$ 60 miliar, apakah dia menjadi pintar? Bisa saja di penjara dia berpikir, kenapa saham
yang dibeli turun dan yang dijual justru naik.
Jadi, intinya pintar saja tidak cukup. Untuk menjadi investor yang kuat, kita harus
mengetahui perusahaan satu per satu. Semua orang bisa seperti itu, asalkan mau baca.
Bacalah laporan keuangan emiten satu per satu.
Saat krisis moneter 1997-1998 dan krisis finansial 2008, Anda mengalami kerugian
juga?
Saya sempat mengalaminya juga. Waktu krisis 2008, saya sempat jatuh, tapi tetap be greedy
when others are fearful. Malah sewaktu krisis 1997-1998, saya sempat jatuh hingga uang
saya tinggal 15%. Tapi uang itu saya tukar ke saham, karena saya tahu pasar modal akan naik
lagi. Dan, itu terbukti. Akhirnya uang saya meningkat 150.000%.
Bagaimana Anda menyikapi perkembangan harga saham saat ini, terutama yang
terkait dengan krisis utang di Eropa dan krisis finansial di AS?
Saat IHSG terkoreksi, wajar saja kalau nilai portofolio saya ikut turun. Tetapi ketika turun,
saya sama sekali tidak ikut-ikutan menjual, bahkan saya membeli dan menambah saham saya,
karena saya yakin satu hari saham-saham saya akan naik kembali, bahkan dapat lebih tinggi
dari sebelumnya.