Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Infeksi pada saluran napas merupakan penyakit yang umum terjadi pada
masyarakat. Infeksi saluran napas berdasarkan wilayah infeksinya terbagi menjadi
infeksi saluran napas atas dan infeksi saluran napas bawah. Infeksi saluran napas
atas meliputi rhinitis, sinusitis, faringitis, laringitis, epiglotitis, tonsilitis, otitis.
Sedangkan infeksi saluran napas bawah meliputi infeksi pada bronkhus, alveoli
seperti bronkhitis, bronkhiolitis, pneumonia. Infeksi saluran napas atas bila tidak
diatasi dengan baik dapat berkembang menyebabkan infeksi saluran nafas bawah.
Infeksi saluran nafas atas yang paling banyak terjadi serta perlunya penanganan
dengan baik karena dampak komplikasinya yang membahayakan adalah otitis,
sinusitis, dan faringitis.
Secara umum penyebab dari infeksi saluran napas adalah berbagai
mikroorganisme, namun yang terbanyak akibat infeksi virus dan bakteri. Infeksi
saluran napas dapat terjadi sepanjang tahun, meskipun beberapa infeksi lebih
mudah terjadi pada musim hujan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
infeksi saluran napas antara lain faktor lingkungan, perilaku masyarakat yang
kurang baik terhadap kesehatan diri maupun publik, serta rendahnya gizi. Faktor
lingkungan meliputi belum terpenuhinya sanitasi dasar seperti air bersih, jamban,
pengelolaan sampah, limbah, pemukiman sehat hingga pencemaran air dan
udara.Perilaku masyarakat yang kurang baik tercermin dari belum terbiasanya
cuci tangan, membuang sampah dan meludah di sembarang tempat. Kesadaran
untuk mengisolasi diri dengan cara menutup mulut dan hidung pada saat bersin
ataupun menggunakan masker pada saat mengalami flu supaya tidak menulari
orang lain masih rendah.

ISPA merupakan penyakit yang banyak terjadi di negara berkembang serta


salah satu penyebab kunjungan pasien ke Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit
(15%-30%). Kasus ISPA terbanyak terjadi di India 43 juta kasus, China 21 kasus,
Pakistan 10 juta kasus dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta
kasus. Semua kasus ISPA yang terjadi di masyarakat, 7-13% merupakan kasus
berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Kasus ISPA di Indonesia pada tiga
tahun terakhir menempati urutan pertama penyebab kematian bayi yaitu sebesar
24,46% (2013), 29,47% (2014) dan 63,45% (2015). Selain itu, penyakit ISPA
juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit (Kemenkes
RI, 2015).

Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut :


1. Melakukan kajian resep berupa kajian administratif, kajian farmasetika,
dan kajian klinis pada obat – obat yang diresepkan untuk penyakit ISPA.
2. Menentukan informasi yang tepat yang perlu disampaikan kepada pasien
terkait penggunaan obat.
BAB IV
Resep 2
Berdasarkan analisis resep yang dilakukan pada periode Januari 2019 di Apotek
Kimia Farma 115 terdapat resep dengan indikasi penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Atas. Pada resep ditulis beberapa obat, yaitu:

R/ Alpara Tab no X

S 3 dd 1 Tab

R/ Dexa Tab no X

S 3 dd 1 tab

R/ Cefadroxyl Caps no X

S 2 dd 1 tab

R/ Salbutamol Tab 2mg no X

S 3 dd 1 tab

Gambar 4.1. Resep 1

Analisis resep dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73


Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi kajian
administratif, pertimbangan farmasetis, dan pertimbangan klinis.

2.1.1 Kelengkapan Administratif
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 73 tahun 2016, persyaratan
administratif harus memuat nama pasien, umur, jenis kelamin, dan berat badan;
nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon, dan paraf;
serta tanggal penulisan resep (Tabel 4.1)
Tabel 4.1 Kelengkapan Administrasi Resep 1
No. Persyaratan administrasi Checklist
1. Dokter:
Nama dokter ✔

Nomor SIP ✔

Nomor telepon -
Alamat dokter -
Paraf ✔

2. Tanggal penulisan resep ✔

3. Pasien
Nama Pasien ✔

Alamat -
Umur -
Berat badan -
Jenis Kelamin -

Berdasarkan kajian administratif, resep di atas termasuk resep yang tidak


lengkap, karena pada resep tidak terdapat identitas dokter seperti nomor telepon,
alamat dan paraf dokter, sehingga apoteker akan mengalami kesulitan jika ingin
melakukan penelusuran atau konfirmasi resep. Identitas pasien juga tidak lengkap,
tidak terdapat alamat, dan berat badan pasien sehingga apoteker juga akan
kesulitan untuk melakukan perhitungan kesesuaian dosis.

2.1.2 Pertimbangan Farmasetis


Pertimbangan farmasetis meliput bentuk dan kekuatan sediaan, stabilitas,
dan kompatibilitas (ketercampuran obat).
1. Alpara
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis obat : 3 x 1 tablet 500 mg/hari
Dosis dewasa : dosis 500 mg 3 kali sehari selama 3 – 10 hari
Dosis maksimal : -

2. Dexametason
Bentuk sediaan : Kaplet
Dosis obat : dewasa 3 x sehari 1 kaplet, anak-anak 3 x sehari ½ kaplet
Dosis maksimal : 0.5 – 10 mg/hari
3. Cefadroxyl
Bentuk sediaan : kapsul
Dosis obat : Oral, dewasa 1 – 2 gram / hari dalam dua dosis terbagi
Dosis maksimal : -
4. Salbutamol Tab 2mg
Bentuk sediaan : Tablet
Dosis Obat: dewasa 3 – 4 x 4 mg / hari. Anak 0.05 – 0.1 mg/kgBB/kali setiap
6 – 8 jam
Dosis Maksimal: -

Pertimbangan Klinis
2.1.2.1 Ketepatan Indikasi dan Dosis
a. Alpara
Komposisi : parasetamol 500 mg, dekstrometorfan hbr 15 mg,
klorfeniramin maleat 2 mg, fenilpropanolamin hidro-
klorida 12.5 mg.
Indikasi : meringankan influenza yang disertai gejala demam,
pilek, bersin, sakit kepala dan batuk..
Dosis lazim : dewasa 1 -2 tablet 3 kali sehari
Dosis yang : 3 x sehari 1 tab
diberikan
Farmakologi : parasetamol atau asetaminofen adalah obat
analgesik (pereda nyeri) dan antipiretik (penurun panas)
yang populer dan digunakan untuk menurunkan demam,
meredakan sakit kepala, dan nyeri atau sakit ringan. Obat
ini sering dikombinasikan dengan obat-obatan lain dalam
pengobatan flu dan common cold. .
Phenylpropanolamine adalah obat yang bertindak sebagai
agonis reseptor alfa-adrenergik dan reseptor beta-
adrenergik. Obat ini digunakan sebagai dekongestan atau
melegakan hidung tersumbat dengan cara menyusutkan
pembuluh darah (vena dan arteri) di sinus, hidung, dan
saluran nafas. Namun obat ini memiliki efek
meningkatkan tekanan darah. Chlorpheniramine Maleate
atau CTM adalah obat golongan antihistamin yang
berguna untuk meredakan gejala-gejala alergi seperti
hidung gatal, berair, bersin-bersin, dan mata berair.
Selain digunakan sebagai kombinasi dalam obat flu,
secara tunggal CTM dapat mengatasi gatal-gatal dan
bentol pada kulit akibat alergi. Namun obat ini memiliki
efek samping mengantuk. Dextromethorphan HBr atau
DMP adalah obat batuk kering atau antitusif yang bekerja
menekan refleks batuk. Untuk batuk jangka panjang dan
juga batuk yang mengeluarkan dahak tidak dianjurkan
untuk menggunakan obat ini. Karena reflek batuk
berguna untuk mendorong dan mengeluarkan dahak dari
saluran pernapasan..
Kontraindikasi Pasien yang hipersensitif terhadap salah satu bahan obat
ini
Pasien dengan gangguan jantung.
Pasien dengan diabetes mellitus.
Pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat.

Efek samping Menyebabkan kantuk, Mulut kering, Retensi urin,


Gangguan psikomotor, Takikardia, Aritmia, Palpitasi,
Gangguan pencernaan, Kerusakan fungsi hati.

Interaksi obat : Alpara bila digunakan bersamaan dengan anti depresan


tipe penghambat MAO dapat mengakibatkan krisis
hipertensi.
b. Dexametason
Komposisi : dexametason
Indikasi : Mengatasi alergi, Mengatasi peradangan, Meredakan
pembengkakan otak, Mengatasi edema pada makula,
Mengatasi mual dan muntah akibat kemoterapi,
Mendiagnosis sindrom Cushing, Mengatasi hiperplasia
adrenal kongenital

.
Dosis lazim : Dewasa 0.75-9 mg per harinya, 3 x sehari 1 kaplet,
anak-anak 3 x sehari ½ tablet
Dosis yang : 3 x sehari 1 tablet
diberikan
Farmakologi : dexamethasone merupakan kortikosteroid adrenal
sintetis. Dexamethasone memiliki efek glukokortikoid
yang poten. Dexamethasone dapat melewati membran sel
dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid di
sitoplasma. Kompleks antara dexamethasone dan reseptor
glukokortikoid ini dapat berikatan dengan DNA sehingga
terjadi modifikasi transkripsi dan sintesis protein.
Akibatnya, infiltrasi leukosit terhambat, mediator
inflamasi terganggu, dan edema jaringan berkurang.
Kontraindikasi  jangan diberikan untuk pasien yang memiliki riwayat
hipersensitif terhadap salah satu komponen obat ini.
 Pasien dengan penyakit tekanan darah tinggi, depresi
atau gangguan mental, infeksi herpes pada mata,
gangguan otot, TBC, diabetes, penyakit ginjal, gagal
jantung, radang lambung, glaukoma atau katarak,
penggumpalan darah, osteoporosis, gangguan tiroid,
penyakit hati. Pasien penderita hipertensi parah,
penyakit jantng, diabetes mellitus, dan gangguan
fungsi hati yang parah tidak boleh menggunakan obat
ini.

Efek samping retensi natrium, retensi cairan, hipokalemia, kelemahan


otot, miopati akibat steroid, atrofi otot, osteoporosis
terutama pada wanita yang telah menopause, fraktur
kompresi tulang belakang, fraktur patologis pada tulang
panjang, nekrosis aseptik pada kepala femur dan
humerus, ruptur tendon, urtikaria, angioedema, moon
face, hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, mual, ulkus
peptikum, perforasi usus halus dan besar terutama pada
pasien dengan inflammatory bowel disease, distensi
abdomen, esofagitis ulseratif, esofagitis kandidiasis,
dispepsia, hepatomegali, peningkatan enzim
transaminase, disfungsi pankreas, pankreatitis,
Interaksi obat  Peningkatan risiko hipokalemia : aphotericin B
dan loop diuretic
 Penurunan efektivitas obat : isoniazid, salisilat,
vaksin, toksoid
 Peningkatan aktivitas dexamethasone : siklosporin
 Peningkatan efek samping gastrointestinal
: aspirin dan ethanol
 Penurunan efektivitas dexamethasone dan obat lain :
ephedrine, cholestyramine, phenytoin, fenobarbital,
dan rifampisin

a. Cefadroxyl
Komposisi : cefadroxil
Indikasi  : infeksi bakteri pada paru-paru dan saluran udara
(termasuk saluran hidung, sinus, dan tenggorokan)
seperti sinusitis, brokitis, dan pneumonia.
 Infeksi bakteri pada telinga, hidung, atau tenggorokan,
misalnya otitis media, faringitis, dan tongsilitis.
 Infeksi pada kulit atau jaringan lunak,
misalnya abses, selulitis, mastitis, erisipelas.
 Infeksi bakteri pada ginjal misalnya pielonefritis.
 Infeksi bakteri pada saluran kemih.
 Infeksi kandungan.
 Infeksi bakteri tulang seperti osteomielitis.
 Infeksi bakteri sendi seprti septic arthritis.

Dosis lazim  : Oral, dewasa 1-2 gram per hari dalam dua dosis terbagi

 Anak 30-50 mg/kg per hari dalam satu dosis atau terbagi
dalam dua dosis, dapat diberikan hingga maksimal 100
mg/kg per hari

Dosis yang : 2 x sehari 1 capsul


diberikan
Farmakologi : Cefadroxil obat yang bekerja dengan menghambat
pembentukan protein yang membentuk dinding sel
bakteri. Obat ini akan merusak ikatan yang menahan
dinding sel bakteri untuk membunuh bakteri-bakteri
penyebab penyakit. Mekanisme kerja tersebut
menjadikan cefadroxil obat yang memiliki spektrum luas
untuk membunuh berbagai macam bakteri, baik bakteri
gram positif maupun gram negatif, Cefadroxil sebagai
bakterisida mampu menghambat sintesis dinding sel
beberapa bakteri Gram positif maupun Gram negatif yang
sensitive. Bakteri Gram positif yang sensitif adalah
Staphylococcus dengan atau tanpa produksi penisilinase,
Streptococcus β-hemolitik, Streptococcus pneumonia,
dan Streptococcus pyogenes. Bakteri Gram negatif yang
sensitif diantaranya E.Coli, Klebsiella pneumonia,
beberapa strain P. mirabilis, Haemophilus influenzae,
Salmonella spp. dan Shigella spp.
Kontraindikasi  : Riwayat colitis (peradangan pada usus)
 Riwayat diare parah
 Penyakit ginjal
 Hipersensitif

Efek samping  : Reaksi alergi, Mual, muntah, sakit perut, diare ringan,
Otot kaku, Nyeri sendi, Perasaan gelisah atau hiperaktif,
Rasa yang tidak biasa atau tidak enak pada mulut, Gatal-
gatal ringan atau ruam kulit, Diare berupa cairan atau
darah, Demam, menggigil, nyeri, gejala flu, Pendarahan
atau lebam yang tidak biasa, Kejang, Kulit yang pucat
atau menguning, urin yang berwarna gelap, demam,
kebingungan atau keletihan, Jaundice (kulit dan mata
yang menguning), Demam, kelenjar yang membengkak,
ruam dan gatal, nyeri sendi, atau perasaan sakit pada
umumnya, sakit tenggorokan, dan sakit kepala dengan
lepuhan pada kulit, mengelupas, ruam berwarna merah,
Perasaan haus yang meningkat, kehilangan nafsu makan,
pembengkakan, peningkatan berat badan, kesulitan
bernapas, buang air lebih sedikit dari biasanya atau tidak
sama sekali

Interaksi obat Pasien yang hipersensitif terhadap sefalosporin


b. Salbutamol 2 mg
Komposisi : salbutamol
Indikasi : meredakan bronkospasme pada asma dan obstruksi
saluran napas reversible lainnya.

Dosis lazim : Dewasa (>12 tahun) : 2-4 mg, 3-4 kali sehari.
Dosis dapat dinaikan secara berangsur.
Untuk lansia diberikan dosis awal yang lebih rendah.
Dosis yang : 3 x sehari 1 tab
diberikan
Farmakologi : Salbutamol merupakan suatu senyawa yang selektif
merangsang reseptor B2 adrenergik terutama pada otot
bronkus. Golongan B2 agonis ini merangsang produksi
AMP siklik dengan cara mengaktifkan kerja enzim adenil
siklase. Efek utama setelah pemberian peroral adalah
efek bronkodilatasi yang disebabkan terjadinya relaksasi
otot bronkus., salbutamol bekerja lebih lama dan lebih
aman karena efek stimulasi terhadap jantung lebih kecil
maka bisa digunakan untuk pengobatan kejang bronkus
pada pasien dengan penyakit jantung atau tekanan darah
tinggi.

.
Kontraindikasi  : hipersensitivitas terhadap salbutamol
Efek samping : ada pemakaian dosis besar dapat menyebabkan tremor
halus pada otot skelet (biasanya pada tangan), palpitasi,
kejang otot, takikardia, sakit kepala dan ketegangan. efek
ini terjadi pada semua perangsangan adrenoreseptor beta.
Vasodilator perifer, gugup, hiperaktif, epitaksis
(mimisan),susah tidur.

Interaksi obat  Efek salbutamol dihambat oleh B2-antagonis.


 Pemberian bersamaan dengan monoamin oksidase
dapat menimbulkan hipertensi berat.
 Salbutamol dan obat-obatan beta-blocker non-
selektif seperti propranolol, tidak bisa diberikan
bersamaan.
2.1.2.2 Interaksi Obat
Tidak terdapat interaksi obat antara obat-obatan yang ada dalam resep.
(Medscape)
2.2 Edukasi Pasien Resep 1
1. Pasien diberitahukan agar meminum obatnya secara teratur, khususnya
antibiotik harus dihabiskan.
2. Pasien diedukasi mengenai aturan pakai obat yang benar agar terapi yang
dijalani efektif.
3. Pasien diberikan edukasi mengenai efek samping obat serta tidak boleh
mengendarai kendaraan atau mesin selama memgkomsumsi obat.
4. Pasien diberikan edukasi mengenai pola makan sehat, dan konsumsi buah-
buahan
5. Pasien diberikan edukasi mengenai pola hidup sehat dengan berolahraga.
1. Terapi farmakologi pada otitis media
Terapi otitis media akut meliputi pemberian antibiotika oral dan tetes bila
disertai pengeluaran secret. Lama terapi adalah 5 hari bagi pasien resiko
rendah (yaitu usia > 2 thn serta tidak memiliki riwayat otitis ulangan
ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien resiko tinggi. Rejimen
antibiotika yang digunakan di bagi menjadi dua pilihan yaitu lini pertama
dan kedua. Antibiotika pada lini kedua diindikasikan bila :
 Antibiotika pilihan pertama gagal
 Riwayat respon yang kurang terhadapa antibiotika pilihan pertama
hipersensitivitas.
 Organisme resisten terhadapa antibiotika pilihan pertama yang
dibuktikan dengan tes sensitifitas.
 Adanya penyakit penyerta yang mengharuskan pemilihan
antibiotika pilihan kedua.

Untuk pasien dengan secret telinga (ottorrhea), maka disarankan untuk


menambah terapi tetes telingan ciprofloxacin atau ofloxacin.

Pilihan terapi untuk otitis media akut yang persisten yaitu otitis yang
menetap 6 hario setelah menggunakan antibiotika . adalah memulai
kembali antibiotika dengan memilih antibiotika yang berbeda dengan
terapi pertama.

Profilaksis bagi pasien dengan riwayat otitis media ulangan menggunakan


amoksisillin 20 mg/kg satu kali sehari selama 2 – 6 bulan berhasil
mengurangi insidenotitis media sebesar 40-50 %.

Anda mungkin juga menyukai