Anda di halaman 1dari 26

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang dilakukan oleh Trinil Susilawati dan Lukman Affandy

(2004) tentang tantangan dan peluang peningkatan produktivitas sapi potong

melalui teknologi reproduksi, maka disimpulkan bila dilakukan industrialisasi sapi

potong maka IB merupakan hal yang penting. Untuk mendapatkan keberhasilan

yang tinggi dalam pelayanan inseminasi buatan diperlukan pelayanan teknis dan

perencanaan yang baik dalam hal ini melibatkan perencanaan dan pembiayaan

yang memadai dari pengusaha selain itu perlu di inventarisasi data tentang

lamanya birahi pada sapi hasil persilanagan.

Penelitian yang di lakukan oleh Fikri Ardhani (2006) tentang prospek

dan analisa usaha penggemukan sapi potong di Kalimantan Timur ditinjau dari

sosial ekonomi dengan kesimpulan agar usaha ternak sapi potong dapat lebih

menguntungkan maka diperlukan sumber daya manusia petani peternak yang

senantiasa meningkatkan pengetahuan dan keterampilan tentang manajemen

perkembangbiakan, manajemen kesehatan, manajemen pakan, manajemen

perkandangan dan manajemen sosial ekonomi.

Penelitian yang di lakukan oleh Agustina Abdullah (2012) tentang

kinerja penyuluhan dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan mendukung

pengembangan sapi potong dengan kesimpulan, kinerja penyuluhan pertanian

dalam meningkatkan adopsi teknologi pakan adalah rendah pada aspek

responsivitas dan responsibilitas, namun sedang pada aspek layanan. Upaya

Universita Sumatera Utara


peningkatan adopsi teknologi pakan sapi potong diperlukan adanya perbaikan dan

penyempurnaan dalam kinerja penyuluhan terutama dalam aspek responsivitas

dan responsibilitas penyuluhan dalam melakukan program penyuluhan di

peternak.

Penelitian yang di lakukan oleh Lukman Affandhy A. dan H.N Krishna

(2010) tentang pengaruh perbaikan manajemen pemeliharaan pedet sapi potong

terhadap kinerja reproduksi induk pasca beranak (studi kasus pada sapi induk PO

di usaha peternakan rakyat Kabupaten Pati Jawa Tengah dengan kesimpulan

bahwa dengan perlakukan pembatasan menyusui pedet pada induk pasca beranak

pada sapi potong yang di sertai suplementasi akan memperpendek onestrus post

partus (APP) days open (DO) dan jarak beranak dengan tidak berpengaruh negatif

terhadap terhadap pertambahan badan harian pedet prasapih.

Penelitian yang di lakukan oleh Hamdi Mayulu dkk (2010) tentang

kebijakan pengembangan peternakan sapi potong di Indonesia. Dengan

kesimpulan isu penting dalam pengembanagan usaha ternak sapi potong adalah

penurunan populasi ternak yang terus berlanjut dari tahun ke tahun. Rendahnya

produktivitas ternak serta kompleknya masalah dalam sistem usaha ternak sapi

potong merupakan tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan usaha

ternak sumber pedaging tersebut. Solusi yang dijangkau adalah mengintegrasikan

usaha sapi potong dengan sumber pakan. Sumber pakan yang belum

termanfaatkan limbah pertanian dan perkebunan yang selama ini belum di

gunakan secara optimal.

Universita Sumatera Utara


Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh

dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis

yaitu kebijakan input, budidaya, serta pemasaran dan perdagangan yang

melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi

tersebut kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci.

Keberhasilan kebijakan pasar output akan berdampak langsung terhadap bagian

harga dan pendapatan yang di terima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan

mendapatkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas dan pada

akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.

Penelitian yang di lakukan oleh Endang Romjali dan Ainur Rayid dengan

judul keragaan reproduksi sapi bali pada kondisi peternakan rakyat di Kabupaten

Tabanan Bali (2007) menyimpulkan keragaan reproduksi sapi bali di Kecamatan

Margan dan Panebel Kebupaten Tabanan Provinsi Bali dipengaruhi oleh faktor

ketersediaan pakan dan manajemen. Induk sapi bali yang memiliki rata-rata bobot

badan di atas 250 kg memiliki jarak beranak lebih pendek. Jarak beranak pada

sapi yang lebih panjang akibat kegagalan dalam perkawinan dapat di perbaiki

dengan sistem perkawinan secara alam dengan menggunakan pejantan.

Penelitian Peni Wahyu Prihandini, D Pamungkas dan D.B Wijono

dengan judul kemampuan mengelola usaha peternakan dalam usaha ternak sapi

potong (studi kasus di Kelompok Tani Makmur Desa Tempel Lemahbang

Kecamatan Jepon, Blora (2005) dengan kesimpulan berdasarkan potensi wilayah

dinamika kelompok dan status manajerial skill peternak responden, maka dapat

disimpulkan beberapa hal sebagai berikut; 1. Dinamika kelompok peternak dalam

Universita Sumatera Utara


kelompok usaha pembibitan menunjukan peningkatan cukup bagus dan ditunjang

oleh peningkatan karakteristik pengetahuan asli (indigenus knowledge) petani

terhadap aspek managerial, yaitu: bibit, pakan, perkandangan, reproduksi, dan

pemasaran. 2, guna mencapai sasaran dan tujuan jangka panjang diperlukan

perubahan pola pikir peternak untuk berjiwa agribisnis melalui sistem komunikasi

yang lebih terbuka dalam suatu wadah kelompok.

Penelitian Matheus Sariubang, A. Nurhayu dan A. Sainap dengan judul

pengkajian pembibitan sapi bali pada perternak rakyat di Kabupaten Takalar

(2009), dengan kesimpulan ; 1. Tingkat kelahiran dan pendapatan pada

pemeliharaan induk sapi bali secara intensif lebih tinggi dibanding pemeliharaan

secara tradisional (ekstensif): 2. Induk sapi yang sudah melahirkan akan kembali

estrus yang disertai kebuntingan lebih tinggi pada pemeliharaan secara intensif

lebih tingi dari pada pemeliharaan secara tradisional.

Penelitian Eniza Saleh dkk, tentang analisis pendapatan peternak sapi

potong di Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli Serdang (2006) dengan

hasil penelitian dari segi manajemen pemeliharaan ternak, peternak dengan

pengalaman beternak tinggi lebih menguasai tatalaksana beternak dengan baik

seperti pemberian pakan, perawatan kebersihan kandang dan ternak, perawatan

kesehatan, dan penanganan penyakit. Namun dilapangan diperoleh tidak terjadi

pengaruh seperti yang di harapkan. Hal ini dapat di sebabkan karena peternak sapi

potong di daerah ini sebagian tidak melakukan perubahan – perubahan positif

dalam usaha peningkatan pendapatan menurut pengetahuan yang diperoleh

berdasarkan pengalaman masing–masing peternak. Banyak yang memiliki

Universita Sumatera Utara


pengalaman yang memadai namun masih mengelola usaha tersebut dengan

kebiasaan – kebiasaan lama yang sama dengan waktu mereka mengawali

usahanya sampai sekarang. Menurut Abidin dan Simanjuntak (1977), faktor

penghambat berkembangnya peternakan pada suatu daerah dapat berasal dari

faktor–faktor topografi iklim, keadaan sosial, tersedianya bahan –bahan makanan

rerumputan atau penguat. Di samping itu, faktor pengetahuan yang di miliki

masyarakat sangat menentukan pula perkembangan peternakan di daerah itu.

Demikian juga menurut Sudrajat (2005) bahwa tanpa ada motivasi dari diri

sendiri jelas merupakan tipe orang yang sulit untuk di ajak bekerja atau berusaha.

Jadi, orang-orang yang demikian perlu di berikan motivasi atau dorongan

sehinggga timbul niat untuk mau berkerja.

2.2. Landasan Teori

2.2.1. Sapi Potong

Sapi potong merupakan salah satu sumber daya penghasil daging yang

memiliki nilai ekonomi tinggi, dan penting artinya di dalam kehidupan

masyarakat. Seekor ternak sapi bisa menghasilkan berbagai macam kebutuhan

terutama sebagai bahan makanan berupa daging di samping hasil ikutan lainya

seperti pupuk kandang, kulit dan tulang. Daging sangat besar manfaatnya bagi

pemenuhan gizi berupa protein hewani. Sapi sebagai salah satu hewan pemakan

rumput sangat berperan sebagai pengumpul bahan bergizi rendah yang di ubah

menjadi bahan bergizi tinggi kemudian di teruskan kepada manusia dalam bentuk

daging.

Universita Sumatera Utara


Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi asal Indonesia yang mempunyai

potensi untuk di kembangkan. Sapi bali mudah untuk beradaptasi dengan

lingkungan baru sehingga sering di sebut dengan ternak perintis Astuti (2009) .

Sapi bali di jumpai di Indonesia yang telah didomistikasi dari sapi liar

masih di jumpai di Ujung Kulon di sebut banteng (bos sundaicus). Jantan sapi bali

berwarna coklat tua pada umur 1,5 tahun, dan betina coklat muda. Kehidupan sapi

bali di pulau Bali daily-gain atau pertambahan berat hidup mencapai 0,6-0,7

kg/hari/ekor, sedangkan si betina dapat beranak setiap 1,5-2 tahun/sekali. Apabila

si pejantan dikebiri warnanya kembali seperti warna si betina Sitepoe (1996).

2.2.2. Sapi Bali

Sapi bali adalah keturunan sapi liar yaitu banteng yang telah mengalami

proses penjinakan selain itu sapi bali banyak mempunyai keunggulan sama halnya

menurut Suharjawanasuria keunggulan sapi bali sebagai berikut;

1. Subur (cepat berkembang biak/ fertilitas tinggi)

2. Mudah beradaptasi dengan lingkungannya,

3. Dapat hidup di lahan kritis.

4. Mempunyai daya cerna yang baik terhadap pakan.

5. Persentase karkas yang tinggi.

6. Harga yang stabil dan bahkan setiap tahunnya cenderung meningkat.

7. Khusus sapi bali Nusa Penida, selain bebas empat macam penyakit, yaitu

jembrana, penyakit mulut dan kuku, antraks, serta MCF (Malignant Catarrhal

Fever). Sapi Nusa Penida juga dapat menghasilkan vaksin penyakit jembrana.

Universita Sumatera Utara


8. Kandungan lemak karkas rendah.

9. Keempukan daging tidak kalah dengan daging impor.

10. Fertilitas sapi bali berkisar 83 - 86 %, lebih tinggi dibandingkan sapi eropa

yang 60 %.

11. Karakteristik reproduktif antara lain : periode kehamilan 280 - 294 hari, rata-

rata persentase kebuntingan 86,56 %, tingkat kematian kelahiran anak sapi

hanya 3,65 %, persentase kelahiran 83,4 %, dan interval penyapihan antara

15,48 - 16,28 bulan.

2.2.3 Karakteristik Peternak

Hasil penelitian Yanti (1997) menemukan bahwa karakteristik peternak

dapat menggambarkan keadaan peternak yang berhubungan dengan

keterlibatannya dalam mengelola usaha ternak. Karakteristik peternak bisa

mempengaruhi dalam hal mengadopsi suatu inovasi.

Karakteristik peternak sebagai individu yang perlu diperhatikan untuk

melihat apakah faktor-faktor ini akan mempengaruhi respon peternak terhadap

inovasi yang diperkenalkan Sumarwan (2004). Simamora (2002) juga mengatakan

bahwa karakteristik seseorang mempengaruhi cara dan kemampuan yang berbeda

dalam bentuk persepsi, informasi apa yang diinginkan, bagaimana

menginterpretasi informasi tersebut.

Universita Sumatera Utara


Karakteristik individu adalah bagian dari pribadi dan melekat pada diri

seseorang. Karakteristik ini mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja

maupun situasi yang lainnya Rogers dan Shoemaker, (1971) dalam Rini Sri

Damihartini at All.( 2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, (2005).

2.2.3.1. Umur
Klausmeir dan Goodwin (1966) dalam Haryadi (1997) berpendapat

bahwa umur pengajar maupun pelajar merupakan salah satu karakteristik penting

yang berkaitan dengan efektivitas belajar dimana kapasitas belajar seseorang tidak

merata, tetapi menurut perkembangan umurnya. Kapasitas belajar akan naik

sampai usia dewasa kemudian menurun dengan bertambahnya umur.

Dahama dan Bhatnagar (1980) dalam Haryadi (1997) juga menyatakan

bahwa kapasitas belajar akan terus menaik sejak anak mengenal lingkungan

dimana kenaikan tersebut berakhir pada awal dewasa yaitu umur 25 tahun sampai

28 tahun, kemudian menurun secara drastis setelah umur 50 tahun.

Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani

dalam mengelola usahataninya, dalam hal ini mempengaruhi kondisi fisik dan

kemampuan berpikir. Makin muda umur petani, cenderung memiliki fisik yang

kuat dan dinamis dalam mengelola usahataninya, sehingga mampu bekerja lebih

kuat dari petani yang umurnya tua. Selain itu petani yang lebih muda mempunyai

keberanian untuk menanggung resiko dalam mencoba inovasi baru demi

kemajuan usahataninya (Syafrudin 2003).

2.2.3.2. Pendidikan

Universita Sumatera Utara


Menurut Wiraatmadja (1977) pendidikan merupakan upaya untuk

mengadakan perubahan perilaku berdasarkan ilmu-ilmu dan pengalaman yang

sudah diakui dan direstui oleh masyarakat, lebih lanjut Slamet dalam penelitian

Haryadi (1977) menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi

tingkat pemahamannya terhadap sesuatu yang dipelajarinya.

Muhibinsyah (1995) dalam Kasup (1998) menyatakan bahwa pendidikan

adalah suatu proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku

manusia melalui pengajaran, tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang

penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena melalui

pendidikanlah pengetahuan dan keterampilan serta perubahan sikap dapat

dilakukan.

Mardikanto (1990) menyatakan bahwa pendidikan petani umumnya

mempengaruhi cara dan pola pikir petani dalam mengelola usahatani. Pendidikan

yang relatif tinggi menyebabkan petani lebih dinamis dalam Rini Sri Damihartini

at all. (2004). dalam Rini Sri Damihartini dan Amri Jahi, 2005.

Suhardiyono (1995) dalam Kasup (1998), juga menyatakan bahwa para

ahli pendidikan mengenal tiga sumber utama pengetahuan bagi setiap orang yaitu:

(1) pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang panjang yang diperoleh dan

dikumpulkan seseorang berupa pengetahuan, keterampilan, sikap hidup dan segala

sesuatu yang diperoleh dari pengalaman pribadi sehari-hari dari kehidupan di

dalam masyarakat; (2) pendidikan formal, yaitu struktur dari sistem

pendidikan/pengajaran yang kronologis dan berjenjang lembaga pendidikan mulai

dari pra sekolah sampai ke perguruan tinggi; (3) pendidikan nonformal adalah

Universita Sumatera Utara


pengajaran sistematis yang diorganisir dari luar pendidikan formal bagi

sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus seperti penyuluhan

pertanian.

2.2.3.3. Jumlah Tanggungan Keluarga

Menurut Syafrudin (2003) jumlah tanggungan keluarga merupakan salah

satu sumberdaya manusia yang dimiliki peternak, terutama yang berusia produktif

dan ikut membantu usaha ternaknya tanggungan keluarga juga bisa menjadi beban

keluarga jika tidak aktif bekerja.

2.2.3.4. Pengalam Peternak dan Jumlah Ternak

Pengalaman beternaknya cukup lama akan lebih mudah diberi

pengertiannya (Margono dan Asngari, 1969). Jumlah ternak sapi yaitu ternak

utama yang diusahakan peternak sebagai mata pencaharian utama oleh peternak,

dihitung dalam satuan ternak (ST).

Lahan merupakan sarana produksi bagi usahatani, termasuk salah satu

faktor produksi dan pabrik hasil pertanian. Lahan adalah sumberdaya alam fisik

yang mempunyai peranan sangat penting bagi petani (Mosher, 1965). dalam Rini

Sri Damihartini at all. (2004). dalam Rini Sri damihartini dan Amri Jahi (2005).

Padmowihardjo (1994), mengemukakan bahwa pengalaman baik yang

menyenangkan maupun mengecewakan berpengaruh pada proses belajar

seseorang. Motivasi berusahatani motivasi merupakan usaha yang dilakukan oleh

manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan.

Universita Sumatera Utara


Motivasi dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan

(Padmowihardjo, 2002) dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).

2.2.3.5. Ketersediaan Modal Usahatani

Modal adalah faktor penunjang utama dalam kegiatan berusahatani. Hal

ini dikarenakan tanpa modal usahatani niscaya petani akan sulit mengembangkan

usahatani yang dilakukan (Wolf, 1985). dalam Rini Sri Damihartini at all. (2004).

2.2.4. Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong

2.2.4.1. Pakan

Makanan hijauan adalah semua bahan makanan yang berasal dari tanaman

dalam bentuk daun daunan. Termaksud kelompok makanan hijauan ini adalah

bangsa rumput, (grmaninae), legominosa, dan hijauan dari tumbuh tumbuhan lain.

Kebutuhan hijauan makanan pada setiap jenis hewan berbeda –beda. Hewan

hewan ternak seperti sapi, kerbau dan kambing memerlukan jumlah hijauan lebih

banyak dari pada hewan hewan seperti babi dan bangsa unggas. Perbedaan ini

terutama pasa sistem alat pencernaan yang berlainan.(AAK, 1983).

Hewan- hewan ternak yang tergolong memiliki sistem alat pencernaan ini

makanan pokok hewan ini adalah hijauan. Sedangkan kebutuhan akan makanan

penguat sekedar makanan tambahan saja. Pada umumnya jumlah hijauan yang di

berikan pada ternak tersebut 10 % dari berat hidup, sedangkan makanan penguat

Universita Sumatera Utara


di berikan 1 % saja. Sapi potong memerlukan hijauan hijauan hampir 80 % dari

seluruh makanan yang di perlukan (AKK, 1983). Menurut (Anonim, 2008) bahan

dibagi menjadi dua bagian yaitu bahan pakan konvensional dan bahan pakan

subtitusi, yaitu:

1. Bahan pakan konvensional adalah bahan baku yang sering digunakan dalam

pakan yang biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang cukup (misalnya

Protein) dan disukai ternak.

2. Bahan pakan konvensional merupakan bahan makro seperti jagung, bungkil

kedelai, gandum, tepung ikan dan bahan lainnya.

Ternak ruminansia membutuhkan sejumlah serat kasar dalam ransumnya

agar proses pencernaanya berlansung secara optimal. Sumber utama serat kasar

adalah hijauan. Oleh karena itu, ada batasan minimal pemberian hijauan dalam

komponen ternak ruminansia. Untuk penggemukan ternak ruminansia misalnya,

kebutuhan minimal hijauan berkisar antara 0,5-0,8 % bahan kering dari bobot

badan ternak yang di gemukkan. Apabila usaha penggemukan ternak ruminansia

dilakukan dalam waktu relatif singkat maka di perlukan konsentrat yang banyak

dalam komponen ransumnya. Namun perlu diketahui bahwa pemberian konsentrat

yang lebih dari 60% dalam komponen ransumnya tidak akan ekonomis lagi

walaupun harganya murah. (Kenneth dkk, 1960 dalam Sori Basya Siregar, 1996).

2.2.4.2. Manfaat Air dalam Usaha Ternak

Menurut Abidin, Zaenal (2002), air juga berfungsi untuk memandikan

sapi, karena tubuh sapi mudah sekali kotor akibat terkena tanah berair (becek) dan

Universita Sumatera Utara


daki dari keringatnya sendiri atau dari kotoran sapi sendiri, agar selalu bersih,

sebaiknya sapi di mandikan sekali sehari, caranya kulit sapi di gosok- gosok

dengan sikat, spon, atau bahan lain sehingga bersih.

Air minum yang di berikan pada sapi sebaiknya harus bersih dan tersedia

setiap saat, tempat air minum di buat permanen berupa bak semen dan letaknya

lebih tinggi dari pada permukaan lantai untuk mempermudah sapi minum,

kebutuhan air minum pada sapi mencapai 70 liter / ekor / hari (Sasroamidjojo

1975).

Ketersediaan air minum perlu di perhitungkan terlebih dahulu sebelum

suatu usaha pemeliharaan sapi di mulai karena air mutlak dibutuhkan.

Ketersediaan air di perlukan untuk mencukupi kebutuhan air minum, pembersihan

kandang atau halaman. Distribusi air kesetiap lapang ternak atau halaman

pengelolaan harus terjamin, banyaknya air yang tersedia sangat penting sekali

terutama pada ladang ternak (ranch). Ladang ternak yang menampung 180 ekor

sapi dan ternak minum 2 kali sehari akan memerlukan bak air minum dengan

volume tidak kurang dari 4.500 liter (Parhan A.P 1969).

2.2.4.3. Selang Beranak (Calving Interval)

Lama kebuntingan adalah priode dari mulai terjadinya fertilasi sampai

terjadinya kelahiran normal (Jainudeen dan Hafez, 2000). Lama kebuntingan ini

berbeda dari satu bangsa ternak ke bangsa ternak lainnya. Lama kebuntingan sapi

pada penelitian ini adalah 284,4 + 5, 7 hari dengan kisaran 278,8 sampai 290,1

hari. Lama kebuntingan untuk sapi bali telah banyak dilaporkan Davendra et.al

Universita Sumatera Utara


(1973) melaporkan lama kebuntingan sapi bali adalah 287 + 0,7 hari ; dengan

kisaran 276 -295 hari (Lubis dan Sitepu, 1998).lamanya kebuntingan di pengaruhi

oleh jenis sapi, jenis kelamin dan jumlah anak yang dikandung dan faktor lain

seperti umur induk, musim, sifat genetik dan letak giografis

Lama kebuntingan pada sapi bali sekitar 280-294 hari (Davendra et

al,1973), lama kebuntingan tersebut di pengaruhi oleh jenis kelamin, iklim,

kondisi makanan dan umur induk (Diagra et al 1979 ), selanjutnya di tambahkan

oleh Jainudeen dan Hafez (2000) bahwa pertumbuhan dan perkembangan fetus

juga di pengaruhi oleh faktor genetik (spesies, bangsa ukuran tubuh dan genotip),

faktor lingkungan (industri dan plasenta) serta faktor hormonal, sementara Fane

(1990) menyatakan bahwa kisaran bobot lahir sapi bali adalah 13-18 kg atau 9-20

kg (Anonimus ,1979). Bobot lahir anak ditemukan oleh bangsa industri, umur atau

aripitas induk dan makanan induk sewaktu mengandung (Sutan,1988).

Jarak beranak kerbau rata- rata 2-3 Tahun (Guntoro et al ,2001), di

bandingkan dengan sapi bali yang selang beratnya berkisar 350-589 hari

(Darmadja,1981).dalam Suprio Guntoro dan M. Rai Yasa (2002)

Tanari (2011) menyebutkan bahwa perkembangan sapi bali sangat cepat di

banding lainya karena tingkat kesuburanya yang tinggi, persentase beranak dapat

mencapai 80% dengan bobot lahir berkisar antara 9-20 kg (Anomimus ,1979),

( Jainudeen dan Hafez, 2000). Pada penelitian ini, dari sejumlah 799

Kelahiran ternyata lama kebuntingan pada sapi bali antara anak jantan dan anak

betina tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Lama kebuntingan pada induk

yang mengandung anak jantan adalah 284 lama kebuntingan pada induk yang

Universita Sumatera Utara


mengandung anak jantan adalah 284,9 ± 5,7 hari, dan induk yang mengandung

anak betina hampir sama yaitu 283,9 ± 5,6 hari.

Performans reproduktivitas yang tinggi pada sapi bali ditandai dengan

aktivitas ovarium dan perkawinan kembali kurang dari 2 bulan sesudah

melahirkan (Talib et al., 2001), sehingga memberikan tingkat efisiensi reproduksi

yang lebih baik dibading dengan sapi PO (Putu et al.,1998). Aktivitas ovarium

pada sapi betina biasanya muncul beberapa minggu setelah melahirkan,

tergantung oleh kondisi tubuh induk selama menyusui (laktasi). Talib et al. (1998)

menyatakan bahwa sapi bali rela mengorbankan anaknya dengan cara

meminimkan produksi susunya agar aktivitas reproduksinya (siklus birahi) segera

aktif kembali setelah melahirkan, sedangkan sapi potong lainnya kebalikannnya

yaitu menghentikan aktivitas reproduksinya dan terfokus pada pembesaran

anaknya. (dalam Endang Ramjali dan Ainur Rasyid 2007).

Ball dan Peters (2004) menyatakan dalam produksi sapi potong,

reproduksi yang baik sangat penting untuk efisiensi manajemen dan keseluruhan

produksi. Reproduksi terbaik adalah seekor induk menghasilkan satu anak setiap

tahun.

2.2.4.4. Rasio Pejantan dan Betina

Salah satu kesuksesan untuk mendapatkan anak sapi melalui kawin alam

adalah kemampuan mengenal kekuatan lingkungan yang mendukung, dan bangsa

ternak lokal yang telah terbukti adaftip pada lingkungan. Untuk sapi potong,

sekitar 95% sistim perkawinan yang dilakukan di Amerika Serikat dan Australia

Universita Sumatera Utara


adalah secara alam (O'marry dan Dyer, 1978; Hafez, 1993). Teknik perkawinan

dengan inseminasi buatan (IB) pada sistim penggembalaan dilaporkan pada

beberapa peternakan dan hasil kebuntingan yang didapat cukup tinggi, yaitu

berkisar 74-84% pada IB pertama (Wiltbank, 1970). Beberapa faktor yang perlu

mendapat perhatian antara lain: (1) pemilihan pejantan dan (2) perbandingan

pejantan dan betina .(Dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede)

1. Pemilihan Pejantan

Pemilihan pejantan yang unggul secara genetik menjadi sangat penting

untuk meningkatkan produksi ternak baik secara kuantitas maupun kualitas.

Pengaruh bangsa ternak terhadap pertumbuhan anaknya telah dilaporkan oleh

Baker (1996). Disamping pemilihan bangsa pejantan, penilaian performa pejantan

yang bersangkutan juga diperlukan antara lain : kondisi kaki, testes, penis, internal

genitalia melalui palpasi rektal, kualitas semen dan cacat. Testes yang kecil dan

lunak merupakan indikasi produksi semen yang rendah. Hubungan antara luas

testes dan kualitas semen sudah ditunjukan oleh Reddy et al. (1996). Faktor lain

yang perlu dilakukan adalah menyiapkan kondisi pejantan yang prima karena

disamping memproduksi semen juga harus mempunyai libido yang tinggi dan

fisik yang memungkinkan untuk mendeteksi birahi dan mengawini betina

(Chenoweth, 1981). Pemberian pakan yang baik, sehinggga total konsumsi

mencapai 12-16 TDN, 1,32-2,37 protein tercerna, 35-45.000 IU carotein dan 18-

20 mg phosphor per hari selama 90-100 hari sebelum penyatuan pejantan dengan

kelompok betina, dapat meningkatkan persentase kebuntingan dan produksi anak

(O'marry dan Dyer ,1978) dalam Polmer Situmorang dan I Putu Gede.

Universita Sumatera Utara


2. Perbandingan Pejantan dan Betina

Disamping kualitas genetik pejantan perbandingan pejantan, dengan betina

sangat mempengaruhi produktivitas. Penentuan perbandingan antara jantan dan

betina dipengaruhi banyak faktor, antara lain keadaan topografi padang

penggembalaan, umur pejantan, kondisi pastura, pakan dan sumber air yang

tersedia dan lama perkawinan. Topografi yang jelek, keadaan pastura dan air yang

terbatas, memerlukan jumlah pejantan yang lebih banyak. Perbandingan jantan

dan betina antara 30-60 telah dipraktekkan secara luas (Hafez, 1993), dan nisbah

yang lebih kecil yaitu 1: 25 untuk waktu perkawinan yang lebih singkat, yaitu 60-

90 hari (O'marry and Dyer 1978). Disamping perbandingan jantan betina, jumlah

pejantan per satu kelompok perkawinan juga dapat dilakukan untuk meningkatkan

daya kompetisi pejantan untuk mengawini ternak betina ataupun sistim rotasi

dimana selalu satu ekor pejantan per satuan jangka waktu tertentu. Kedua sistim

perkawinan alam ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan sistim

rotasi dapat mengoptimalkan performans pejantan yang digunakan dimana

pejantan mendapat kesempatan untuk istirahat, pemulihan kondisi dengan

suplementasi makanan dan peningkatan produksi dan deposito semen.

Kekurangannya adalah memerlukan extra tenaga kerja, dan penanganan pejantan

selama pengeluaran dari kelompok yang tidak sempurna dapat merupakan stress

tambahan untuk pejantan, dan akan mempengaruhi kualitas semen (dalam Polmer

Situmorang dan I Putu Gede).

Universita Sumatera Utara


2.2.4.5. Perkawinan Model Padang Pengembalaan (Angonan).

Bahan dan alat berupa padang pengembalaan yang pada umumnya dekat

hutan/perkebunan maupun di ladang sendiri yang dilengkapi dengan kandang

kecil berupa gubuk untuk memperoleh pakan tambahan atau air minum terutama

pada saat musim kemarau yang banyak diperoleh di dekat hutan atau Indonesia

Bagian Timur (Aryogi 2006 dalam Lukman Affandhy dkk 2007). Model ini

kotoran sapi dan dapat langsung jatuh di ladang milik sendiri atau milik petani

lain yang berfungsi menambah kesuburan tanah ketika musim tanam. Kapasitas

areal angonan sangat luas dan dapat diangon hingga ratusan ekor betina dan

beberapa pejantan, yakni hingga 60-100 ekor induk dengan 2-3 pejantan (rasio

betina : pejantan 100:3 dengan memperoleh hijauan pakan rumput atau tanaman

hutan). Manajemen perkawinan dengan cara angon dapat dilakukan oleh petani

atau kemitraan antara kelompok perbibitan sapi potong rakyat dengan perkebunan

atau kehutanan seperti di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan dengan tahapan

sebagai berikut:

1. Induk bunting tua maupun setelah beranak tetap langsung diangon bersama

pedetnya.

2. Bila ada sapi yang terlihat gejala birahi langsung dipisah untuk diamati

keadaan birahinya. Selanjutnya setelah diketahui bahwa sapi tersebut birahi

benar, maka langsung dapat dikawinkan dengan pejantan terpilih dan ditaruh

dikandang dekat rumah.

3. Setelah dua hari dikawinkan selanjutnya dapat dilepaskan kembali ke hutan

atau padang angonan (Tim Prima Tani Way Kanan, 2007).

Universita Sumatera Utara


4. Pergantian pejantan dapat dilakukan selama tiga kali beranak guna

menghindari kawin keluarga.

5. Sapi induk yang positif bunting tua (akan beranak) sebaiknya dipisah dari

kelompok angonan hingga beranak dan diletakkan di pekarangan yang dekat

dengan rumah atau dikandangkan dengan diberikan pakan tambahan berupa

konsentrat atau jamu tradisional terutama pada sapi induk pasca beranak.

Perbandingan anak jantan dan betina yang lahir pada kedua musim

tidak menunjukkan adanya pengaruh musim tersebut. Jumlah anak yang lahir

pada musim hujan sebanyak 40 ekor dengan sex ratio 60% jantan dan 40%

betina sedangkan pada musim kemarau jumlah anak yang lahir sebanyak 30

ekor dengan 18 ekor jantan dan 12 ekor betina (60 : 40). Angka kematian

antara umur 0 sampai dengan 5 bulan pada musim kemarau lebih tinggi jika di

bandingkan dengan angka kematian anak yang lahir dan hidup pada musim

hujan. Masing- masing jumlah anak yang lahir dan yang mati selama priode

musim kemarau dan hujan dalam (Lukman Affandhy dkk 2007)

2.2.4.6. Reproduksi

(Suryana 2009) Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu

memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan

dalam pengembangan sapi potong beberapa permasalahan tersebut adalah: 1)

usaha bakalan atau calf-cow operation kurang diminati oleh pemilik modal karena

secara ekonomis kurang menguntungkan dan di butuhkan waktu pemeliharaan

yang lama, 2) adanya keterbatasan pejantan unggul pada pembibitan dan

Universita Sumatera Utara


peternak, 3) ketersediaan pakan tidak kontinyu dan kualitasnya rendah terutama

di musim kemarau, 4) pemanfaatan limbah pertanian dan angroindustri pertanian

sebagai bahan pakan belum optimal, 5) efisiensi reproduksi ternak rendah dengan

jarak beranak (calving interval) yang panjang.

2.2.5. Produksi

Meskipun banyak keunggulan dari sapi bali, tetapi ditinjau dari

pengembangannya terutama usaha peternakan rakyat masih sering muncul

beberapa permasalahan diantaranya pola perkawinan yang kurang benar (sering

terjadi inbreeding/ perkawinan sedarah), minimnya pengetahuan tentang deteksi

berahi sehingga terjadi perkawinan dengan waktu yang tidak tepat, hal ini juga

dapat mempengaruhi pruduksi ternak sapi menurun drastis (Reksohadiprojo, S.

1984).

Rendahnya produksi dikarenakan angka kebuntingan sehingga

menyebabkan jarak beranak (calving interval) yang terlalu panjang lebih dari 18

bulan yang berdampak terhadap rendahnya perkembangan populasi sapi pertahun

dan Akibatnya terjadi penurunan income petani dalam usaha ternaknya, dan

dikurangnya pengetahuan peternak tentang teknologi tepat guna (Sudono, A

,1969).

Faktor produksi usahatani ternak pada dasarnya adalah tanah dan alam

sekitarnya, tenaga kerja, modal serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa

pendapat yang memasukan manajemen sebagai faktor produksi ke empat

walaupun tidak langsung (Suratiah, K 2008).

Universita Sumatera Utara


Ternak sapi potong sebagai salah satu sumber makanan berupa daging,

produktivitasnya masih sangat memperhatikan karena volumenya masih jauh dari

target yang di perlukan konsumen, hasil ini di sebabkan oleh produksi daging

masih rendah (Anwar 2002).

Beberapa faktor yang menyebapkan produksi rendah, yaitu :

1. Populasi rendah

Rendahnya populasi ternak sapi karena umumnya sebagian besar ternak sapi

potong yang di pelihara oleh peternak masih dalam skala kecil, dengan lahan

dan modal yang sangat terbatas.

2. Produksi rendah

Tingkat produksi rendah akibat faktor tujuan pemeliharaan dan penggunaan

bibit belum memadai, serta pakan yang masih rendah.

• Faktor bibit

• Faktor pakan tersedia terbatas

Menurut Guntoro (2008), sapi bali mulai berproduksi antara 2,5 sampai 3

tahun selama 1 tahun sekali. Hal ini juga sangat bergantung pada pakan dan

pemeliharaan yang baik dengan berat bakalan bekisar antara 200-300 kg dengan

kisaran umur 1-2 tahun.

2.2.6. Regresi Linier Berganda

Analisis regresi menjelaskan hubungan dua atau lebih dari variabel sebab

akibat. Artinya variabel yang satu akan di pengaruhi variabel lainya. Besarnya

pengaruh variabel ini dapat diduga dengan besar yang ditunjukkan oleh koefisien

regresi. Persamaan regresinya yaitu Y = f ( X 1 , X 2 , X 3 , X 4 …....X n )

Universita Sumatera Utara


dimana Y= variabel yang di jelaskan (dependent variabel)

X = variabel yang menjelaskan (Indevenden variabel)

Hubungan Y dan X adalah searah, dimana X akan selalu mempengaruhi Y,

dan tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya. Oleh karena itu dalam nodel

development, maka pemilihan variabel Y dan X harus cermat dan benar

(Soekartawi, 2002)

Analisis Regresi Linier Berganda merupakan sala satu metode regresi untuk

mengetimasi α dan β yang disebut dengan metode ordinary least squares method

(OLS), dengan regresi linier berganda dapat mengidentifikasikan hubungan-

hubungan yang terjadi antara peubah-peubah bebas dengan peubah tetap. Analisis

ini juga dapat mengetahui seberapa besar pengaruh yang diberikan oleh peubah

bebas tertentu terhadap peubah tetapnya. Dalam penelitian ekonomi dan bisnis,

banyak hal yang tidak bisa dikendalikan sehingga regresi berganda sering

dibutuhkan untuk menduga pengaruh yang diberikan oleh berbagai peubah secara

simultan Newbold, et.al. 2003 dalam Daslina 2006. Model umum regresi linear

berganda adalah :

Yi = α+ βX 1i +β 2 X 2i + …+ β n X ni + ε i

dengan α merupakan intercept/constanta, β 1, β 2 ,……β n koefisien regresi yang

menggambarkan pengaruh yang diberikan oleh peubah bebas (X 1 , X 2 , …X n )

terhadap peubah tak bebas (Y), dan ε merupakan galat model yang

mengakomodasikan kesalahan pendugaan, sedangkan subscript i menunjukkan

amatan (responden) ke-i.

Universita Sumatera Utara


Menurut Lains 2003 dalam dalam Daslina 2006 asumsi dasar OLS sering

dilanggar dalam melakukan estimasi sebuah model sehingga parameter yang

diperoleh menjadi bias, tidak konsisten dan tidak efisien. Asumsi dasar OLS yang

harus dipenuhi menurut Gauss dalam Lains 2003 dalam Daslina 2006 diantaranya

adalah tidak terdapat kolinearitas ganda (multikolineraitas) berderajat tinggi yang

akan menghasilkan koefisien regresi yang tidak efisien. Yang dimaksud dengan

multicollinearity adalah situasi yang menjelaskan adanya interkorelasi yang tinggi

antara variabel penduga Maddala, 1989 dalam dalam Daslina 2006. Selanjutnya

disebutkan untuk mengetahui adanya multikolinearitas tersebut dapat diukur

dengan nilai variance inflation factor (VIF) dengan rumus sebagai berikut :

1
VIF (β i ) =
1 – Ri2

Dimana R i 2 adalah koefisien korelasi antara variabel X i dengan variabel penjelas

lainnya. Dan Mechling (1997 dalam Daslina 2006 menambahkan bahwa nilai VIF

yang lebih besar dari 10 memberikan indikasi adanya multikolinearitas.

2.3. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka pengembangan kawasan peternakan Ketapang 1 Kabupaten

Aceh Tengah , maka perlu di ketahui masalah yang menyebabkan rendahnya

penambahan populasi ternak sehingga dapat dicarikan langkah-langkah strategis

pengembangan peternakan terutama sapi potong dalam upaya pemberdayaan

peternak untuk meningkatkan penambahan populasi ternak sehingga tercapainya

skala usaha dalam budidaya ternak potong. Beberapa faktor- faktor yang dapat

Universita Sumatera Utara


mempengaruhi keberhasilan suatu usaha peternakan seperti yang datang dari

manusianya atau peternak yang meliputi; umur, pendidikan, pengalaman, jumlah

tanggungan, dan pekerjaan sebelum beternak. Faktor faktor yang lainya yang

bersumber dari dalam manajemen pemeliharaan ternak tersebut yang perlu di

ketahui sehingga masalah yang timbul dari proses peternakan tersebut dapat

perkecil. Dalam pemeliharaan ternak, ketersediaan hijauan pakan ternak akan

mempengaruhi penambahan populasi ternak, semakin tersedia hijauan secara

optimal dan bervariasi maka akan semakin baik pertumbuhan dan penambahan

populasi ternak. Setelah pakan air adalah hal utama dalam pertumbuhan ternak, 70

% dari pertumbuhan ternak bersumber dari air, disamping untuk kebutuhan air

minum, air untuk penyiraman hijauan makanan ternak, air untuk sanitasi dan

lainya sehingga air ini harus tersedia secara terus menerus. Selang beranak

(calving interval) merupakan selang beranak induk dari beranak I ke beranak

seterusnya semakin pendek selang beranak maka penambahan populasi ternak

semakin baik. Rasio jantan dengan betina merupakan perbandingan jumlah jantan

dengan betina semakin banyak pejantan unggul yang siap untuk mengawini induk

betina maka semakin baik. Mortalitas bibit dan mortalitas anak merupakan tingkat

kematian bibit dan anak, semakin kecil nilai persentase kematian maka akan

semakin baik. Pencurahan tenaga kerja merupakan ketersediaan waktu peternak

dalam mengurusi ternaknya, semakin banyak waktu yang di luangkan peternak

maka peternak akan lebih mengetahui permasalahan ternaknya dan solusinya

sehingga pemeliharaan ternak bisa lebih optimal. Manajemen pemeliharaan ternak

Universita Sumatera Utara


merupakan kemampuan peternak dalam mengkombinasikan dan menangani

ternaknya secara baik dan efisien sehingga pemeliharaan dapat lebih baik.

Konsep kerangka pemikiran dapat di lihat pada Gambar 1.

Kerangka Pemikiran

Kebijakan Pengembangan Kawasan Peternakan Ketapang 1


Kabupaten Aceh Tengah

Upaya yang di lakukan untuk penambahan populasi

Populasi Ternak Sapi Bali

Analisis Faktor- Faktor yang Analisis karateristik


mempengaruhi penambahan peternak
populasi ternak:
1. Hijauan makanan ternak 1. Umur
2. Air 2. Pendidikan
3. Selang beranak 3. Pengalaman
4. Rasio jantan dan betina 4. Jumlah tanggungan
5. Tingkat mortalitas bibit 5. Pekerjaan sebelum
6. Tingkat mortalitas anak beternak
7. Pencurahan tenaga kerja
8. manajemen

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

2.4. Hipotesis Penelitian

Universita Sumatera Utara


Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut:

1. Faktor- faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi bali (Jumlah hijauan

makan ternak, air, selang beranak, rasio jantan dengan betina, tingkat

mortalitas bibit, tingkat mortalitas anak, pencurahan tenaga kerja dan

manajemen) berpengaruh terhadap penambahan populasi ternak di peternakan

Ketapang 1 Aceh Tengah.

Universita Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai