BAB I
PENDAHULUAN
yang ada, maka perlu dipelajari lebih jauh tentang rinosinusitis kronik tanpa polip
nasi. Tujuan referat ini dibuat adalah untuk menguraikan tentang rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI
1. Cavum Nasi
Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari
cavum oris dan basis cranii. Bagian bawah cavum nasi yang paling lebar dan dalam
secara vertikal adalah regio sentralnya, dipisahkan oleh septum nasi menjadi cavum
nasi dextra dan sinistra. Pintu masuk dari cavum nasi adalah nares, dan di posterior
akan masuk ke nasopharynx melalui choana. Hampir seluruh bagian dari cavum
nasi dilapisi oleh mukosa kecuali area vestibulum nasi yang dilapisi oleh kulit.
Mukosa cavum nasi melekat pada periosteum dan perikondrium dari tulang yang
membentuk cavum nasi dan tulang rawan dari hidung.25,26
Mukosa cavum nasi juga melapisi struktur-struktur yang berhubungan
dengan cavum nasi seperti: nasopharynx di posteriornya, sinus paranasales di
superior dan lateralnya, dan sacus lacrimalis dan konjungtiva di superiornya.
Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi adalah area respirasi dan 1/3 superiornya
adalah area olfaktori.4 Area respirasi dari cavum nasi mukosanya dilapisi oleh
epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet. Ada banyak kelenjar
seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung. Sekresinya membuat
permukaannya menjadi lengket sehingga bisa menjebak partikel-partikel yang
terdapat di udara yang terinspirasi. Film mukosa terus-menerus digerakkan oleh
aksi siliar (eskalator mukosiliar) ke arah posterior ke nasofaring dengan kecepatan
6 mm per menit.26
Gerakan palatal memindahkan mukus dan partikel yang terperangkap ke
oropharyng selama menelan, namun beberapa juga memasuki vestibulum nasi di
anterior. Sekresi mukosa hidung mengandung lisozim yang bersifat bakterisidal,
β-defensin dan laktoferin, dan juga imunoglobulin sekretoris (IgA). Mukosa
cavum nasi berlanjut ke mukosa nasofaring melalui choana, ke konjungtiva
melalui ductus nasolacrimalis dan kanalikuli lakrimalis, dan mukosa dari sinus
paranasales melalui muaranya pada meatus nasi. Mukosa cavum nasi ditemukan
4
paling tebal dan vaskularisasinya paling banyak di atas conchae, terutama pada
ekstremitasnya, dan juga pada bagian anterior dan posterior dari septum nasi, dan
di antara conchae. Pada meati mukosa ditemukan sangat tipis di meati, di dasar
hidung dan di sinus paranasales. Ketebalannya mengurangi volume rongga hidung
dan lubangnya secara signifikan. Lamina propria mengandung jaringan vaskular
kavernosa dengan sinusoid-sinusoid yang besar.26
Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae
yaitu: concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan
dengan arah inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk
jalannya udara yaitu:25,26
1. Recessus sphenoethmoidalis yang terdapat di atas concha nasi superior
menerima muara dari sinus sphenoidalis.
2. Meatus nasi superior yang terletak diantara concha nasi superior dan
medius menerima muara dari sinus ethomidalis posterior.
3. Meatus nasi medius yang terletak diantara concha nasi medius dan inferior
lebih panjang dan lebar dibandingkan dengan meatus nasi superior. Bagian
anterosupereriornya menuju ke infundibulum ethmoidalis, lubang yang
berhubungan sinus frontalis lewat ductus frontonasalis. Ductus
frontonasalis kemudian bermuara pada suatu celah semisirkular yaitu
hiatus semilunaris. Bulla ethmoidalis, elevasi bulat yang terletak lebih
tinggi dari hiatus semilunar (terlihat saat concha nasi medius diangkat).
Bulla dibentuk oleh cellulae etmoidalis medius, yang membentuk sinus
ethmoidal. Sinus maxillaris menuangkan isinya juga kebagian posterior
hiatus semilunar.
4. Meatus nasi inferior yang terletak di bawah concha nasi inferior
merupakan saluran berbentuk horizontal. Ductus nasolacrimalis dari sacus
lacrimalis bermuara pada bagian anterior dari meatus ini.
5
2. Sinus Paranasales
Sinus paranasales adalah rongga yang terdapat dalam tulang-tulang
ethmoidalis, sphenoidalis, frontalis, dan maxillaris. Nama-nama sinus sesuai
dengan nama tulangnya. Sinus frontalis terletak diantara facies interna dan externa
ossis frontalis, posterior dari arcus superciliaris dan atap dari hidung. Dimensi
rata-rata sinus frontal orang dewasa adalah: tinggi 3,2 cm; lebar 2,6 cm;
kedalaman 1,8 cm. Masing-masing biasanya memiliki bagian depan yang
membentang ke atas di atas bagian medial alis, dan bagian orbit yang memanjang
kembali ke bagian medial atap orbit. Masing-masing sinus frontalis menuangkan
isinya ke dalam hiatus semilunaris dari meatus nasi medius. Sinus frontalis
mendapatkan innervasi dari nerus supra orbitalis (N. V1).25,26
Sinus ethmoidalis (cellulae) meliputi beberapa cavitas yang terletak di
lateral os ethmoidalis antara cavum nasi dan orbita. Cellulae ethomidalis anterior
menuangkan isinya ke dalam meatus nasi medius melalui infundibulum. Cellulae
ethmoidalis medius bermuara langsung ke meatus nasi medius. Sedangkan
cellulae ethmoidalis posterior, yang membentuk bulla ethmoidalis bermuara
langsung ke meatus nasi superior. Sinus ethmoidalis mendapatkan innervasi dari
rami ethmoidalis anterior dan posterior nervi nasociliaris (N. V1).25,26
6
Gambar 2.2. Potongan Coronal Melalui Cavum Nasi (dilihat dari posterior)26
Karena lubang muara dari sinus ini terletak di superior, maka tidak
mungkin terjadinya drainase dari sinus jika posisi kepala dalam keadaan tegak
kecuali sinus dalam kondisi penuh. Sinus maxillaris mendapatkan vaskularisasi dari
arteri alveolaris superior cabang dari arteri maxillaris, lantai dari sinus
divaskularisasi oleh arteri palatina major. Mukosa dari sinus ini mendapatkan
innervasi dari nervii alveolaris anterior, medius, dan posterior.25
2.2 DEFINISI
Johnson dan Ferguson (1998) menyatakan bahwa karena mukosa kavum
nasi dan sinus paranasal saling berhubungan sebagai satu kesatuan maka inflamasi
yang terjadi pada kavum nasi biasanya berhubungan dengan inflamasi dalam sinus
paranasal.7 Secara histologi, mukosa kavum nasi dan mukosa sinus mempunyai
sejumlah kesamaan; mucous blanket sinus senantiasa berhubungan dengan kavum
nasi dan pada studi dengan CT-Scan untuk common cold ditunjukkan bahwa
mukosa kavum nasi dan sinus secara simultan mengalami proses inflamasi
8
2.3 EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995, sekitar 17,4
% penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap sinusitis dalam jangka
waktu 12 bulan.3 Dari survei yang dilakukan, diperkirakan angka prevalensi
rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa AS berkisar antara 13-16 %, dengan
kata lain, sekitar 30 juta penduduk dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik.1-4
Dengan demikian rinosinusitis kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang
paling populer di AS melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan
sefalgia.2,4 Kennedy melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah
kunjungan pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992.5 Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi
rinosinusitis kronik sekitar 5 % dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6
berbanding 4 (lebih tinggi pada kelompok wanita).1,3 Berdasarkan penelitian divisi
Rinologi Departemen THT-KL FKUI tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan
ditemukan 50 % penderita sinusitis kronik.6 Dampak yang diakibatkan rinosinusitis
kronik meliputi berbagai aspek, antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life /
QOL ) dan aspek sosioekonomi.1-4
Gambar 2.4. Siklus patologis rinosinusitis kronik, perubahan pada salah satu
faktor akan mengakibatkan terjadinya proses yang berkelanjutan
dengan hasil akhirnya adalah rinosinusitis kronik.14
Mechanical trauma
Barotrauma
pada pasien kistik fibrosis yang mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik.2
Pada diskinesia siliar primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang
menjadi faktor penyebab rinosinusitis. 1,2,14,16
Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis seperti
sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini, terjadi respon inflamasi
kronik diikuti dengan perubahan jaringan lokal yang bervariasi tingkat berat
ringannya dari destruksi silia dan kelenjar mukus sampai destruksi jaringan
lokal.1,2,14
Faktor Lingkungan
Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak dipelajari
dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat ditegakkan secara pasti.2 Pada
pasien dengan rinosinusitis kronik, prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50
%.2 Pada pasien yang menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif
berkisar antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel.1,2,14 Namun
bagaimana alergi bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari ini belum
diketahui secara jelas. Stammberger 1991 menyatakan bahwa: ‘udem mukosa nasal
pada pasien rinitis alergi yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi
bahkan mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi
mukus dan infeksi’.1 Namun hal ini lebih mengarah kepada rinosinusitis akut
sedangkan sejauh mana perkembangan dan persistensi keadaan ini memberikan
pengaruh bagi rinosinusitis kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.1,16
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi
perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu, ozon, sulfur
dioksida, komponen volatil organik, dll.1,2,14 Bahan polutan ini bertindak sebagai
iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi lokal diikuti influks neutrofil.
Sebagai tambahan, asap rokok juga menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan
defek mikrotubular primer.14
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum sepenuhnya
jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk (1994) menemukan
peningkatan insiden rinosinusitis kronik selama musim infeksi saluran pernapasan
15
atas. Sedangkan studi yang melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa
virus menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel epitel
nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan silia, berkurangnya
frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens mukosiliar.2 Adenovirus dan RSV
(respiratory syncytial virus) didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang
menjalani operasi sinus endoskopik.16,17
Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari
rinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat dibuktikan.1
Gambaran bakteriologi rinosinusitis kronik pada kenyataannya berbeda dengan
rinosinusitis akut.2,13 Pada rinosinusitis kronik, kuman yang predominan adalah
S.aureus, Stafilokakus koagulase negatif, bakteri anaerob dan gram negatif.
Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman predominan antara lain S.pneumoniae,
H.influenzae dan M.catarrhalis.1,13,15 Beberapa penelitian retrospektif dan
prospektif telah dilakukan untuk menilai bakteri penyebab rinosinusitis kronik baik
pada orang dewasa maupun anak.14 Pada orang dewasa, gambaran kuman
umumnya polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan
anaerob.1,14,17 Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 % sedangkan
kuman anaerob berkisar antara 0-100 %.1,17 Kuman anaerob banyak terdapat pada
infeksi sekunder akibat masalah gigi.1
Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab persistensi
rinosinusitis kronik.2,14 Biofilm merupakan suatu matriks kompleks polisakarida
yang disintesis oleh bakteri dan bertindak sebagai protektor lingkungan mikro bagi
koloni bakteri. Keberadaan biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk
rinosinusitis kronik yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba
poten.2,14 Cryer dkk (2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa
sinus yang terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.2,14
Biofilm juga ditemukan pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.1
Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan pada
berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995).17 Kemampuan potensial bakteri
aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase untuk melindungi organisme yang
suseptibel terhadap penisilin ditunjukkan oleh Brook dkk (1996).13,17 Resistensi
16
Faktor Struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu liter
mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar. Obstruksi ostium sinus
KOM akan mengakibatkan akumulasi dan stagnasi cairan, membentuk lingkungan
yang lembab dan suasana hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.1,2
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis seperti deviasi
septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal infraorbital), prosesus unsinatus
horizontal, skar akibat bekas operasi dan anomali kraniofasial.1,2,9,13,14,16
Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada rinosinusitis
kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan histologik.8 Beberapa studi
menunjukkan bahwa ‘perubahan osteitis’ dimulai dari meningkatnya vaskularisasi,
infiltrasi proses inflamasi dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal
Haversian.1,2,8,13,14 Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel
inflamatori dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-
scan terlihat adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang iregular.
Penebalan tulang iregular yang terjadi merupakan tanda adanya proses inflamasi
pada tulang yang berpengaruh pada inflamasi mukosa.1,2,8,13,14
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis rinosinusitis
kronik.13 Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya rinosinusitis kronik adalah
iritasi mukosa.17 Gambaran skematik dibawah (gambar 3) menunjukkan alterasi
potensial pada mukosa nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus,
alergen, polusi udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan
peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin lainnya.
Molekul HLA-DR (human leukocyte antigen DR) pada permukaan epitelial ikut
meningkat, selanjutnya memegang peranan pada respon imun spesifik melalui sel
18
TH1 dan TH2 untuk kemudian melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF
(granulocyte-macrophage-colony stimulating factor), IL-8 dan TNF-α (tumor
necrosing factor alpha) ikut dilepaskan yang kemudian memberikan efek kepada
sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon gamma yang dilepaskan
sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi ICAM-1 pada permukaan sel epitel
respiratorik.17
Gambaran histopatologi mukosa rinosinusitis kronik menunjukkan adanya
penebalan dasar membran sel, hiperplasia sel goblet, udem subepitelial dan
infiltrasi sel mononuklear.1,13 Proses inflamasi pada rinosinusitis dibagi menjadi
golongan inflamasi infeksius dan golongan inflamasi noninfeksius.13 Inflamasi
infeksius umumnya terjadi pada rinosinusitis akut sedangkan pada rinosinusitis
kronik terjadi inflamasi noninfeksius.13
2.5 DIAGNOSIS
Berdasarkan definisi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi menurut TFR
1996, terdapat faktor klinis/ gejala mayor dan minor yang diperlukan untuk
diagnosis.1,2,12,17,18 Selanjutnya menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003,
ada tiga kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada tabel 2.3.2
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan radiologi, endoskopi
nasal, CT-scan dan lainnya.
21
Tabel 2.3. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan
pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa
klinis lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.2
endoskopi nasal, sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus,
transiluminasi, CT-scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal
airway, fungsi penciuman dan pemeriksaan laboratorium.1
a. Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama dalam
menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat patofisiologi
rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi baik bakteri maupun
virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan kelainan anatomis rongga
hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat penyakit yang lengkap.18 Informasi lain
yang perlu berkaitan dengan keluhan yang dialami penderita mencakup durasi
keluhan, lokasi, faktor yang memperingan atau memperberat serta riwayat
pengobatan yang sudah dilakukan.2 Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh
melalui anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran udara
mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan sekitarnya.
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang mungkin
disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius dengan / tanpa alterasi
degeneratif pada mukosa olfaktorius.
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut, pada
rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.
Selain untuk mendapatkan riwayat penyakit, anamnesis juga dapat
digunakan untuk menentukan berat ringannya keluhan yang dialami penderita. Ini
berguna bagi penilaian kualitas hidup penderita. Ada beberapa metode/test yang
dapat digunakan untuk menilai tingkat keparahan penyakit yang dialami penderita,
23
namun lebih sering digunakan bagi kepentingan penelitian, antara lain dengan
SNOT-20 (sinonasal outcome test), CSS (chronic sinusitis survey) dan RSOM-31
(rhinosinusitis outcome measure)1,2,1
b. Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan kondisi
rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya)1,2,18 Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.18
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang
rongga hidung.18
c. Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai
kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila terdapat
perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.18
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret,
patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium
tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus.1,13 Indikasi
endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami
kegagalan.18 Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai
tingkat sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.18
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum dilakukan,
meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-scan merupakan
modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan anatomi sinus, serta
untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan medikamentosa tidak
memberikan respon.1,18 Ini mutlak diperlukan pada rinosinusitis kronik yang
akan dilakukan pembedahan.1,2,18 Contoh gambaran CT-scan rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat dilihat pada gambar 2.5.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:1,2,13,18
24
2.6 PENATALAKSANAN
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang
dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan medikamentosa dan
pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip nasi), terapi pembedahan
mungkin menjadi pilihan yang lebih baik dibanding terapi medikamentosa. Adanya
latar belakang seperti alergi, infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung
memerlukan terapi yang berlainan juga.20
25
a. Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan penderita,
membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi medikamentosa
gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis kronik) dan membantu
memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.20,21,22 Pada dasarnya yang ingin
dicapai melalui terapi medikamentosa adalah kembalinya fungsi drainase ostium
sinus dengan mengembalikan kondisi normal rongga hidung.20,21
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:1,2,20,21,22
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang digunakan
adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
a. Amoksisilin + asam klavulanat
b. Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
c. Florokuinolon : ciprofloksasin
d. Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
e. Klindamisin
f. Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis kronik
dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis α-adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien
f. Imunoterapi
26
b. Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan peralatan
canggih endoskopi.23 Beberapa jenis tindakan pembedahan yang dilakukan untuk
rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:1,23
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
28
2.9 KOMPLIKASI
1. Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
2.7 PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari ketepatan serta cepatnya penanganan yang
diberikan. Semakin cepat maka prognosis semakin baik. Pemberian antibiotika
serta obat-obat simptomatis bersama dengan penanganan faktor penyebab dapat
memberikan prognosis yang baik. Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) akan
mengembalikan fungsi sinus dan gejala akan sembuh secara komplit atau moderat
sekitar 80-90% pada pasien dengan sinusitis kronis rekuren atau sinusitis kronis
yang tidak responsive terhadap medikamentosa.24
31
BAB III
KESIMPULAN
Rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa merupakan salah
satu masalah kesehatan yang sering didapatkan dan memberikan dampak bagi
kualitas hidup penderita. Patofisiologi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa bersifat multifaktorial dan faktor predisposisi terjadinya dapat
dibedakan menjadi faktor fisiologik/genetik, faktor lingkungan dan faktor
struktural. Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)
berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Penilaian subyektif berdasarkan pada
keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu: buntu hidung, kongesti atau sesak;
sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen; nyeri wajah / tekanan, nyeri
kepala dan; dan penurunan / hilangnya penciuman. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan posterior. Yang menjadi pembeda
antara kelompok rinosinusitis kronik tanpa dan dengan nasal polip adalah
ditemukannya jaringan polip / jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi
anterior.Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal,
sitologi dan bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-
scan dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi
penciuman dan pemeriksaan laboratorium. Modalitas terapi rinosinusitis kronik
tanpa polip nasi pada orang dewasa dibedakan menjadi terapi medikamentosa
dengan tujuan dapat kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan
mengembalikan kondisi normal rongga hidung dan terapi pembedahan apabila pada
pasien tertentu tidak memberikan respon yang adekuat terhadap terapi
medikamentosa
32
DAFTAR ISI
12. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology – head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
13. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical
immunology, 2000; 106: 213-226.
14. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.
15. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.
16. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In
Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis
and management. Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.
17. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In
Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
& Francis, 2006;371-398.
18. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
19. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB,
Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New
York : Springer, 2005; 68.
20. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
21. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.
34
22. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook
I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor &
Francis, 2006; 219-229.
23. Siswantoro. Tatalaksana bedah pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 67-74.
24. Singh Vishwambhar, Tiwari KM. An Update of Rhinosinusitis. Dalam ISSN
Volume Issue 1. 2014.
25. Moore, Keith L., Arthur F Dalley, and A. M. R Agur. Essential Clinically
Oriented Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015.
26. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The Anatomical
Basis of Clinical Practice. Churchill Livingstone: Elsevier. 2008. P549-
559.Hansen, JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2010.
35