Manajemen Osteoporosis
Manajemen Osteoporosis
Pendahuluan
Osteoporosis berasal dari kata osteo (tulang) dan porous (berlubang-lubang/keropos).
Osteoporosis merupakan suatu penyakit tulang sistemik yang kronik dan progresif dengan
karakteristik menurunnya massa tulang, kerusakan mikroarsitektur, kerapuhan tulang yang
selanjutnya meningkatkan resiko terjadinya fraktur.1 Definisi operasional osteoporosis menurut
World Health Organization (WHO) adalah nilai kepadatan tulang dibawah 2,5 SD (standar deviasi)
dari rerata orang dewasa yang sehat dengan jenis kelamin yang sama (nilai T-score < -2,5). Namun
pada wanita paska menopause, nilai T < -1 telah dimasukkan dalam kategori densitas tulang rendah
(osteopenia) dan dimasukkan dalam kelompok berisiko tinggi osteoporosis .2
Diperkirakan, osteoporosis menghabiskan biaya sekitar 3,9 milyar dolar per tahun di Kanada.
Biaya ini mencakup penanganan kondisi akut, rehabilitasi, perawatan jangka panjang, biaya obat-
obatan, hilangnya produktivitas, dan lain sebagainya. Kini osteoporosis tidak lagi dianggap hanya
sekeda persoalan mengobati nilai massa kepadatan tulang saja, namun lebih kepada mencegah
fraktur akibat kerapuhan tulang, mencegah sekuele jangka menengah dan jangka panjang. Telah
diketahui saat ini bahwa selain dari persoalan nyeri, morbiditas, biaya akibat fraktur dan fragilitas,
djumpai pula peningkatan risiko mortalitas akibat fraktur tersebut (infeksi paru, keganasan), dan
saat ini terdapat terapi antiresorptif yang terbukti dapat mengurangi risiko ini.3,4,5,6,7
Pada tahun 2007, Basette dkk. melaporkan 81% fraktur yang dialami oleh wanita usia lebih
dari 50 tahun merupakan fraktur fragilitas, dimana 79% di antaranya tidak pernah mendapatkan
pengobatan ataupun skrining terhadap osteoporosis. Setiap fraktur yang terjadi terbukti
meningkatkan risiko fraktur berikutnya sebesar 9,5 kali lipat. Kaitan yang paling kuat ditemukan
pada hubungan kejadian fraktur vertebra sebelum, dan fraktur berikutnya, dimana risiko semakin
meningkat sejalan dengan jumlah fraktur vertebra yang terjadi.8,9
Epidemiologi
Secara global, hingga saat ini osteoporosis merupakan penyakit metabolik tulang yang paling
banyak dijumpai, dengan jumlah lebih dari 200 juta orang di seluruh dunia. Diperkirakan 75 juta
penderita osteoporosis ada di Eropa, Amerika, serta Jepang.10 Prevalensi osteoporosis semakin
meningkat sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup dan populasi usia tua.11 usia
merupakan salah satu faktor risiko independen dari osteoporosis dan fraktur osteoporotik (fraktur
akibat trauma ringan).12 Berdasarkan data dari National Health and Nutrition Examination Survey
Gambar 1 Epidemiologi fraktur vertebra, femur proksimal (hip fracture) dan metafisis distal
radius/pergelangan tangan (colles fracture).2
Klasifikasi
Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebab sekundernya,
sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya.15 Yang
Tabel 1 Berbagai kondisi, penyakit dan obat-obatan yang berperan pada osteoporosis dan fraktur 1
Berbagai kondisi, penyakit dan obat-obatan yang berperan pada osteoporosis dan fraktur
Faktor gaya hidup
Penyalahgunaan alkohol Diet tinggi garam Jatuh
Kurang asupan kalsium Aktifitas fisik yang kurang adekuat Diet berlebihan
Insufisiensi vitamin D Imobilisasi Fraktur sebelumnya
Kelebihan vitamin A Merokok (aktif/pasif)
Faktor genetik
Kistik fibrosis Homosistinuria Osteogenesis imperfekta
Sindroma Ehler-Danlos Hipofosfatasia Rw. orang tua dengan fraktur hip
Penyakit Gaucher Idiopatik hiperkalsiuria Porfiria
Glycogen storage disease Sindrom Marfan Sindrom Relay-Day
hemokromasitosis Menkes’ steely hair syndrome
Status hipogonadal
Insensitifitas androgen Hiperprolaktinemia Amenorea atletik
Anoreksia nervosa dan bulimia Menopause prematur panhipopituitarisme
Sindrom Turner dan Klinefelter Kegagalan fungsi ovarium prematur
Kelainan endokrin
Insufisiensi adrenal Sindroma Cushing Adipositas sentral
Diabetes melitus tipe 1 dan 2 Hiperparatiroidisme Tirotoksikosis
Kelainan gastrointestinal
Penyakit Celiac Inflammatory bowel disease Sirosis bilier primer
Pintas lambung Malabsorbsi
Pembedahan gastrointestinal Penyakit pankreas
Kelainan hematologi
Mieloma multipel Gamopati monoklonal Penyakit sickle cell
Hemofilia Leukemia dan limfoma Mastositosis sistemik
thalasemia
Obat-obatan
Aluminium (pada antasida) Glukokortikoid (prednison >5mg/ hari Tamoxifen (penggunaan pre-
Antikoagulan (heparin) atau yang ekuivalen selama > 3 bulan) menopause
Antikonvulsan Gonadotropin-releasing hormone Thiazolidinediones (mis, pioglita-
Penghambat aromatase antagonist and agonist zone dan rosiglitazone
Barbiturat Lithium Kelebihan hormon tiroid
Obat kemoterapi kanker Methotrexate Nutrisi parenteral
Siklosporin A dan takrolimus PPI
Depo-medroksiprogesteron (kontrasepsi SSRI
pra-menopause)
berputar, berjalan kembali ke kursi, lalu duduk kembali. Pasien yang memerlukan 30 detik untuk menyelesaikan tes ini
berisiko tinggi untuk mengalami jatuh.
Tabel 3 Faktor risiko osteoporosis menurut The National Osteoporosis Foundation (NOF) 1
Faktor risiko yang tidak dapat diubah Faktor risiko yang dapat diubah
Riwayat fraktur yang terjadi di usia dewasa Riwayat merokok
Riwayat fraktur pada saudara sekandung (1st-degree Berat badan rendah (IMT <19 kg/m2)
relative) Defisiensi estrogen
Ras kulit putih Kurang asupan kalsium
Usia lanjut Alkoholisme (>3 unit per hari)
Wanita Gangguan penglihatan meski upaya koresi sudah adekuat
Demensia Riwayat jatuh berulang
Tingkat kesehatan yang buruk / kerapuhan (fragilitas) Kurangnya aktifitas fisik
Kelemahan (Frailty)
Pemeriksaan Klinis
Osteoporosis dapat terjadi pada orang yang tidak memiliki/sedikit faktor risiko. Biasanya jika
penderita osteoporosis belum mengalami fraktur, maka pasien tidak akan mengalami keluhan
apapun, dan klinisi pun sering tidak menduganya. Oleh karena itu, penyakit ini disebut sebagai
“pencuri diam-diam” yang artinya tidak akan disadari hingga telah terjadi fraktur.10 Oleh karena itu
upaya penapisan terhadap populasi dengan populasi berisiko perlu dilakukan, khususnya bagi
mereka yang sudah diketahui memiliki kondisi/penyakit yang dapat menjadi etiologi bagi
osteoporosis sekunder (tabel 1).10
Anamnesis memegang peranan penting pada populasi geriatri. Tujuannya adalah untuk
faktor-faktor yang meningkatkan risiko “kepadatan tulang rendah”, risiko jatuh (tabel 2), dan akibat
dari fraktur. Hal-hal diatas mencakup riwayat jatuh, jumlah jatuh dalam setahun terakhir, gait (gaya
berjalan), kesulitan menjaga keseimbangan serta fraktur fragilitas. Faktor-faktor risiko lain yang telah
disebutkan di atas juga perlu untuk ditanyakan termasuk obat-obatan seperti glukokortikoid
ataupun non-glukokortikoid yang diketahui dapat menginduksi osteoporosis, lalu ditanyakan pula
riwayat fraktur akibat trauma minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, kurangnya latihan yang
teratur yang bersifat weight-bearing.7,26 Kadang-kadang keluhan utama dapat langsung mengarah
pada diagnosis osteoporosis ataupun diagnosa banding alinnya, misalnya fraktur kolumna femoris
yang mengarah pada osteoporosis, bowing leg pada penyakit riket, atau rasa kebas di sekitar mulut
dan ujung jari pada hipokalsemia, dan lain-lain.26
Pada pemeriksaan fisik, 2 tujuan utama yang ingin dicapai adalah : menilai risiko terjadinya
fraktur serta mengidentifikasi kemungkinan fraktur yang telah terjadi namun belum terdiagnosis.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium baseline yang perlu diperiksa pada semua kasus osteoporosis
atara lain : Pemeriksaan darah perifer lengkap (anemia, penyakit sickle cell, mieloma multipel,
keganasan hematlogi), kadar kalsium serum (hiperkalsemia akibat malignansi, hipokalsemia pada
osteoporosis, osteomalasia), pada osteoporosis primer kadar kalsium, fosfat dan alkalin fosfatase
(ALP) biasanya normal, namun kadar ALP dapat meningkat selama beberapa bulan setelah terjadinya
fraktur. Kadar kreatinin serum (gagal ginjal, hiperparatiroidisme), magnesium (homeastasis kalsium),
SGOT, SGPT, gamma-glutamy transferase (GGT), bilirubin dan ALP dapat menunjukkan kondisi akibat
penyalahgunaan alkohol. Kadar TSH dan 25-hydroxyvitamin D juga perlu diperiksa pada kecurigaan
defisiensi vitamin D. Pengukuran kadar ion kalsium jauh lebih bermakna dibandingkan dengan kadar
kalisum total, sebab kadar kalsium dapat dipengaruhi oleh banyak kondisi. Ekskresi kalsium urin 24
jamjuga harus diperhatikan walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan metabolisme
tulang. Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium
100-250 mg/24 jam. Bila ekskresi kalsium kurang dari 100 mg/24 jam, harus dipikirkan kemungkinan
adanya malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi kalsium oleh ginjal. Peningkatan ekskresi
kalsium urin yang disertai asidosis hiperkloremik menunjukkan adanya asidosis tubular renal
(RTA).10,26
Selain pemeriksaan terhadap biokimia tulang perlu pula diperiksa parameter laboratorium
lain yang dapat menjadi penyebab sekunder terjadinya osteoporosis jika dijumpai terdapat kelainan-
kelainan tersebut secara klinis (tabel 5).
Tabel 5 Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan dalam rangka evaluasi penyebab sekunder osteoporosis pada 27
Pemeriksaan laboratorium Penyebab sekunder
Kreatinin serum dan BUN Penyakit ginjal kronik
Alkaline fosfatase serum Penyakit Paget ; Osteomalasia
TSH serum Hipertiroidisme atau kelebihan suplementasi hormon tiroksin
Kalsium dan fosfor serum Defisiensi vitamin D ; Malabsorbsi
Kalsium urin 24-jam Ekskresi kalsium berlebihan di urine
Testosteron dan gonadotropin (pria usia muda) Hipogonadisme
25-hydroxy vitamin D Insufisiensi/defisiensi vitamin D
PTH serum Hiperparatiroidisme primer/sekunder
Serum protein elektroforesis Mieloma multipel
Darah perifer lengkap Leukemia
Tes fungsi hati Penyakit hati primer
Biopsi sumsum tulang Kelainan hemaotologi
Antigliadin dan anti endomisial antibodi Penyakit celiac
Serum triptase dan N-metilhistamin urin Mastositosis
Kortisol bebas urin & uji hipersekresi adrenal Sindroma Cushing
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan rontgen polos masih direkomendasikan untuk menilai integritas tulang secara
keseluruhan ataupun untuk memastikan kecurigaan terhadap terjadinya fraktur baik simtomatik
ataupun asimtomatik. Gambaran osteopenia dapat dijumpai pada pemeriksaan rontgen polos
namun tidak dapat dijadikan dasar diagnosis osteporosis. Gambaran osteopenia yang dimaksud
adalah ketika lebar area kortikal lebih kecil dari pada medula. Gambaran lain yang dapat muncul
selain gambaran fraktur adalah, osteoartritis, kelainan-kelainan pada diskus, ataupun
spondilolistesis.10
Penatalaksanaan
Penanganan osteoporosi mencakup 2 hal yakni : (1) Manajemen akut fraktur dan (2)
penanganan penyakit dasar.2
Dugaan fraktur vertebra (nyeri Radiografi spinal untuk memastikan Edukasi dan pencegahan
punggung/pinggang, hiperkifosis, tinggi adanya fraktur vertebra Latihan dan rehabilitasi
badan turun) Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi
Pasien usia >60 tahun Densitometri T-score < -2,5 Edukasi dan pencegahan
tulang Latihan dan rehabilitasi
Terapi farmakologi
Pembedahan atas indikasi
T-score -1 s.d -2,5 Edukasi dan pencegahan
Latihan dan rehabilitasi
Faktor risiko osteoporosis atau fraktur Densitometri T-score < -2,5 Edukasi dan pencegahan
lainnya : Tulang Latihan dan rehabilitasi
Wanita paska menopause Terapi farmakologi
Berat badan kurang Pembedahan atas indikasi
Asupan kalsium rendah T-score -1 s.d -2,5 Edukasi dan pencegahan
Aktivitas fisik kurang Latihan dan rehabilitasi
Riwayat osteoporosis atau fraktur T-score > -1 Edukasi dan pencegahan
osteoporotik dalam keluarga Latihan dan rehabilitasi
Risiko terjatuh
Non-farmakologi
Secara umum, perlu disampaikan edukasi dan program pencegahan terhadap pasien-pasien
osteoporosis antara lain :
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang teratur untuk memelihara
kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga
dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan
30-60 menit/hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan sehari-hari maupun
suplementasi,
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan
menopause awal pada wanita.
5. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis,
6. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti
osteoporosis
7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang
licin, obat-obat sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi
ortistatik.
8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orangorang yang kurang terpajan sinar
matahari atau pada penderita dengan fotosensitifitas, misalnya SLE. Bila diduga ada
defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)D serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum
menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 lU/hari pada orang tua
Terapi Farmakologi
Bifosfonat, merupakan terapi pilihan utama pada tatalaksana osteoporosis khususnya bagi
pasien dengan kontraindikasi terapi hormon, atau pada pasien laki-laki. Bifosfonat memiliki efek
penghambat osteoklas. Yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa absorbsi bifosfonat sangat
buruk, oleh karena itu harus diberikan dalam keadaan perut kosong dengan dibarengi 2 gelas air
putih dan setelah itu penderita harus dalam posisi tegak selama 30 menit. Efek samping bifosfonat
adalah hipokalsemia dan refluks esofagitis. Jenis-jenis bifosfonat yang tersedia saat ini antara lain :
Alendronat (oral; 10 mg/hari atau 70 mg/minggu), Risedronat (oral; 5 mg/hari atau 35 mg/minggu),
Ibandronat (oral; 2,5 mg/hari atau 150 mg/bulan) dan zoledronat (merupakan bifosfonat terkuat
dengan sediaan intravena, dosis 5 mg setahun sekali dan diberikan perlahan selama 15 menit).26
Raloksifen, merupakan salah satu dari golongan selective estrogen receptor modulators
(SERM). Obat ini disetujui oleh FDA sebagai terapi pencegahan dan pengobatan pada osteoporosis.
Mekanisme kerja raloksifen hampir sama dengan estrogen dengan dosis 60 mg/hari. Raloksifen
hanya diindikasikan pada wanita paska-menopause < 70 tahun.2,26
Terapi pengganti hormonal. (1) pada wanita paska menopause : estrogen terkonyugasi
(0,3125 – 1,25 mg/hari) dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5-10 mg/hari, setiap hari
secara kontiniu. (2) pada wanita pra-menopause : estrogen terkonyugasi diberikan dengan
penyesuaian terhadap siklus haid. (3) pada laki-laki : Pada laki-laki yang jelas menderita defisiensi
testosteron, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron.26
Kalsitonin, dapat diindikasikan pada kasus osteoporosis, penyakit paget dan hiperkalsemia
karena keganasan. Obat ini dapat menurunkan resorpsi tulang. pemberiannya secara intranasal
dengan dosis 200 U per hari. Dapat juga diberika secara subkutan. 2,26
Monitoring Terapi
Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan densitometri
setelah 1-2 tahun pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu 1 tahun tidak
terjadi peningkatan maupun penurunan densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap
berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan.26