Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, berkat Rahmat dan izinnya.
Penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Serta tidak lupa penulis
haturkan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa
kita dari zaman kegelapan hingga terang-benderang pada saat ini.
Meskipun telah berusaha dengan segenap kemampuan, penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu dengan kerendahan
hati, kami menerima adanya kritik dan saran yang membangun dari pihak manapun.
Akhir kata saya mengucapkan terimakasih. Semoga resume tentang
PENATALAKSANAAN TERAPI PSIKOFARMAKA DAN ECT dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya, dalam menambah
Khasanah ilmu pengetahuan.

Jakarta, 19 Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………...…………………………………………….... i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………….....
A. Latar Belakang……………………………………………………………........ 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………....... 1
C. Tujuan………………………………………………………………………..... 2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………........
A. Definisi Psikofarmaka…………………………………………………............ 3
Klasifikasi…………………………………………………............................... 3
B. Definisi ECT…………………………………………………............................ 11
Mekanisme kerja…………………………………………………......................12
Indikasi …………………………………………………................................... 12
Prosedur Kerja…………………………………………………......................... 13
BAB III PENUTUP……………………………………………………………...
Kesimpulan………………………………………………………………….......... 16
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kesehatan jiwa merupakan kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan
diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan, sebagai perwujudan keharmonisan
fungsi mental dan kesanggupannya menghadapi masalah yang biasa terjadi, sehingga
individu tersebut merasa puas dan mampu .
Kesehatan jiwa seseorang selalu dinamis dan berubah setiap saat serta dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu: kondisi fisik (somatogenik), kondisi perkembangan mental-
emosional (psikogenik) dan kondisi dilingkungan social (sosiogenik).
Ketidakseimbangan pada salah satu dari ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan
gangguan jiwa. Sebagai salah satu upaya untuk mengurangi penurunan produktifitas maka pada
pasien yang dirawat inap dilakukan upaya rehabilitasi sebelum klien dipulangkan dari Rumah
Sakit. Tujuannya untuk mencapai perbaikan fisik dan mental sebesar-besarnya.
Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal adalah:
”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih awal dari pada
psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat, dipasung,
dirantai diceburkan ke dalam kolam. Dengan kemajuan zaman dan berkembangannya
penelitian-penilitian yang canggih, khususnya dalam ilmu kedokteran jiwa, maka
ditemukan obat untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun sekarang sudah ditemukan
berbagai macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita gangguan jiwa, tetapi tidak
semua obat psikofarmaka dapat mengobati semua penderita gangguan jiwa. Terapi
Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus tertentu yang resisten terhadap obat
psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun obat-obat psikotropik sekarang sudah
berkembang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Psikofarmaka?
2. Bagaimana klasifikasi obat-obatan Psikofarmaka?
3. Apa saja efek samping dari penggunaan obat-obatan psikofarmaka?
4. Bagaimana peran ilmu kimia dalam obat-obatan psikofarmaka?

1
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Psikofarmaka
2. Untuk mengetahui klasifikasi obat-obatan Psikofarmaka
3. Untuk mengetahui efek samping dari penggunaan obat-obatan psikofarmaka
4. Untuk mengetahui peranilmu kimia dalam pemberian obat-obatan khususnya obat
psikofarmaka

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI PSIKOFARMAKA
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif pada
Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan
perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap taraf
kualitas hidup pasien. Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif, yang
meliputi :
1. Teori biologis, pemberian obat psikotik dan Elektro Convulsi Therapi
(ECT).
2. Psikoterapeutik.
3. Terapi Modalitas.
KLASIFIKASI
1. Anti-Psikotika adalah obat-obat yang dapat menekan fungsi-fungsi psikis tertentu tanpa
mempengaruhi fungsi umum seperti berpikir dan berkelakuan normal, digunakan
psikosis, penyakit jiwa hebat tanpa keinsafan sakit oleh pasien, misalnya penyakit
schizofrenia dan psikosi mania depresif.
Klasifikasi
Antipsikotika biasnya dibagi dalam dua kelompok besar, yakni obat typis atau
klasik dan obat atypis.
1. Antipsikotika klasik, terutama efektif mengatasi simtom positif.
2. Antipsikotika atypis (sulpirida, klozapin, respiridon, olanzapin, dan quetiapin)
bekerja efektif melawan simtom negatif, yang praktis kebal terhadap obat klasik.
Lagi pula efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan extrapiramidal dan
dyskinesia tarda.
Cara Penggunaan
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass metabolism”
di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi short-acting Intra muscular
(IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan
flupenthixol), bisa diberikan larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk “depot” IM
yang diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Jika obat anti-psikosistersebut sebelumnya sudah

3
terbukti efektif dan efek sampingnya dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk
pemakaian sekarang.
Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
 Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
 Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek samping, sehingga
tidak menganggu kualitas hidup pasien
Efek Samping
Sejumlah efek samping serius dapat membatasi penggunaan antipsikotika dan yang
paling sering terjadi adalah:
a) Gejala ekstrapiramidal (GEP)
GEP dapat berbentuk banyak macam, yaitu sebagai :
 Parkinsonisme (gejala penyakit Parkinson), yakni hipokinesia (daya gerak
berkurang,berjalan langkah demi langkah ) dan kekakuan anggota tubuh, kadang-
kadang tremor tangan dan keluar liur berlebihan.
 Dystonia akut, yakni kontraksi otot-otot muka dan tengkuk, kepala miring,
gangguan menelan, sukak bicara dan kejang rahang. Guna menghindarkannya dosis
harus dinaikkan dengan perlahan, atau diberikan antikolinergika sebagai profilaksis.
 Akathisia, yakni selalu ingin bergerak, tidak mampu duduk diam tanpa
menggerakkan kaki, tangan atau tubuh (Yun, kathisis: duduk, a: tidak, tanpa).
 Dyskinesia tarda, yakni gerakan abnormal tak-sengaja, khususnya otot-otot muka
dan mulut (menjulurkan lidah), yang dapat menjadi permanen.
 Sindroma neuroleptika maligne berupa demam, kekakuan otot dan GEP lain,
kesadaran menurun dan kelainan-kelainan SSO (tachycardia, berkeringat, fluktuasi
tekanan darah, inkontinensi).
b) Galaktorrea (banyak keluar air susu), juga akibat blokade dopamin, yang identik
dengan PIF(Prolacting Inhibiting Factor). Sekresi prolaktin tidak dirintangi lagi,
kadarnya meningkat dan produksi air susu bertambah banyak.
c) Sedasi yang bertalian dengan khasiat antihistamin, khususnya klorpromazin,
thioridazin.,dan klozapin. Efek sampingnya ringan pada zat-zat difenilbutilamin.
4
d) Hipotensi ortostatis akibat blokade reseptor ∝, adrenergis, misalnya klorpromazin ,
thioridazin, dan klozapin.
e) Efek antikolinergis akibat blokade reseptor muskarin, yang bercirikan antara lain
mulut kering, penglihatan guram, obstipasi, retensi kemih dan tachycardia, terutama
pada lansia. Efeknya khusus kuat pada klorpromazin,thioridazindan klozapin.
f) Efek antiseerotonin akibat blokade reseptot-5HT, yang berupa stimulasi nafsu
makan dengan akibat naiknya berat badan dan hiperglikemia.

Kontraindikasi

Penyakit hati, penyakit darah, epilepsi, kelainan jantung, febris yang tinggi,
ketergantungan alkohol, penyakit SSP dan gangguan kesadaran

2. Anti-Depresan
Antidepresan terutama digunakan untuk mengobati depresi, gangguan
obsesifkompulsif, gangguan ansietas menyeluruh, gangguan panik, gangguan fobik dan
pada kasus tertentu, enuresis nokturnal (antidepresn trisiklik) dan bulimia nervosa
(fluoxetine).Pengaruh antidepressan pada neurotransmitter biogenik amin memiliki
mekanisme yang berbeda pada setiap golongan antidepressan.
Cara Penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari dan
mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-depresan jarang timbul
dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk sindroma depresi ringan dan sedang,
pemilihan obat sebaiknya mengikuti urutan:
Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya sangat minimal
(meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan pada berbagai kondisi medik),
spectrum efek anti-depresi luas, dan gejala putus obat minimal, serta “lethal dose” yang
tinggi (>6000 mg) sehingga relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat
dalam jangka waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat beralih ke pilihan
kedua, golongan trisiklik, yang spektrum anti depresinya juga luas tetapi efek
sampingnya relatif lebih berat.
Pemberian Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:

5
 onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 efek sekunder (efek samping) : sekitar 12-24 jam
 waktu paruh : 12-48 jam (pemberian 1-2 kali perhari).
Indikasi
Obat antidepresan ditujukan kepada penderita depresi dan kadang berguna juga
pada penderita ansietas fobia, obsesif-kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi
Efek Samping
 Trisklik dan MAOI : antikolinergik(mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
konstipasi, sinus takikardi) dan antiadrenergik (perubahan EKG, hipotensi).
 SSRI : nausea, sakit kepala
 MAOI : interaksi tiramin
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic syndrome
dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi, delirium, confusion dan
disorientasi. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
 Gastric lavage
 Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi
3. Anti-Mania
Mania merupakan gangguan mood atau perasaan ditandai dengan aktivitas fisik
yang berlebihan dan perasaan gembira yang luar biasa yang secara keseluruhan tidak
sebanding dengan peristiwa positif yang terjadi. Hal ini terjadi dalam jangka waktu
paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan afek (mood, suasana
perasaan) yang meningkat ekspresif atau iritabel. Sindroma mania disebabkan oleh
tingginya kadar serotonin dalam celah sinaps neuron, khususnya pada sistem limbik,
yang berdampak terhadap “dopamine receptor supersensitivity”.
Obat Antimania adalah obat yang digunakan untuk mengendalikan
kecenderungan patologis untuk suatu aktivitas tertentu, yang tidak dapat dikendalikan ,
misalnya mengutil ( kleptomania).
Cara Penggunaan
Obat ini terbukti ampuh meredakan sindroma mania akut dan profilaks serangan
sindroma mania pada gangguan afektif bipolar. Pada ganguan afektif unipolar,
pencegahan kekambuhan dapat juga denagn obat antidepresi SSRI yang lebih ampuh

6
daripada litium karonat. Dosis awal harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien
gangguan fisik yang mempengaruhi fungsi ginjal. Pengukuran serum dilakukan dengan
mengambil sampeel darah pagi hari, yaitu sebelum makan obat dan sekitar 12 jam setelah
dosis petang.
Mekanisme Kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan Sindrom
mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania yang kambuhan pada
gangguan afektif bipolar. Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium disebabkan
kemampuannya mengurangi ”dopamine receptor supersensitivity”, meningkatnya
”cholinergic-muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP (adenosine
monophosphate) dan phosphoinositides”.
Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:
 Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari terdapat keadaan
afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat, ekspresif dan iritabel.
 Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:
a. Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau seksual), atau
ketidak-tenangan fisik
b. Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa pikirannya
sedang berlomba
c. Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf sampai
waham/delusi)
d. Berkurangnya kebutuhan tidur
Kontraindikasi
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui plasenta dan
masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi kelenjar tiroid.

Efek Samping
 Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik pasien.
 Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering, haus,
gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak), kelemahan otot,

7
poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada pasien usia lanjut dan
penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan antidepresan).
 Gejala intoksikasi
a. Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi pikiran
menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas, berjalan tidak stabil.
b. Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran menurun,
oliguria, kejang-kejang.
c. Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah.
 Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
a. Demam (berkeringat berlebihan)
b. Diet rendah garam o Diare dan muntah-muntah
c. Diet untuk menurunkan berat badan o Pemakaian bersama diuretik,
antireumatik, obat anti inflamasi nonsteroid
4. Anti-Ansietas
Antiansietas adalah obat – obat yang digunakan untuk mengatasi kecemasan dan juga
mempunyai efek sedative.Antiansietas yang terutama adalah benzodiazepine. 2 Dari golongan
benzodiazepine, yang dianjurkan untuk antiansietas adalah klordiazepoksid, diazepam,
oksazepam, klorazepat, lorazepam, prazepam, alprazolam, dan halozepam. Sedangkan
klorazepam lebih dianjurkan untuk pengobatan panic disorder.
Klasifikasi
Klasifikasi yang sering dipakai adalah :
 Derivate benzodiazepine :
a. Diazepam (valium)
b. Bromazepam (lexotan)
c. Lorazepam (ativan)
d. Alprazolam (xanax)
e. Clobazam (frisium)
 Derivate gliserol :
Meprobamat
 Derivate berbiturat :
Fenobarbital

8
Cara Penggunaan
1. Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti ansietas dan
kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah dibandingkan dengan
meprobamate atau fenobarbital.
2. Benzodiazepine sebagai “drug of choice” karena memiliki spesifisitas, potensi
dan kemanannya.
3. Spectrum klinis benzodiazepine memliputi efek anti ansietas (lorazepam,
clobazam, bromazepam), antikonvulsan, anti insomnia (nitrazepam/flurazepam),
dan premedikasi tingkat operatif (midazolam).
4. Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai “steady state”
dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali sehari. Onset of action cepat
dan langsung memberikan efek.
5. Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis setiap 3-5 hari
sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan 2-3 minggu. Kemudian
diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu sehingga tercapai dosis
pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan tetap efektif pertahankan 4-8
minggu.
6. Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian selalu secara
bertahap

Efek Samping dan Kontradiksi


Pada penggunaan dosis terapi jarang timbul efek samping seperti rasa mengantuk,
tetapi pada kadar takar lajak (overdoses) benzodiazepine menimbulkan efek depresi SSP.
Efek samping akibat depresi susunan saraf pusat berupa kantuk dan ataksia yang
merupakan kelanjutan dari efek farmakodinamik obat – obat tersebut.
Indikasi dan Sediaan
Sebagai antiansietas, klordiazepoksid dapat diberikan secara oral atau bila sangat
diperlukan, suntikan dapat diulang 2-4 jam dengan dosis 25 – 100 mg sehari dalam 2 atau
4 pemberian. Dosis diazepam adalah 2-20 mg sehari, dan pemberian suntik dapat diulang
tiap 3-4 jam. Klorazepat diberikan secara oral 30 mg sehari dalam dosis terbagi.

9
Klodiazepoksid tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg. diazepam tersedia
dalam bentuk tablet 2 mg dan 5 mg. diazepam tersedia sebagai larutan untuk pemberian
rektal pada anak dengan kejang demam. Alprazolam tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg,
1 mg, dan 2 mg.
5. Anti-Insomnia
Obat Anti-Insomnia digunakan untuk mengatasi pasien yang mengalami
gangguan susah tidur, dibagi menjadi dua golongan yaitu benzodiazepine dan non-
benzodiazepine.
 Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
 Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :


a. Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur). Obat yang dibutuhkan adalah
bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan benzodiazepine (Short
Acting) Misalnya pada gangguan anxietas.
b. Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase
Anti-Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.
c. Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Pengaturan Dosis
1. Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
2. Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai
1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound
dan toleransi obat)
3. Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan,
untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
4. Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu
(tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut

10
Efek Samping
a. Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur.
b. Hati – hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan, uremia, gangguan fungsi
hati, oleh karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP, dan dapat
memudahkan timbulnya koma.
Perhatian Khusus
 Kontraindikasi :
a. Sleep apneu syndrome
b. Congestive Heart Failure
c. Chronic Respiratory Disease
 Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester
pertama.
6. Anti-Panik
Disebut juga sebagai : Drugs Used In Panic Disorders. Obat yang menjadi acuan untuk
antipanik adalah Imipramin, selain itu juga obat lain seperti : Clomipramin, Alprazol,
Moclobemid, Setralin, Fluoxetin, Parocetin, dan Fluvoxamine.
Efek Samping
Efek samping yang ditimbulkan dalam penggunaan obat anti panik antara lain:
mengantuk, sedasi, kewaspadaanberkurang, dan Neurotoksik.
Lama pemberian
 Lamanya pemberian obat tergantung dari individual, umunya selama 6- 12
bulan,kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi penderita sudah
memungkinkan
B. Definisi ECT
Electroconvulsive Therapy (ECT) merupakan salah satu jenis terapi fisik yang
merupakan pilihan untuk indikasi terapi pada beberapa kasus gangguan psikiatri. Indikasi
utama adalah depresi berat.
ECT (Electroconvulsive Therapy) merupakan perawatan untuk gangguan psikiatri dengan
menggunakan aliran listrik singkat melewati otak pasien yang berada dalam pengaruh
anestesi dengan menggunakan alat khusus. Terapi Elektroconvulsive (ECT) adalah terapi

11
yang aman dan efektif untuk pasien dengan gangguan depresi berat, episode manik, dan
gangguan mental serius lainnya.
Mekanisme Kerja
Suatu penelitian untuk mendekati mekanisme kerja ECT adalah dengan mempelajari efek
neuropsikologi dari terapi. Tomografi emisi positron (PET; Positron Emission
Tomography) mempelajari aliran darah serebral maupun pemakaian glukosa telah
dilaporkan. Penelitian tersebut telah menunjukkan bahwa selama kejang aliran darah
serebral, pemakaian glukosa dan oksigen, dan permeabilitas sawar darah otak adalah
meningkat. Setelah kejang, aliran darah dan metabolisme glukosa menurun, kemungkinan
paling jelas pada lobus frontalis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa derajat
penurunan metabolisme serebral adalah berhubungan dengan respons terapeutik. Fokus
kejang pada epilepsi idiopatik adalah hipometabolik selama periode interiktal, ECT
sendiri bertindak sebagai antikonvulsan, karena pemberiannya disertai dengan
peningkatan ambang kejang saat terapi berlanjut. ECT menyebabkan regulasi turun
reseptor adrenergik-β pascasinaptik, reseptor yang sama dan terlihat pada hampir semua
terapi antidepressan. ECT telah dilaporkan mempengaruhi sistem neuronal muskarinik,
kolinergik, dan dopaminergik. Pada sistem pembawa kedua, ECT telah dilaporkan
mempengaruhi pengkopelan protein G dengan reseptor, aktivitas adenylyl cyclase dan
phospholipase C, dan regulasi masuknya kalsium ke dalam neuron.
Indikasi
1. Gangguan Depresi Mayor
Sebagian klinisi yakin bahwa ECT menyebabkan sekurangnya derajat perbaikan klinis
yang sama dengan terapi standar dengan obat antidepressan.1,6
ECT efektif untuk gangguan depresi berat dengan gangguan bipolar. Depresi delusional
atau psikotik telah lama dianggap cukup responsif terhadap ECT, tetapi penelitian
terakhir telah menyatakan bahwa episode depresi berat dengan ciri psikotik tidak lebih
responsif terhadap ECT dibandingkan gangguan depresi nonpsikotik.
2. Mania
ECT sekurangnya sama dan kemungkinan lebih unggul dibandingkan lithium dalam
terapi episode manik akut. Tetapi, terapi farmakologis untuk episode manik adalah sangat
efektif dalam jangka pendek dan untuk profilaksis sehingga pemakaian ECT untuk terapi

12
episode manik biasanya terbatas pada situasi dengan kontraindikasi spesifik untuk semua
pendekatan farmakologis.1
Pengobatan pilihan bagi mania adalah obat menstabilkan mood ditambah obat
antipsikotik. ECT dapat dipertimbangkan untuk mania parah terkait dengan:
• kelelahan fisik yang mengancam jiwa
• resistensi pengobatan (yaitu mania yang tidak menanggapi pengobatan pilihan).
Pilihan pasien dan pengalaman perawatan medis sebelumnya tidak efektif atau tak
tertahankan, atau pemulihan sebelumnya dengan ECT, yang relevan.
3. Skizofrenia
ECT merupakan terapi yang efektif untuk gejala skizofrenia akut dan tidak untuk gejala
skizofrenia kronis. Pasien skizofrenia dengan gejala afektif dianggap paling besar
kemungkinannya berespons terhadap ECT.1
Pemberian ECT pada pasien skizofrenia diberikan bila terdapat:
a. Gejala-gejala positif dengan onset yang akut.
b. Katatonia
c. Riwayat ECT dengan hasil yang baik.
Prosedur Kerja
Informed Consent
Dokter harus menjelaskan efek menguntungkan dan merugikan dan pendekatan
pengobatan alternatif. Proses informed consent harus didokumentasikan dalam catatan
medis pasien dan harus mencakup diskusi tentang gangguan dan pilihan untuk tidak
menerima pengobatan. Literatur cetak dan rekaman video tentang ECT mungkin berguna
untuk mendapatkan persetujuan. Penggunaan paksa ECT harus disediakan untuk pasien
yang sangat membutuhkan pengobatan dan yang memiliki wali hukum yang ditunjuk
yang telah setuju untuk penggunaannya. Dokter harus tahu undang-undang federal
tentang penggunaan ECT.

Persiapan Pasien
Sebelum ECT dilakukan pasien perlu dipersiapkan dengan cermat meliputi :1,4
- Pemeriksaan fisik dan kondisi pasien (jantung, paru-paru, tulang dan otak)
- Pasien harus puasa minimal 6 jam sebelum ECT dilakukan

13
- Persiapkan pasien agar tidak takut dengan pengalihan perhatian, atau dengan
pemberian premedikasi
- Perhiasan, jepit rambut atau gigi palsu perlu dilepas terlebih dahulu
- Bantuan perawat untuk mencegah terjadinya luksasi/fraktur saat terjadi kejang.

Persiapan Alat :
- Mesin ECT lengkap
- Kasa basah untuk pelapis elektrode
- Tabung dan masker oksigen
- Penghisap lendir
- Obat-obat : coramine, adrenalin
- Karet pengganjal gigi agar lidah tidak tergigit
- Tempat tidur datar dengan alas papan

Pelaksanaan :
- Pasien tidur terlentang tanpa bantal dengan pakaian longgar
- Bantalan gigi dipasang
- Perawat memegang rahang bawah/kepala, bahu, pinggul dan lutut
- Dokter memeberikan aliran listrik melalui 2 elektrode yang ditempelkan dipelipis.
Akan terjadi kejang tonik terlebih dahulu diikuti kejang klonik dan kemudian akan
terjadi fase apneu beberapa saat sebelum akhirnya bernafas kembali seperti biasa.
Fase apneu ini sangat penting diperhatikan tidak boleh terlalu lama.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam sejarah pengobatan pada penderita gangguan jiwa yang paling awal adalah:
”Terapi Kejang Listrik” (Electroconvulsive Therapy), terapi yang lebih awal dari
pada psikofarmaka. Sebelum itu penderita gangguan jiwa, diisolir oleh masyarakat,
dipasung, dirantai diceburkan ke dalam kolam. Dengan kemajuan zaman dan
berkembangannya penelitian-penilitian yang canggih, khususnya dalam ilmu
kedokteran jiwa, maka ditemukan obat untuk penderita gangguan jiwa. Walaupun
sekarang sudah ditemukan berbagai macam obat psikofarmaka/obat untuk penderita
gangguan jiwa, tetapi tidak semua obat psikofarmaka dapat mengobati semua
penderita gangguan jiwa. Terapi Kejang Listrik masih diperlukan dalam kasus- kasus
tertentu yang resisten terhadap obat psikotropik/psikofarmaka yang ada. Walaupun
obat-obat psikotropik sekarang sudah berkembang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2014. Psikofarmaka. http://en.wikipedia.org/wiki.html diaskes pada tanggal 18


Februari 2019
Hoan Tjay, Tan dan Rahardja Kirana. 2013. Obat-Obat Penting. Jakarta : Gramedia.
Setiawan.2009.Gangguan Jiwa. http://www.Gizi.net diakses pada tanggal 18 februari
2019

16

Anda mungkin juga menyukai