Anda di halaman 1dari 35

1

BAB I
PENDAHULUAN

Rinosinusitis, istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa


hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang
mengalami peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran
finansial masyarakat.1,2 Rinitis dan sinusitis umumnya terjadi bersamaan, sehingga
terminologi saat ini yang lebih diterima adalah rinosinusitis.1,2 Rinosinusitis dibagi
menjadi kelompok akut, subakut dan kronik.2
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka
waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi
rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan
kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.1-4
Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang
paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan
sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah
kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita).1,3 Berdasarkan penelitian divisi
Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik.6 Dampak yang diakibatkan rinosinusitis
kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life /
QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
Diagnosis rinosinusitis kronik dibuat oleh berbagai bidang ilmu terkait
termasuk didalamnya antara lain allergologist, otolaryngologist, pulmonologist,
dokter umum dan lainnya, namun keseragaman definisi dan standar diagnosis
rinosinusitis kronik belum tercapai.1 Mengingat luasnya cakupan ilmu terkait
dengan rinosinusitis kronik, besarnya dampak kesehatan yang diakibatkan terutama
bagi kelompok penduduk dewasa usia produktif namun disertai keterbatasan data
2

yang ada, maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi. Tujuan referat ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI
1. Cavum Nasi
Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari
cavum oris dan basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam
secara vertikal adalah regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum
nasi dextra dan sinistra. Pintu masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di posterior
akan masuk ke nasopharynx melalui choana. Hampir seluruh bagian dari cavum
nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum nasi yang dilapisi oleh kulit.
Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium dari tulang yang
membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari hidung.25,26
Mukosa cavum nasi juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan
dengan cavum nasi seperti: nasopharynx di posteriornya, sinus paranasales di
superior dan lateralnya, dan sacus lacrimalis dan konjungtiva di superiornya.
Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi adalah area respirasi dan 1/3 superiornya
adalah area olfaktori.4 Area respirasi dari cavum nasi mukosanya dilapisi oleh
epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada banyak kelenjar
seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat
permukaannya menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang
terdapat di udara yang terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh
aksi siliar (eskalator mukosiliar) ke arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan
6 mm per menit.26
Gerakan palatal memindahkan mukus dan partikel yang terperangkap ke
oropharyng selama menelan, namun beberapa juga memasuki vestibulum nasi di
anterior. Sekresi mukosa hidung mengandung lisozim yang bersifat bakterisidal,
β-defensin dan laktoferin, dan juga imunoglobulin sekretoris (IgA). Mukosa
cavum nasi berlanjut ke mukosa nasofaring melalui choana, ke konjungtiva
melalui ductus nasolacrimalis dan kanalikuli lakrimalis, dan mukosa dari sinus
paranasales melalui muaranya pada meatus nasi. Mukosa cavum nasi ditemukan
4

paling tebal dan vaskularisasinya paling banyak di atas conchae, terutama pada
ekstremitasnya, dan juga pada bagian anterior dan posterior dari septum nasi, dan
di antara conchae. Pada meati mukosa ditemukan sangat tipis di meati, di dasar
hidung dan di sinus paranasales. Ketebalannya mengurangi volume rongga hidung
dan lubangnya secara signifikan. Lamina propria mengandung jaringan vaskular
kavernosa dengan sinusoid-sinusoid yang besar.26
Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae
yaitu: concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan
dengan arah inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk
jalannya udara yaitu:25,26
1. Recessus sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superior
menerima muara dari sinus sphenoidalis.
2. Meatus nasi superior yang terletak diantara concha nasi superior dan
medius menerima muara dari sinus ethomidalis posterior.
3. Meatus nasi medius yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior
lebih panjang dan lebar dibandingkan dengan meatus nasi superior. Bagian
anterosupereriornya menuju ke infundibulum ethmoidalis, lubang yang
berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus
frontonasalis kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu
hiatus semilunaris. Bulla ethmoidalis, elevasi bulat yang terletak lebih
tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat concha nasi medius diangkat).
Bulla dibentuk oleh cellulae etmoidalis medius, yang membentuk sinus
ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga kebagian posterior
hiatus semilunar.
4. Meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi inferior
merupakan saluran berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacus
lacrimalis bermuara pada bagian anterior dari meatus ini.
5

Gambar 2.1. Dinding Lateral dari Cavum Nasi Dextra.27

2. Sinus Paranasales
Sinus paranasales adalah rongga yang terdapat dalam tulang-tulang
ethmoidalis, sphenoidalis, frontalis, dan maxillaris. Nama-nama sinus sesuai
dengan nama tulangnya. Sinus frontalis terletak diantara facies interna dan externa
ossis frontalis, posterior dari arcus superciliaris dan atap dari hidung. Dimensi
rata-rata sinus frontal orang dewasa adalah: tinggi 3,2 cm; lebar 2,6 cm;
kedalaman 1,8 cm. Masing-masing biasanya memiliki bagian depan yang
membentang ke atas di atas bagian medial alis, dan bagian orbit yang memanjang
kembali ke bagian medial atap orbit. Masing-masing sinus frontalis menuangkan
isinya ke dalam hiatus semilunaris dari meatus nasi medius. Sinus frontalis
mendapatkan innervasi dari nerus supra orbitalis (N. V1).25,26
Sinus ethmoidalis (cellulae) meliputi beberapa cavitas yang terletak di
lateral os ethmoidalis antara cavum nasi dan orbita. Cellulae ethomidalis anterior
menuangkan isinya ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Cellulae
ethmoidalis medius bermuara langsung ke meatus nasi medius. Sedangkan
cellulae ethmoidalis posterior, yang membentuk bulla ethmoidalis bermuara
langsung ke meatus nasi superior. Sinus ethmoidalis mendapatkan innervasi dari
rami ethmoidalis anterior dan posterior nervi nasociliaris (N. V1).25,26
6

Gambar 2.2. Potongan Coronal Melalui Cavum Nasi (dilihat dari posterior)26

Sinus sphenoidalis, terbagi rata dan dipisahkan oleh septum tulang,


menempati corpus os sphenoidalis. Sinus ini terbentang sampai ke ala ossis
sphenoidalis pada usia lanjut. Hanya lempengan tulang tipis yang memisahkannya
dengan struktur-struktur penting yaitu: nervus opticus dan chiasma opticum,
kelenjar hipofisis, arteri carotid internus, dan sinus cavernosus. Sinus ini
mendapatkan innervasi dan vaskularisasi dari nervus dan arteri ethmoidalis
posterior.
Sinus maxillaris adalah sinus paranasales yang paling besar. Cavitasnya
yang berbentuk piramid memenuhi corpus mandibula. Apex sinus maxillaris
terbentang ke lateral dan sering sampai ke ossis zygomaticus. Basis dari sinus
maxillaris membentuk pars inferior dari dinding lateral dari cavum nasi. Lantai dari
sinus maxillaris dibentuk oleh pars alveolaris ossis maxilla. Radix dari dentes di
ossis maxillaris, terutama molar I dan II menonjol ke dasar dari sinus maxillaris.
Masing-masing sinus maxillaris bermuara ke meatus nasi medius lewat lubang
ostium maxillaris melalui hiatus semilunaris.
7

Gambar 2.3. Sinus Paranasales

Karena lubang muara dari sinus ini terletak di superior, maka tidak
mungkin terjadinya drainase dari sinus jika posisi kepala dalam keadaan tegak
kecuali sinus dalam kondisi penuh. Sinus maxillaris mendapatkan vaskularisasi dari
arteri alveolaris superior cabang dari arteri maxillaris, lantai dari sinus
divaskularisasi oleh arteri palatina major. Mukosa dari sinus ini mendapatkan
innervasi dari nervii alveolaris anterior, medius, dan posterior.25

2.2 DEFINISI
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum
nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi
yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi
8

bersama-sama.8 Alasan lainnya karena sebagian besar penderita sinusitis juga


menderita rinitis, jarang sinusitis tanpa disertai rinitis, gejala pilek, buntu hidung
dan berkurangnya penciuman ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.9 Fakta
tersebut menunjukkan bahwa sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis, yang
mendukung konsep “one airway disease” yaitu bahwa penyakit di salah satu bagian
saluran napas akan cenderung berkembang ke bagian yang lain.9
Sejak tahun 1984 sampai saat ini telah banyak dikemukakan definisi
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi oleh para ahli, masing-masing dengan
kriterianya, antara lain :5,7
1. Menurut Kennedy tahun 1993 (pada Konferensi Internasional Penyakit Sinus,
Princeton New Jersey), sinusitis kronik adalah sinusitis persisten yang tidak
dapat disembuhkan hanya dengan terapi medikamentosa, disertai adanya
hiperplasia mukosa dan dibuktikan secara radiografik. Pada orang dewasa,
keluhan dan gejala berlangsung persisten selama delapan minggu atau terdapat
empat episode atau lebih sinusitis akut rekuren, masing-masing berlangsung
minimal sepuluh hari, berkaitan dengan perubahan persisten pada CT-scan
setelah terapi selama empat minggu tanpa ada pengaruh infeksi akut
2. Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 1996 disponsori oleh American
Academy of Otolaryngology / Head and Neck Surgery (AAO-HNS), disebut
rinosinusitis kronik bila rinosinusitis berlangsung lebih dari dua belas minggu
dan diagnosa dikonfirmasi dengan kompleks faktor klinis mayor dan minor
dengan atau tanpa adanya hasil pada pemeriksaan fisik. Tabel 2.1 menunjukkan
faktor klinis mayor dan minor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis
kronik. Bila ada dua atau lebih faktor mayor atau satu faktor mayor disertai dua
atau lebih faktor minor maka kemungkinan besar rinosinusitis kronik. Bila
hanya satu faktor mayor atau hanya dua faktor minor maka rinosinusitis perlu
menjadi diferensial diagnosa.
9

Tabel 2.1. Faktor-faktor yang berkaitan dengan diagnosis rinosinusitis kronik,


terdiri dari faktor mayor (utama) dan faktor minor (pelengkap).7
Major factors Minor factors
Facial pain, pressure (alone does not constitute a suggestive Headache
history for rhinosinusitis in absence of another major symptom) Fever
Facial congestion, fullness Nasal obstruction/blockage (all nonacute)
Nasal discharge/ purulence/ discolored nasal drainage Halitosis
Hyposmia/anosmia Fatigue
Purulence in nasal cavity on examination Dental pain
Fever (acute rhinosinusitis only) in acute sinusitis alone does not Cough
constitute a strongly supportive history for acute in the absence Earpain/pressure/
of another major nasal symptom or sign fullness

3. Definisi rinosinusitis kronik terbaru dinyatakan dalam makalah European


Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EP3OS) tahun 2007 yaitu
suatu inflamasi pada (mukosa) hidung dan sinus paranasal, berlangsung selama
dua belas minggu atau lebih disertai dua atau lebih gejala dimana salah satunya
adalah buntu hidung (nasal blockage / obstruction / congestion) atau nasal
discharge (anterior / posterior nasal drip) :1
± nyeri fasial / pressure
± penurunan / hilangnya daya penciuman
dan dapat di dukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain:
 Endoskopik, dimana terdapat : polip atau sekret mukopurulen yang berasal
dari meatus medius dan atau udem mukosa primer pada meatus medius
 CT – scan : perubahan mukosa pada kompleks ostiomeatal dan atau sinus
paranasal.

Berdasarkan definisi yang terakhir, dapat dilihat bahwa rinosinusitis dapat


dibedakan lagi menjadi kelompok dengan polip nasi dan kelompok tanpa polip nasi.
10

EP3OS 2007 menyatakan bahwa rinosinusitis kronik merupakan kelompok primer


sedangkan polip nasi merupakan subkategori dari rinosinusitis kronik.5,7,11 Alasan
rasional rinosinusitis kronik dibedakan antara dengan polip dan tanpa polip nasi
berdasarkan pada beberapa studi yang menunjukkan adanya gambaran patologi
jaringan sinus dan konka media yang berbeda pada kedua kelompok tersebut.11

2.3 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka
waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi
rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan
kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.1-4
Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang
paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan
sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah
kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita).1,3 Berdasarkan penelitian divisi
Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik.6 Dampak yang diakibatkan rinosinusitis
kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life /
QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4

2.4 ETIOLOGI, PATOFISIOLOGI DAN HISTOPATOLOGI


Senior dan Kennedy (1996) menyatakan bahwa: “ Kesehatan sinus setiap
orang bergantung pada sekresi mukus yang normal baik dari segi viskositas, volume
dan komposisi; transport mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan
kemungkinan infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan
drainase dan aerasi. “ 13,14
11

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi kelompok


sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan berperan penting bagi
transport mukus dan debris serta mempertahankan tekanan oksigen yang cukup
untuk mencegah pertumbuhan bakteri. Obstruksi ostium sinus pada KOM
merupakan faktor predisposisi yang sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis
kronik.14 Namun demikian, kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi
terjadinya rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade yang
berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan patologis pada mukosa
sinus dan juga mukosa nasal, seperti yang tergambar pada gambar 2.4 dibawah ini.14

Gambar 2.4. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu
faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14

Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara


mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab utama.2,14 Namun sebaliknya, etiologi dan
patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum sepenuhnya
diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang terjadi karena kombinasi
etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat dalam mengkategorikan etiologi
rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS 2007, faktor yang dihubungkan dengan
kejadian rinosinusitis kronik tanpa polip nasi yaitu “ciliary impairment, alergi,
12

asma, keadaan immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin,


faktor lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor iatrogenik,
H.pylori dan refluks laringofaringeal”.1
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis kronik
merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi beberapa faktor
yaitu “faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan”. 2,14 Berdasarkan ketiga
kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis kronik dapat dibagi lagi
menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini dapat dilihat pada tabel 2.2
berikut.2,14 James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam kemungkinan
patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi rinosinusitis inflamatori
(berdasarkan tipe infiltrat selular yang predominan) dan rinosinusitis non
inflamatori (termasuk disfungsi neural dan penyebab lainnya seperti hormonal dan
obat).15 Rinosinusitis inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi
selular menjadi jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.15

Tabel 2.2. Faktor etiologi rinosinusitis kronik, dikelompokkan masing-masing


berdasarkan faktor genetik/fisiologik, lingkungan dan struktural.2
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle
turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
13

Mechanical trauma
Barotrauma

Faktor Genetik / Fisiologik


Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang berperan bagi
rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada asosiasi yang kuat antara
asma dengan rinosinusitis kronik.1,2 Identifikasi gen ADAM-33 (disintegrin dan
metaloprotease 33) pada pasien asma semakin memperkuat kemungkinan adanya
hubungan tersebut.2
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap
rinosinusitis kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa pada keadaan
level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan kurangnya fungsi sel limfosit
T, maka kejadian sinusitis yang refrakter cenderung meningkat.1,2 Defisiensi IgG
adalah yang paling sering menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik.2,14 Pada
individu dengan HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang
lebih berat namun resisten terhadap terapi.1,2,16 Garcia-Rodriques dkk (1999)
melaporkan adanya korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan probabilitas
rinosinusitis.1 Juga disebutkan bahwa organisme atipikal seperti Aspergilus spp,
Pseudomonas aeruginosa dan mikrosporidia sering diisolasi dari sinus penderita
dan neoplasma seperti Limfoma Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi
faktor penyebab gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS.1,16 Keadaan hiperimun
seperti pada sindroma vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga
menjadi predisposisi bagi rinosinusitis kronik.2,14
Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan rinosinusitis kronik
adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis relaps dan sindroma Sjogren.
Sindroma Samter dimana terdapat polip nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin
merupakan suatu kondisi dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai
hubungan dengan rinosinusitis onset dini.1,2,14 Kelainan bawaan seperti kistik
fibrosis, sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer,
berkaitan dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga menyebabkan
timbulnya rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000) menemukan adanya mutasi gen
14

pada pasien kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik.2
Pada diskinesia siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang
menjadi faktor penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16
Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti
sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat
ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan
lokal.1,2,14

Faktor Lingkungan
Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari
dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada
pasien dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50
%.2 Pada pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif
berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel.1,2,14 Namun
bagaimana alergi bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum
diketahui secara jelas. Stammberger 1991 menyatakan bahwa: ‘udem mukosa nasal
pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi
bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi
mukus dan infeksi’.1 Namun hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut
sedangkan sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan
pengaruh bagi rinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi
perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur
dioksida, komponen volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai
iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil.
Sebagai tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan
defek mikrotubular primer.14
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya
jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan
peningkatan insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan
15

atas. Sedangkan studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa
virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel
nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya
frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan RSV
(respiratory syncytial virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang
menjalani operasi sinus endoskopik.16,17
Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari
rinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.1
Gambaran bakteriologi rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan
rinosinusitis akut.2,13 Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah
S.aureus, Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif.
Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S.pneumoniae,
H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab rinosinusitis kronik baik
pada orang dewasa maupun anak.14 Pada orang dewasa, gambaran kuman
umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan
anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 % sedangkan
kuman anaerob berkisar antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob banyak terdapat pada
infeksi sekunder akibat masalah gigi.1
Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi
rinosinusitis kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida
yang disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi
koloni bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk
rinosinusitis kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba
poten.2,14 Cryer dkk (2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa
sinus yang terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.2,14
Biofilm juga ditemukan pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.1
Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada
berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri
aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang
suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi
16

kuman Streptocossus pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar


antara 28 hingga 44 %.9,13
Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung bertindak
mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi tradisional mereka yang
berlaku sebagai agen infeksius.2,8,14 Pada individu yang suseptibel, bakteri
superantigen seperti staphylococcal enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel
limfosit T melalui jalur aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting
cell.2,8,14 Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri
(S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang dapat mengaktifkan
sejumlah besar suppopulasi sel T (berkisar antara 5–30 %) yang kontras dengan
antigen topikal konvensional (kurang dari 0,01 %).8,14 Pada jalur tradisional,
antigen difagosit oleh APC (antigen presenting cell), terdegradasi menjadi
sejumlah fragmen peptida yang kemudian diproses pada permukaan sel setelah
berikatan dengan reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas II,
selanjutnya akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan dimulailah respon
inflamasi.8,14 Superantigen mempunyai kemampuan memintas proses diatas,
langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR alpha pada MHC kelas II
dan domain V beta pada reseptor sel T. Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi masif
IL-2, kemudian IL-2 menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti TNF-α, IL-1,
IL-8 dan PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon
inflamasi.14 Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen tradisional yang
menstimulasi produksi antibodi superantigen.8,14 Hipotesis Schubert (2001)
menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen disertai persistensi mikroba,
produksi superantigen dan respon sel limfosit T merupakan komponen fundamental
yang menyatukan berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-
limfositik pada patogenesis rinosinusitis kronik.8
Ponikau dkk (1999) mendapatkan 96 % kultur jamur positif pada 210
pasien rinosinusitis kronik.1,2 Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan
bahwa spesies jamur memberikan bentuk yang bervariasi pada rinosinusitis kronik,
dari yang non invasif sampai yang invasif.1,12,14,16 Bentuk rinosinusitis karena jamur
antara lain: sinusitis fungal invasif baik dalam bentuk acute-fulminant maupun
17

chronic-indolent (biasanya terjadi pada penderita immunocompromized), fungal


ball (pembentukan massa berbentuk bola) dan rinosinusitis alergi fungal / AFS
(allergic fungal rhinosinusitis) sebagai bentuk reaksi hipersensitivitas terhadap
antigen fungal.1,12,14,16,17 AFS ditandai dengan pembentukan musin, reaksi inflamasi
tanpa diperantarai IgE, eosinofilia disertai peningkatan IL-5 dan IL-13.1,2,12,14,16,17

Faktor Struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter
mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus
KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan
yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.1,2
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi
septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus
horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16
Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rinosinusitis
kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik.8 Beberapa studi
menunjukkan bahwa ‘perubahan osteitis’ dimulai dari meningkatnya vaskularisasi,
infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal
Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel
inflamatori dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-
scan terlihat adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular.
Penebalan tulang iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi
pada tulang yang berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis
kronik.13 Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah
iritasi mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi
potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus,
alergen, polusi udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan
peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya.
Molekul HLA-DR (human leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut
meningkat, selanjutnya memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel
18

TH1 dan TH2 untuk kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF
(granulocyte-macrophage-colony stimulating factor), IL-8 dan TNF-α (tumor
necrosing factor alpha) ikut dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada
sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan
sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel
respiratorik.17
Gambaran histopatologi mukosa rinosinusitis kronik menunjukkan adanya
penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan
infiltrasi sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi
golongan inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius.13 Inflamasi
infeksius umumnya terjadi pada rinosinusitis akut sedangkan pada rinosinusitis
kronik terjadi inflamasi noninfeksius.13

Sel inflamasi rinosinusitis kronik :1,13,17


1. Limfosit
Sel T terutama CD4+ sel T helper, berperan pada proses inisiasi dan regulasi
inflamasi
2. Eosinofil
Level eosinofil marker (eosinofil, eotaksin, eosinofil kationik protein / ECP)
pada rinosinusitis kronik tanpa polip nasi lebih rendah bila dibandingkan
dengan pada polip nasi, juga infiltrasi sel eosinofil dan sel plasma pada
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi berbeda dengan pada polip nasi.
3. Makrofag (sel CD68+)
Peningkatan makrofag pada rinosinusitis dengan polip nasi dan tanpa polip nasi
menunjukkan perbedaan dalam bentuk fenotip yang ada.
4. Mastosit
Peningkatan mastosit berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi pada
rinosinusitis kronik.
5. Neutrofil
Peningkatan neutrofil terjadi melalui pengaktifan IL-8 pada proses inflamasi
rinosinusitis kronik.
19

Mediator inflamasi rinosinusitis kronik :1,8,13,14,17


1. Sitokin
IL-3, IL-5, IL-6, IL-8 menunjukkan peningkatan pada rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi. Kadar IL-5 pada kelompok tanpa polip nasi masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan kelompok dengan polip nasi. Rinosinusitis
tanpa polip nasi mempunyai karakteristik yaitu polarisasi TH1 dengan level
IFN-γ dan TGF-β yang tinggi; sedangkan pada rinosinusitis kronik dengan
polip nasi menunjukkan polarisasi TH2 dengan level IL-5 dan IgE yang
meningkat. Peningkatan TLR2 (toll-like receptor 2) dan sitokin proinflamatori
(RANTES / Regulated on Activation, normal T-cell expressed and secreted dan
GM-CSF / granulocyte-monocyte colony stimulating factor) juga ditemukan
pada keadaan ini.
2. Kemokin
Ekspresi kemokin berbeda pada rinosinusitis kronik atopi (peningkatan sel
CCR4+ dan EG2+) dan yang non atopi (penurunan sel CCR5+). Kemokin lain
yang meningkat yaitu GRO-α (growth-related oncogene alpha) dan GCP-2
(granulocyte chemotactic protein-2).
3. Molekul adhesi
Meningkatnya ligan L-selektin endotelial berkorelasi dengan tingkat
keparahan inflamasi yang terjadi.
4. Eicosanoid
Terdapat peningkatan: COX-2 mRNA, PGE2, 15-Lipooksigenase, LipoksinA,
LTC4 sintase, 5-Lipooksigenase mRNA, peptida-LT, EP1 dan EP3.
5. Metaloproteinase dan TGF-β
Level TGF-β1 meningkat signifikan dibanding dengan kelompok polip nasi,
disertai dengan peningkatan MMP-9 dan TIMP-1.
6. Imunoglobulin
IgE meningkat pada pasien rinosinusitis kronik alergik, fungal dan eosinofilik.
IgG antibodi terhadap golongan fungal juga menunjukkan peningkatan. IgG
spesifik fungal (IgG3) dan IgA menunjukkan peningkatan pada kondisi
‘sinusitis alergik fungal’.
20

7. Nitrit oksida (NO)


Sel epitel pada rinosinusitis kronik menunjukkan ekspresi TLR-4 dan iNOS
yang kuat dibandingkan kontrol, sedangkan pada kelompok rinosinusitis
kronik yang telah mendapat terapi kortikosteroid nasal menunjukkan
peningkatan nNO.
8. Neuropeptida
Inflamasi neurogenik memegang peranan bagi manifestasi klinis rinosinusitis
kronik. Level CGRP (sensoris trigeminal) dan VIP (parasimpatis) pada saliva
meningkat signifikan pada pasien rinosinusitis kronik alergik.
9. Musin
Musin merupakan komponen utama dari mukus, jenis musin yang meningkat
pada rinosinusitis kronik antara lain MUC5AC, MUC5B dan MUC8.
10. Mediator lain :
 VEGF (vascular endothelial-cell growth factor), diproduksi oleh mukosa
hidung dan sinus paranasal, berkaitan dengan kondisi hipoksia yang terjadi
pada rinosinusitis.
 SP-A (surfactant protein A), juga meningkat pada mukosa pasien
rinosinusitis kronik.

2.5 DIAGNOSIS
Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR
1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk
diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003,
ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 2.3.2
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.
21

Tabel 2.3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan
pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa
klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
symptoms (as described by swelling on anterior rhinoscopy (with
1996 Task Force) or decongestion) or nasal endoscopy
physical findings 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
endoscopy
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required for
diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa) berdasarkan


EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.1 Penilaian subyektif berdasarkan pada keluhan,
berlangsung lebih dari 12 minggu:1
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman
dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang gejala alergi, ingus seperti air,
hidung gatal, mata gatal dan berair, jika positif ada, seharusnya dilakukan
pemeriksaan alergi. (Foto polos sinus paranasal/tomografi komputer tidak
direkomendasikan).X
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior.1 Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan
dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada
pemeriksaan rinoskopi anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain
22

endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal
airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.1

a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun
virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga
hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain
yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat
pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh
melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius.
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini
berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang
dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,
23

namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan
SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure)1,2,1

b. Pemeriksaan Fisik
 Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya)1,2,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.18
 Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.18

c. Pemeriksaan Penunjang
 Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
 Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi
endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami
kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai
tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18
 Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan
modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta
untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak
memberikan respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang
akan dilakukan pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 2.5.
 Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
24

1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi


2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reacive protein)

Gambar 2.5. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat


konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.19

2.6 PENATALAKSANAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya
latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.20
25

a. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita,
membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa
gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu
memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:1,2,20,21,22
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
26

4. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga, avoidance terhadap iritan


dan nutrisi yang cukup

Tabel 2.4. Penatalaksanaan Berbasis Bukti Dan Rekomendasi Untuk


Rinosinusitis Kronik Tanpa Polip Hidung Pada Dewasa*
27

Gambar 2.6. Skema Penatalaksanaan Rinosinusitis Kronik Dengan Atau Tanpa


Polip Hidung Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer Dan Dokter
Spesialis NON THT

b. Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan
canggih endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:1,23
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
28

b. Frontal sinus septoplasty


c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama kali oleh
Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base

Terapi Bedah Berbasis Bukti untuk Rinosinusitis


Penelitian mengenai operasi sinus sangat sulit untuk digeneralisasi, karena
operasi diindikasikan pada pasien tertentu yang tidak memberikan respon yang
adekuat terhadap pengobatan medikamentosa. Terdapat masalah khusus dalam
melaksanakan studi operatif, karena operasi sangat sulit untuk diprediksi atau
distandarisasi, terutama pada penelitian multisenter, dan tipe penatalaksanaan sulit
dibuat membuta (blinding/masking). Randomisasi kemungkinan berhadapan
dengan masalah etik kecuali kriteria inklusi dipersempit dan adalah sangat sulit
untuk memperoleh kelompok pasien homogen dengan prosedur terapi yang dapat
29

dibandingkan untuk menyingkirkan bias evaluasi hasil operasi sinus. Meskipun


demikian:
1. Pada rinosinusitis akut, operasi diindikasikan pada kasus yang berat dan
komplikasi yang berhubungan.
2. Lebih dari 100 kasus berseri (level IV) dengan hasil yang konsisten bahwa
pasien rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip mendapat manfaat dari
operasi sinus.
3. Komplikasi mayor terjadi pada kurang dari 1 % dan operasi revisi dilaksanakan
kira - kira 10 % dalam kurun waktu 3 tahun.
4. Pada sebagian besar kasus rinosinusitis kronis, pengobatan medikamentosa
yang adekuat sama efektifnya dengan operasi, jadi operasi sinus seharusnya
dicadangkan untuk pasien yang tidak memberikan respon memuaskan terhadap
pengobatan medikamentosa. (level Ib).
5. Bedah sinus endoskopik fungsional lebih superior dibandingkan prosedur
konvensional termasuk polipektomi dan irigasi antrum (Level Ib), tetapi
superioritas terhadap antrostomi meatus inferior atau sfenoetmoidektomi
belum terbukti.
6. Pada pasien rinosinusitis kronis yang belum pernah dioperasi, operasi yang
lebih luas tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan prosedur
operasi yang terbatas (level Ib). Walaupun bukan berbasis bukti, perluasan
operasi biasanya disesuaikan terhadap perluasan penyakit, yang merupakan
pendekatan secara rasional. Pada bedah sinus paranasal primer,
direkomendasikan bedah secara konservatif.
7. Operasi sinus endonasal revisi hanya diindikasikan jika pengobatan
medikamentosa tidak efektif. Perbaikan gejala secara umum diobservasi pada
pasien dengan rinosinusitis kronis dengan dan tanpa polip, walaupun
perbaikannya kurang dibandingkan setelah operasi primer. Angka komplikasi
dan terutama resiko rekurensi penyakit lebih tinggi dibandingkan operasi
primer.
30

2.9 KOMPLIKASI
1. Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita

2. Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)


a. Abses epidural / subdural
b. Abses otak
c. Meningitis
d. Serebritis
e. Trombosis sinus kavernosus
3. Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis,
perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang,
mukokel/mukopiokel, septikemia.

2.7 PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika
serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat
memberikan prognosis yang baik. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) akan
mengembalikan fungsi sinus dan gejala akan sembuh secara komplit atau moderat
sekitar 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis
yang tidak responsive terhadap medikamentosa.24
31

BAB III
KESIMPULAN

Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah
satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi
kualitas hidup penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa bersifat multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat
dibedakan menjadi faktor fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor
struktural. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)
berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada
keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu: buntu hidung, kongesti atau sesak;
sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen; nyeri wajah / tekanan, nyeri
kepala dan; dan penurunan / hilangnya penciuman. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda
antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi
anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal,
sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-
scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi
penciuman dan pemeriksaan laboratorium. Modalitas terapi rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi terapi medikamentosa
dengan tujuan dapat kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung dan terapi pembedahan apabila pada
pasien tertentu tidak memberikan respon yang adekuat terhadap terapi
medikamentosa
32

DAFTAR ISI

1. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis


and nasal polyps. Rhinology, 2007; 45(suppl 20): 1-139.
2. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification,
diagnosis and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head &
Neck Surgery – Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2006; 406-416.
3. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology
to management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
4. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care
expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis
pathogenesis and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.
5. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis
and nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.
6. NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9.
http://www.waspada.co.id. Accessed at 6th February 2019.
7. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
8. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of
chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
9. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak
S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
10. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.
11. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody
FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New
York: Informa, 2007;1-12.
33

12. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
13. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical
immunology, 2000; 106: 213-226.
14. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.
15. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.
16. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In
Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis
and management. Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.
17. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In
Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
& Francis, 2006;371-398.
18. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
19. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB,
Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New
York : Springer, 2005; 68.
20. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
21. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.
34

22. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook
I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor &
Francis, 2006; 219-229.
23. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.
24. Singh Vishwambhar, Tiwari KM. An Update of Rhinosinusitis. Dalam ISSN
Volume Issue 1. 2014.
25. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Essential Clinically
Oriented Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015.
26. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The Anatomical
Basis of Clinical Practice. Churchill Livingstone: Elsevier. 2008. P549-
559.Hansen, JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2010.
35

Anda mungkin juga menyukai