BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO tahun 2011, hipertensi membunuh hampir 8 juta orang setiap
tahun, dimana hampir 1,5 juta adalah penduduk wilayah Asia Tenggara.
Diperkirakan 1 dari 3 orang dewasa di Asia Tenggara menderita hipertensi.1
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan Riskesdas prevalensi kejadian
hipertensi di Jawa Tengah 26,4%, Aceh 21,5%, Sumatra 24,6, DI Yogyakarta 25,7%,
Bali 19,9%, NTT 23,3%, Sulawesi Tenggara 23,3%, dan Papua 16,6%.2
2
Hipertensi dipicu oleh berbagai faktor risiko, beberapa faktor yang sering
menyebabkan hipertensi, seperti faktor usia, genetik, jenis kelamin, pekerjaan, ras,
gaya hidup, obesitas, kebiasaan merokok dan minum alkohol. 2,5,6
3
BAB II
ANALISIS SITUASI
2. Wilayah kerja Puskesmas Andong terdiri dari 16 desa yaitu terdiri dari :
1. Andong
2. Beji
3. Kacangan
4. Mojo
5. Senggrong
6. Kedungdowo
7. Pranggong
8. Kunti
9. Pakang
10. Munggur
7
11. Kadipaten
12. Semawung
13. Pelemrejo
14. Gondangrawe
15. Pakel
16. Sempu
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Hipertensi
3.1.1 Definisi
Hipertensi merupakan “silent killer” (pembunuh diam-diam) yang secara
luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Dengan
meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat
meningkatkan faktor risiko munculnya berbagai penyakit seperti arteri koroner,
gagal jantung, stroke, dan gagal ginjal.7
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan
mortalitas kardiovaskuler dan ginjal. Dengan menurunkan tekanan darah kurang
dari 140/90 mmHg, diharapkan komplikasi akibat hipertensi berkurang.
Klasifikasi prehipertensi bukan suatu penyakit, tetapi hanya dimaksudkan akan
risiko terjadinya hipertensi. Terapi non farmakologi antara lain mengurangi
asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan mengurangi berat badan, dapat
dimulai sebelum atau bersama-sama obat farmakologi.7
3.1.2 Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang
beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui
(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan
tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak
penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab
hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat
disembuhkan secara potensial.8
7
10
perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila
perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain maka bisa memicu terjadinya
hipertensi.5,6
b. Jenis Kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka
yang cukup bervariasi. Dari laporan Sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka
prevalensi 6,0% untuk pria dan 11,6% untuk wanita. Prevalensi di Sumatera
Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan, sedangkan daerah perkotaan di
Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan 13,7% wanita.8
c. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang
mempunyai hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga
dekat yang menderita hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko
terkena hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki
hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat.
Jika kedua orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkunan kita
mendapatkan penyakit tersebut 60%.8
d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan
ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot
(satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang
mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara
alamiah tanpa intervensi terapi, bersama lingkungannya akan menyebabkan
hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul
tanda dan gejala.9
2. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok
dengan peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan.Selain dari
14
lamanya, risiko merokok terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap
perhari. Seseoramg lebih dari satu pak rokok sehari menjadi 2 kali lebih rentan
hipertensi dari pada mereka yang tidak merokok.8
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap
melalui rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel
pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan
hipertensi.8
b. Konsumsi Asin/Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis
hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa
dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap
hari menyebabkan prevalensi hipertensi yang rendah, sedangkan jika asupan
garam antara 5-15 gram perhari prevalensi hipertensi meningkat menjadi
15-20 %. Pengaruh asupan terhadap timbulnya hipertensi terjadi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah.10
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena
menarik cairan diluar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3
gram atau kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan
asupan garam sekitar 7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi.
Konsumsi garam yang dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan
110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.8
c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Peminum alkohol
berat cenderung hipertensi meskipun mekanisme timbulnya hipertensi
belum diketahui secara pasti. Orangorang yang minum alkohol terlalu sering
atau yang terlalu banyak memiliki tekanan yang lebih tinggi dari pada
individu yang tidak minum atau minum sedikit.11
15
Endotelium
Exces Reduce stress Genetic obesity
derived
sodium nephrone alteration
factors
intake number
Fluid Venous
volume constiction
Autoregulation
1. Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
tekanan darah intrakranium.
2. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina karena hipertensi.
3. Ayunan langkah tidak mantap karena kerusakan susunan syaraf.
4. Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus.
5. Edema dependen akibat peningkatan tekanan kapiler.
2. Pengukuran tekanan darah dalam posisi duduk, akan memberikan angka yang
agak lebih tinggi dibandingkan dengan posisi berbaring meskipun selisihnya
relatif kecil.
3. Tekanan darah juga dipengaruhi kondisi saat pengukuran. Pada orang yang
bangun tidur, akan didapatkan tekanan darah paling rendah. Tekanan darah
yang diukur setelah berjalan kaki atau aktifitas fisik lain akan memberi angka
yang lebih tinggi. Di samping itu, juga tidak boleh merokok atau minum kopi
karena merokok atau minum kopi akan menyebabkan tekanan darah sedikit
naik.
4. Pada pemeriksaan kesehatan, sebaiknya tekanan darah diukur 2 atau 3 kali
berturut-turut, dan pada detakan yang terdengar tegas pertama kali mulai
dihitung. Jika hasilnya berbeda maka nilai yang dipakai adalah nilai yang
terendah.
5. Ukuran manset harus sesuai dengan lingkar lengan, bagian yang mengembang
harus melingkari 80 % lengan dan mencakup dua pertiga dari panjang lengan
atas.10
diabetes tidak tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah
istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan yang
absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya resisten
terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka
waktu yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk
memprovokasi gejala nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien tersebut
adalah risiko peningkatan pengembangan komplikasi macrovascular dan
mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang diduga menyebabkan terjadinya
resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi antara
kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor makanan6
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi
dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada
fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat
menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin
dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih
banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana
pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin
pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi
glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat.
Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan
fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di
mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian
menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan
kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar
insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa
25
melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi
lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya
menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka
efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya
glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin
meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang
dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat
(acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa
kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik
glukosa (glucose toXicity). 6
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat
dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi
insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi
respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara
terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan.
Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik
dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi
insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini
juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti
kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan
berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin6
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang
keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah tafsirkan. Dikira
sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk
menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.
c. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita selalu
merasa lapar.
3.2.4 Diagnosa Diabetes Melitus
Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai 6
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah
satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
1) Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2) Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4) Riwayat keluarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6) Riwayat dm pada kehamilan
7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8) Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa darah
puasa terganggu)
28
Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)
2. PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS6
2.1 Managemen Hipertensi JNC VIII7
1. Rekomendasi 1
Pada usia ≥ 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan tekanan
darah (TD) pada systolic blood pressure (SBP) ≥ 150 mmHg, atau diastolic blood
pressure (DBP) ≥ 90 mmHg dan diturunkan sampai SBP ≤ 150 mmHg dan DBP
≤ 90 mmHg. (Rekomendasi Kuat-Grade A)5
2. Corollary Recommendation
Pada populasi umum usia ≥ 60 tahun, jika terapi farmakologi ternyata
menurunkan tekanan darah SBP lebih rendah dari target (SBP ≤ 140 mmHg) dan
terapi dapat ditoleransi tanpa ada efek samping yang menganggu maka terapi
tidak perlu penyusuaian ( Pendapat Ahli-Grade E)5
3. Rekomendasi 2
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurunkan TD pada DBP ≥ 90 mmHg dan diturunkan sampai tekanan DBP ≤
90 mmHg. (untuk usia 30-59 tahun, Rekomendasi Kuat- Grade A; untuk usia 18-
29 tahun, pendapat ahli-Grade E) 5
4. Rekomendasi 3
Pada populasi umum dengan usia < 60 tahun, inisiasi terapi farmakologi untuk
menurukan TD pada SBP ≥ 140 mmHg dan diturunkan sampai tekanan SBP
<140 mmHg. (Pendapat Ahli-Grade E)5
5. Rekomendasi 4
Pada populasi umum usia ≥ 18 tahun dengan Chronic Kidney Disease (CKD),
inisiasi terapi farmakologi untuk menurunkan TD pada SBP ≥ 140 mmHg atau
DBP ≥ 90 mmHg dan target menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP <
90 mmHg.(Pendapat Ahli-Grade E) 5
6. Rekomendasi 5
33
Pada populasi umum usia ≥ 18 tahun dengan diabetes, inisiasi terapi farmakologi
untuk menurunkan TD pada SBP ≥ 140 mmHg atau DBP ≥ 90 mmHg dan target
menurunkan sampai SBP < 140 mmHg dan DBP < 90 mmHg.(Pendapat Ahli-
Grade E)
7. Rekomendasi 6
Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk dengan penyakit diabetes, inisiasi
terapi farmakologi harus mencakup, diuretik tipe thiazide, calcium channel
blocker (CCB), angiostensin-converting enzym inhibitor (ACEI) atau
5
angiostensin receptor blocker (ARB). (Rekomendasi : Sedang-Grade B)
8. Rekomendasi 7
Pada populasi kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes, initiasi terapi
farmakologi antihipertensi harus mencakup diuretik tipe thiazide, calcium
channel blocker (CCB) (Untuk orang kulit hitam rekomendasi sedang-grade B;
untuk orang kulit hitam dengan diabetes rekomendasi lemah-grade C) 5
9. Rekomendasi 8
Pada populasi umum usia ≥ 18 tahun dengan CKD, inisiasi terapi farmakologi
antihipertensi harus mencakup obat ACEI atau ARB untuk meningkatkan fungsi
ginjal (Rekomendasi Sedang-Grade B) 5
10. Rekomendasi 9
Tujuan objektif dari terapi hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah sesuai target terapi. Jika tekanan darah tidak
dapat mencapai target terapi yang diinginkan dalam waktu 1 bulan terapi tekanan
darah, dapat dilakukan peningkatan dosis obat atau menambah golongan obat
kedua dari salah satu golongan obat pada rekomendasi 6 (diuretik tipe thiazide,
CCB, ACEI atau ARB). Dokter harus terus menilai perkembangan TD dan
menyesuaikan regimen obat antihipertensi sampai TD yang diinginkan dapat
dicapai. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai dengan pengunaan 2 jenis
golongan obat antihipertensi, dapat dilakukan penambahan dan titrasi obat ke 3
34
dari daftar yang telah tersedia. Jangan pernah mengunakan obat ACEI dan ARB
secara bersamaan pada 1 orang pasien. Jika target tekanan darah tetap tidak dapat
dicapai mengunakan terapi obat pada rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi
obat atau membutuhkan lebih dari 3 jenis obat, maka obat dari golongan
antihipertensi lainnya dapat digunakan. Rujukan ke spesialis perlu dilakukan jika
pasien tidak dapat mencapai target tekanan darah mengunakan strategi yang di
atas atau perlu dilakukan managemen komplikasi pada pasien.3,5,6
Pengaturan Lifestyle
(terus berlangsung sepanjang terapi)
Populasi Umum
Populasi CKD & DM
tanpa CKD & DM
Ya
Apakah tujuan TD tercapai ?
Tidak
Memperkuat terapi dan mengatur agar pola lifestyle tetap sesuai
Untuk strategi A dan B tambahakan dan titrasi thiazide-type diuretic atau ACEI atau ARB atau
CCB (gunakan terapi kelas obat yang tidak digunakan sebelumnya dan hidari kombinasi antara
ACEI dan ARB).
Untuk strategi C, dosis dititrasi dan inisiasi medikasi sampai maksimum
Tidak
Ya
Apakah tujuan TD tercapai ?
Tidak
37
Ya
Apakah tujuan TD tercapai ?
Tidak
Memperkuat terapi dan mengatur agar pola lifestyle tetap sesuai
Tambahkan obat golongan lain ( β-blocker, aldosterone antagonist atau yang
lainnya) dan rujuk pasien ke dokter spesialist atau ahli di bidang hipertensi
Lanjutkan
Tidak Ya
Apakah tujuan TD tercapai ? terapi dan
monitoring
38
Parameter
Kadar Ideal yang Diharapkan
Kadar glukosa darah puasa 80-120 mg/dl
Kadar glukosa plasma puasa 90-130 mg/dl
39
2.2.3 HbA1c adalah zat yang terbentuk dari reaksi antara glukosa dengan
hemoglobin. HbA1c yang terbentuk akan tetap tersimpan dan tetap bertahan di
dalam sel darah merah selama 8-12 minggu, sesuai dengan masa hidup sel darah
merah. Jumlah HbA1c yang terbentuk bergantung pada kadar glukosa di dalam
darah sehingga hasil pemeriksaan HbA1c dapat menggambarkan rata-rata kadar
glukosa darah selama 3 bulan terakhir. Kadar HbA1c diabetes melitus yang
terkontrol adalah < 7 % dan diabetes melitus yang tidak terkontrol adalah >
7 %.7
hal karbohirat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai
berikut : karbohidrat 60-70 % protein 10-15 % lemak 20-25 %
2.2.4.3 Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan
kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkallkg BB, dan wanita 25 kkallkg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja
berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk
menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan.8
2.2.5 Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE
(Continuous,Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat
mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-umur),
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita. Beberapa contoh olah
raga yang disarankan, antara lain jalan atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan
lain sebagainya. Olahraga aerobik ini paling tidak dilakukan selama total 30-40
menit per hari didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan
antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan
aktivitas reseptorinsulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan
glukosa.8
41
Apabila penatalaksanaan terapi tanpa obat (pengaturan diet dan olah raga) belum
berhasil mengendalikan kadar glukosa darah penderita, maka perlu dilakukan
langkah berikutnya berupa.8
b). Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel terhadap
insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan tiazolidindion,
yang dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin secara lebih efektif
43
(Tabel 4)
2.3 PROLANIS
hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan
skrining kesehatan.15
1) Konsultasi Medis
edukasi.8
4) Home Visit
Sasaran :
5. Langkah-langkah Pelaksanaan
RS)
Laboratorium),
peserta Prolanis,
terdaftar Prolanis,
12.) Melakukan entri data peserta dan pemberian flag bagi peserta
prolanis,
Care),
Faskes Pengelola :
b.Menganalisa data.
BAB IV
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
BAB V
METODE PENELITIAN
a. Kriteria Inklusi
1. Peserta Prolanis Penderita HipertensI dan atau Diabetes Militus
2. Terdaftar sebagai peserta Prolanis di Puskesmas Andong Kecamatan Andong
Kabupaten Boyolali
3. Bersedia menjadi responden penelitian
b. Kriteria Eksklusi
1. Pasien sakit mendadak
2. Meninggal dunia
3. Tidak berada di tempat atau keluar kota
4.Penderita Hipertensi dan atau Diabetes Militus yang tidak terdaftar sebagai
peserta prolanis
c. Entry
Data yang telah diperoleh dimasukkan kedalam buku catatan prolanis yang
akan dibagikan saat peserta prolanis dating dan akan di kembalikan saat pulang
agar menghindari kehilangan buku.
d. Cleaning
57
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
6.1.1 Pembahasan
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas buku catatan prolanis ini dapat digunakan sebagai acuan
untuk keberhasilan terapi yang paling efektif serta sebagai sarana pencatatan data
yang akurat.
7.2. Saran
Adapun saran yang dapat direkomendasikan dalam penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Puskesmas Andong
Perlunya peningkatan peran serta program program prolanis tentang penyakit
hipertensi dan diabetes militus agar penderita hipertensi diabetes militus dapat
mengatur pola hidupnya sesuai dengan pola hidup sehat. Perlu ditingkatkannya juga
peranan pojok gizi dalam memberikan konseling mengenai pola diet pada penderita
hipertensi.
2. Penderita hipertensi dan diabetes militus
Perlunya penyaringan penderita hipertensi dan Diabetes Militus dengan
pengukuran tekanan darah, dan cek gula darah pengobatan secara rutin, agar jumlah
peserta prolanis semakin bertambah dan target pencapaian puskesmas semakin
mudah tercapai.
3. Masyarakat Kecamatan Andong
Perlunya pencegahan terutama pada masyarakat yang memiliki faktor risiko
untuk terjadinya penyakit hipertensi dan diabetes militus tidak hanya untuk peserta
prolanis saja, melalui perbaikan pola hidup dengan menghindari pola asupan garam
yang tinggi, menghentikan kebiasaan merokok dan kepribadian.
39
62
DAFTAR PUSTAKA
1. Christy S. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang Hipertensi pada
Masyarakat Yang Merokok. FKUI. 2012
2. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Laporan
Nasional 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Depkes RI. WHO. 2014
3. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah. Profil Kesehatan 2014
Provinsi Kalimantan Tengah. Depkes RI. 2015
4. Puskesmas Andong Kuala Kapuas. Daftar Gambaran Kunjungan 10 Penyakit
Terbanyak Rawat Jalan UPT Puskesmas Andong Kuala Kapuas.2017
5. US. Department of Health and Human Services. Complete Report: The eight
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,
dan Treatment of High Blood Pressure. United States: U.S. Department of
Health and Human Services. 2013.
6. Utomo PT. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Hipertensi dengan
Upaya Pencegaha Kekambuhan Hipertensi pada Lansia di Desa Blulukan
Kecamatan Colomadu Kabupaten Karanganyar. FKIK UMS. 2013. Hal. 3
7. Anonim. Eighth Joint National Committee (JNC 8) : Update Terbaru dalam
Penatalaksanaan Hipertensi. 2014.
8. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiatii S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. Hal. 1079-85
9. The Seventh Repot of the Joint national Comitte on Prevention, detection,
evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004
10. Nafrialdi. Antihipertensi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: FKUI;
2007. Hal. 341-60
11. Ganiswarna SG. Famakologi dan Terapi. Jakarta: Bagian Farmakologi FK-
UI. 2003
12. Pedoman Makan Untuk Kesehatan Jantung Indonesia, PERKI Pusat dan
Yayasan Jantung Indonesia; Jakarta, 2002.
13. 17.Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, et al, for the American Heart
Association Statistics Committee and Stroke Statistics Subcommittee. Heart
disease and stroke statistics--2015 update: a report from the American Heart
Association. Circulation. 2015 Jan 27. 131 (4):e29-322.
14. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.
Indonesia: Kementrian Kesehatan RI. 2013. Hal 90.
15. BPJS Kesehatan, 2014
64
LAMPIRAN-LAMPIRAN
LAMPIRAN 1.
COVER