Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Sel Darah Merah


Darah adalah suatu jaringan tubuh yang terdapat di dalam pembuluh
darah yang warnanya merah. Warna merah itu keadaannya tidak tetap
tergantung pada banyaknya oksigen dan karbon dioksida didalamnya.
Adanya oksigen dalam darah diambil dengan jalan benafas dan zat ini
sangat berguna pada peristiwa pembakaran atau metabolism di dalam
tubuh. Karakteristik fisik darah meliputi :
1) Viskositas atau kekentalan darah : 4,5-5,5
2) Temperature : 38 C
3) pH : 7,37-7,45
4) Salinitas : 0,9%
5) Berat : 8% dari berat badan
6) Volume : 5-6 liter (pria)
4-5 liter (wanita)

Darah selamanya beredar di dalam tubuh oleh karena adanya atau


pompa jantung. Selama darah berada dalam pembuluh maka akan tetap
encer, tetapi kalau ia keluar dari pembuluhnya maka ia akan menjadi beku.
Pembekuan ini tetap dicegah dengan jalan mencampurkan ke dalam darah
tersebut sedikit obat anti pembekuan atau sitrasnatrikus. Sel darah merah
dapat dilihat pada gambar 1.1. berikut :

Gambar 2.1 Anatomi Sel Darah Merah


(Sumber : Morton dan England,2013)

30
Darah memiliki fungsi darah, proses pembentukan darah dan
komposisi darah yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Fungsi Darah
Darah memiliki beberapa fungsi, fungsi yang pertama adalah
sebagai alat pengangkut, yaitu : mengambil oksigen atau zat
pembakaran dari paru-paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh,
mengangkut karbon oksida dari jaringan untuk dikeluarkan melalui
paru-paru, mengambil zat-zat makanan dari usus halus untuk
diedarkan dan dibagikan ke seluruh jaringan tau alat tubuh,
mengangkat atau mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh
untuk dikeluarkan melalui kulit ginjal, sebagai pertahanan tubuh
terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan
perantaraan leukosit dan antibody untuk mempertahankan tubuh
terhadap invasi mikroorganisme dan benda asing (leukosit) dan proses
homeostasis (trombosit), sebagai pengatur regulasi, yaitu :
a) Mempertahankan pH dan konsentrasi elektrolit pada cairan
interstitial melalui pertukaran ion-ion dan molekul pada cairan
interstitial.
b) Darah mengatur suhu tubuh melalui transport panas menuju kulit
dan paru-paru.
2. Tempat Pembentukan Sel Darah
Pembentukan sel darah (hemopoiesis) terjadi pada awal masa
embrional, sebagian besar pada hati dan sebagian kecil pada limpa.
Dari kehidupan fetus hingga bati dilahirkan, pembentukan sel darah
berlangsung dalam 3 tahap, yaitu :
a) Pembentukan di saccus vitellinus
b) Pembentukan di hati, kelenjar limfe, dan limpa
c) Pembentukan di sumsum tulang
Pembentukan sel darah mulai terjadi pada sumsum tulang setelah
minggu ke-20 masa embrionik. Dengan bertambahnya usia janin,
produksi sel darah semakin banyak terjadi pada sumsum tulang dan

30
peranan hati dan limpa semakin berkurang. Sesudah lahir, semua sel
darah dibuat pada sumsum tulang, kecuali limfosit yang juga dibentuk
di kelenjar limfe, tymus, dan lien. Selanjutnya pada orang dewasa
pembentukan sel darah diluar sumsum tulang (extramedullary
hemopoiesis) masih dapat terjadi bila sumsum tulang mengalami
kerusakan atau mengalami fibrosis. Sampai dengan usia 5 tahun, pada
dasarnya semua tulang dapat menjadi tempat pembentukan sel darah,
tetapi sumsum tulang dari tulang panjang, kecuali bagian proksimal
humerus dan tibia, tidak lagi membentuk sel darah setelah usia
mencapai 20 tahun. Setelah usia 20 tahun, sel darah diproduksi
terutama pada tulang belakang, sternum, tulang iga dan ileum. 75%
sel pada sumsum tulang menghasilkan sel darah putih (leukosit) dan
hanya 25% menghasilkan eritrosit. Jumlah eritrosit dalam sirkulasi
500 kali lebih banyak dari leukosit, hal ini disebabkan oleh karena
usia leukosit dalam sirkulasi lebih pendek (hanya beberapa hari)
sedangkan erotrosot hanya 120 hari.
3. Komposisi Darah
Darah terdiri dari plasma dan sel-sel darah Plasma terdiri dari air,
protein, dan bahan-bahan non protein Plasma protein terdiri dari
albumin (55%), globulin α, β, γ (38%), fibrinogen (7%) Sel-sel darah
terdiri dari eritrosit,leukosit, dan trombosit. Dimana leukosit terbagi 2
yaitu granulosit : netrofil, eosinofil, dan basofil. Serta agranulosit :
limfosit dan monosit (Andra dan Yessie, 2013).

B. Konsep Teoritis Anemia


1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai keadaan dimana massa eritrosit atau
massa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh (Handayani, 2006). Anemia
adalah berkurangnya darah hingga dibawah nilai normal jumlah sel

30
darah merah, kualitas hemoglobin, dan volume packed red blood cell
(hematokrit) per 100ml darah (Price, 2006)
Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel
darah merah dan kadar hematokrit dibawa normal. Anemia bukan
merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan
suatu penyakit (gangguan) fungsi tubuh. Secara fisiologis anemia
terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan. Anemia tidak merupakan satu
kesatuan tetapi merupakan akibat dari berbagai proses patologik yang
mendasari (Brunner, 2013).
Anemia pada gagal ginjal kronik (GGK) yang timbul apabila
kreatini serum lebih dari 0,5mg/dl atau glomerular filtration rate
(GFR) menurun sampai 30% dari normal. Anemia akan lebih berat
apabila fungsi ginjal menjadi lebih buruk lagi tetapi apabila penyakit
ginjal telah mencapai stadium akhir, anemia relative akan menetap.
Apabila pada stadium akhir gagal ginjal kronik anemia memburuk,
kita harus memikirkan terjadinya sesuatu komplikasi misalnya suatu
perdarahan gastrointestinal. Berat ringannya anemia pada gagal ginjal
kronik tergantung dari penyakitnya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa
anemia merupakan berkurangnya jumlah massa eritrosit sehingga
darah kekurangan oksigen ke perifer yang cukup dan menyebabkan
penurunan kadar hemoglobin atau eritrosit.

2. Batasan/Kriteria Anemia
Anemia memiliki kelompok atau batasan-batasan tersendiri,
adapun batasan anemia sebagai berikut :
Tabel 2 .1 Kriteria Anemia Menurut WHO (2013)
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki dewasa <13%

30
Wanita dewasa tidak hamil <12%
Wanita hamil <11%
(Dikutip dari hoffbrandAV, et al, 2007)
Tabel 2.2 Batasan Anemia menurut Depkes RI (2013), yaitu :
Kelompok Batas normal hemoglobin
Anak balita 11%
Anak usia sekolah 12%
Wanita dewasa 12%
Laki-laki dewasa 13%
Ibu hamil 11%
Ibu menyusui >3bulan 12%
(Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2013)

3. Etiologi
Berkurangnya sel darah merah dapat disebabkan oleh kekurangan
kofaktor untuk eritropoesis, seperti asam folat, vitamin B12, dan zat
besi. Produksi sel darah merah juga dapat turun apabila sumsum
tulang tertekan oleh tumor atau rangsangan yang tidak memadai
karena kekurangan eritropoetin, seperti yang terjadi pada penyakit
ginjal kronis. Peningkatan penghancuran sel darah merah terjadi
akibat aktivitas sistem retikuloendotelial yang berlebihan (misal
hiperplenisme) atau akibat sumsum tulang yang menghasilkan sel
darah merah abnormal (Kuswari, 2012).
Penyebab anemia pada gagal ginjal kronik terdiri dari :
Sebab primer :
a. Produk eritropoetin berkurang
b. Adanya faktor penghambatan eritropoetin
c. Hemolisis
Faktor-faktor pemberat :
a. Produk eritropoetin menurun oleh infeksi, malnutrisi dan
nefrektomi.

30
b. Hemolisis yang meningkat oleh obat-obatan, hipofosfatemia,
mikroangiopati, hipersplenisme dan hiperkupremia.
c. Defisensi besi dan asam folat.
d. Hiperparatiroidisme.
Anemia yang terjadi pada gagal ginjal kronik biasanya jenis
normokrom normositer dan non regeneratif. Masa hidup eritrosit
memendek, disebabkan oleh ekstrakorpuskular. Hal ini dibuktikan
dengan cara transfusi silang, kadar eritropoetin ginjal rendah. (supan
diman, 2012)

4. Klasifikasi
Anemia dapat diidentifikasikan menurut morfologi sel darah merah
serta indeks-indeksnya dan menurut etiologinya. Pada klasifikasi anemia
menurut morfologi sel darah merah dan indeks-indeksnya terbagi
menjadi :

a. Menurut ukuran sel darah merah


Anemia normositik (ukuran sel darah merah normal), anemia
mikrositik (ukuran sel darah merah kecil) dan anemia makrositik
(ukuran sel darah merah besar).

b. Menurut kandungan dan warna hemoglobin


Anemia normokromik (warna hemoglobin normal), anemia
hipokromik (kandungan dan warna hemoglobin menurun) dan
anemia hiperkromik (kandungan dan warna hemoglobin meningkat).

Menurut Brunner dan Suddart (2001), klasifikasi anemia menurut


etiologinya secara garis besar adalah berdasarkan defek produksi sel
darah merah (anemia hipoproliferatifa) dan destruksi sel darah
merah (anemia hemolitika).

30
1) Anemia Hipoproliferatifa
Sel darah merah biasanya bertahan dalam jangka waktu
yang normal, tetapi sumsum tulang tidak mampu menghasilkan
jumlah sel yang adekuat jadi jumlah retikulositnya menurun.
Keadaan ini mungkin disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang
akibat obat dan zat kimia atau mungkin karena kekurangan
hemopoetin, besi, vitamin B12 atau asam folat. Anemia
hipoproliferatifa ditemukan pada :
a. Anemia aplastik
Pada anemia aplastik, lemak menggantikan sumsum
tulang, sehingga menyebabkan pengurangan sel darah
merah, sel darah putih dan platelet. Anemia aplastik
sifatnya kongenital dan idiopatik.
b. Anemia pada penyakit ginjal
Secara umum terjadi pada klien dengan nitrogen urea
darah yang lebih dari 10 mg/dl. Hematokrit menurun
sampai 20 sampai 30 %. Anemia ini disebabkan oleh
menurunnya ketahanan hidup sel darah merah maupun
defisiensi eritropoetin.
c. Anemia pada penyakit kronik
Berbagai penyakit inflamasi kronis yang berhubungan
dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah
merah dengan ukuran dan warna yang normal). Apabila
disertai dengan penurunan kadar besi dalam serum atau
saturasi transferin, anemia akan berbentuk hipokrom
mikrositik. Kelainan ini meliputi arthritis reumatoid, abses
paru, osteomielitis, tuberkulosis dan berbagai keganasan.
d. Anemia defisiensi-besi
Anemia defisiensi besi adalah keadaan dimana
kandungan besi tubuh total turun dibawah tingkat normal
dan merupakan sebab anemia tersering pada setiap negara.

30
Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa rata-rata
mengandung 3 - 5 gram besi, tergantung pada jenis kelamin
dan besar tubuhnya.
Penyebab tersering dari anemia defisiensi besi adalah
perdarahan pada penyakit tertentu (misal : ulkus, gastritis,
tumor pada saluran pencernaan), malabsorbsi dan pada
wanita premenopause (menorhagia). Menurut Pagana dan
Pagana (1995), pada anemia defisiensi besi, volume
corpuscular rata-rata (Mean Corpuscular Volume atau
MCV), microcytic Red Blood Cells dan hemoglobin
corpuscular rata-rata (Mean Corpuscular Haemoglobine
atau MCH) menurun.
e. Anemia megaloblastik
Anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
dan asam folat. Terjadi penurunan volume corpuscular rata-
rata dan mikrositik sel darah merah. Anemia megaloblastik
karena defisiensi vitamin B12 disebut anemia pernisiosa.
Tidak adanya faktor instrinsik pada sel mukosa lambung
yang mencegah ileum dalam penyerapan vitamin B12
sehingga vitamin B12 yang diberikan melalui oral tidak
dapat diabsorpsi oleh tubuh sedangkan yang kita tahu
vitamin B12 sangat penting untuk sintesa deoxyribonucleic
acid (DNA).
Anemia megaloblastik karena defisiensi asam folat,
biasa terjadi pada klien yang jarang makan sayur-mayur,
buah mentah, masukan makanan yang rendah vitamin,
peminum alkohol atau penderita malnutrisi kronis.
2) Anemia Hemolitika
Pada anemia ini, eritrosit memiliki rentang usia yang
memendek. Sumsum tulang biasanya mampu berkompensasi
sebagian dengan memproduksi sel darah merah baru tiga kali

30
atau lebih dibandingkan kecepatan normal. Ada dua macam
anemia hemolitika, yaitu :
a. Anemia hemolitika turunan (Sferositosis turunan)
Merupakan suatu anemia hemolitika dengan sel darah merah
kecil dan splenomegali.
b. Anemia sel sabit
Anemia sel sabit adalah anemia hemolitika berat akibat
adanya defek pada molekul hemoglobin dan disertai dengan
serangan nyeri. Anemia sel sabit adalah kerusakan genetik
dan merupakan anemia hemolitik herediter resesif. Anemia
sel sabit dikarenakan oklusi vaskuler dalam kapiler yang
disebabkan oleh Red Blood Cells Sickled(RBCs) dan
kerusakan sel darah merah yang cepat (hemolisis). Sel-sel
yang berisi molekul hemoglobin yang tidak sempurna
menjadi cacat, kaku dan berbentuk bulan sabit ketika
bersirkulasi melalui vena. Sel-sel tersebut macet di pembuluh
darah kecil dan memperlambat sirkulasi darah ke organ-organ
tubuh. RBCs berbentuk bulan sabit hanya hidup selama 15-21
hari.

5. Patofisiologi
Pasien gagal ginjal kronik biasanya mengalami anemia. Penyebab
utama adalah defisiensi produksi eritropoetin yang dapat
meningkatkan risiko kematian, uremia penghambat eritropoiesis,
pemendekkan umur eritrosit, gangguan homeostasis zat besi.
Antagonis eritropoetin yaitu sitokin proinflamasi bekerja dengan
menghambat sel-sel progenitor eritroid dan menghambat metabolism
besi. Resistensi eritropoetin disebabkan oleh peradangan maupun
neocytolysis. Beberapa mekanisme patofisiologi mendasari kondisi
ini, termasuk terbatasnya ketersediaan besi untuk eritropoiesis,
gangguan proliferasi eritroid, penurunan eritropoetin dan reseptor

30
eritropoetin dan terganggunya sinyal transduksi eritropoetin.
Penyebab lain anemia pada pasien gagal ginjal kronik adalah infeksi
dan defisiensi besi mutlak. Kehilangan darah adalah penyebab umum
dari anemia pada gagal ginjal kronik. Hemolisis, kekurangan vitamin
B12 atau asam folat, hiperparatiroidisme, hemoglobinopati dan
kegnasan, terapi angiotensin-converting-enzyme (ACE) inhibitor yang
kompleks dapat menekn eritropoiesis (Sylvia, 2006)
Kekurangan hemoglobin ini juga membuat terbentuknya
mekanisme kompensasi tubuh menjadi aktif. Anemia berpengaruh
besar terhadap sistem vaskuler. Karena jika kapasitas mengangkut
oksigen berkurang juga dapat menyebabkan menurunnya konsentrasi
sel darah merah berarti viskositas darah juga menurun, karenanya
aliran darah menjadi cepat. Hipoksia terjadi pada tingkat jaringan
yang merangsang jantung untuk memompa lebih cepat untuk mencoba
memberikan oksigen lebih banyak. Jantung akan mengalami stres
karena bekerja lebih berat (muttaqin, 2012).
Penurunan oksigen tersebut menyebabkan beban kerja jantung
meningkat dan aliran darah yang tidak adekuat ke otak dan jaringan
hingga peningkatan cardiac output yang berlanjut pada jantung. Hal
ini juga akan berpengaruh pada peningkatan frekuensi pernafasan
karena adanya pengurangan gradien oksigen dari udara di lingkungan
ke udara alveolar, dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia
lebih banyak dari pada cardiac output yang normal (Muttaqin, 2012).

6. Manifestasi Klinis
Karena sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat
menimbulkan manifestasi klinis yang luas tergantung pada kecepatan
timbulnya anemia, usia, mekanisme kompensasi, tingkat aktivitasnya,
keadaan penyakit yang mendasari dan beratnya anemia. Secara umum
gejala anemia menurut Bambang, (2006) adalah :

30
a. Hb menurun (<12g/dl), trombpsitosis/trombositopenia,
pansitopenia
b. Penurunan BB, kelemahan
c. Takikardia, TD menurun, pengisian kapiler lambat, ekstemitas
dingin, palpitasi, kulit pucat
d. Mudah lelah, sering istirhat, nafas pendek, proses menghisap
yang buruk (bayi)
e. Sakit kepala, pusing, kunang-kunang, peka rangsang
Tanda-tanda dan gejala anemia pada gagal ginjal kronik :
a. Lemas
b. Kelelahan atau merasa lelah
c. Sakit kepala
d. Masalah dengan konsentrasin
e. Pucat
f. Pusing
g. Kesulitan bernapas atau sesak nafas
Siapapun yang memiliki kesulitan bernapas atau sesak napas
harus perawatan medis.

. 7. Komplikasi
Menurut Bakta, 2009 komplikasi dari anemia adalah sebagai berikut :
a) Daya konsentrasi menurun.
b) Kemampuan mengolah informasi yang didengar menurun.
c) Sepsis.
d) Sensitisasi terhadap antigen donor yang bereaksi/silang
menyebabkan perdarahan yang tidak terkendali.
e) Cangkokan vs penyakit hospes (timbul setelah pencangkokan
sumsum tulang).
f) Kegagalan cangkokan sumsum.

30
g) Leukimia mielogen akut berhubungan dengan anemia fanconi.
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Urin
a) Volume : Biasanya kurang dari 400ml/ jam (oliguria), atau
urine tidak ada (anuria).
b) Warna : secara normal perubahan urine mungkin disebabkan
oleh pus(nanah), bakteri, lemak, partikel koloid, fostat,
sedimen kotor, warna kecoklatan menunjukkan adanya darah,
miglobin dan porfirin.
c) Osmolailitas : kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan
keruskan tubular, amrasio urine (ureum sering 1:1).
2) Kliren kreatinin mungkin agak menurun.
3) Natrium : lebih besar dari 40 Emq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium.
4) Protein : derajat tinggi proteinuria (3-4+), secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila sel darah merah dan
fragmen juga ada.

5) Darah
a) Kreatinin : biasanya meningkat dalam proporsi.
Kadar kreatinin 10mg/dL diduga tahap akhir (mungkin
rendah yaitu 5).
b) Hitung darah lengkap : hematokrit menurun pada adanya
anemia. Hb kurang dari 7-8g/dL.
c) Sel darah merah : waktu hidup menurun pada defisiensi
eritropoetin seperti pada azotemia.
d) Gula darah analisa : pH, penurunan asidosis metabolik
(kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal

30
untuk mengeksekresik hidrogen dan aminia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun PCO2 menurun.
e) Natrium serum : rendah, bila ginjal kehabisan natrium atau
normal (menunjukkan status dilusi hipernatremia).
f) Kalium : peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai
dengan pepindahan selular (asidosis), pengeluaran jaringan
(hemolisis sel darah merah).
b. Pemeriksaan radiologi
1) Ultrasono grafi ginjal digunkan untuk menentukan ukuran ginjal
dan adanya masa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan
bagian atas.
2) Biopsy ginjal dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologis.
3) Endoskopi ginjal dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal.
4) EKG mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa.
5) Renogram untuk menilai fungsi ginjal kanan dan kiri, lokasi dari
gangguan (vascular, parenkim,eksresi) serta sisa fungsi ginjal.

9. Penatalaksanaan
Hal yang dilakukan jika diketahui mengalami anemia diantaranya
sebagai berikut :
1. Penilaian faktor penyebab atau pemberat anemia
Dengan melihat faktor penyebab maka anemia dapat ditangani
dengan tepat.
2. Koreksi anemia
a) Asam folat
Jika terjadi defisiensi perlu segera diterapi dengan suplemen asam
folat karena penting untuk pembentukkan asam nukleat, protein,

30
asam amino, purin, timin, DNA dan RNA (Ineck, 2008). Selain
itu berkaitan dengan peningkatan profilerasi eritroid dan
suplemen yang memadai untuk menunjang efek optimal dari
eritropoietin (Bamgbola, 2011).
b) Vitamin B12
Merupakan substrat utama pembentukkan sel darah merah.
Vitamin B12 merupakan nutrisi hematopoetik. Jika jumlahnya
sedikit dapat membatasi efikasi eritropoiesis atau proses
pembentukkan sel darah merah (Bamgbola, 2011).
c) Eritropoetin
1) Inisiasi terapi ESA
untuk pasien yang memungkinkan keuntungan kualitas hidup
dan fungsi fisik jika dilakukan terapi ini. Selain itu terlebih
dahulu mempertimbangkan kelayakan ESA jika terdapat
komorbid atau perkembangan kearah negatif. Dapat dicoba
jika belum jelas keuntungannya. Usia sendiri bukan merupakan
faktor penentu terapi anemia karena GGK (Hislop, 2011).
2) Penyesuaian dosis ESA
Untuk menjaga kadar Hb pada rentang 10-13g/dl pada dewasa
atau 9,5-11,5g/dl pada anak usia <2 tahun. Untuk menjaga
kecepatan peningkatan Hb antara 1-2g/dl tiap bulan.
Penyesuaian ini dilakukan jika Hb >11,5g/dl atau dibawah
10,5g/dl (Hyslop, 2011).
d) terapi zat besi
Zat besi dibutuhkan untuk produksi sel darah merah baru. Zat besi
harus disuplai menuju jaringan eritropoetik dalam jumlah cukup
(Mikhail, 2012). Menurut Hyslop, (2011), dalam melakukan
terapi anemia pada gagal ginjal kronik dibutuhkan terapi zat besi,
hal-hal yang perlu diperhatikan adalah :
a) Mengoptimalkan status zat besi

30
Bisa dilakukan sebelum atau ketika memulai terapi ESA.
Dapat juga dilakukan sebelum memutuskan menggunakan
ESA pasa pasien non dialisis.
b) Koreksi zat besi yang harus dijaga
Antara lain serum feritin >200µg/L, TSAT 20% (kecuali jika
feritin >800µg/L), HRC <60% (kecuali jika feritin
>800µg/L). Dilakukan tinjauan dosis zat besi ketika serum
feritin mencapai 500µg/L (sebaiknya di ats 800µg/L).
Penatalaksanaa Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada anemia menurut Brunner dan
Suddarth, (2016), meliputi :
1) Bantu pasien untuk memprioritaskan aktivitas dan
menyeimbangkan antara aktivitas dan istirahat.
2) Mempertahankan nutrisi yang adekuat.
3) Mempertahankan perfusi yang adekuat.
4) Pantau tanda-tanda vital dan hasil pemeriksaan oksimeter denyut
nadi secara ketat, dan sesuaikan atau tunda medikasi sesuai
indikasi.
5) Berikan tambahan oksigen, transfusi, dan cairan IV sesuai
program.

C. Konsep Asuhan Keperawatan dengan Anemia


Asuhan keperawatan anemia meliputi pengkajian, diagnosa,
perencanaan keperawatan, implementasi, dan evaluasi. Adapun langkah
pertama yaitu pengkajian keperawatan, sebagai berikut :
1. Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan salah satu komponen dari proses
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam
menggali permasalahan dari klien meliputi usaha pengumpulan data
tentang status kesehatan seseorang klien secara sistematis,

30
menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan (Perry dan Potter,
2010).
a. Identitas klien dan keluarga
Meliputi nama, umur, TTL, pekerjaan, agama, pendidikan, alamat,
dsb.
b. Keluhan utama
Biasanya pada anemia, klien datang ke RS dengan keluhan pucat,
kelelahan, kelemahan, pusing.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Pengkajian riwayat penyakit dahulu yang mendukung dengan
melakukan serangkaian pertanyaan, meliputi : kemungkinan
sebelumnya klien pernah menderita anemia, pernah meminum
suatu obat tertentu dalam waktu lama, pernah menderita penyakit
malaria, pernah mengalami pembesaran limfe, pernah mengalami
penyakit keganasan yang tersebar seperti kanker payudara,
leukemia dan multiple myeloma, pernah kontak dengan zat kimia
atau toksik, penyinaran dengan radiasi, pernah mengalami
kekurangan vitamin yang penting, seperti vitamin B12, asam folat,
vitamin C dan besi.
d. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatka meliputi klien
pucat, kelemahan, sesak nafas, sampai adanya gejala gelisah,
diaforesis (keringat dingin). Takikardia, dan penurunan
kesadaran (Andra dkk, 2013).
Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi
tanda dan gejala penurunan kadar eritrosit dan hemoglobin
dalam darah, yaitu dengan adanya kelemahan fisik, pusing, dan
sakit kepala, gelisah, diaforesis (keringat dingin0 takikardi, sesak
nafas, serta kolaps, serta sirkulasi yang progresif cepat atau syok.
Namun, pengurangan hebat jumlah sel darah merah dalam waktu
beberapa bulan (walaupun pengurangan 50%) memungkinkan

30
mekanisme kompensasi tubuh untuk menyesuaikan diri dan
biasanya klien asimtomatik (Muttaqin, 2012)
e. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat anemia dalam keluarga : riwayat penyakit-penyakit,
seperti kanker, jantung, hepatitis, DM, asma, penyakit-
penyakit infeksi saluran pernafasan.
f. Riwayat psikososial
Meliputi mekanisme koping yang digunakan klien untuk mengatasi
masalah dan bagaimana motivasi kesembuhan dan cara klien
menerima keadaanya. Pada pengkajian psikososial akan didapatkan
peningkatan kecemasan, serta perlunya pemenuhan informasi,
intervensi keperawatan dan pengobatan.
g. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Keadaan tampak lemah sampai sakit berat. Ini umumnya
diakibatkan oleh berkurangnya volume darah, berkurangnya
hemoglobin, dan vasokonsrtiksi untuk memperbesar
pengiriman oksigen ke organ-organ vital.
2. Kesadaran
Compos mentis, kooperatif, sampai terjadi penurunan tingkat
kesadaran : apatis, somnolen, spoor, koma.

3. Tanda-tanda vital
TD : TD menurun (N : 90-110/60-7-mmHg)
Frekuensi nadi meningkat, kuat sampai lemah (N : 60-
100x/menit)
Suhu bisa meningkat atau menurun (N : 36,5-37,2°C)
Pernafasan meningkat
4. Sistem kardiovaskular

30
Tanda dan gejala : hipertensi, pitting edema (kaki, tangan,
sacrum), edema periorbital, pembesaran vena jugularis, gagal
jantung, pericarditis takikardia dan distritmia.
5. Sistem integument
Tanda dan gejala : warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering
bersisik, pruritus, echimosis, kulit tipis dan rapuh, rambut tipis
dan kasar, turgor kulit buruk.
6. Sistem pulmoner
Tanda dan gejala : sputum kental, nafas dangkal, oedem paru,
gangguan pernapasan, asidosis metabolic, pneumonia, sesak
napas.
7. Sistem gastrointestinal
Tanda dan gejala : anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare,
perdarahan dari gasstrointestinal track (GIT).
8. Sistem neurologi
Tanda dan gejala : kelemahan dan keletihan, kejang, malaise.
9. Sistem musculoskletal
Tanda dan gejala : kram otot, kekuatan otot hilang.
10. Sistem urinaria
Tanda dan gejala : oliguria, proteinuria, hematuria, anuria,
abdomen kembung, hipokalsemia, asidosis metabolic.
(Sumber : Doengoes, 1999)

2. Diagnosa Keperawatan
Setelah data terkumpul, langkah berikutnya adalah menganalisa
data sehingga diperoleh diagnosa keperawatan. Terjadi masalah
kesehatan (pada seseorang, kelompok, keluarga) yang dapat ditangani
perawat untuk menentukan tindakan perawat untuk menanggulangi
atau mengurangi masalah tersebut. Menurut Brunner dan Suddarth,
(2016) diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan, yaitu :

30
1. Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan
konsentrasi hemoglobin.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan gangguan
neuromuskular.
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen.
3. Intervensi Keperawatan
Perencanaan keperawatan adalah rencana keperawatan yang akan
penulis rencanakan kepada klien sesuai dengan diagnosa yang
ditegakkan sehingga kebutuhan klien dapat terpenuhi. Dalam teori ini
perencanaan keperawatan ditulis dengan rencana dan kriteria hasil
berdasarkan Nursing Intervension Clasification (NIC) dan Nursing
Outcome Clasification (NOC) (Glora dkk, 2013).

30
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase tindakan pada proses keperawatan. Tindakan
tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, aktivitas mandiri yang merupakan
aktivitas saat perawat menentukan keputusannya sendiri, serta aktivitas
kolaboratif yang merupakan aktivitas-aktivitas yang telah diprogramkan oleh
dokter serta dilaksanakan oleh perawat, contohnya pemberian obat (Potter &
Perry, 2006).
Implementasi merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tujuan dari pelaksanaan adalah membantu klien dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan, penyakit, pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.

3. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah aspek penting proses keperawatan karena
kesimpulan yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan
harus diakhiri dan dilanjutkan, atau di ubah (Kozier, 2011). Evaluasi adalah
tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan
seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah
berhasil ducapai berdasarkan tujuan yang telah dibuat dalam perencanaan
keperawatan (Potter & Perry, 2006). Evaluasi keperawatan terdiri dari :
a. S : ungkapan perasaan dan keluhan yang dikeluhkan secara subjektif oleh
keluarga maupun pasien setelah di beri tindakan keperawatan.

b. O : keadaan objektif yang dapat diidentifikasi oleh perawat menggunakan

Pengamatan yang objektif.

c. A : analisa perawat setelah mengetahui respon pasien secara objektif dan

subjektif.

d. P : perencanaan selanjutnya setelah perawat melakukan analisa.

30

Anda mungkin juga menyukai