Pada tanggal 3 Desember 1918, H.A. Halim Nasution seorang pedagang tekstil yang
dari Huta Pungkut mendapatkan kabar bahwa istrinya telah melahirkan anak kedua. H.A.
Halim Nasution saat itu sedang menjalankan perniagaannya di Sibolga yang berjara kurang
lebih 180 km dari Huta Pungkut. Bayi yang lahir itu berjenis kelamin laki – laki yang
selanjutnya diberi nama Abdul Haris Nasution. Meski terlahir sebagai anak kedua, Abdul
Haris Nasution adalah anak laki – laki pertama dalam keluarga itu.
Mangkapi, kakek Abdul Haris Nasution, meramalkan bahwa cucunya kelak akan
menjadi seorang pendekar pencak silat seperti dirinya. Lain halnya dengan ayahnya yang
menghendaki sang anak kelak mejadi seorang ahli agama. Sementara dari ibunya
mengharapkan laki – laki pertamanya dapat belajar di sekolah umum supaya kelak bisa
menjadi seorang dokter, pamongpraja dan semacamnya.
Nasution menjalani masa kecilnya dengan anak – anak sepantarannya di desa. Mereka
bermain bersama, mencari buah yang memang banyak tumbuh di kampung atau terkadang
membantu pekerjaan orang tua di sawah, huma dan ladang. Sesekali Nasution kecil diajak
Ayahnya mengikutinya berdagang ke luar daerah seperti ke Sibolga, Padangsidempuan atau
Bukit Tinggi. Baginya kesempatan seperti ini sangat dan menarikhatinya karena mendapat
kesempatan untuk melihat tempat – tempat lain yang berjarak cukup jauh dari desa tempat
tinggalnya.
B. Masa Pendidikan dan Sebagai Guru
Ketika memasuki usia sekolah, Nasution masuk sekolah pendidikan dasar zaman
Hindia Belanda yaitu Holland Inlandsche School (HIS) di Kotanopan. Sebelumnya telah
terjadi perdebatan sengit dalam keluarganya tentang pendidikan yang akan di tempuh
Nasution. Seperti diketahui, ayahnya sangat ingin agar Nasution menjadi ahli agama.
Sementara ibunya menghendakinya belajar di sekolah umum dengan harapan kelak akan
dapat melanjutkan pendidikannya di STOVIA (Sekolah Kedokteran di Jakarta).
Tiap hari Nasution harus menempuh jarak 6 km dari Huta Pungkut ke Katanopan. Ia
bersekolah bersama 5 saudara sepupunya yang juga bersekolah di tempat yang sama. Pukul 3
sore pulang ke rumah dan langsung di sambung dengan belajar agama di madrasah hingga
mendekati Maghrib dan malamnya dilanjutkan dengan kegiatan mengaji.
Satu keadaan yang sangat memukul karena disaat membutuhkan biaya besar untuk
mendanai pendidikan anak – anaknya, dunia usaha sedang lesu. Namun orang tuanya tetap
bertekad untuk menyekolahkan anak – anaknya sampai jenjang yang lebih tinggi. Keluarga
ini menjadi sangat tertolong ketika Nasution mendapatkan tawaran beljar di Sekolah Guru di
Bukit Tinggi secara Cuma – Cuma pada tahun itu juga.
Di tahun 1932 itu, Nasution yang telah berusia 14 tahun berangkat menuju ke Bukit
Tinggi, Sumatera Barat untuk menjalani pendidikan di Hogere Inlandsche Kwekschool yang
populer disebut sebagai Sekolah Raja atau Sekolah guru.
Seperti halnya di HIS. Selama belajar di Sekolah Guru itu kebiasaannya dalam
melahap berbagai buku sejarah dan sejenisnya tetap berlanjut, bahkan semakin sering
dikarenakan bahan bacaan yang tersedia lebih banyak dan lengkap jika dibandingkan dengan
yang pernah ia dapatkan di Katanopan dulu.
Pada tahun hanya 1935 sekolah guru Bukit Tinggi dibubarkan. Padahal seluruh siswa
yang sedang belajar belum menyelesaikan pendidikannya. Menyikapi hal ini maka pihak
pengurus sekolah mengeluarkan kebijakan, jika para siswa ingin melanjutkan pendidikannya
di Sekolah Guru itu maka merka dipersilahkan untuk melanjutkan pendidikannya ke
Bandung. Namun untuk dapat melanjutkan serta menamatkan pendidikan tersebut seluruh
siswa melalui tahapan penyaringan atau diseleksi.
Dari sekitar 100 siswa yang belajar di Sekolah Guru atau Kweekschool itu. Tersaring
lima siswa yang di perbolehkan melanjutkan di Bandung. Salah satu siswa diantara yang
lulus adalah Nasution, demikian halnya dengan rekan karibnya Artawi. Untuk pertama
kalinya dalam hidupnya, Nasution mendapat pengalaman berlayar menuju Pulau Jawa yang
saat itu menjadi pusat pergerakan politik nasional.
Di sela sela waktu luangnya, Nasution memuaskan diri dengan membahas dan
mengikuti perkembangan politik aktual. Bersama beberapa kawannya mereka seringkali turut
menghadiri pertemuan dan rapat politik. Rapat rapat itu biasanya diselenggarakan di Gedung
Himpoenan Sodara di Jl. Dalem Kaum, Bandung. Minatnya terhadap kehidupan politik
semakin tinggi dan ia mulai merasakan keinginannya mempunyai uang lebih, Nasution selalu
membeli buku buku politik yang ditulis oleh para tokoh saat itu, terutama buku tulisan Bung
Karno.
Namun begitu, ia tetap bertekad dan berusaha keras untuk menyesuaikan pelajaran.
Akhirnya, pada tahun 1937, Nasution berhasil menamatkan Sekolah Guru (Kweekschool)
Bandung. Dengan ijazah Kweekschool itu ia berhak untuk bekerja sebagai guru.
Daerah pertama yang menjadi tempat tugas mengajar adalah Bengkulu. Mendengar
kota penempatannya itu Nasution menjadi sangat bergairah karena ia tahu Bung Karno
sedang menjalani masa pembuangannya di Bengkulu. Dan memamng selama menjalani
tugasnya di Bengkulu, Nasution dapat bertemu dan sekali kali berbicara dengan sosok yang
dikaguminya itu.
Sering terlintas keinginan terhadap dunia militer juga semakin besar. Nasution tahu
bahwa untuk masuk ke pendidikan militer seseorang seseorang harus memenuhi syarat utama
yakni harus mempunyai ijazah Algemene Middelbare School (AMS).
Terdorong oleh keinginannya yang semakin kuat itu maka Nasution berusaha belajar
sendiri dengan harapan suatu saat mendapatkan ijazah AMS. Berkat ketekunan, kegigihan
serta bantuan dari rekan rekan sesama guru, Nasution dapat mengikuti ujian AMS di
Palembang dan lulus. Satu modal awal berharga untuk mewujudkan keinginannya sudah
dimiliki.
C. Memasuki Dunia Militer
Situasi politik dunia menjelang akhir 1930 – an sangat gawat. Pada tahun 1939,
pasukan Jerman menduduki Polandia. Setelah berhasil, Jerman selanjutnya masuk ke
Chekoslovakia. Tindakan ini seolah seperti menabuh genderang untuk menantang perang
negara Sekutu yang dahulu mengalahkannya dalam perang Dunia I.dengan munculnya aksi
militer Jerman itu maka Perang Dunia II sudah diambang pintu.