Anda di halaman 1dari 35

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Osteoarthritis

2.1.1 Definisi

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degenerasi pada sendi yang

melibatkan kartilago, lapisan sendi, ligamen, dan tulang sehingga menyebabkan

nyeri dan kekakuan pada sendi (CDC, 2014). Dalam Perhimpunan Reumatologi

Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit

sendi degeneratif yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan

tulang yang ada disekitar sendi tersebut (Hamijoyo, 2007).

Sjamsuhidajat (2011) mendevinisikan OA sebagai kelainan sendi kronik yang

disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks

ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat et.al,

2011).

Arrisa (2013), melaporkan angka kejadian osteoartritis di Pontianak

berdasarkan jenis kelamin didapatkan lebih tinggi pada perempuan dengan nilai

persentase 68, 67% dibandingkan dengan laki-laki yang memiliki nilai persentase

sebesar 31, 33%. Dengan sebaran sebagai berikut penyakit osteoartritis lebih

sering terjadi pada lutut yaitu sebesar 89,91% yang diikuti oleh penderita

osteoartritis pada servikal dengan persentase sebesar 6,88% dan untuk penderita
osteoartritis lumbal yaitu sebesar 2,75% yang merupakan persentase terendah.

9
10

2.1.2. Klasifikasi

Osteoartritis di klasifikasikan oleh Altman et al menjadi dua golongan,

yaitu OA primer dan OA sekunder.

2.1.2.1 Osteoartritis primer

Osteoartritis primer atau OA idiopatik belum diketahui penyebabnya dan

tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada

sendi (Soeroso, 2006). Meski demikian, osteoartritis primer banyak dihubungkan

pada penuaan. Pada orangtua, volume air dari tulang muda meningkat dan

susunan protein tulang mengalami degenerasi. Akhirnya, kartilago mulai

degenerasi dengan mengelupas atau membentuk tulang muda yang kecil. Pada

kasus-kasus lanjut, ada kehilangan total dari bantal kartilago antara tulang-tulang

dan sendi-sendi.

Penggunaan berulang dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun ke tahun dapat

membuat bantalan tulang mengalami iritasi dan meradang, menyebabkan nyeri

dan pembengkakan sendi. Kehilangan bantalan tulang ini menyebabkan gesekan

antar tulang, menjurus pada nyeri dan keterbatasan mobilitas sendi. Peradangan

dari kartilago dapat juga menstimulasi pertumbuhan tulang baru yang terbentuk di
sekitar sendi-sendi (Soeroso, 2006).

Osteoartritis primer ini dapat meliputi sendi-sendi perifer (baik satu maupun

banyak sendi), sendi interphalang, sendi besar (panggul, lutut), sendi-sendi kecil

(carpometacarpal, metacarpophalangeal), sendi apophyseal dan atau intervertebral

pada tulang belakang, maupun variasi lainnya seperti OA inflamatorik erosif, OA


11

generalisata, chondromalacia patella, atau Diffuse Idiopathic Skeletal

Hyperostosis (DISH) (Moskowitz, 2001).

2.1.2.2 Osteoartritis sekunder

Osteoartritis sekunder adalah OA yang disebabkan oleh penyakit atau

kondisi lainnya, seperti pada post-traumatik, kelainan kongenital dan

pertumbuhan (baik lokal maupun generalisata), kelainan tulang dan sendi,

penyakit akibat deposit kalsium, kelainan endokrin, metabolik, inflamasi,

imobilitas yang terlalu lama, serta faktor risiko lainnya seperti obesitas, operasi

yang berulang kali pada struktur-struktur sendi, dan sebagainya.

2.2. Anatomi Fungsional Sendi Lutut

Sendi lutut merupakan bagian dari extremitas inferior yang menghubungkan

tungkai atas (paha) dengan tungkai bawah. Fungsi dari sendi lutut ini adalah untuk

mengatur pergerakan dari kaki. Dan untuk menggerakkan kaki ini juga diperlukan

antara lain : 1). Otot- otot yang membantu menggerakkan sendi, 2). Capsul sendi

yang berfungsi untuk melindungi bagian tulang yang bersendi supaya jangan lepas

bila bergerak, 3). Adanya permukaan tulang yang dengan bentuk tertentu yang
mengatur luasnya gerakan, 4). Adanya cairan dalam rongga sendi yang berfungsi

untuk mengurangi gesekan antara tulang pada permukaan sendi. 5). Ligamentum-

ligamentum yang ada di sekitar sendi lutut yang merupakan penghubung kedua

buah tulang yang bersendi sehingga tulang menjadi kuat untuk melakukan

gerakan-gerakan tubuh(Kisner and Colby, 2013).

Sendi lutut dibentuk oleh epiphysis distalis tulang femur, epiphysis

proksimalis, tulang tibia dan tulang patella, serta mempunyai beberapa sendi yang
12

terbentuk dari tulang yang berhubungan, yaitu antar tulang femur dan patella

disebut articulatio patella femoral, antara tulang tibia dengan tulang femur

disebut articulatio tibio femoral dan antara tulang tibia dengan tulang fibula

proximal disebut articulatio tibio fibular proksimal (Kisner and Colby, 2013).

Sendi lutut merupakan suatu sendi yang disusun oleh beberapa tulang,

ligamen beserta otot, sehingga dapat membentuk suatu kesatuan yang disebut

dengan sendi lutut atau knee joint. Anatomi sendi lutut terdiri dari:

2.2.1 Tulang - tulang pembentuk sendi lutut

a. Tulang Femur

Merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang kerangka

pada bagian pangkal yang berhubungan dengan acetabulum membentuk kepala

sendi yang disebut caput femoris. Di sebelah atas dan bawah dari columna

femoris terdapat taju yang disebut trochantor mayor dan trochantor minor, di

bagian ujung membentuk persendian lutut, terdapat dua buah tonjolan yang
disebut condylus medialis dan condylus lateralis, di antara kedua condylus ini

terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung lutut (patella) yang disebut

dengan fosa condylus (Syaifuddin, 2013).

b. Tulang Tibia

Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat pada os

fibula, pada bagian ujung membentuk persendian dengan tulang pangkal kaki dan

terdapat taju yang disebut os maleolus medialis. (Syaifuddin, 2013).


13

c. Tulang Fibula

Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang membentuk

persendian lutut dengan os femur pada bagian ujungnya. Terdapat tonjolan yang

disebut os maleolus lateralis atau mata kaki luar. (Syaifuddin, 2013).

d. Tulang Patella

Pada gerakan fleksi dan ekstensi patella akan bergerak pada tulang femur.

Jarak patella dengan tibia saat terjadi gerakan adalah tetap dan yang berubah

hanya jarak patella dengan femur. Fungsi patella di samping sebagai perekatan

otot-otot atau tendon adalah sebagai pengungkit sendi lutut. Pada posisi flexi lutut

90 derajat, kedudukan patella di antara kedua condylus femur dan saat extensi

maka patella terletak pada permukaan anterior femur (Syaifuddin, 2013).


Gambar: 2.1 Patellofemoral joint (Putz and Pabst, 2008)

2.2.2. Ligamentum Pada Sendi Lutut

Ligamen merupakan stabilisasi pasif pada struktur tulang itu sendiri.

Ligamen berdiri sendiri dan merupakan penebalan dari tunica fibrosus.

Stabilisator pasif sendi lutut terdiri dari beberapa ligamen yaitu ligament
14

collateral, ligamen cruciatum, ligamen transversus genu yang berkelompok dalam

satu group disebut ligamentum extracapsular, sedangkan ligamen popliteum

obliqum dan ligamen patella disebut ligamen kapsuler (Putz and Pabst, 2008).

Ligamen cruciatum memegang peranan sebagai stabilitas utama sendi lutut

dimana ligament cruciatum anterior membentang dari bagian anterior tibia

melekat pada bagian lateral condilus lateralis femur yang berfungsi sebagai

penahan gerak translasi os. Tibia terhadap os. Femur kearah anterior mencegah

hyper ektensi lutut dan membantu saat roling dan gliding sendi lutut. Sedangkan

ligament cruciatum posterior merupakan ligamen terkuat dari sendi lutut, ligamen

ini berbentuk kipas membentang dari bagian posterior tibia ke bagian depan atas

dan melekat pada condilus medialis femur, ligamen ini berfungsi sebagai penahan

gerak translasi os tibia terhadap os femur ke arah posterior (Putz and Pabst, 2008).

Ligamen collateral berfungsi sebagai penahan berat badan baik dari medial

maupun lateral. Arah ligamen collateral lateral dan medial akan memberikan gaya

bersilang sehingga akan memperkuat stabilitas sendi terutama pada posisi

ekstensi. Ligament collateral medial terletak lebih posterior di permukaan medial


sendi tibiofemoral, seluruh ligament collateral medial berperan pada gerakan full

ROM ekstensi lutut. Ligament collateral lateral membentang dari permukaan luar

condilus lateralis femoris ke arah caput fibula, dalam gerakan flexi lutut. (Putz

and Pabst, 2008).

Ligamentum popliteum obliquum merupakan ligamentum yang kuat,

terletak pada bagian posterior dari sendi lutut, letaknya membentang secara

oblique ke medial dan bawah. Sebagian dari ligamentum ini berjalan menurun
15

pada dinding capsul dan fascia m. Popliteus dan sebagian lagi membelok ke atas

menutupi tendon m. semimembranosus (Putz and Pabst, 2008).

Ligamentum Patella melekat pada tepi bawah patella dan pada bagian

bawah melekat pada tuberositas tibiae. Ligamentum patella ini sebenarnya

merupakan lanjutan dari bagian pusat tendon bersama m. quadriceps femoris,

dipisahkan dari membran synovial sendi oleh bantalan lemak intra patella dan

dipisahkan dari tibia oleh sebuah bursa yang kecil. Bursa infra patellaris

superficialis memisahkan ligamentum ini dari kulit. Ligamentum transversum

lutut terletak membentang paling depan dan menghubungkannya dua insertio dari

kedua meniscus lateral dan medial, terdiri dari jaringan connective (Putz and

Pabst, 2008).

Semua ligament tersebut berfungsi sebagai fiksator dan stabilisator sendi

lutut. Di samping ligamen ada juga bursa pada sendi lutut. Bursa merupakan

kantong yang berisi cairan yang memudahkan terjadinya gesekan dan gerakan,
berdinding tipis dan dibatasi oleh membran synovial. Ada beberapa bursa yang

terdapat pada sendi lutut antara lain : (a) bursa popliteus, (b) bursa supra

patellaris, (c) bursa infra patellaris, (d) bursa subcutan prapatellaris, (e) bursa sub

patellaris, (f) bursa prapatellaris (Arifin and Sriyani, 2013).

2.2.3. Sistem Otot

Otot merupakan suatu jaringan yang dapat dieksitasi yang kegiatannya

berupa kontraksi, sehingga otot dapat digunakan untuk memindahkan bagian-

bagian skelet yang berarti suatu gerakan dapat terjadi. Hal ini terjadi karena otot

mempunyai kemampuan untuk eksten-sibilitas, elastisitas, dan kontraktilitas.


16

Lutut diperkuat oleh dua group otot besar yaitu group ekstensor dan group flexor

lutut. Otot kuadrisep berperan penting dalam meneruskan beban melintasi sendi

lutut. Otot quadrisep merupakan otot ekstensor utama sendi lutut yang sangat

penting untuk menjaga stabilitas dan fungsi sendi lutut. quadricep femoris terdiri

dari empat otot yaitu rektus femoris, vastus medialis, vastus lateralis dan vastus

intermedialis adalah otot penggerak utama sendi lutut yang terletak di bagian

anterior, bagian posterior adalah musculus biceps femoris, musculus

semitendinosus, musculus semimembranosus, musculus gastrocnemius, bagian

medial adalah otot pes anserinus yang terdiri musculus sartorius, gracilis dan

semi tendinosus, dan bagian lateral adalah musculus tensorfacialatae

(Syaifuddin, 2013).

Otot – otot mempunyai fungsi pada sendi lutut sebagai Flexi adalah m.
biceps femoris, m. semitendinosus, m. semimembranosus, dibantu oleh m.

gracilis, m. Sartorius, dan m. popliteus. flexi dibatasi oleh kontak bagian belakang

tungkai bawah dengan tungkai atas. Dan Extensi adalah m. quadriceps femoris.

Extensi dihambat oleh kekuatan seluruh ligamentum ligamentum utama sendi.

Rotasi medial lutut adalah m. gartorius, m. gracilis dan m. Semitendinosus

kemudian rotasi lateral dlakukan oleh peran m. biceps femoris (Safrin and Sriyani,

2013, Putz and Pabst, 2008).

Otot quadrisep merupakan otot yang sangat besar dan kuat yang mampu

menerima beban sampai 4450 Newton atau 2200 kg. Mekanisme otot quadrisep

menstabilkan patela pada semua sisi dan mengatur gerakan antara patela dan

femur. Mekanisme kerja quadrisep ini dibutuhkan seperti saat berjalan otot
17

quadriceps memberi control fleksi lutut saat initial contact (loading respons)

kemudian ektensi lutut untuk midstance kemudian preswing heel-off to toe off

pada aktifitas berjalan dan dalam mempertahankan fungsi sendi lutut saat

melakukan gerakan closed-kinetic chain untuk mengangkat atau menurunkan

tubuh, dan jika fungsi otot quadriceps terganggu tentu kontrol gerak tersebut

tidak dapat dilakukan dengan benar. (Kisner and Colby, 2013)

Otot hamstring mengontrol ayunan kaki kedepan selama terminal swing,

hamstring juga memberi support pada posterior sendi lutut ketika lutut extensi

selama phase stance. Kelemahan otot hamstring dapat menimbulkan genu

recurvatum (Kisner and Colby, 2013).


Pada pemeriksaan EMG, diketahui bahwa kontraksi seluruh otot quadrisep

terjadi pada rentang gerak 0-80o fleksi lutut. Kekuatan puncak otot quadrisep ada

pada rentang 60-700 fleksi lutut. Vastus medialis yang merupakan otot yang

paling aktif dari ketiga otot pada saat mekanisme gerak ekstensi lutut 20-30°.

(Hamillton et al., 2008).

Stabilitas sendi lutut tergantung pada tonus otot-otot kuat yang bekerja

pada sendi dan kekuatan ligamentum-ligamentum.

2.2.4 Biomekanik sendi lutut

Aksis gerak fleksi dan ekstensi terletak di atas permukaan sendi, yaitu

melewati condylus femoris. Sedangkan gerakan rotasi aksisnya longitudinal pada

daerah condylus medialis. Secara biomekanik, beban yang diterima sendi lutut

dalam keadaan normal akan melalui medial sendi lutut dan akan diimbangi oleh

otot-otot paha bagian lateral. (Kisner and Colby, 2013).


18

a. Osteokinematika

Osteokinematika yang memungkinkan terjadi adalah gerakan fleksi dan

ekstensi pada bidang sagital dengan lingkup gerak sendi fleksi antara 120-130

derajat, bila posisi hip fleksi penuh, dan dapat mencapai 140 derajat, bila hip

ekstensi penuh, untuk gerakan ekstensi, lingkup gerak sendi antara 0 – 10 derajat

gerakan putaran pada bidang rotasi dengan lingkup gerak sendi untuk endorotasi

antara 30 – 35 derajat, sedangkan untuk eksorotasi antara 40-45 derajat dari posisi

awal mid posision.


Gerakan rotasi ini terjadi pada posisi lutut fleksi 90 derajat (Kapandji, 2010),

gerakan yang terjadi pada kedua permukaan tulang meliputi gerakan roling dan

sliding. Saat tulang femur yang bergerak maka, gerakan roling ke arah belakang

dan sliding ke arah depan (berlawanan arah). Saat fleksi, femur roling ke arah

belakang dan sliding ke belakang, untuk gerakan ekstensi, roling ke depan dan

sliding ke belakang. Saat tibia yang bergerak fleksi adapun ekstensi maka roling

maupun sliding bergerak searah, saat fleksi maka roling maupun sliding bergerak

searah, saat fleksi roling dan sliding ke arah belakang, sedangkan saat ekstensi

roling dan sliding bergerak ke arah depan.

b. Artrokinematika

Artrokinematika pada sendi lutut di saat femur bergerak roling dan sliding

berlawanan arah, disaat terjadi gerak fleksi femur roling ke arah belakang dan

sliding-nya ke depan, saat gerakan ekstensi femur roling kearah depannya

slidingnya ke belakang. Jika tibia bergerak fleksi ataupun ekstensi maka roling
19

maupun sliding terjadi searah, saat fleksi menuju dorsal, sedangkan ekstensi

menuju ventral (Kisner and Colby 2013).

2.3. Osteoartritis Lutut

Osteoartritis adalah kelainan pada tulang sendi yang merupakan akibat dari

proses mekanik dan biologik yang menyebabkan ketidakstabilan serta penurunan

sintesis tulang rawan subkondral dan artikular. Hal tersebut dapat dipicu oleh

berbagai faktor, yaitu genetik, perkembangan, metabolik dan traumatik. (Soeroso


et al., 2006).

2.3.1. Patologi

Terdapatnya jejas mekanis dan kimiawi diduga merupakan faktor penting

yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago

di dalam cairan synovial yang mengakibatkan terjadinya inflamasi sendi,

kerusakan khondrosit, dan timbulnya rasa nyeri. Jejas mekanis dan kimiawi pada

sendi sinovial yang terjadi secara multifaktorial antara lain disebabkan karena

faktor umur, stress mekanis atau penggunaan sendi yang berlebihan, defek

anatomis, obesitas, genetik, humoral, dan faktor kebudayaan. (Anestherita, 2013).

Peningkatan degradasi kolagen mengubah keseimbangan metabolism rawan

sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks menghambat fungsi matriks

rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan

sendi serta mengawali respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi.

(Anestherita, 2013).

Terjadinya peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivias

fibrinolitik menyebabkan penumpukan thrombus dan kompleks lipid pada


20

pembuluh darah subkondral, sehingga terjadi iskemia dan nekrosis jaringan

subkondral tersebut.

Mediator kimiawi (prostaglandin dan interleukin) dilepaskan dan selanjutnya

menimbulkan bone angina lewat subkondrhal yang diketahui mengandung ujung

saraf sensible yang dapat menghantarkan rasa sakit. Selain karena dilepaskannya
prostaglandin dan interleukin, rasa sakit juga ditimbulkan karena terlepasnya kinin

dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendo atau

ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler yang diakibatkan kerja

berlebihan.

Nyeri akut pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang yang

menekan periosteum dan radix saraf yang berasal dari medulla spinalis serta

kenaikan tekanan vena intra medullar akibat stasis vena intra medullar karena

proses remodeling pada trabekula dan subkondrial. Osteofit terbentuk dari proses

degeneratif masa kartilago, sehingga terjadi perubahan reaktif pada tepi sendi dan

paha tulang subkondrium ketika kartilago berupaya untuk mengadakan regenerasi

(Fauci et al., 2008).

Dengan adanya jejas mekanis maka makrofag dalam cairan synovial akan

memproduksi sitokin. Sitokin akan merangsang kondrosit umemproduksi CFSs

yang dapat mempengaruhi monosit dan PA (Plasminogen Aktivator) untuk

mandegradasi rawan sendi secara langsung. Sitokin tersebut juga mempercapat

resorpsi matrix rawan sendi (Fauci et al., 2008).


21

2.3.2. Etiologi

Setiap orang pasti pernah mengalami nyeri sendi. Masyarakat awam dan

bahkan beberapa dokter langsung beranggapan karena disebabkan oleh rematik

atau asam urat. Sebagian lagi berpikir akibat osteoporosis. Namun kenyataannya

penyebab utamanya nyeri sendi (khususnya yang dialami oleh yang berusia lebih
dari 45 tahun) adalah osteoartritis. Penyebab osteoartritis bermacam-macam.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara osteoarthritis dengan

reaksi alergi, infeksi, dan invasi fungi (mikosis).

Riset lain juga menunjukkan adanya faktor keturunan (genetik) yang terlibat

dalam penurunan penyakit ini. Namun demikian, beberapa faktor risiko terjadinya

osteoartritis adalah sebagai berikut: (1) Wanita berusia lebih dari 45 tahun (2)

Kelebihan berat badan, (3) Aktivitas fisik yang berlebihan, seperti para

olahragawan dan pekerja kasar, (4) Menderita kelemahan otot paha, (5) Pernah

mengalami patah tulang disekitar sendi yang tidak mendapatkan perawatan yang

tepat (Teichtahl et al. 2008).

Osteoartritis terjadi akibat tulang rawan yang menyambungkan ujung tulang

dengan tulang yang lain, menurun fungsinya. Permukaan halus tulang rawan ini

menjadi kasar dan menyebabkan iritasi, jika tulang rawan menjadi kasar

seluruhnya, maka tulang pangkal kedua tulang yang bertemu menjadi rusak dan

gerakanannya menyebabkan nyeri dan ngilu. Penelitian curiga, osteoartritis

disebabkan oleh kombinasi beberapa faktor, seperti berat badan, proses penuaan,

cedera engsel atau stres, kelelahan otot dan gen (Teichtahl et al., 2008).
22

Osteoarthritis primer kebanyakan dihubungkan pada penuaan. Dengan

menua, isi air dari cartilage meningkat, dan susunan protein dari cartilage

degenerasi. Akhirnya, cartilage mulai degenerasi dengan mengelupas atau

membentuk crevasses yang kecil. Pada kasus-kasus yang telah lanjut, ada
kehilangan total dari bantal cartilage antara tulang-tulang dari sendi-sendi.

Penggunaan yang berulangkali dari sendi-sendi yang terpakai dari tahun ke

tahun dapat mengiritasi dan meradang cartilage, menyebabkan nyeri dan

pembengkakan sendi. Kehilangan dari bantal cartilage menyebabkan gesekan

antara tulang-tulang, menjurus pada nyeri dan pembatasan dari mobilitas sendi.

Peradangan dari cartilage dapat juga menstimulasi pertumbuhan-pertumbuhan

tulang baru (spurs, juga dirujuk sebagai osteophytes) yang terbentuk sekitar sendi-

sendi. Osteoarthritis adakalanya dapat berkembang dalam banyak anggota-

anggota dari keluarga yang sama, menyiratkan basis yang diturunkan (genetik)

untuk kondisi ini (Teichtahl et al., 2008).

Osteoarthritis sekunder disebabkan oleh penyakit atau kondisi lainnya.

Kondisi-kondisi yang dapat menjurus pada osteoarthritis sekunder termasuk

kegemukan, trauma atau operasi yang berulangkali pada struktur-struktur sendi,

sendi-sendi abnormal waktu dilahirkan (kelainan-kelainan congenital), gout,

diabetes, dan penyakit-penyakit hormon lain.

Kegemukan menyebabkan osteoarthritis dengan meningkatkan tekanan

mekanik pada cartilage. Nyatanya, setelah penuaan, kegemukan adalah faktor

risiko yang paling kuat untuk osteoarthritis dari lutut-lutut. Perkembangan yang

dini dari osteoarthritis dari lutut-lutut diantara atlet-atlet angkat besi dipercayai
23

adalah sebagaian disebabkan oleh berat badan mereka yang tinggi. Tauma yang

berulangkali pada jaringan-jaringan sendi (ligamen-ligamen, tulang-tulang, dan


cartilage) dipercayai menjurus pada osteoarthritis dini dari lutut-lutut pada

pemain-pemain bola. Dengan menarik, studi-studi baru-baru ini telah tidak

menemukan risiko osteoarthritis yang meningkat pada pelari-pelari jarak jauh (Di

Cesare et al., 2008).

Endapan-endapan kristal pada cartilage dapat menyebabkan degenerasi

cartilage dan osteoarthritis. Kristal-kristal asam urat menyebabkan arthritis pada

gout, sementara kristal-kristal calcium pyrophosphate menyebabkan arthritis pada

pseudogout. Beberapa orang-orang dilahirkan dengan sendi-sendi yang terbentuk

abnormal (kelainan-kelainan kongenital) yang rentan terhadap

pemakaian/pengikisan mekanik, menyebabkan degenerasi dan kehilangan

cartilage (tulang rawan) sendi yang dini. Osteoarthritis dari sendi-sendi pinggul

umumnya dihubungkan pada kelainan-kelainan struktural dari sendi-sendi ini

yang telah hadir sejak lahir. Gangguan-gangguan hormon, seperti diabetes dan

penyakit-penyakit hormon pertumbuhan, juga berhubungan dengan pengikisan

cartilage yang dini dan osteoarthritis sekunder (Di Cesare et al., 2008).

2.3.3. Patogenesis OA Lutut

Berdasarkan penyebabnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer

dan OA sekunder. OA primer, atau dapat disebut OA idiopatik, tidak memiliki

penyebab yang pasti ( tidak diketahui ) dan tidak disebabkan oleh penyakit

sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder, berbeda

dengan OA primer, merupakan OA yang disebabkan oleh inflamasi, kelainan


24
sistem endokrin, metabolik, pertumbuhan, faktor keturunan (herediter), dan

immobilisasi yang terlalu lama. Kasus OA primer lebih sering dijumpai pada

praktik sehari-hari dibandingkan dengan OA sekunder (Soeroso, 2006).

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan

tidak dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan

keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang

penyebabnya masih belum jelas diketahui (Soeroso, 2006). Kerusakan tersebut

diawali oleh kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa

mekanisme lain sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson, 2008).

Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu :

Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya .

Kapsula dan ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak

(Range of motion) sendi (Felson, 2008).

Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada

permukaan sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat

gesekan. Protein yang disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan

sendi yang berfungsi sebagai pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan

apabila terjadi cedera dan peradangan pada sendi (Felson, 2008).

Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu

mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik

yang dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan

tegangan yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak (Felson, 2008).
25
Otot-otot dan tendon yang menghubungkan sendi adalah inti dari

pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi ketika pergerakan sendi memberikan

tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota gerak untuk menyelesaikan

tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres yang terjadi pada sendi

dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan (impact). Tumbukan

yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi sehingga

meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki fungsi

untuk menyerap goncangan yang diterima (Felson, 2008).

Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh

cairan sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi

ketika bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai

penyerap tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum

timbulnya OA dapat terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui

lebih lanjut tentang kartilago (Felson, 2008).

Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe

dua dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul –

molekul aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul

proteoglikan yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan

pada kartilago (Felson, 2008).

Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruha

elemen yang terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim

pemecah matriks, sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)},


dan faktor pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan
26

merangsang kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul

matriks yang baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh

sitokin faktor pertumbuhan, dan faktor lingkungan (Felson, 2008).

Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah

kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang

dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari

MPM menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago (Felson,

2008).

Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi

pergantian matriks, namun stimulaso IL-1 yang berlebih malah memicu proses

degradasi matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin

(PG), oksida nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis

dan degradasi matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan

tersebut. NO yang dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan

meningkatkan proses pemecahan protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada

proses awal timbulnya OA (Felson, 2008).

Kartilago memiliki metabolisme yang lamban, dengan pergantian matriks

yang lambat dan keseimbangan yang teratur antara sintesis dengan degradasi.

Namun, pada fase awal perkembangan OA kartilago sendi memiliki metabolisme

yang sangat aktif (Felson, 2008).


Pada proses timbulnya OA, kondrosit yang terstimulasi akan melepaskan

aggrekan dan kolagen tipe dua yang tidak adekuat ke kartilago dan cairan sendi.
27
Aggrekan pada kartilago akan sering habis serta jalinan-jalinan kolagen akan
mudah mengendur (Felson, 2008).
Kegagalan dari mekanisme pertahanan oleh komponen pertahanan sendi
akan meningkatkan kemungkinan timbulnya OA pada sendi (Felson, 2008).
2.3.4. Diagnosis OA Lutut
Diagnosis OA lutut menggunakan kriteria klasifikasi dari American
College of Rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis Osteoartritis Lutut
Klinis dan
Klinis
Laboratorik
Klinis dan Radiografi Nyeri lutut + minimal 3 dari 6 kriteria berikut:
• Umur > 50 tahun
• Kaku pagi < 30 menit
• Krepitasi
• Nyeri tekan
• Pembesaran tulang
• Tidak panas pada perabaan
Nyeri lutut + minimal 5 dari 9 kriteria berikut :
• Umur > 50 tahun
• Kaku pagi < 30 menit
• Krepitasi
• Nyeri tekan
• Pembesaran tulang
• Tidak panas pada perabaan
• LED < 40 mm / jam
• RF < 1 : 40
• o Analisis cairan sendi normal
Nyeri lutut + minimal 1 dari 3 kriteria berikut :
• Umur > 50 tahun
• Kaku pagi < 30 menit
• Krepitus
• OSTEOFIT
2.3.5. Penurunan Kekuatan Otot Pada Ostoarthritis
Otot memberikan kekuatan yang dibutuhkan untuk menggerakkan sendi
sinovial. Otot sebagai stabilisator pada hubungan dengan atau antar sendi dan
struktur sekitar sendi. Perubahan kekuatan otot atau integritas dapat
mempengaruhi fungsi sendi dan merupakan tumpuan penting pada sendi OA.
28
Penelitian yang lalu menunjukkan bahwa kelemahan otot kuadrisep

merupakan faktor yang lebih berhubungan dengan disabilitas daripada derajat

beratnya osteoartritis pada gambaran radiologis. Dan penelititan yang lain

menyatakan berkurangnya kekuatan, terutama pada otot kuadrisep, merupakan

faktor risiko terjadinya onset maupun progresivitas osteoartritis lutut, akibat

berkurangnya kemampuan otot mengontrol pergerakan sendi secara akurat ( Roos

et al., 2011).

Nyeri pada Osteoartritis lutut berhubungan erat dengan menurunnya kekuatan

otot sekitar lutut. Periode inaktivitas dalam waktu yang lama karena nyeri sendi

menyebabkan disuse atropy dan kekuatan otot yang berkurang sebesar 3% dalam

satu minggu. Kelemahan otot ekstremitas adalah salah satu kondisi yang paling

awal dan paling sering di temukan pada Osteoartritis lutut (Roos et al., 2011).

Selain nyeri yang ditimbulkan dari osteoartritis, meningkatnya beban pada

lutut, juga menyebabkan kebutuhan lebih besar terhadap otot maupun ligamen

dalam menjaga stabilitas sendi pada kondisi dinamis, sehingga dapat

menyebabkan kelelahan pada otot sehingga timbul kelemahan otot. Penelitian

Nicola et al., (2007), menyebutkan bahwa, pada individu dengan osteoarthritis

sendi lutut ditambah obesitas memiliki otot quadrisep dengan ketahanan terhadap

fatigue lebih rendah daripada individu tanpa obesitas. Seperti yang telah

disebutkan sebelumnya, otot adalah komponen yang sangat diperlukan dalam

mempertahankan pergerakan, stabilitas, dan fungsi sendi serta berperan dalam

mengatur transfer beban yang melewati sendi (Roos et al., 2011).


29
Pada individu dengan kelemahan otot, saat heel strike kemampuan otot

kuadrisep sebagai shock absorption pun akan menurun sehingga lebih

meningkatkan beban lutut. Fisher et al menyebutkan bahwa kelemahan otot

quadrisep dan hamstring dapat menyebabkan beban pada lutut meningkat 21 %

daripada lutut yang memiliki otot-otot yang kuat (Hamillton et al., 2008).

2.3.6. Gangguan Stabilitas dan Alignment pada Osteoartritis Lutut

Postur tubuh yang baik (good posture) adalah keadaan seimbang antara otot

dan tulang, sehingga dapat melindungi struktur-struktur penunjang dari cedera

atau deformitas yang progresif baik pada posisi tegak, berbaring, duduk, maupun

jongkok. Postur yang buruk (poor posture) adalah susunan yang tidak sesuai dari

beberapa bagian tubuh, sehingga meningkatkan tegangan pada struktur penunjang

dan mengakibatkan ketidakseimbangan tubuh terhadap bidang tumpu (Hall and

Brody 2003; Hunter et al., 2009).

Postur dan pergerakan dapat dinilai dengan melihat titik pusat yang melewati

bagian tubuh, yang biasa disebut pusat gravitasi. Pusat gravitasi berada satu inch

di depan sacral dua, sedangkan garis imajiner yang melewati pusat gravitasi

dinamakan garis gravitasi. Menurut Kendall, garis ini melalui sutura coronaria di

posterior, meatus akustikus eksterna, corpus vertebra cervikal dan lumbal,

promontorium tulang sakrum, posterior sendi panggul, anterior lutut dan sedikit di

depan maleolus lateralis.

Osteoartritis lutut dapat mengubah postur, alignment pola jalan dan tingkat

aktivitas fisik, yang sedikit banyaknya dipengaruhi peran adanya perubahan


biomekanik sendi. Peningkatan berat badan dan rasa nyeri dapat mengubah center
30

of gravity (COG) ke anterior, dan cenderung untuk menyebabkan postur

hiperlodotik. Sebagian besar individu dengan obesitas terutama perempuan

menunjukkan deformitas varus pada lututnya, sebagai akibat dari peningkatan

joint reaction force pada kompartemen medial lutut yang selanjutnya dapat

mempercepat terjadinya proses degenerasi pada lutut. (Tamin, 2010; Di Cesare et

al., 2008).

Pada individu dengan osteoartritis juga dapat terjadi deformitas valgus.

Seiring dengan nyeri dan peningkatan beban mekanik, seseorang cenderung untuk

mengayunkan tubuhnya ke lateral ketika berjalan. Manuver tersebut mengurangi

gaya yang harus dilakukan oleh otot abduktor panggul untuk menyeimbangi

peningkatan berat badan. Lebih lanjut lagi, manuver ini akan menggeser gaya dari

berat badan yang awalnya di medial lutut menjadi ke sisi lateral lutut, sehingga

gaya sendi tibiofemoral pun akan bergeser ke lateral. Hal ini menyebabkan

distribusi beban yang lebih besar di kompartemen lateral lutut dan selanjutnya

dapat menyebabkan deformitas valgus (Hunter et al., 2009).

Beban yang tinggi dan berulang pada sendi lutut selama berjalan maupun

aktivitas lain diyakini sebagai faktor yang sangat berperan dalam patomekanika

osteoartritis lutut. Sendi lutut adalah struktur kompleks yang terdiri dari 3

kompartemen yaitu kompartemen tibiofemoral medial dan lateral, serta

kompartemen patelofemoral. Selama berjalan, beban yang melewati sendi lutut


tidak ditransmisikan secara seimbang antara kompartemen medial dan lateral.

Beban pada kompartemen medial sekitar 2,5 kali lebih besar daripada beban pada

kompartemen lateral. Hal ini dapat menjelaskan tingginya prevalensi osteoartritis


31

lutut kompartemen medial (75 % dari seluruh kasus) daripada kompartemen

lateral. (Gangeddula. 2009).

Gambar 2.5 Perubahan alignment pada lutut

(Kakarlapudi and Bickeckerstaff, 2000).

Pada penderita osteoartritis lutut terjadi peningkatan beban aksial yang terus

menerus, sehingga beban yang melewati lutut pun akan meningkat. Selama fase

single leg stance , lutut akan menerima beban sebesar 3-6 kali berat badan. Setiap

kenaikan berat badan akan dikalikan angka ini menggambarkan betapa besar

beban yang melewati lutut pada seorang yang overweight pada saat berjalan (Roos

et al., 2011).

Saat berdiri, lutut dilalui oleh gaya (R) yang merupakan hasil dari dua gaya

yang bekerja pada lutut yaitu berat badan (P, garis imajiner yang merupakan

proyeksi center of gravity dari sakrum) dan gaya yang dihasilkan oleh kerja otot
gluteus maksimus dan tensor fasia lata (M). Pada kondisi keseimbangan, gaya R

akan melalui pertengahan lutut, sehingga gaya kompresi terbagi sama rata pada

permukaan weight bearing tibia. Nyeri dan peningkatan berat tubuh akan

mengubah keseimbangan antara gaya P dan M, sehingga menggeser R lebih ke

medial lutut dan menyebabkan pembagian gaya kompresi yang lebih besar pada
32

kompartemen medial lutut dibandingkan dengan kompartemen lateral lutut. Pada

area yang mendapat tekanan lebih dapat timbul nyeri, destruksi kartilago dan OA

pada kompartemen medial lutut (Mazières and Mansat, 2008).

Ketika seseorang berjalan saat kaki menyentuh lantai, gaya dari berat badan

akan dilawan dengan gaya yang sama besar dan arah yang berlawanan. Gaya

reaksi tersebut adalah Ground Reaction Force (GRF) yang garis gayanya berada

di sebelah medial sendi lutut. Semakin besar GRF atau semakin jauh jarak antara

sendi lutut dengan garis gaya GRF (misalnya pada deformitas varus lutut),

semakin besar adduction moment yang menyebabkan tibia menjadi lebih varus

terhadap femur besarnya knee adduction moment ini menggambarkan beban yang

melewati kompartemen medial lutut dan berpotensi memicu proses degradasi pada

kompartemen medial lutut dan berperan besar dalam tingkat keparahan penyakit.

(Hunter et al., 2009).

Hal yang terpenting adalah apabila terjadi pergeseran garis gravitasi atau

perpindahan pusat gravitasi, mengakibatkan kesalahan postur atau terjadi

perpindahan tumpuan berat badan, sehingga dampak selanjutnya akan timbul.


Untuk menyangga berat tubuh, sendi harus dalam posisi stabil atau dalam posisi

ekuilibrium, garis gravitasi harus tepat jatuh melalui rotasi aksis atau harus ada

kekuatan untuk melawan gravitasi.

Selain itu diperlukan juga struktur penunjang postur yang baik. Struktur

penunjang postur terdiri dari struktur statis dan dinamis. Ligamen, fasia, tulang

dan sendi adalah struktur statis yang menopang tubuh, sedangkan otot dan tendon
33

adalah struktur dinamis yang menstabilkan postur tubuh saat gerakan dari satu

posisi ke posisi lainnya (Kisner and Colby, 2013).

2.3.7. Disabilitas pada Osteoartritis Lutut

Menurut WHO disabilitas adalah suatu ketidak mampuan melaksanakan suatu

aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan

oleh kondisi kehilangan atau ketidak mampuan baik psikologis, fisiologis,

maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. (Kemenppa, 2014).

Bagian tubuh yang mengalami cidera atau kerusakan akibat dari banyak

faktor yang salah satu nya osteoartritis lutut adalah suatu kondisi karena dari

proses degenerasi pada tubuh individu tersebut. proses tersebut dapat terus

berkembang menjadi disabilitas, dimana disabilitas lebih merupakan akibat dan

bukan penyebab bagi ketidakmampuan seseorang untuk berpartisipasi penuh

dalam kehidupan masyarakat, jadi disabilitas adalah istilah yang mengacu pada

keberfungsian individu yaitu kecacatan, keterbatasan aktivitas dan pembatasan

partisipasi (ICF dikutip Arthtritis foundation, 2014). Salah satunya disabilitas


karena gangguan dari tungkai bawah, hal ini dapat mengganggu performance

seseorang terutama saat beraktivitas.

Kelainan varus atau valgus dapat mempengaruhi lingkup gerak sendi (range

of motion) dan mempercepat penyempitan celah sendi disebut instabiliti pada lutut

(ligamentum laxity).

Gambar 2.6 Kelainan varus dan valgus (MMG, 2001)

2.3.8. Penilaian Disabilitas (Indeks Lequesne)

Penilaian ini dibuat Lequesne untuk OA lutut dan OA panggul serta

merupakan alat ukur yang memiliki validitas dan realibilitas yang baik saat ini.

Indeks Lequesne ini terdiri dari tiga bagian, kategori : (Kalim, 2014).

1. Keluhan nyeri atau ketidaknyamanan (pain or discomfort)

Keluhan nyeri atau ketidaknyamanan ini berisi tentang gangguan nyeri ketika

tidur malam, kaku pagi hari, keluhan nyeri setelah berdiri 30 menit, keluhan nyeri
ketika berjalan dan ketika bangkit dari duduk tanpa bantuan tangan (Yaputri,

2005). 2. Jarak tempuh maksimal dalam berjalan (maximum distance

walked)

Dalam bahasan jarak tempuh maksimal dalam berjalan disini pasien diminta

mengisi kemampuannya berjalan, dari berjalan diatas 1 km atau hanya dibawah

100m dan ada tidaknya bantuan tongkat untuk berjalan.


34
35

3. Kemampuan beraktivitas fisik sehari-hari (activities of daily living)

Dalam pembahasan kemampuan beraktivitas fisik sehari-hari pasien diminta

mengisi kemampuannya dalam menjalankan aktivitas seperti naik turun tangga,

jongkok, menekuk lutut, dan berjalan pada lantai yang tidak rata.

Derajat beratnya penyakit osteoartritis berdasarkan Indeks Lequesne: dengan

cara mengkalkulasi terhadap ketiga parameter diatas kemudian mendapat derajat

beratnya osteoartritis dan disabilitas.

2.4. Latihan Penguatan Otot

Latihan penguatan untuk kekuatan atau tenaga, pada umumnya adalah latihan

beban. Salah satu metode yang terbaik untuk meningkatkan kekuatan maksimal

adalah melalui pengulangan rendah dengan intensitas tinggi.

Sarana latihan penguatan adalah meningkatkan kapasitas produksi gaya otot.

Bertambahnya ukuran otot (hypertropi) oleh karena bertambahnya ukuran

serabut-serabut otot terutama serabut otot tipe II dan myofibril, bertambahnya


jumlah total protein kontraktil, bertambahnya densitas kapiler dan bertambahnya

jumlah jaringan ikat tendon dan ligamen. Dengan bertambahnya ukuran serabut

otot maka diharapkan akan terjadinya peningkatan kekuatan dan ketahanan pada

otot. Latihan penguatan yang teratur akan menghasilkan hypertropi otot.

Metode latihan penguatan dasar dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu

isometrik, isotonik, isokinetik (Kisner, 2007). Dari ketiga metode latihan tersebut,

semuanya dapat memberikan hasil yang optimal apabila latihan tersebut

menggunakan beban secara progresif (dilakukan bertahap dengan beban yang


36

bertambah), akan menghasilkan peningkatan kekuatan pada otot, power otot dan

ketahanan otot.

Penelitian ini penulis menggunakan metode latihan isotonik yang merupakan

suatu jenis latihan dinamis dengan kontraksi otot yang menggunakan beban tetap

dan terjadi perubahan panjang otot dimana terjadi pemanjangan (eksentrik) dan

pemendekan (konsentrik) otot melalui lingkup gerak sendi. Pada latihan isotonik

dengan beban tinggi serta pengulangan rendah dapat meningkatkan kekuatan otot

(Taylor, 2007).

Pada saat latihan penguatan ini dilakukan, otot akan mengalami kontraksi

konsentrik yang disebut juga kontraksi phasik. Salah satu ujung otot terfiksasi dan

ujung yang lain menarik tulang sehingga terjadi gerakan pada sendi. Selain itu

juga mengalami kontraksi eksentrik, otot akan berkontraksi dan memanjang.

Kontraksi ini adalah kembalinya otot ke keadaan semula secara bertahap setelah
terjadi kontraksi konsentrik. Metode latihan isotonik merupakan latihan penguatan

yang paling umum dilakukan.

Metode isotonik sangat bervariasi meskipun pada dasarnya berprinsip pada

pemberian beban dan tekanan yang berlebihan untuk mendapatkan tingkatan yang

lebih baik. Kerja secara dinamik dan isotonik tidak menimbulkan kelelahan yang

cepat dibandingkan dengan latihan isometrik. Latihan isotonik ini mampu

menambah kekuatan otot yang juga disertai dengan peningkatan koordinasi otot

dan kecepatan. Latihan isotonik yang digunakan dalam penelitian ini adalah

latihan penguatan dengan menggunakan metode DeLorme dan Oxford.


37

2.4.1. Metode DeLorme

Metode DeLorme dilakukan dengan cara menentukan 10 RM dimana satu

beban maksimal yang mampu digerakkan hingga 10 kali repetisi. Menurut

Nascimento (2007) untuk mendapatkan nilai 10 RM bisa menggunakan

perhitungan Brzycki. Dalam perhitungan Brzycki tedapat beberapa tahapan untuk

sampai 10 RM. Tahap pertama adalah menentukan nilai 1 RM. Penentuan 1 RM

bisa dilakukan dengan tes submaksimal 1 RM. Subyek diperintahkan untuk

menggerakkan beban melewati seluruh lingkup gerak sendi, sesering yang dapat

subyek lakukan (dengan beban submaksimal). Selanjutnya jumlah pengulangan

atau pengulangan yang dapat dilakukan oleh subyek dikonversikan melalui

diagram Delorme dengan rumus 1 RM = A. Kg x 100%/B%.


Gambar 2.2 Diagram Delorme (Nicolette, 2009).

Tahap selanjutnya adalah menghitung nilai 10 RM setelah diketahui nilai 1

RM. 10 RM dihitung menurut perhitungan Brzycki berdasarkan persentase dari

nilai 1 RM yang dapat dilihat pada tabel berikut ini :


38

Tabel 2.1

Konversi Nilai n RM

n RM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Brzycki 100 95 90 88 86 83 80 78 76 75
% 1 RM Beachle 100 95 93 90 87
85 83 80 77 75

(Baechle, 2000)

Metode ini ditemukan oleh DeLorme yang belakangan ini dikenal dengan

progressive resistance exercise (PRE) yang menggunakan pendekatan

strengthening. Terdiri dari tiga set latihan yaitu set pertama 10 kali repetisi pada

beban 50% dari 75% 1RM, set kedua 10 kali repetisi pada beban 75% dari 75%

1RM, dan set ketiga 10 kali repetisi pada beban 75% 1 RM. Setiap sesi latihan

istirahat sejenak. Tehnik ini menggunakan fase warm up karena beban yang

digunakan bertingkat dari beban rendah ketinggi. Warm-up sering juga disebut

pre-liminary exercise merupakan aktifitas fisik yang membantu mempersiapkan

performance latihan baik secara psikologis maupun fisiologis dan juga berfungsi

untuk mengurangi resiko terjadinya cedera sendi maupun otot.

Latihan metode DeLorme sebagai suatu jenis latihan strengthening

menggunakan prinsip-prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot yaitu overload


dan specificity maka efek yang terjadi pada metode ini akan sama seperti adaptasi

akibat latihan strengthening/ resisted exercise.

Dengan kontraksi maksimal maka akan diikuti oleh peningkatan jumlah

terbentuknya myofibril dalam serat otot yang disebabkan oleh sintesis protein

yang berlangsung cepat, peningkatan jumlah myofibril tambahan tersebut

menyebabkan serat otot menjadi hipertropi (Kisner, 2007).


39

Metode DeLorme menggunakan 10 RM, yaitu beban maksimal yang dapat

dilakukan atau diangkat selama 10 kali gerakan atau kontraksi. Setiap sesi latihan

terdiri tiga set, masing-masing set 10 pengulangan. Setiap sesi dari latihan

diselingi istirahat sejenak.

Prosedur pelaksanaan latihan penguatan metode DeLorme adalah : (1)

tentukan kontrol beban sebesar 10 RM ( 75 % 1 RM ), (2) pelaksanaan latihan

beban dilakukan tiga set ,10 kali pengulangan dengan beban 50% dari 10 RM, 10

kali pengulangan dengan beban 75% dari 10 RM, 10 kali pengulangan dengan

beban 100% dari 10 RM, (3) setiap set dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat

singkat.

Tabel 2.2

Metode Delorme

Set Repetisi Beban

1 10 X 50% X 75% 1 RM
2 10 X 75% X 75 % 1 RM

3 10 X 100% X 75 % 1 RM

Sumber : Kisner, 2007

2.4.2. Metode Oxford

Metode ini merupakan metode yang berlawanan dengan metode DeLorme

yang belakangan ini sering dikenal dengan progressive resistance exercise

dengan menggunakan pendekatan latihan penguatan. Perbedaannya metode ini

dirancang dengan mengurangi beban atau tahanan yang bertujuan untuk


40

mengurangi efek kelelahan pada otot akibat pemberian beban maksimal pada set

pertama.

Metode Oxford menggunakan 10 RM, yaitu beban maksimal yang dapat

dilakukan atau diangkat selama 10 kali gerakan atau kontraksi (Kisner, 2007).

Setiap sesi latihan terdiri tiga set, masing-masing set 10 pengulangan. Setiap sesi

dari latihan diselingi istirahat sejenak.

Prosedur pelaksanaan latihan penguatan metode Oxford adalah : (1)

menentukan kontrol beban sebesar 10 RM, (2) pelaksanaan latihan beban

dilakukan tiga set ,10 kali pengulangan dengan beban 100% dari 10 RM, 10 kali

pengulangan dengan beban 75% dari 10 RM, 10 kali pengulangan dengan beban

50% dari 10 RM, (3) setiap set dari latihan tersebut diselingi oleh istirahat singkat.

Efek yang terjadi pada latihan Oxford sama seperti metode DeLorme ,
metode Oxford sebagai suatu jenis latihan penguatan juga akan menggunakan

prinsip-prinsip untuk meningkatkan kekuatan otot. Oleh karena prinsip yang

digunakan adalah prinsip-prinsip latihan penguatan, yaitu overload dan specificity,

maka efek yang terjadi pada metode ini akan sama seperti pada adaptasi akibat

latihan penguatan atau resistance exercise.

Pada metode ini dimana latihan dimulai dengan beban yang berat akan

menimbulkan efek kelelahan pada awal latihan akibat tidak adanya persiapan pada

otot. Metode latihan ini berusaha menurunkan kerusakan pada efek kelelahan

dengan memberikan pengurangan beban dengan tujuan untuk mengurangi efek

kelelahan yang terjadi. Karena fase istirahat dapat dilakukan dengan istirahat total

ataupun dengan melakukan gerakan-gerakan ringan. Secara umum, warm-up yang


41

non-spesifik pada latihan aktif dianjurkan terlebih dahulu dilakukan sebelum

memulai latihan penguatan atau resistance exercise.

Kelelahan adalah suatu fenomena kompleks yang berpengaruh pada

kemampuan fungsional atau dapat diartikan sebagai ketidakmampuan atau

kegagalan otot melakukan kontraksi melawan atau menahan gaya dari luar secara

efektif dan efisien. Kelelahan dibagi menjadi dua, yaitu kelelahan otot lokal dan

kelelahan otot general (total body).

Tabel 2.3

Dosis Latihan Metode Oxford


Set Pengulangan Beban

1 10 X 100% X 75% 1 RM

2 10 X 75% X 75% 1 RM

3 10 X 50% X 75% 1 RM

Sumber: Kisner, 2007

Anda mungkin juga menyukai