Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Problem Focus Coping

2.1.1 Definisi Problem Focuse Coping

Problem focuse coping merupakan salah satu dari jenis strategi coping

menurut Lazarus & Folkman (1984). Coping adalah upaya perubahan kognitif

dan perilaku secara konstan untuk mengelola tekanan eksternal dan internal yang

dianggap melebihi batas kemampuan individu. Sedangkan Matheny, dkk

mendefinisikan coping sebagai "usaha apa pun, sehat atau tidak sehat, sadar atau

tidak sadar, untuk mencegah, menghilangkan, atau melemahkan stres atau untuk

mentoleransi efeknya dengan cara yang paling tidak menyakitkan (Baqutayan,

2015).

Menurut Sarafino (dalam Maryam, 2017) coping adalah usaha untuk

menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Coping bertujuan untuk

mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani, dan

melebihi sumberdaya (resources) yang dimiliki. Stres merupakan keadaan emosi

dan fisiologis yang tidak menyenangkan yang dialami orang-orang dalam situasi

yang mereka anggap berbahaya atau mengancam kesejahteraan mereka Lazarus

dan Flokman (1984). Sedangkan menurut Sandhu dkk, stres merupakan respons

fisiologis adaptif dari organisme manusia terhadap kekuatan dan kejadian internal

dan eksternal yang mengganggu keseimbangan homeostatik individu (Baqutayan,

2015).
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Maryam, 2017) apabila individu

merasa sesuatu yang kontruktif dapat dilakukan terhadap situasi tersebut atau ia

yakin bahwa sumberdaya yang dimilki dapat mengubah situasi yang tidak

diinginkan tersebut maka individu cendung menggunakan problem focuse coping.

Menurut Lazarus & Folkman (1982) Problem focused coping merupakan strategi

yang digunakan dalam menyelesaikan masalah, seperti mendefinisikan suatu

masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan alternatif secara

efisien, memilih alternatif dan bertindak, strategi problem focused coping

berorientasi pada penyelesaian masalah. Sedangkan menurut Lazarus & Folkman

(dalam Miranda, 2013) Problem-focused coping adalah istilah Lazarus untuk strategi

kognitif untuk penanganan stres atau coping yang digunakan oleh individu yang

menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya.

Menurut sarafino (dalam Indawati & Kholifah, 2017) problem focuse coping

merupakan salah satu usaha yang berfungsi untuk mengurangi tuntutan dari situasi

yang penuh stres atau mengembangkan kemampuan untuk menghadapi stres.

Berdasarkan beberapa urain diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa problem

focused coping adalah upaya yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi suatu

masalah yang dihadapi secara langsung kemudian menyelesaikan masalah, seperti

mendefinisikan suatu masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan

alternatif secara efisien, memilih alternatif dan bertindak.


2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Problem Focused Coping

Startegi coping dipengaruhi oleh penilaian kognitif pada setiap individu.

Strategi coping diperlukan untuk mengatasi stres dari eksternal maupun dari

internal. Antonovsky, 1979 (dalam Lazarus & Folkman, 1984) menggunakan

metode generalisasi untuk menggambarkan sumber karakteristik resisten pada

individu dalam mengelola stres. Karakteristiknya yaitu, fisik, biokimia, kognitif,

emosional, sikap, interpersonal, makro sosial budaya.

Menurut Lazarus & Folkman (1984), faktor-faktor yang mempengaruhi

problem focused coping adalah:

a. Kesehatan dan Energi (health and energy)

Kesehatan dan energi mempengaruhi berbagai macam bentuk strategi coping

pada individu dan juga stres. Apabila individu dalam keadaan rapuh, sakit,

lelah, lemah, tidak mampu melakukan coping dengan baik. Sehingga kesehatan

fisik menjadi faktor penting dalam menentukan strategi coping pada individu.

b. Keyakinan yang positif (positive beliefs)

Penilaian diri secara positif dianggap sebagai sumber psikologis yang

mempengaruhi strategi coping pada individu. Setiap individu memiliki

keyakinan tertentu yang menjadi harapan dan upaya dalam melakukan strategi

coping pada kondisi apapun. Sehingga penilaian mengenai keyakinan yang

positif merupakan sumber strategi coping.

c. Kemampuan Pemecahan Masalah (problem solving skill)

Kemampuan pemecahan masalah pada individu meliputi kemampuan mencari

informasi, menganalisis situasi yang bertujuan mengidentifikasi masalah untuk


menghasilkan alternatif yang akan digunakan pada individu,

mempertimbangkan alternatif yang akan digunakan, mempertimbangkan

alternatif yang akan mengantisipasi kemungkinan yang terburuk, memilih dan

menerapkan sesuai dengan tujuan pada masing-masing individu.

d. Keterampilan sosial (social skills)

Keterampilan sosial merupakan faktor yang penting dalam strategi coping

karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, sehingga individu

membutuhkan untuk bersosialisasi. Keterampilan sosial merupakan cara untuk

menyelesaikan masalah dengan orang lain, juga dengan keterampilan sosial

yang baik memungkinkan individu tersebut menjalin hubungan yang baik dan

kerjasama dengan individu lainya, dan secara umum memberikan kontrol

perilaku kepada individu atas interaksi sosialnya dengan individu lain.

e. Dukungan sosial (social support)

Setiap individu memiliki teman yang dekat secara emosional, pengetahuan, dan

dukungan perhatian yang merupakan faktor yang mempengaruhi strategi

coping pada individu dalam mengatasi stres, terapi perilaku, epidemologi

sosial.

f. Sumber material (material resources)

Sumber material salah satunya adalah keuangan, keadaan keuangan yang baik

dapat menjadi sumber strategi coping pada individu. Secara umum masalah

keuangan dapat memicu stres individu yang mengakibatkan meningkatnya

pilihan dalam strategi coping untuk bertindak. Salah satu manfaat material bagi

individu mempermudah individu dalam kepentingan hukum, medis, keuangan


dan lain-lain. Hal ini menyebabkan individu yang memiliki materi dapat

mengurangi resiko stres.

Serupa dengan pendapat Keliat (dalam Sitepu & Nasution, 2017) yang

mengatakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan coping

antara lain :

a. Kesehatan fisik

Kesehatan hal yang sangat penting karena usaha mengatasi stres individu

dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cukup besar.

b. Keyakinan atau pandangan positif

Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang sangat penting seperti

keyakinan akan nasib (external locus of control)

c. Keterampilan memecahkan masalah

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi,

menganalisis situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk

menghasilkan alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif

tersebut sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya

melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.

d. Keterampilan sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan

bertingkahlaku dengan cara- cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang

berlaku di masyarakat.
e. Dukungan sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan

emosional pada diri individu yang diberikan oleh orangtua, anggota

keluarga, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitarnya.

f. Materi

Dukungan ini meliputi sumber daya berupa uang, barang atau layanan yang

biasanya dapat dibeli.

Dari beberapa faktor yang kemukakan oleh beberapa tokoh diatas maka

dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi problem

focuse coping antara lain : kesehatan dan energi, keyakinan yang positif,

kemampuan pemecahan masalah, keterampilan sosial, dukungan sosial dan

materi.

2.1.4. Aspek-Aspek Problem focuse Coping

Ada tiga bagian dari Problem Fokus coping menurut Lazarus & Folkman

(dalam Maryam, 2017) sebagai berikut :

a) Planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu

yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam

menyelesaikan masalah. Contohnya, seseorang yang melakukan planful

problem solving akan bekerja dengan penuh konsentrasi dan perencanaan yang

cukup baik serta mau merubah gaya hidupnya agar masalah yang dihadapi

secara berlahan-lahan dapat terselesaikan.


b) Confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat

menggambarkan tingkat risiko yang harus diambil. Contohnya, seseorang yang

melakukan confrontative coping akan menyelesaikan masalah dengan

melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun

kadang kala mengalami resiko yang cukup besar.

c) Seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak

luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.

Contohnya, seseorang yang melakukan seeking social support akan selalu

berusaha menyelesaikan masalah dengan cara mencari bantuan dari orang lain

di luar keluarga seperti teman, tetangga, pengambil kebijakan dan profesional,

bantuan tersebut bisa berbentuk fisik dan non fisik

Sedangkan Carver, Scheier dan Weintraub (dalam Miranda, 2013)

menyebutkan aspek-aspek strategi coping dalam problem-focused coping antara

lain:

a. Keaktifan diri, suatu tindakan untuk mencoba menghilangkan atau

mengelabuhi penyebab stres atau memperbaiki akibatnya dengan cara

langsung.

b. Perencanaan, memikirkan tentang bagaimana mengatasi penyebab stres antara

lain dengan membuat strategi untuk bertindak, memikirkan tentang langkah

upaya yang perlu diambil dalam menangani suatu masalah.

c. Penekanan kegiatan bersaing, individu dapat menekan keterlibatan dalam

kegiatan bersaing atau dapat menekan pengolahan saluran bersaing informasi,

dalam rangka untuk lebih berkonsentrasi penuh pada tantangan dan berusaha
menghindari untuk hal yang membuat terganggu oleh peristiwa lain, bahkan

membiarkan hal-hal lain terjadi, jika perlu, untuk menghadapi stressor.

d. Kontrol diri, individu membatasi keterlibatannya dalam aktivitas kompetisi

atau persaingan dan tidak bertindak terburu-buru. Dukungan sosial

instrumental, yaitu mencari dukungan sosial seperti nasihat, bantuan atau

informasi.

Dari aspek-aspek yang telah dijelaskan oleh beberapa tokoh diatas maka

dapat diambil kesimpulan dan akan dipergunakan dalam penelitian ini yaitu

aspek-aspek yang dikemukakan oleh Lazarus & Folkman (dalam Maryam, 2017)

antara lain : planfull problem solving, confrontative coping dan seeking social

support.

2.2 kecerdasan Emosional

2.1.1 Definisi Kecerdasan Emosi

Makna paling harfiah, Oxford English Dictionary mendefenisikan emosi

sebagai setiap kegiatan atau peroglakan fikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan

mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan

fikiran-fikiran khasnya, suatu keadaan psikologis dan biologis, dan serangkaian

kecendrungan untuk bertindak. Emosi berdasarkan kerangka kelompok atau

dimensi antara lain, emosi marah, sedih, takut, bahagia, cinta, malu dan

sebagainya sebagai titik tolak bagi nuansa kehidupan emosional kita yang tak

habis-habisnya (Goleman, 2000).

Secara umum emosi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan mental

yang timbul secara spontan melalui usaha sadar dan sering sisertai dengan

perubahan fisiologis, perasaan, kegembiraan, kesedihan, hormat, dan cinta. Emosi


merupakan suatu pernyataan agitasi mental atau gangguan, seperti berbicara

bergetar dengan menunjukkan emosinya. Emosi merupakan bagian dari kesadaran

yang melibatkan perasaan dan kepekaan, emosi telah digambarkan sebagai respon

diskrit (tidak saling ketergantungan) dan konsisten, denga peristiwa internal atau

external yang memiliki makna tertentu untuk untuk organisme (Kuswana, 2014).

Mayer dan Salovey pertama kali mendefinisikan kecerdasan emosional

(EI) sebagai kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau

perasaan dan perasaan seseorang dan orang lain emosi, untuk membedakan di

antara mereka dan menggunakan informasi ini untuk memandu pemikiran

seseorang dan tindakan (Akduman, dkk, 2015). Kemudian didefenisikan ulang

pada tahun (1997) dan menyatakan EI sebagai, "kemampuan untuk memahami

dan mengekspresikan emosi, mengasimilasi emosi dalam pikiran, memahami dan

bernalar dengan emosi dan mengatur emosi dalam diri dan orang lain (Dhani &

Sharma, 2016).

Bar-On mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai yang peduli dan

memahami diri sendiri dengan orang lain, berhubungan baik dengan orang lain,

dan beradaptasi dan menghadapi lingkungan sekitarnya, menjadi lebih sukses

dalam berususan dengan tuntutan lingkungan. Bar On berpendapat bahwa EL

berkembang dari waktu ke waktu dan bahwa hal itu dapat ditingkatkan melalui

pelatihan, pemrograman, dan terapi (Kuswana, 2014).

Goleman (dalam Akduman, dkk, 2015) mendefinisikan kecerdasan

emosional sebagai: “Kapasitas untuk mengenali kecerdasan kita perasaan dan

perasaan orang lain, untuk memotivasi diri kita sendiri, untuk mengelola emosi
dengan baik diri kita sendiri dan dalam hubungan kita. Berdasarkan beberapa

pengertian yang telah dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan

emosioanal adalah kecerdasan yang berfokuskan pada kemampuan memandu

pemikiran dan tindakan seseorang untuk mengekpresikan emosi dengan tepat,

mengenali emosi diri, mengatur dan mengelola emosi diri, serta memahami emosi

diri dan orang lain.

2.1.2 Aspek-Aspek Kecerdasan Emosional

Salovey (dalam Goleman, 2000) memperluas kecerdasan emosional yang

dicetuskannya menjadi lima wilayah utama sebagai berikut :

a. Mengenali Emosi Diri

Kesadaran diri, mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi

merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau

perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi

dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang

sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang

memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaanya adalah pilot yang handal

bagi kehidupan mereka.

b. Mengelola Emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap adalah kecakapan

yang bergantung pada kesadaran diri. Orang-orang yang buruk kemampuannya

dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan


murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh

lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang

sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, memotivasi diri sendiri,

menguasai diri sendiri serta berkreasi. Kendali diri emosional dan menahan diri

terhadap kepuasan serta mengendalikan dorongan hati adalah landasan

keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan

ini cendrung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka

kerjakan.

d. Mengenali emosi orang lain

Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional.

Orang-orang yang empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal yang

tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki

orang lain.

e. Membina hubungan

Seni membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini menunjang popularitas,

kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Apabila hebat dalam

keterampilan ini maka akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan

pergaulan yang mulus dengan orang lain.

Sejalan dengan pendapat Kuswana, (2014) yang mengklaim kecerdasan

emosional mencakup empat jenis kemampuan sebagai berikut:


a. Menyadari emosi

Kemampuan mendeteksi dan menguraikan emosi wajah, gambar suara,

dan artefak termasuk budaya kemampuan untuk mengidentifikasi emosi

sendiri. Pasrah emosi merupaka aspek dasar kecerdasan emosional, karena

membuat semua proses lain dari informasi emosional mungkin.

b. Penggunaan emosi

Kemampuan untuk memanfaatkan emosi untuk memfasilitasi berbagai

kegiatan kognitif, seperti berfikir dan pemecahan masalah. Orang yang cerdas

emosinya bisa memanfaatkan sepenuhnya padanya atau suasana hatinya

berubah agar menyelesaikan tugas dengan baik.

c. Mamahami emosi

Kemampuan untuk memahami bahasa emosi dan menghargai hubungan

yang rumit antara emosi. Misalnya memahami emosi meliputi kemampuan

sensitif terhadap sedikit variasi antara emosi dan kemampaun untuk mengenali

dan menggambarkan bagaimana emosi berkembang seiring waktu.

d. Mengelola emosi

Kemampuan untuk mengatur emosi dalam diri kita sendir maupun orang

lain. Oleh karena itu , orang yang cerdas emosinya bisa memanfaatkan emosi

bahkan yang negatif dan mengatur mereka untuk mencapai tujuan yang

diinginkan.

Dari beberapa aspek yang telah dijabarkan diatas maka aspek yang akan

dipergunakan dalam penelitian ini adalah aspek berdasarkan lima aspek

menurut Salovey (dalam Goleman, 2000) yaitu : mengenali emosi diri,


mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan

membina hubungan.

2.1.3. Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi

Menurut Goleman (dalam Tarmizi, dkk, 2012) faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan emosional mencakup:

a. Faktor Internal adalah apa apa yang terdapat dalam diri individu yang

mempengaruhi kecerdasan emosi yang bersumber dari dua hal yaitu Jasmani

yaitu faktor fisik dan kesehatan individu dapat mempengaruhi kecerdasan

emosinya. Yang keuda fakto psikologis yang mencakup pengalaman,

kemampuan berfikir, perasaan dan motivasi

b. Faktor external mencakup stimulasi yaitu bagaimana kejenuhan stimulasi

mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam memperlakukan kecerdasan

emosi tanpa distorsi. Kedua lingkungan yang melatar belakangi kecerdasan

emosi.

Sedikit berbeda dengan Casmini (dalam Prajuna, dkk, 2017) yang membagi

faktor kecerdasan emosi mencakup

a. Faktor Internal yang mencakup keadaan otak yaitu amigdala, neokorteks,

sistem limbik, lobus prefrontal, da keadaan lain yang lebih kompleks dalam

otak emosional

b. Faktor external yaitu yang datang dari luar yang mempengaruhi keadaa sikap,

pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh dari perseorangan atau perkelompok,


perorangan mempengaruhi kelompok atau perkelompok mempengaruhi

perorangan yang lebih memicu pada lingkungan.

2.3 Hubungan Kecerdasan Emosional dengan Problem Focuse Coping pada

Mahasiswa Skripsi di Universitas Abdurrab

Skripsi merupakan suatu karya tulis ilmiah yang dibuat oleh mahasiswa

yang menempuh pendidikan Strata Satu (S1) untuk memperoleh gelar

akademisnya sebagai sarjana (Rismen, 2015). Dimana didalam penyelesaiannya

mahasiswa akan dihadapkan dengan berbagai macam hambatan yang meliputi

faktor internal yaitu yang berasal dari dalam diri mahasiswa sendiri seperti

kecemasan, ketidak mampuan mengatur waktu, persepsi terhadap dosen

pembimbing dan sebagainya. Kemudian faktor eksternal yang berasal dari luar

mahasiswa tersebut seperti kesulitan memperoleh literatur terkait penelitian,

kurang aktive, kesulitan bertemu dosen pembimbing dan kurangnya dukungan.

(Ismiati, 2015).

Mu’tadin mengatakan bahwa ketika masalah-masalah tersebut

menyebabkan adanya tekanan dalam diri mahasiswa maka dapat meyebabkan

stres dalam menyusun skripsi (Lubis, dkk, 2015). Mahasiswa harus mampu

melewati kesulitan ini, karena apabila tidak, banyak kemungkinan buruk yang

akan dihadapi mahasiswa. Ketika seseorang dihadapkan pada keadaan yang

menimbulkan stres maka individu itu terdorong untuk melakukan perilaku coping

Greenberg (dalam Lubis,dkk, 2015).

Anda mungkin juga menyukai