Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Menurut WHO, disabilitas dianggap sebagai kondisi yang menyebabkan
gangguan pada hubungan seseorang dengan lingkungan, penyandang
disabilitas merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia, dimana 80%
dari jumlah penyandang disabilitas di dunia berada dikalangan negara-
negara berkembang. Perlu diketahui juga, anak-anak mengambil porsi
sepertiga dari total peyandang disabilitas dunia. ( depkes,2014)
Hasil analisis dari Global Burden of Disease tahun 2004 didapatkan
bahwa 15,3% populasi dunia (sekitar 978 juta orang dari 6,4 milyar
estimasi jumlah penduduk tahun 2004) mengalami disabilitas sedang atau
parah, dan 2,9% atau sekitar 185 juta mengalami disabilitas parah. Pada
populasi usia 0-14 tahun prevalensinya berturut-turut adalah 5,1% (93
juta orang) dan 0,7% (13 juta orang). Sedang pada populasi usia 15 tahun
atau lebih, sebesar 19,4% (892 juta orang) dan 3,8% (175 juta orang).
Susenas 2012 mendapatkan penduduk indonesia yang menyandang
disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase
penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini,
dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003
dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecatatan, sedangkan
Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun
demikian, jika kita bandingkan antara susenas 2003 dengan 2009 dan
Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi. Berdasarkan
data Susenas tahun 2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah
penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu
39,97%, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga
seperti pada gambar dibawah ini.( depkes,2014)

Disabilitas mencakup kondisi yang luas dan kompleks sehingga tidak


mudah untuk menentukan jumlah atau prevalensinya. Pendekatan dalam
menghitung jumlah atau prevalensi penyandang disabilitas antara lain

1
dipengaruhi oleh tujuan/pemanfaatan datanya, konsep dan definisi
disabilitas yang digunakan, aspek disabilitas yang dinilai (keterbatasan
aktifitas, keterbatasan partisipasi, kondisi kesehatan yang terkait, faktor
lingkungan) dan sumber datanya. World Report on Disability, WHO,
2011, menggunakan hasil World Health Survey dan Global Burden of
Disease untuk mengestimasi prevalensi disabilitas. Disebutkan dalam
laporan tersebut bahwa estimasi prevalensi yang tercantum hendaklah
tidak dipandang sebagai angka definitif, namun sebagai refleksi
pengetahuan terkini dan ketersediaan data. World Health Survey 2002-
2004 merupakan survei rumah tangga multi nasional terbesar mengenai
kesehatan dan disabilitas yang menggunakan satu set kuesioner dan
metode yang konsisten untuk mengumpulkan data kesehatan antar
negara. Conceptual framework dan domain fungsi yang digunakan
berdasarkan ICF (International Classification of Functioning, Disability
and Health). Survei dilaksanakan di 70 negara, 59 negara di antaranya,
yang merupakan 64% populasi dunia, menggunakan data set untuk
mengestimasi prevalensi disabilitas pada populasi dunia usia >18 tahun.
Namun, Indonesia tidak termasuk dalam 59 negara tersebut. Pada 59
negara tersebut, prevalensi rata-rata orang berusia 18 tahun atau lebih
yang mengalami kesulitan signifikan dalam keseharian sebesar 15,6%
(sekitar 650 juta dari 4,2 milyar orang), berkisar antara 11,8% di negara
berpendapatan tinggi sampai dengan 18% di negara berpendapatan
rendah. Sedangkan prevalensi rata-rata orang yang mengalami kesulitan
sangat signifikan sebesar 2,2% ( sekitar 92 juta orang di tahun 2004).
Jika dilakukan ekstrapolasi pada angka tersebut untuk mencakup usia 15
tahun atau lebih, menjadi sekitar 720 juta orang mengalami kesulitan
signifikan dalam keseharian dan sekitar 100 juta mengalami kesulitan
yang sangat signifikan.Di semua negara, prevalensi pada kelompok
berisiko tinggi seperti perempuan, orang miskin dan lanjut usia lebih
tinggi, dan prevalensi lebih tinggi pada negara berkembang atau
berpendapatan rendah. Misalnya prevalensi disabilitas pada usia 60 tahun

2
atau lebih di negara berpendapatan rendah sebesar 43,4% sedangkan di
negara berpendapatan tinggi sebesar 29,5%. (depkes,2014)

Hasil Riskesdas 2010 menyebutkan bahwa persentase kecacatan pada


anak usia 24-59 bulan menunjukkan proporsi terbesar adalah tuna daksa
(cacat tubuh) sebesar0,17%, tuna wicara sebesar 0,15%dantuna grahita
sebesar 0,14%. (depkes, 2010)

Anak tunagrahita secara signifikan memiliki kemampuan berpikir


dibawah normal dengan skor IQ sama atau lebih rendah dari 70.
Kemampuan berpikir yang dimiliki anak tunagrahita dibawah rata-rata
anak normal, mengakibatkan hambatan segala aktifitas dikehidupan
sehari-hari, dalam bersosialisasi, komunikasi dan yang lebih menonjol
adalah ketidakmampuannya dalam menerima pembelajaran yang bersifat
akademik sebagaimana anak-anak sebayanya. (kemis,2013)

Menurut Depkes, Reterdasi mental menerangkan keadaan fungsi


intelektual umum bertaraf sub normal yang dimulai dalam masa
perkembangan individu dan berhubungan dengan terbatasnya
kemampuan belajar serta daya penyesuaian diri proses pendewasaan
individu tersebut. (Mulia, 2010)

Penelitian yang dilakuan oleh (Muhamad Ardika Rizky, 2017) yang


berjudul pengaruh pendidikan kesehatan media audio visual terhadap
kemampuan cuci tangan anak tunagrahita di slb-c yplb kota blitar ,
Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi jenis kelamin, umur,
kelas, di SLB-C YPLB Kota Blitar. Hasil penelitian menunjukkan
responden dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 9
(81.8 %), responden dengan usia terbanyak antara umur 11 – 15 tahun
sebanyak 8 (72.7%), dan responden dengan kelas terbanyak adalah kelas
5 sebanyak 4 (36 %). Berdasarkan hasil uji paired sampel t test
menunjukan bahwa ada perubahan nilai kemampuan cuci tangan anak
antara sebelum dan sesudah pendidikan kesehatan media Audio visual.
Hasil penelitian dengan menggunakan uji sample paired t-test di

3
dapatkan p value sama dengan 0.000. Pengambilan keputusan dilakukan
dengan melihat derajat kemaknaan (α=0,05) dan p value < 0,05 yang
berarti memiliki nilai bermakna.
Penelitian yang dilakukan oleh (Endang Zulaicha Susilaningsih,dkk,
2013) yang berjudul pengaruh pendidikan kesehatan terhadap perilaku
mencuci tangan siswa sekolah dasar, Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah simple random sampling.Berdasarkan perhitungan,
jumlah sampel 32 siswa, masing-masing kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen terdiri dari 16 responden. Data yang terkumpul dianalisis
dengan uji paired t-test uji independent t-test. Berdasarkan hasil uji
paired sample ttest pengetahuan dan perilaku pada kelompok eksperimen
diperoleh nilai signifikansi (ρv) lebih kecil dari 0,05, dapat diambil
kesimpulan bahwa H0 ditolak atau ada perbedaan pengetahuan dan
perilaku siswa sebelum dan setelah diberikan pendidikan kesehatan
tentang mencuci tangan. Sedangkan pengetahuan pada kelompok kontrol
diperoleh nilai signifikansi (ρv) yang lebih besar dari 0,05. Hasil nilai
rata-rata perilaku setelah diberikan pendidikan kesehatan untuk
kelompok eksperimen sebesar 9,56, sedangkan nilai rata-rata kelompok
kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan sebesar 8,25.
Diperoleh nilai ρ-value sebesar 0,039, karena nilai ρv < 0,05 (0,039 <
0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak atau ada perbedaan
perilaku antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol.
Penelitian yang dilakukan oleh (Andin Isprastika Subagyo,dkk, 2018)
yang berjudul pengaruh pemberian pendidikan kesehatan terhadap
pengetahuan dan perilaku cuci tangan pakai sabun siswa di sdn 06
wonorejo kabupaten kayong utara, didapatkan Hasil uji statistik
pengetahuan menggunakan uji Marginal Homogeneity didapatkan nilai p
yaitu 0,000 (p<0,05), sedangkan uji statistik perilaku dengan uji
McNemar didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05), yang berarti Ha diterima
dan Ho ditolak. Kesimpulan dari hasil penelitian Terdapat pengaruh
pendidikan kesehatan CTPS terhadap pengetahuan dan perilaku siswa di
SDN 06 Wonorejo Kabupaten Kayong Utara.

4
Penelitian yang dilakukan oleh (Dian Ramawati,dkk, 2012) yang
berjudul kemampuan perawatan diri anak tunagrahita berdasarkan faktor
eksternal dan internal anak, hasil penelitian menunjukkan kemampuan
perawatan diri pada anak tunagrahita usia 9-17 tahun pada penelitian ini
mayoritas berada pada kategori kemampuan perawatan diri yang rendah.
Pada penelitian ini didapatkan anak tunagrahita yang telah mampu
melakukan perawatan diri tanpa bantuan di lebih dari 2 area sebanyak
38,6% dan sisanya masih membutuhkan bantuan.
Penelitian yang dilakukan oleh (Oktavia Alfita Sari,dkk, 2017) yang
berjudul hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian
personal hygiene anak tunagrahita di slb tunas mulya kelurahan sememi
kecamatan benowo, Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan
dukungan keluarga dengan tingkat kemandirian personal hygiene anak
tunagrahita di SLB Tunas Mulya Kelurahan Sememi kecamatan Benowo
Jenis penelitian adalah analitik dengan menggunakan pendekatan cross
sectional. Berdasarkan hasil penelitian di SLB Tunas Mulya Kelurahan
Sememi Kecamatan Benowo Surabaya dari 25 responden sebagian besar
13 (52%) responden memberikan dukungan keluarga baik, sedangkan
sebanyak 12 (48%) responden memberikan dukungan keluarga cukup.
Penelitian yang dilakukan oleh (Pratiwi Nova Ariani,2016) yang berjudul
gambaran kemampuan perawatan diri (self care agency) pada anak
disabilitas (tuna grahita dan tuna netra) di sekolah luar biasa negeri 1
bantul, Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan perawatan diri
(self care agency) anak disabilitas (tuna grahita dan tuna netra) terbanyak
berada pada kategori cukup sebanyak 38 anak (44,7%). Gambaran
kemampuan perawatan diri berdasarkan karakteritik responden, sebanyak
29 anak (42,6%) dari kelas anak tuna grahita dalam kategori baik,
sebanyak 24 anak (49%) berjenis kelamin laki-laki, dengan kategori
cukup, sebanyak 18 anak (48,6%) berusia 6-11 tahun dengan kategori
baik, sebanyak 19 anak (51,4%) pada usia 12-16 dengan kategori cukup,
sebanyak 27 anak (50,9%) tingkat pendidikan SD dengan kategori cukup
dan sebanyak 15 anak (52,22%) tidak memiliki riwayat kesehatan dulu

5
dengan kategori cukup. Kesimpulan dari penelitiandidapat Kemampuan
perawatan diri (self care agency) anak disabilitas (tuna grahita dan tuna
netra) cukup.
1.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, diidentifikasi masalah yang muncul yaitu
tentang kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita Oleh karena
itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
pengaruh pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap
kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh
ykdw 01 tangerang 2019.
1.3. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana ketercapaian pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan pada anak
tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang.
2. Bagaimana penerapan sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan
pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang
2019.
3. Bagaimana penerapan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan
pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang
2019.
4. Bagaimana penerapan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan
kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan
mencuci tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw
01 tangerang 2019.
5. Apakah terdapat pengaruh penerapan sebelum dan sesudah
dilakukan pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi
terhadap kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita usia
8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang 2019.

6
1.4.Tujuan Peneliti
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui ketercapaian Pengaruh Sebelum Dan Sesudah
Dilakukan Pendidikan Kesehatan Dengan Metode Demonstrasi Terhadap
Kemampuan Mencuci Tangan Pada Anak Tunagrahita Usia 8-12 Tahun
Di Skh Ykdw 01 Tangerang.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.Mendeskripsikan pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi
terhadap kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita usia 8-12
tahun di skh ykdw 01 tangerang.
2.Mengetahui penerapan sebelum dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan
pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang.
3.Mengetahui penerapan sesudah dilakukan pendidikan kesehatan
dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan
pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang.
4.Mengetahui penerapan sebelum dan sesudah dilakukan pendidikan
kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci
tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01
tangerang.
5.Mengetahui pengaruh penerapan sebelum dan sesudah dilakukan
pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap
kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di
skh ykdw 01 tangerang.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Bagi Ilmu penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah pengetahuan,
pengalaman dan wawasan serta bahan dalam penerapan pendidikan
kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci
tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01
tangerang.

7
2. Bagi Profesi
Hasil penelitian ini di harapkan dapat menambah wawasan dan
memperluas pengetahuan atau menjadi ancuan dalam suatu
pelaksanaan penerapan pendidikan kesehatan dengan metode
demonstrasi terhadap kemampuan mencuci tangan pada anak
tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01 tangerang.
3. Bagi Tempat Peneliti
Penelitian ini sebagai media pembelajaran dan untuk menambah
pengetahuan serta pengalaman bagi peneliti dalam melaksanakan
penelitiannya, khususnya penelitian mengenai penerapan pendidikan
kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap kemampuan mencuci
tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di skh ykdw 01
tangerang.
4. Bagi Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini di harapkan dapat memberi informasi, pengalaman dan
menambah pengetahuan penelitian dalam melakukan penelitian lebih
lanjut lagi. Sebagai data perbandingan untuk peneliti penerapan
pendidikan kesehatan dengan metode demonstrasi terhadap
kemampuan mencuci tangan pada anak tunagrahita usia 8-12 tahun di
skh ykdw 01 tangerang.

8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Anak Tunagrahita
2.1.1 Pengertian anak tunagrahita
Secara harfiah kata tunagrahita berasal dari kata tuna yang berarti
kerusakan atau gangguan, dan grahita yang berarti pikiran. Dengan
demikian, tunagrahita ialah gangguan atau kelemahan dalam berpikir
atau bernalar. Kurangnya kemampuan ini mengakibatkan kemampuan
belajar dan adaptasi sosial mereka berada dibawah rata-rata. (Herri,
2017)
Penyandang cacat mental atau tunagrahita dan mental psikotik. Reterdasi
mental atau tunagrahita adalah keterbatasan substansial dalam
memfungsikan diri. Keterbatasan ini ditandai dengan terbatasnya
kemampuan fungsi kecerdasan yang terletak dibawah rata-rata (IQ 70
atau kurang) dan ditandai dengan terbatasnya kemampuan tingkah laku
adaptif minimal di dua area atau lebih (tingkah laku adaptif berupa
kemampuan komunikasi, merawat diri, menyesuaikan dalam kehidupan
rumah, keterampilan sosial, pemanfaatan sarana umum, mengarahkan
diri sendiri, area kesehatan dan keamanan, fungsi akademik, pengisian
waktu luang, dan kerja). (Mulia, 2010)
Menurut The American Association on Mental Deficiency (AAMD)
definisi retardasi mental mencakup dua dimensi utama yaitu perilaku
adaptif dan kecerdasan. Retardasi mental didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana fungsi intelektual umum dibawah rata-rata normal
disertai dengan kekurangan atau hendaknya dalam perilaku adaptif yang
muncul pada periode perkembangan. (Aulia, 2013)
Anak Tunagrahita adalah anak yang mengalami kelainan yang meliputi
fungsi intelektual umum dibawah rata-rata, yaitu IQ 84 kebawah sesuai
tes. Kelainan yang muncul sebelum usia 16 tahun yang menunjukkan
hambatan dalam perilaku adaptif. (Kemis, 2013)

9
2.2. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Berdasarkan AAMR (Wicks-Nelson, 1997), Tunagrahita bisa digolongkan
sebagai berikut :
a. Tunagrahita ringan yaitu mereka yang masih bisa dididik pada masa
dewasanya kelak, usia mental yang bisa mereka capai setara dengan
anak usia 8 tahun sampai usia 10 tahun 9 bulan. Dengan rentan IQ
antara 55 hingga 69. Pada usia 1 sampai 5 tahun, mereka sulit
dibedakan dari anak-anak normal. Mampu mengembangkan
keterampilan komunikasi dan mampu mengembangkan keterampilan
sosial. Kadang-kadang pada usia dibawah 5 tahun mereka
menunjukkan sedikit
b. Tunagrahita Sedang yaitu mereka yang masih bisa dilatih. Kecerdasan
terletak sekitar 40 sampai 51, pada usia dewasa mentalnya setara anak
usia 5 tahun 7 bulan sampai 8 tahun 2 bulan. Biasanya antara usia 1
sampai usia 5 tahun mereka bisa berbicara atau bisa belajar
berkomunikasi, memiliki kesadaran sosial yang buruk, perkembangan
motorik yang tidak terlalu baik, bisa diajari untuk merawat diri
sendiri, dan bisa mengelola dirinya dengan supervisi dari orang
dewasa.
c. Tunagrahita sanagat berat yaitu mereka yang mampu dilatih
tergantung pada orang lain. Rentang Iqnya terletak anatara 25 sampai
39. Pada masa dewasanya dia memiliki usia mental setara anak usia 3
tahun 2 bulan hingga 5 tahun 6 bulan. Biasanya perkembangan
motoriknya yang buruk, bicaranya mengalami kesulitan, biasanya sulit
dilatih agar bisa merawat diri sendiri , seringkali tidak memiliki
keterrampilan berkomunikasi. (Mulia, 2010)
2.3. Penyebab Tunagrahita
1. Sebelum lahir (prenatal)
a. Mengalami hambatan berfikir karena keturunan. Hal ini terjadi
karena perkawinan satu kelompok orang yang ber IQ rendah,
tunagrahita jenis ini biasanya ringan.

10
b. Kelainan kromosom . kelainan dalam jumlah maupun bentuknya
(akan lahir mengolisme atau down’s syndrome)
c. Penyakit infeksi pada awal pertumbuhan janin, misalnya : TBC,
Rubella, siphilis.
d. Obat-obatan atau jamu tertentu yang diminum oleh ibu, terutama
ibu yang sedang hamil muda.
2. Waktu dilahirkan
a. Prematur, minim berat badan waktu lahir, tulang tengkorak
yang masih lemah sudah terluka.
b. Proses kelahiran yang lama, hingga kekeurangan O2 dalam
waktu melahirkan.
c. Proses kelahiran yang sulit dan mempergunakan alat,
kepala bayi terjepit dan terdapat tekanan yang
mengakibatkan pendarahan.
3. Setelah dilahirkan
a. Terserang penyakit berat, seperti jantung dan epilepsi.
b. Radang otak (encephalitis) dan radang selaput otak
(maningitis).
c. Gangguan metabolisme pertumbuhan.
d. Kekurangan gizi yang berat dan lama pada masa anak-anak
umur dibawah 4 tahun sangat mempengaruhi
perkembangan otak, keadaan ini dapat diperbaiki sebelum
anak berusia 6 tahun.
e. Faktor-faktor sosial budaya (yang berhubungan dengan
penyesuaian diri).
f. Akibat depresi lingkungan. Timbung karna kurangnya
komunikasi verbal.
(Mulia, 2010)

11
2.4. Usaha pencegahan terjadinya anak Tunagrahita
a. Dianostik prenatal
b. Imunisasi
c. Tes darah
d. Pemeliharaan kesehatan
e. Sanitasi lingkungan
f. Penyuluhan genetik
g. Program keluarga berencana
h. Intervensi dini
(Kemis, 2013)
2.5. Karakteristik anak tunagrahita
a. Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru.
b. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal
yang baru.
c. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita
berat.
d. Cacat fisik dan perkembangan gerak.
e. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri.
f. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim.
g. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus.
(Kemis, 2013)

12

Anda mungkin juga menyukai