Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM AGRARIA

Dosen Pengampu : Bapak M. Sjuhad, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Retno Ajeng Pratiwi (171741018151270)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYAGAMA
MALANG
2017
PENGGUSURAN TANAH DADAP

JAKARTA, Indonesia - Rencana relokasi warga Kampung Baru Dadap disambut


penolakan besar-besaran. Mereka akan kehilangan tempat tinggal untuk ditata
ulang sebagai upaya pemberantasan lokalisasi. Awalnya, warga menyambut baik
rencana pemerintah daerah ini sebab mereka memang ingin memberantas masalah
prostitusi di Indonesia. Belum lagi, Pemkab juga menjanjikan pembangunan
Islamic Center serta Wisata Kuliner. Namun, saat itu warga belum tahu kalau
mereka akan direlokasi. Tiba-tiba saja, pada 14 Maret lalu, Pemkab mengatakan
kalau penataan ini juga akan lebih menjurus ke penggusuran warga. Lebih
parahnya lagi, mereka sudah harus meninggalkan rumah pada 23 Mei 2016.
Perseteruan antar keduanya berlangsung sengit, bahkan membuat Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI harus menjadi
mediator.

Berikut 5 pelanggaran HAM, berikut bantahan pemerintah yang kamu harus tahu:

1. Tidak ada sosialisasi

Waisul Kurnia, 33 tahun, warga dikumpulkan di Rumah Kawin 9


Saudara untuk diberikan sosialisasi tentang penertiban lokalisasi pada 14
Maret lalu. Sekitar 117 warga hadir dalam pertemuan tersebut. Acara
dibuka oleh Sekretaris Daerah Iskandar Mirzad. “Awalnya tentang
lokalisasi, lalu semuanya melenceng jadi penggusuran ke pemukiman
warga. Sekda bilang warga akan dibuatkan rumah susun dan Islamic
Center,” katanya.

Penjelasan lokalisasi itu, menurut dia, juga aneh karena tempat-


tempat mesum sudah ditutup sejak dua bulan sebelumnya. Warga merasa
kalau ini hanya akal-akalan semata. Salah satu nelayan Dadap,
Muhammad Alwi, menduga kalau relokasi ini ada kaitan dengan
pembangunan jembatan penghubung dari salah satu pulau reklamasi.
Namun, kedua sangkaan ini lekas dibantah Iskandar. "Sudah diberitahu
sejak pertemuan Maret," kata dia. Selain itu, ia memastikan tak ada
jembatan yang akan dibangun sebab tanah itu milik negara. Pengembang
tak memiliki hak membangun di sana. Selain itu, ini bukan kali pertama
isu penataan bergaung di kalangan Dadap. Pertama kali informasi ini
beredar pada 1996, namun baru ditindak nyata 20 tahun kemudian.
2. Intimidasi aparat

Selama pertemuan di Gedung 9 Saudara, masyarakat menyadari


kehadiran kepala polisi sektor, komandan korem, hingga kepala Satpol PP.
Anggota yang hadir ditengarai mencapai 700 orang. Saefullah, warga
lainnya menuturkan detil ancaman tersebut. “Pada 25 April lalu di Masjid
Nurul Ummah, Kapolsek mengatakan akan menurunkan sebanyak 500
personel. Danrem juga angkat bicara akan menerjunkan 700 pasukannya.
Dan Satpol PP juga demikian, akan menurunkan 3.000 pasukan,” katanya.
Saat itu, warga mengaku menerima ancaman karena mereka tengah
berupaya supaya Surat Peringatan (SP) 1 tidak keluar. Namun apa daya,
pada 26 April, warga menerima peringatan dini supaya mereka
meninggalkan lokasi.

3. Penggunaan peluru tajam

Peristiwa penolakan mencapai puncaknya pada tanggal 10 Mei


2016 ketika SP 2 dikeluarkan. Saat itu, warga melancarkan aksi supaya
surat ditarik kembali. Puncaknya, aparat melepaskan tembakan dan
melemparkan tabung gas air mata sehingga warga pun berlarian. Asmawi
termasuk di antara warga yang berlarian. Ia mengaku sesak napas dan tak
bisa melihat karena asap gas air mata yang membuat matanya pedih. Ia
kemudian merunduk. Sialnya, ada satu tabung gas air mata jatuh tepat di
sebelah telinga kirinya. Lalu tabung gas itu meledak dan mengakibatkan
telinganya berdarah. “Saya tidak tahu siapa saja yang terluka, saya hanya
berpikir untuk menyelematkan diri sendiri,” katanya.

4. Kejanggalan administrasi

Sebelum Komnas HAM, Ombudsman RI sudah mencoba untuk


mempertemukan kedua pihak yang berseteru ini. Pada akhir Mei lalu,
setelah memanggil kedua belah pihak, memang ditemukan indikasi
pelanggaran administrasi. Selain itu, sikap Pemkab cenderung terburu-
buru padahal penataan baru mencapai tahap pra-konsep relokasi.
Ombudsman sendiri baru menyerahkan catatan mereka ke Pemkab pada
awal Juni lalu. Bagaimanapun juga, Iskandar mengatakan kalau pihaknya
sudah mempunyai rencana. Bila warga sudah meninggalkan pemukiman
mereka sejak Mei lalu dan lokasi kosong, lelang pembangunan akan
berlangsung pada September ini. Setelah itu akan dibangun rusunawa,
kampung deret nelayan, dan Islamic Center serta wisata kuliner yang
ditargetkan rampung 2017 mendatang. Warga, menurut dia, sudah
diberikan tempat tinggal sementara di kontrakan yang hanya berjarak
paling jauh 1,8 kilometer. "Untuk nelayan, bahkan hanya 200 meter dari
pantai," kata dia. Mereka juga bebas biaya selama 1,5 tahun bermukim;
termasuk listrik dan air. Pemkab sudah mencarikan rumah kontrakan
selama masa itu. Bila pembangunan rampung, semua warga dari lokasi
yang tergusur bisa menempati rusunawa dan kampung deret khusus yang
berprofesi sebagai nelayan. Iskandar mencatat ada 94 orang nelayan yang
masih tersisa di Dadap.

5. Polemik surat kepemilikan tanah

Iskandar mengatakan kalau tanah yang akan direlokasi dan ditata


kembali itu merupakan milik PT Angkasa Pura, Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rayat, serta tanah sepadan jalan dan sungai. Ia
mengatakan tak mungkin ada warga yang bisa memiliki sertifikat
kepemilikan tanah. "Secara UU juga sudah tidak bisa, kan kepemilikan
kalau sudah 20 tahun itu sudah dicabut dan tak berlaku lagi," kata dia.
Namun, pengacara LBH Tigor Hutapea pernah mengatakan kalau ada 3
warga yang memiliki sertifikat hak milik (SHM) atas tanahnya. Tiga
warga itu sudah mengurus ke Badan Pertanahan Negara (BPN). Tigor tak
menyebutkan siapa pemilik dan berapa luas tanah warga Dadap tersebut.
Namun Tigor menjamin keasliannya. Selain itu, ada sekitar 100 warga
lebih yang memiliki surat lahan menggarap tanah yang ditanda-tangani
oleh Lurah setempat. Surat itu dikeluarkan pada tahun 1980 hingga 1990-
an. Sisanya, para warga tidak memiliki bukti terkait tanah di Dadap.
"Kalau berdasarkan BPN, tanah di Dadap tidak terdaftar, kecuali tiga
pemilik SHM itu," kata Tigor.

Namun, Iskandar mengatakan ketiga orang yang disebut tidak


berada di lokasi 4,8 hektar; atau 3 RW yang akan direlokasi pada tahap I
penataan. "Yang tahap pertama ini, tak ada yang punya SHM," kata dia.
Selain itu, Pemkab juga akan menelusuri keabsahan 3 SHM yang
disebutkan. "Kalau ternyata tidak asli, tentu akan kami tindak secara
hukum," kata dia. Sejarah warga Kampung Baru Dadap sendiri bermula
pada 1975. Mereka yang tak sanggup membeli rumah di Muara Karang,
Ancol, berpindah ke Muara Dadap. Lalu di Muara Dadap mereka diterima
oleh Lurah Ilham. “Kami diberikan tanah di pinggiran kali, kami beli, dan
kami membayar Pajak Bumi dan Bangunan,” kata Misbah, seorang tokoh
masyarakat. Selain melaut, mereka juga mencoba menggarap sawah dan
menata sungai setempat. “Kami bahkan minum air dari kali (sungai), itu
sejarah kami yang menyedihkan,” kata Misbah, disambut teriakan warga
lainnya yang membenarkan pernyataannya. Lima tahun setelah itu, pada
1980, warga sempat ditawari untuk pindah lokasi oleh Cengkareng
International Airport (CIA). Warga dan CIA sempat menyepakati ganti
rugi, tapi urung karena perusahaan tersebut ternyata tak mampu mencari
lokasi baru untuk tempat tingal mereka.

Anda mungkin juga menyukai