Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada era globalisasi ini, ditambah dengan semakin modernnya perkembangan di dalam
dunia, yang mampu mempermudah manusia dalam melakukan banyak aktivitas.Termasuk
segala aktivitas di Rumah sakit yang pastinya berhubungan dengan keselamatan
pasien.Walaupun semua perkembangan didunia sudah meningkat namun diharapkan juga
dapat meningkatkan kemampuan rumah sakit serta seluruh tenaga kesehatan yang termasuk
didalamnya untuk ikut dalam menciptakan managemen keselamatan pasien yang efektif
sehingga ddiharapkan mampu mengurangi angka kejadian tidak diharapkan dalam sistem
pelayanan di rumah sakit.
Keselamatan pasien di Rumah Sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu Rumah Sakit
yang memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman, termasuk di dalamnya mengukur
risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko terhadap pasien, analisa insiden, kemampuan untuk
belajar & menindaklanjuti insiden serta menerapkan solusi untuk mengurangi risiko. "Safety
is a fundamental principle of patient care and a critical component of hospital quality
management." (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO
2004).Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit memberikan asuhan
kepada pasien secara aman serta mencegah terjadinya cidera akibat kesalahan karena
melaksanakan suatu tindakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya
diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko (Depkes 2008).
Dikarenakan semakin meningkatnya resiko yang dapat terjadi pada pasien, maka
dibutuhkan juga sebuah konsep managemen keselamatan pasien khususnya yang
berhubungan dengan sebuah infeksi.Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu
pasien merupakan kelompok yang berisiko mendapat infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat
terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke pasien lain, dari pasien
kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas kepada pasien.Infeksi di rumah sakit
ini juga dinamakan disebut juga sebagai ”Health-care Associated Infections” atau ”Hospital-

1
Acquired Infections (HAIs)”, contohnya adalahinfeksi nosokomial yang merupakan
persoalan serius karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak lagsung kematian
pasien, kalaupun tak berakibat kematian, infeksi yang bisa terjadi melalui penularan antar
pasien, bisa terjadi dari pasien ke pengunjung atau petugas rumah sakit dan dari petugas
rumah sakit ke pasien, hal ini mengakibatkan pasien dirawat lebih lama sehingga pasien
harus membayar biaya rumah sakit lebih banyak.
Jadi diharapkan dengan adanya managemen keselamatan pasien yang terstruktur dan
tersusun dengan baik dapat mengurangi tingkat penularan infeksi nosokomial baik antara
pasien dengan tenaga kesehatan maupun pasien dengan keluarga dan lingkungan sekitarnya.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan infeksi ?
2. Apa yang dimaksud dengan infeksi nosokomial ?
3. Jelaskan siklus terjadinya infeksi nosokomial ?
4. Apa penyebab ( etiologi ) dari infeksi nosokomial ?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial ?
6. Jelaskan tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial ?
7. Apa saja strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial ?
8. Apa saja kewaspadaan standar (Standard precautions) infesi nosokomial ?
9. Apa saja kewaspadaan berdasarkan cara penularan infeksi nosokomial ?
1.3 Tujuan
1. Mampu mengetahui pengertian dari infeksi
2. Mampu mengetahui pengertian dari infeksi nosokomial
3. Mampu mengetahui siklus terjadinya infeksi nosokomial
4. Mampu mengetahui penyebab dari infeksi nosokomial
5. Mampu mengetahui faktor- faktor yang mempengaruhi infeksi nosokomial
6. Mampu mengetahui tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
7. Mampu mengetahui strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
8. Mampu mengetahui kawaspadaan standar infeksi nosokomial
9. Mampu mengetahui kawaspadaan cara penularan infeksi nosokomial

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh


pejamu yang mampu menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Nosocomial berasal dari
Bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit, dan komeo yang artinya merawat.
Nosokomium berarti tempat untuk merawat atau rumah sakit.Jadi infeksi nosocomial dapat
diartikan sebagai infeksi yang diperoleh atau terjadi di rumah sakit (Darmadi, 2008).

Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat seseorang dalam waktu 3x24 jam
sejak mereka masuk rumah sakit (Depkes RI, 2003).Infeksi nosokomial diakibatkan oleh
pemberian layanan kesehatan dalam fasilitas perawatan kesehatan. Rumah sakit merupakan
satu tempat yang paling mendapat infeksi karena mengandung populasi mikroorganisme
yang tinggi dengan jenis virulen yang mungkin resisten terhadap antibiotik (Perry & Potter,
2005).

2.2 Siklus Terjadinya Infeksi Nosokomial


Mikroorganinisme dapat hidup di manapun dalam lingkungan kita. Pada manusia dapat
ditemukan pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, usus, dan organ genital. Disamping itu
mikroorganisme juga dapat hidup pada hewan, tumbuhan, tanah, air, dan udara. Beberapa
mikroorganisme lebih patogen dari yang lain, atau lebih mungkin menyebabkan penyakit.
Ketika daya tahan manusia menurun, misalnya pada pasien dengan HIV/AIDS (Depkes,
2007).
Semua manusia rentan terhadap infeksi bakteri dan sebagian besar jenis virus. Jumlah
(dosis) mikroorganisme yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada pejamu/host yang
rentan bervariasi sesuai dengan lokasi. Risiko infeksi cukup rendah ketika mikroorganisme
kontak dengan kulit yang utuh dan setiap hari manusia menyentuh benda di mana terdapat
sejumlah mikroorganisme di permukaannya. Risiko infeksi akan meningkat bila area kontak
adalah membran mukosa atau kulit yang tidak utuh. Risiko infeksi menjadi sangat meningkat
ketika mikroorganisme berkontak dengan area tubuh yang biasanya tidak steril, sehingga
masuknya sejumlah kecil mikroorganisme saja dapat menyebabkan sakit (Depkes, 2007).

3
Agar bakteri, virus dan penyebab infeksi lain dapat bertahan hidup dan menyebar,
sejumlah faktor atau kondisi tertentu harus tersedia. Faktor- faktor penting dalam penularan
mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit dari orang ke orang dapat dilihat dalam
gambar di bawah ini.

a. Reservoir Agen
Reservoir adalah tempat mikroorganisme patogen mampu bertahan hidup tetapi
dapat atau tidak dapat berkembang biak. Pseudomonas bertahan hidup dan berkembang
biak dalam reservoir nebuliser yang digunakan dalam perawatan pasien dengan gangguan
pernafasan. Resevoir yang paling umum adalah tubuh manusia. Berbagai
mikroorganisme hidup pada kulit dan rongga tubuh, cairan, dan keluaran. Adanya
mikroorganisme tidak selalu menyebabkan seseorang menjadi sakit. Carrier (penular)
adalah manusia atau binatang yang tidak menunjukan gejala penyakit tetapi ada

4
mikroorganisme patogen dalam tubuh mereka yang dapat ditularkan ke orang lain.
Misalnya, seseorang dapat menjadi carrier virus hepatitis B tanpa ada tanda dan gejala
infeksi. Binatang, makanan, air, insekta, dan benda mati dapat juga menjadi reservoir
bagi mikroorganisme infeksius. Untuk berkembang biak dengan cepat, organisme
memerlukan lingkungan yang sesuai, termasuk makanan, oksigen, air, suhu yang tepat,
pH, dan cahaya (Perry & Potter, 2005).
b. Portal keluar (Port of exit)
Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan berkembang biak,
mereka harus menemukan jalan ke luar jika mereka masuk ke pejamu lain dan
menyebabkan penyakit. Pintu keluar masuk mikroorganisme dapat berupa saluran
pencernaan, pernafasan, kulit, kelamin, dan plasenta (Perry & Potter, 2005).
c. Cara penularan (Mode of transmision)
Cara penularan bisa langsung maupun tidak langsung. Secara langsung misalnya;
darah/cairan tubuh, dan hubungan kelamin, dan secara tidak langsung melalui manusia,
binatang, benda-benda mati, dan udara (Perry & Potter, 2005).
d. Portal masuk (Port of entry)
Sebelum infeksi, mikroorganisme harus memasuki tubuh. Kulit adalah bagian
rentang terhadap infeksi dan adanya luka pada kulit merupakan tempat masuk
mikroorganisme. Mikroorganisme dapat masuk melalui rute yang sama untuk keluarnya
mikroorganisme (Perry & Potter, 2005).
e. Kepekaan dari host (host susceptibility)
Seseorang terkena infeksi bergantung pada kerentanan terhadap agen infeksius.
Kerentanan tergantung pada derajat ketahanan individu terhadap mikroorganisme
patogen. Semakin virulen suatu mikroorganisme semakin besar kemungkinan kerentanan
seseorang. Resistensi seseorang terhadap agen infeksius ditingkatkan dengan vaksin
(Perry & Potter, 2005).

2.3 Penyebab Infeksi Nosokomial


a. Patogen (bakteri, jamur, virus, parasit)
Jumlah dan virulensi (kekuatan) bakteri yang tinggi, serta resistensi bakteri terhadap
antibiotik dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Umumnya, infeksi

5
nosokomial disebabkan oleh bakteri yang ada di rumah sakit. Bakteri tersebut bisa didapat
dari orang lain yang ada di rumah sakit, bakteri yang menjadi flora normal (bakteri yang
secara normal ada di dalam tubuh dan pada keadaan normal tidak menyebabkan gangguan)
orang itu sendiri, atau bakteri yang mengontaminasi lingkungan dan alat-alat di rumah sakit.
Selain bakteri, jamur dan virus atau parasit juga dapat menjadi penyebab infeksi
nosokomial. Yang dimaksud dengan bakteri yang resisten adalah ketika antibiotik menjadi
kurang efektif untuk membunuh bakteri tersebut. Hal ini disebabkan oleh penggunaan
antibiotik yang tidak sesuai dengan anjuran dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat
akan mengakibatkan bakteri yang ada di dalam tubuh manusia berubah karakter dan menjadi
tahan terhadap antibiotik. Rumah sakit merupakan tempat beragam jenis pasien, sehingga
bakteri yang resisten tersebut dapat menyebar di lingkungan rumah sakit dan akan lebih sulit
untuk ditangani bila menjangkiti seseorang.
b. Kondisi Pasien
Selain bakteri, kondisi dari pasien tersebut juga memengaruhi dapat atau tidaknya
terkena infeksi nosokomial. Beberapa kondisi pasien yang membuat lebih mudah terserang
infeksi nosokomial:
1. Usia.
Pasien lansia (usia di atas 70 tahun) dan bayi lebih mudah terserang infeksi
nosokomial.
2. Daya tahan tubuh dan penyakit yang dimiliki.
Pasien dengan penyakit kronis seperti diabetes, gagal ginjal,
dan kanker meningkatkan risiko seseorang terkena infeksi nosokomial. Keadaan akut
seperti koma, gagal ginjal akut, cedera berat (seperti habis kecelakaan atau luka
bakar), dan syok juga berkontribusi dalam meningkatkan risiko infeksi nosokomial.
Kondisi yang mengakibatkan daya tahan tubuh turun seperti pada penyakit
HIV/AIDS, malnutrisi, dan menggunakan obat-obatan yang dapat menurunkan daya
tahan tubuh. (misalnya: immnunosuppresant, kemoterapi) akan meningkatkan risiko
terkena infeksi nosokomial.
3. Prosedur yang dilakukan terhadap pasien.

6
Prosedur seperti tindakan operasi, pemasangan alat bantu napas (ventilator),
endoskopi, atau kateter meningkatkan risiko seseorang untuk terkena infeksi
nosokomial melalui kontaminasi langsung dengan alat yang masuk ke dalam tubuh.
c. Faktor Lingkungan
Lingkungan rumah sakit yang padat, kegiatan memindahkan pasien dari satu unit
ke unit yang lain, dan penempatan pasien dengan kondisi yang mudah terserang infeksi
nosokomial (misalnya pada ruang perawatan intensif, ruang perawatan bayi, ruang
perawatan luka bakar) di satu tempat dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi
nosokomial. Lamanya waktu perawatan di rumah sakit juga semakin meningkatkan risiko
terkena penyakit nosokomial.
2.4 Faktor – Fakter Yang Mempengaruhi Infeksi Nosokomial
Rumah Sakit selain bertujuan untuk menyembuhkan dan merawat pasien dengan
penyakit tertentu, tetapi juga dapat memberikan dampak yang merugikan bagi pasien
apabila pasien mengalami infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial dapat dialami oleh
klien/pasien karena berbagai faktor baik internal maupun eksternal.

Berbagai kondisi di RS yang dapat mengakibatkan klien mengalami infeksi


nosokomial antara lain:

a. Banyaknya pasien yang dirawat di RS yang dapat menjadi sumber infeksibagi pasien
lain.
b. Kontak langsung antara pasien dengan pasien yang menjadi sumber infeksi
c. Kontak langsung antara pasien dengan petugas kesehatan yang terkontaminasi kuman
d. Kontak langsung pasien dengan alat/equipment yang kesehatan yang telah
terkontaminasi dengan kuman
e. Kondisi klien yang lemah dan daya tahan tubuh klien yang rendah
f. Prosedur tindakan medis/keperawatan yang tidak aseptic

Secara lebih spesifik, sumber-sumber infeksi nosokomial dapat dibedakan dalam 2 kegiatan
/ tindakan yaitu:

a. Tindakan Invasif
Sumber infeksi pada tindakan invasif adalah:

7
 Petugas kesehatan (medis/keperawatan)
 Tidak memahami teknik yang baik utk mencegah penularan/penyebaran kuman
pathogen
 Tidak menyadari tindakan yang dilakukan berpotensi untuk mengkontaminasi
kuman
 Tidak memperhatikan personal hygiene
 Menderita/menularkan penyakitnya pada klien
 Tidak melaksanakan teknik aseptik dengan baik
 Tidak mengusai PROTAP tindakan dengan baik
 Bekerja ceroboh/kurang hati-hati
 Tidak mencuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan klien
 Melakukan cuci tangan dengan teknik yang tidak benar
A. Alat-alat kesehatan/equipment
1. Alat -alat yg digunakan dalam keadaan kotor, tidak steril atau korosif
2. Cara penyimpanan tidak baik
3. Digunakan berulang kali tanpa didisinfeksi lagi
4. Kadaluarsa
B. Kondisi Pasien
1. Hygiene personal buruk
2. Status gizi buruk /malnutrisi
3. Menderita penyakit kronis; penyakit infeksi; penyakit menukr
4. Mengkonsumsi obat-obatan Imunosupresif (menekan sistem imun
tabufe)
C. Lingkungan
1. Ventilasi yang tidak adekuat
2. Penerangan /sinar matahari yang kurang
3. Ruangan yang lembab dan kotor
4. Ada air tergenang
5. Banyak serangga

8
a. Tindakan Non Invasif
Tindakan non invasif merupakan tindakan medis/keperawatan tanpa
memasukkan alat kesehatan kedalam tubuh klien. Conlohnya: tindakan
pemeriksaan EKG, USG, Tredmill, pengukuran tekanan darah, nadi, suhu tubuh,
dan refleks tonus. Sumber infeksi pada tindakan non invasif antata lain:

1. Pasien dengan pasien lain


Pasien yang menderita penyakit menular dapat tertular penyaktnya pada
pasien lain
2. Pasien dengan petngas kesehatan
Petugas kesehatan yang menderita penyakit menular/infeksi dapat menularkan
penyakitnya pada pasien yg sedang dirawat.
3. Pasien dengan pengunjung
Pengunjung yang menderita penyakit infeksi/menular dapat menularkan
penyakitnya pada pasien yang sedang dirawat di nimah sakit.en dengan alat-
alat kesehatan
2.5 Cara Penularan Infesi Nosokomial
Menurut Depkes RI (1995) macam-macam penularan infeksi nosokomial bisa berupa :
1. Infeksi silang (Cross Infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh kuman yang
didapat dari orang atau penderita lain di rumah sakit secara langsung atau tidak
langsung.
2. Infeksi sendiri (self infection) yaitu: infeksi nosokomial berasal dari penderita sendiri
(flora endogen) yang berpindah ke tempat atau bagian tubuh lain, seperti kuman
Escherichia coli dan staphylococcus aureus, kuman tersebut dapat berpindah melalui
benda yang dipakai, seperti linen atau gesekan tangan sendiri.
3. Infeksi lingkungan (Enverenmental infection), yaitu infeksi yang disebabkan oleh
kuman yang berasal dari benda atau bahan yang tidak bernyawa yang berada di
lingkungan rumah sakit, misalnya lingkungan yang lembab dan lain-lain

Tranmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai cara, bisa lebih
dari satu cara. Menurut Septiari (2012) ada empat cara terjadinya tranmisi
mikroorganisme yaitu:

9
1. Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung,
dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan
langsung dengan penjamu, misalnya person to person pada penularan terjadi
antara pasien ke pasien, petugas ke pasien, pengunjung ke pasien. Kontak tidak
langung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara (biasanya
benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh
infeksi, misalnya kontaminasi peralatan medis oleh mikroorganisme.
2. Penularan melalui common vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman,
dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-
jenis common vehicle adalah darah atau produk darah, cairan intravena, obat-
obatan dan sebagainya.
3. Penularan melalui udara, dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang
sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh,
dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam
sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan mikroorganisme yang dapat
hidup di udara seperti bakteri.
4. Penularan dengan perantara vector
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut
penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis
dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan
salmonella oleh lalat. Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk
ke dalam tubuh vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis.
2.6 Tujuan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
Pengendalian infeksi adalah mengendalikan penyebaran agen penyebab penyakit dengan
melakukan prosedur tertentu. Pengendalian infeksi adalah seperangkat kebijakan dan
prosedur yang digunakan untuk meminimalkan resiko penyebaran infeksi, terutama di luar
kesehatan, melainkan juga harus menjadi bagian penting dari kehidupan pribadi kita,
terutama di rumah kita.

10
Depkes RI (2007) menyatakan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah
program yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam
upaya menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit dan yang
bertanggungjawab terhadap tugas tersebut adalah komite/panitia pencegahan dan
pengendalian infeksi rumah sakit yang dibentuk oleh kepala rumah sakit.
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (PPIRS) adalah kegiatan yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta pembinaan dalam upaya
menurunkan angka kejadian Infeksi Rumah Sakit (IRS) pada pasien atau petugas rumah sakit
dan mengamankan lingkungan rumah sakit dari resiko transmisi infeksi yang dilaksanakan
melalui manajemen resiko, tata laksana klinik yang baik dan pelaksanaan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja RS (Kebijakan RSUD Kota Yogyakarta, 2015). Hal ini didukung dengan
adanya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 270/Menkes/III/2007 tentang pedoman
manajerial pengendalian infeksi di rumah sakit dan fasilitas kesehatan serta Keputusan
Menkes Nomor 381/Menkes/III/2007 mengenai pedoman pengendalian infeksi di rumah
sakit dan fasilitas kesehatan. Dan kebijakan direktur utama RSUP H. Adam Malik Medan
nomor : LB.02.01/ I / 2136 / 2009 tentang Pengendalian Infeksi Rumah Sakit (Pedoman
PPIRS RSUP HAM, 2012).
Program pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk melindungi pasien,
petugas kesehatan, pengunjung dan lain - lain di dalam lingkungan rumah sakit serta
penghematan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan
lainnya dan yang paling penting adalah menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial.
2.7 Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
Menurut Depkes RI (2008) strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:
a. Peningkatan daya tahan pejamu.
Daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian imunisasi aktif (contoh
vaksinasi Hepatitis B), pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi
kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan
tubuh,
b. Inaktivasi
agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik
maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau

11
Sterilisasi) dan memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi
air, disinfeksi,
c. Memutus rantai penularan.
Hal ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah penularan penyakit
infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun
dalam suatu Isolation Precautions (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua
pilar/tingkatan yaitu Standard Precaution (Kewaspadaan Standar) dan Transmission-
based Precautions (Kewaspadaan Berdasarkan Cara Penularan),
d. Tindakan
pencegahan paska pajanan (Post Exposure Prophylaxis/ PEP) terhadap petugas
kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang
ditularkan melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka
tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.
2.8 Kewaspadaan standar (Standard precautions)
Berdasarkan WHO (2004) kewaspadaan standar adalah prinsip kewaspadaan sebagai
bagian manajemen resiko pada pengendalian infeksi RS yang dilaksanakan secara
menyeluruh oleh setiap petugas berdasarkan perhitungan besar resiko transmisi infeksi yang
dihadapi pada setiap pelayanan rawat jalan maupun rawat inap untuk melindungi pasien,
petugas, pengunjung maupun lingkungan RS.
Prinsip kewaspadaan standar meliputi : Kebersihan tangan, APD, Perawatan peralatan
pasien, Pengendalian lingkungan, Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen,
Kesehatan karyawan/Perlindungan petugas kesehatan, Penempatan pasien, Hygiene
respirasi/Etika batuk, Praktek menyuntik yang aman, Praktek pencegahan infeksi untuk
prosedur lumbal pungsi.
1. Kebersihan tangan
Mencuci tangan adalah prosedur kesehatan paling penting yang dapat dilakukan
oleh semua orang untuk mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah
tindakan aktif, singkat dengan menggosok bersamaan semua permukaan tangan
dengan memakai sabun, yang kemudian diikuti dengan membasuhnya dibawah air
yang mengalir.

12
Tujuannya adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang menempel dari
tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba pada saat itu (Depkes RI, 2007).
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum perawat memeriksa (kontak langsung)
dengan pasien dan sebelum memakai sarung tangan bedah steril sebelum pembedahan
atau sarung tangan pemeriksaan untuk pemeriksaan rutin. Mencuci tangan juga
sebaiknya dilakukan setelah perawat melakukan kontak yang lama dan intensif
dengan pasien, setelah memegang instrumen atau alat yang kotor, dan setelah
menyentuh selaput lendir, darah serta setelah melepaskan sarung tangan. Jadi paling
tidak perawat mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan keperawatan
ke pasien. Kebersihan tangan adalah ukuran utama untuk mengurangi infeksi.
Meskipun mencuci tangan terlihat suatu tindakan yang sederhana, tetapi hal itu
kurang adanya dukungan dengan dilaksanakannya perilaku mencuci tangan di
kalangan penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia yang mempunyai masalah
infeksi nosokomial (WHO,2005).
Ada 10 langkah yang menjadi pedoman dalam WHO untuk mensosialisasikan
cuci
tangan dengan sabun dan air. Langkah mencuci tangan yang benar menurut WHO
(2005) adalah:
1. Basahi tangan dengan air.
2. Tuangkan sabun ke telapak tangan.
3. Ratakan sabun dengan ke dua tangan sampai kedua telapak tangan
terkena sabun.
4. Gosok punggung tangan kanan dengan tangan kiri sampai sela-sela jari
bergantian.
5. Telapak tangan saling bersentuhan dengan jari yang disilangkan pada
sela jari.
6. Letakan punggung jari pada telapak satunya dengan jari saling
mengunci.
7. Menggosok ibu jari dengan menggenggam ibu jari kiri dengan tangan
kanan lalu diputar begitu pula sebaliknya.

13
8. Menggosok jari-jari tangan kanan pada telapak tangan kiri untuk
membersihkan kotoran kuku tangan kanan, begitu pula sebaliknya.
9. Bilas dengan air yang mengalir.
10. Pakai handuk kering dan bersih atau tissue sekali pakai untuk
mengeringkan tangan.
Berdasarkan pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) ada lima momen untuk
kebersihan tangan yaitu :
1) Sebelum menyentuh pasien
2) Sebelum prosedur bersih/aseptic
3) Setelah terpapar cairan tubuh
4) Setelah menyentuh pasien
5) Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.

Sedangkan menurut Depkes RI (2008) penggunaan handrub antiseptik


untuk tangan yang bersih lebih efektif membunuh flora residen dan flora
transien. Antiseptik ini cepat dan mudah digunakan serta menghasilkan
penurunan jumlah flora tangan awal yang lebih. Teknik untuk rnenggosok
tangan dengan antiseptic diantaranya sebagai berikut :

 Tuangkan secukupnya handrub berbasis alkohol untuk dapat mencakup


seluruh permukaan tangan dan jari (kira-kira satu sendok teh)
 Gosokkan larutan dengan teliti dan benar pada kedua belah tangan,
khususnya diantara jari-jemari dan di bawah kuku hingga kering.
2. Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri merupakan peralatan yang digunakan tenaga kesehatan untuk
melindungi diri dan mencegah infeksi nosokomial. APD perawat ketika praktik terdiri
dari (Depkes RI, 2003):
a. Sarung tangan
Pemakaian sarung tangan merupakan bagian terpenting dari universal precaution
bagi perawat yang sering berinteraksi dengan pasien maupun alat-alat
terkontaminasi (Depkes RI, 2003). Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan sarung tangan (Depkes RI, 2003) yaitu:

14
 Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah menggunakan sarung
tangan.
 Mengganti sarung tangan jika berganti pasien atau robek.
 Mengganti sarung tangan segera setelah melakukan tindakan.
 Menggunakan sarung tangan saat menggunakan alat nonkontaminasi.
 Menggunakan sarung tangan untuk satu prosedur tindakan.
 Menghindari penggunaan atau mendaur ulang kembali sarung tangan sekali
pakai.
b. Alat pelindung wajah
Alat pelindung wajah terdiri dari dua alat yaitu masker dan kaca mata
pelindung (Depkes RI, 2003). Penggunaan kaca mata digunakan sesuai dengan
kebutuhan dan tindakan yang memiliki risiko tinggi terpapar dengan darah atau
cairan tubuh pasien lainnya. Sedangkan masker dianjurkan untuk selalu
digunakan perawat ketika melakukan tindakan khususnya pada pasien TB atau
tuberkulosis (DepkesRI, 2003). Hal yang perlu diperhatikan ketika menggunakan
masker (WHO, 2004) yaitu:
 Memasang masker sebelum memakai sarung tangan.
 Tidak dianjurkan menyentuh masker ketika menggunakannya.
 Mengganti masker ketika kotor atau lembab.
 Melepaskan masker dilakukan setelah melepaskan sarung tangan dan cuci
tangan.
 Tidak membiarkan masker menggantung dileher.
 Segera melepas masker jika tidak digunakan.
 Tidak dianjurkan menggunakan kembali masker sekali pakai.
b. Penutup kepala
Fungsi utama penutup kepala membantu mencegah terjadinya percikan
darah maupun cairan pasien pada rambut perawat. Selain itu, penutup kepala
dapat mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut perawat maupun
kulit kepala ke area steril (Depkes RI, 2003).
c. Gaun pelindung

15
Gaun pelindung wajib digunakan ketika menangani pasien dengan
pendarahan, melakukan pembersihan luka, maupun tindakan lainnya yang
terpapar darah atau cairan tubuh pasien lainnya. Gaun pelindung terdiri dari
beberapa macam berdasarkan kegunaannya. Terdapat dua jenis gaun pelindung
yaitu gaun pelindung steril dan non steril (Depkes RI, 2003). Gaun steril
digunakan untuk memberikan perlindungan ketika berada di area steril seperti
ruang bersalin, ICU, operasi dan pada tindakan yang membutuhkan prosedur
steril. Hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan gaun pelindung :
1. Ukuran gaun pelindung harus cukup panjang dan dapat menutupi
seragam perawat bagian depan dan belakang namun tidak menutupi
lengan.
2. Jika menggunakan seragam lengan panjang, seragam harus digulung ke
atas siku dan perawat baru menggunakan gaun pelindung.
3. Ketika hendak melepaskan gaun pelindung, cara melepaskannya adalah
dari dalam keluar untuk mencegah kontaminasi cairan dengan seragam.
4. Setelah melepas gaun jangan lupa untuk selalu mencuci tangan sebelum
melakukan aktivitas.
d. Alas kaki sepatu
Penggunaan alas kaki juga bertujuan untuk mencegah kemungkinan
tusukan benda tajam maupun kejatuhan alat kesehatan (Depkes RI, 2003).
Standar alas kaki yang memenuhi standar APD adalah alas kaki yang menutupi
seluruh ujung jari dan telapak kaki serta terbuat dari bahan yang sudah dicuci
dan tahan tusukan. Penggunaan alas kaki termasuk juga sepatu yang dipakai
sehari hari harus memenuhi standar tersebut dan juga penggunaan sepatu
khusus seperti sepatu khusus di ruang tertentu misalnya operasi, ICU, ruang
bersalin dan isolasi.
Berdasarkan Depkes RI (2008) pedoman umum alat pelindung diri sebagai
berikut :
 Tangan harus selalu dibersihkan meskipun menggunakan APD

16
 Lepas dan ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang dapat digunakan kembali
yang sudah rusak atau sobek segera setelah anda mengetahui APD tersebut tidak
berfungsi optimal
 Lepaskan semua APD sesegara mungkin setelah selesai memberikan pelayanan dan
hindari kontaminasi terhadap :
a) Lingkungan di luar ruang isolasi,
b) Para pasien atau pekerja lain,
c) Diri anda sendiri,
 Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera membersihkan tangan :
a). Perkirakan risiko terpajan cairan tubuh sesuai atau area terkontaminasi sebelum
melakukan kegiatan perawatan kesehatan,
b) Pilih APD dengan perkiraan risiko terjadi pajanan,
c) Menyediakan sarana APD bila emergensi dibutuhkan untuk dipakai.
Pedoman PPIRS RSUP HAM (2012) menyatakan prinsip-prinsip PPI yang perlu
diperhatikan pada pemakaian APD yaitu :
a. Gaun pelindung, tutupi badan sepenuhnya dan leher hingga lutut, lengan hingga
bagian pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung, ikat di bagian
belakang leher dan pinggang,
b. Masker, eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher, paskan
klip hidung dan logam fleksibel pada batang hidung, paskan dengan erat pada
wajah dan di bawah dagu sehingga melekat dengan baik, periksa ulang
pengepasan masker,
c. Kacamata atau pelindung wajah, pasang pada wajah dan mata dan sesuaikan agar
pas,
d. Sarung tangan ditarik hingga menutupi bagian pergelangan tangan gaun isolasi.

Masloman et al. (2015) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi


petugas kesehatan menggunakan APD dalam menjamin keselamatannya sebelum
bersentuhan dengan pasien dan melakukan tindakan yaitu motivasi, perilaku,
kebiasaan maupun ketersediaan APD tersebut.

3. Sterilisasi alat

17
Menurut Depkes (2003) pengelolaan alat-alat kesehatan bertujuan untuk
mencegah penyebaran infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat
tersebut dalam keadaan steril dan siap pakai. WHO (2004) bahwa pengolahan ulang
instrumen dan peralatan, berisiko infeksi mentransfer dari instrumen dan peralatan
tergantung pada faktor-faktor berikut :
a. Adanya mikro-organisme, jumlah dan virulensi organisme
b. Jenis prosedur yang akan dilakukan (invasif atau non-invasif)
c. Bagian tubuh mana instrumen atau peralatan yang akan digunakan (menembus
jaringan mukosa atau kulit atau digunakan pada kulit utuh).

Pengolahan ulang instrumen dan peralatan dengan cara yang efektif meliputi:

1. Pembersihan instrumen dan peralatan segera setelah digunakan untuk


menghapus semua bahan organik, bahan kimia,
2. Disinfeksi (oleh panas dan air atau disinfektan kimia)
3. Sterilisasi
Sterilisasi alat/instrumen kesehatan pasca pakai di RS dilakukan dengan 2
cara yaitu secara fisika atau kimia, melalui tahapan pencucian (termasuk
perendaman dan pembilasan), pengeringan, pengemasan, labeling,
indikatorisasi, sterilisasi, penyimpanan, distribusi diikuti dengan pemantauan
dan evaluasi proses serta kualitas/mutu hasil sterilisasi secara terpusat melalui
lnstalasi Pusat Pelayanan Sterilisasi/Central Sterile Supply Department
(CSSD).
Pemrosesan alat instrumen pasca pakai dipilih berdasarkan kriteria alat,
dilakukan dengan sterilisasi untuk alat kritikal, sterilisasi atau Desinfeksi
Tingkat Tinggi (DTT) untuk alat semi kritikal, disinfeksi tingkat rendah untuk
non kritikal. Kriteria pemilihan desinfektan didasari secara cermat terkait
kriteria memiliki spektrum luas dengan daya bunuh kuman yang tinggi dengan
toksisitas rendah, waktu disinfeksi singkat, stabil dalam penyimpanan, tidak
merusak bahan dan efisien. CSSD bertanggungjawab menyusun panduan dan
prosedur tetap, mengkoordinasikan, serta melakukan monitoring dan evaluasi
proses serta kualitas hasil sterilisasi dengan persetujuan Komite PPI RS.

18
Alur kerja penyediaan barang steril sebagai berikut :
D. Pengumpulan dan serah terima/pencatatan alat/bahan non steril
E. Pengumpulan linen kotor dan di distribusikan ke laundry
F. Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan kotoran
dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan selanjutnya.
G. Perendaman/Desinfeksi yang merupakan proses fisik atau kimia untuk
membersihkan benda-benda yang terkontaminasi oleh mikroba dengan
melakukan perendaman sesuai label dan instruksi produsen
H. Pencucian semua alat-alat pakai ulang harus dicuci hingga benar-benar
bersih sebelum disterilkan
I. Pengeringan, sebelum dilakukan setting alat dan packing alat terlebih dahulu
alat-alat dikeringkan yang dilakukan dengan secara manual atau secara
mekanikal
J. Packing alat/bahan, semua material yang tersedia untuk fasilitas kesehatan
yang didesain untuk membungkus mengemas dan menampung alat - alat
yang dipakai ulang untuk sterilisasi, penyimpanan dan pemakaian
K. Labelling, proses identifikasi alat/instrumen sebulum dilakukan proses
sterilisasi (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
4. Pengendalian lingkungan
Menurut WHO (2004) sebuah lingkungan yang bersih memainkan peranan
penting dalam pencegahan dari Hospital Associated Infeksi (HAI). Pengendalian
lingkungan RS meliputi penyehatan air, pengendalian serangga dan binatang
pengganggu, penyehatan ruang dan bangunan, pemantauan hygiene sanitasi makanan,
pemantauan penyehatan linen, disinfeksi permukaan udara, lantai, pengelolaan
limbah cair, limbah B3 limbah padat medis, non medis dikelola oleh lnstalasi
Kesehatan Lingkungan dan Sub Bagian Rumah Tangga bekerjasama dengan pihak
ketiga, berkoordinasi dengan komite PPI RS, sehingga aman bagi lingkungan.
Pengelolaan limbah padat medis dipisahkan dan dikelola khusus sampai dengan
pemusnahannya sesuai persyaratan Kementerian Lingkungan Hidup sebagai limbah
infeksius (ditempatkan dalam kantong plastik berwarna kuning berlogo infeksius),
limbah padat tajam (ditempatkan dalam wadah tahan tusuk, tidak tembus basah dan

19
tertutup). Pengelolaan limbah padat non medis ditempatkan dalam kantong plastik
berwarna hitam. Prinsip metode pembersihan ruang perawatan dan lingkungan,
pemilihan bahan desinfektan, cara penyiapan dan penggunaannya dilaksanakan
berdasarkan telaah Komite PPI RS untuk mencapai efektivitas yang tinggi.
Pembersihan lingkungan ruang perawatan diutamakan dengan metode usap
seluruh permukaan lingkungan menggunakan bahan desinfektan yang efektif,
Pelaksanaan Panduan PPI RS dan standar prosedur operasional tentang pengendalian
lingkungan, monitoring dan evaluasinya dilaksanakan oleh Instalasi Kesehatan
Lingkungan bersama sub Bagian Rumah Tangga berkoordinasi dengan komite PPI.
Baku mutu berbagai parameter pengendalian lingkungan dievaluasi periodik dengan
pemeriksaan parameter kimia, biologi surveilans angka dan pola kuman lingkungan
berdasarkan standar Kepmenkes Rl No.416/MenKes/Per/|x1990 tentang persyaratan
Kualitas Air Bersih dan Air Minum, Kepmenkes Rl No. 492lMenKes/sKA/ll/2010
tentang persyaratan Kualitas Air Minum, Kepmenkes Rl No, l204/Menkes/X/2004
tentang persyaratan kesehatan lingkungan RS.
Tahap Pengelolaan Limbah sebagai berikut :
a. Identifikasi Limbah : padat, cair, tajam, infeksius, non infeksius
b. Pemisahan : pemisahan dimulai dari awal penghasil limbah, pisahkan limbah
sesuai dengan jenis limbah, tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, limbah cair
segera dibuang ke wastafel di spoelhok
c. Labeling : limbah padat infeksius, plastik kantong kuning yang diberi symbol
biohazard, limbah padat non infeksius, plastik kantong warna hitam, limbah
benda tajam, wadah tahan tusuk dan air /jerigen yang diberi symbol biohazard
d. Packing : tempatkan dalam wadah limbah tertutup, tutup mudah dibuka, kontainer
dalam keadaan bersih, kontainer terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak
berkarat
e. Tempatkan setiap kontainer limbah pada jarak 10 - 20 meter, ikat limbah jika
sudah terisi 3/4 penuh, kontainer limbah harus dicuci setiap hari
f. Penyimpanan : simpan limbah di tempat penampungan sementara khusus,
tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat dengan kuat, beri label pada

20
kantong plastik limbah, setiap hari limbah diangkat dari tempat penampungan
sementara
g. Pengangkutan : mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong khusus,
kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup, tidak boleh ada yang
tercecer, sebaiknya lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, gunakan
alat pelindung diri ketika menangani limbah, tempat penampungan sementara
harus di area terbuka, terjangkau (oleh kendaraan), aman dan selalu dijaga
kebersihannya dan kondisi kering
h. Treatment : limbah infeksius dimasukkan dalam incenerator, limbah non infeksius
dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), limbah benda tajam dimasukkan
dalam incenerator, limbah cair dalam wastafel di ruang spoelhok, limbah feces
dan urine ke dalam WC yang langsung dialirkan ke IPAL (Instalasi Pengolahan
Air Limbah)
i. Penanganan Limbah Benda Tajam : jangan menekuk atau mematahkan benda
tajam, jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang tempat, segera buang
limbah benda tajam ke kontainer yang tersedia tahan tusuk dan tahan air dan tidak
bisa dibuka lagi, selalu buang sendiri oleh si pemakai, tidak menyarungkan
kembali jarum suntik habis pakai, kontainer benda tajam diletakkan dekat lokasi
tindakan,
j. Penanganan Limbah Pecahan Kaca : gunakan sarung tangan rumah tangga,
gunakan kertas koran untuk mengumpulkan pecahan benda tajam tersebut,
kemudian bungkus dengan kertas, masukkan dalam kontainer tahan tusukan beri
label
k. Unit Pengelolaan Limbah Cair : pengolahan limbah cair dengan sistim bakteri
Aerob di IPAL (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).

Pruss (2005) menyatakan proses pengelolaan limbah medis pada tahap pemilahan
dilakukan oleh perawat dan tahap pengangkutan oleh petugas kebersihan.
5. Pengelolaan linen
Manajemen linen yang baik merupakan salah satu upaya untuk menekan
kejadian infeksi nosokomial. Selain itu pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan

21
juga mempunyai peran yang sangat penting. Pengelolaan linen bertujuan mencegah
kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien dan lingkungan,
meliputi proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen kotor, pemilahan dan
teknik pencucian sampai dengan pengangkutan dan distribusi linen bersih.
Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah untuk mengurangi risiko
infeksi pada pasien, petugas dan lingkungan dilakukan menyeluruh dan sistematis
agar mencegah kontaminasi, di bawah tanggung jawab lnstalasi Laundry
berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Jenis linen di RS diklasifikasikan menjadi
linen bersih, linen steril, linen kotor infeksius, linen kotor non infeksius (linen kotor
berat dan linen kotor ringan). Pencegahan kontaminasi lingkungan maupun pada
petugas dilakukan dengan disinfeksi kereta linen, pengepelan/disinfeksi lantai,
implementasi praktik kebersihan tangan, penggunaan APD sesuai potensi risiko
selama bekerja (Pedoman PPIRS RSUP HAM, 2012).
Prinsip-prinsip dasar pengelolaan linen adalah sebagai berikut: linen yang
sudah digunakan tempatkan di tas yang tepat, linen kotor dengan cairan tubuh
atau cairan lain tempatkan dalam tas kedap air yang cocok dan aman untuk
transportasi untuk menghindari tumpahan atau menetes darah, cairan tubuh,
sekresi atau ekskresi. Jangan membilas atau memilah linen di daerah perawatan
pasien. Handle semua linen dengan agitasi minimum untuk menghindari
aerosolisation dari patogen mikro-organisme. Separate bersih dari linen kotor dan
transportasi secara terpisah.Pencucian linen (seprai, selimut kapas) dalam air
panas (70 ° C hingga 80 ° C) dan deterjen, bilas dan keringkan sebaiknya dalam
pengeringan atau di bawah sinar matahari. Autoclave linen sebelum dipasok ke
kamar operasi. Pencucian selimut wol dalam air hangat dan keringkan di bawah
sinar matahari, di pengering pada suhu dingin atau kering-bersih (WHO, 2004).
6. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) petugas di RS
Kesehatan dan keselarnatan kerja petugas di RS terkait risiko penularan
infeksi karena merawat pasien maupun identifikasi risiko petugas yang mengidap
penyakit menular dilaksanakan oleh Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite PPI
RS. Pencegahan penularan infeksi pada dan dari petugas dilakukan dengan
pengendalian administratif untuk petugas yang rentan tertular infeksi ataupun berisiko

22
menularkan infeksi dikoordinasikan Unit K3 RS bersama Komite PPI RS dan Bagian
Sumber Daya Manusia (SDM) berupa penataan penempatan SDM, pemberian
imunisasi, dan sosialisasi PPI berkala khususnya di tempat risiko tinggi infeksi.
Perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kondisi kesehatan petugas dilakukan
dengan pemeriksaan kesehatan prakarya dan berkala sesuai faktor risiko di tempat
kerja. Perencanaan, pengadaan dan pengawasan penggunaan alat pelindung diri
petugas dari risiko infeksi yang berupa alat/ bahan tidak habis pakai dikelola Unit K3
RS berkoordinasi dengan Komite PPI RS. Unit K3RS berkoordinasi dengan Komite
PPI RS mengembangkan panduan dan menyusun standar pelaporan dan penanganan
kejadian kecelakaan kerja terkait pajanan infeksi, mensosialisasikan, memonitor
pelaksanaan, serta melakukan evaluasi kasus dan menyusun rekomendasi
tindaklanjutnya. Surveilans pada petugas dan pelaporannya dilakukan secara teratur,
berkesinambungan, periodik oleh unit K3RS berkoordinasi dengan PPI RS. Petugas
kesehatan berada pada risiko tertular infeksi melalui karyawan Rumah Sakit. Ketika
bekerja juga dapat menularkan infeksi ke pasien dan karyawan lainnya.
Dengan demikian, program kesehatan karyawan harus berada di tempat untuk
mencegah dan mengelola infeksi pada staf rumah sakit. kesehatan karyawan harus
ditinjau pada perekrutan, termasuk riwayat imunisasi dan penyakit menular
sebelumnya (Misal TBC) dan status kekebalan. Beberapa infeksi sebelumnya seperti
virus varicella-zoster dapat dinilai dengan uji serologis. Imunisasi dianjurkan untuk
staf meliputi: hepatitis A dan B, influenza, campak, gondok, rubella, tetanus, dan
difteri. Imunisasi terhadap varicella, rabies dapat dipertimbangkan dalam kasus-kasus
tertentu. Mantoux tes kulit akan mendokumentasikan tuberkulosis sebelumnya (TB).
Kebijakan pasca-paparan spesifik harus dikembangkan, dan kepatuhan
dipastikan untuk sejumlah penyakit menular misalnya : Human Immunodeficiency
Virus (HIV), virus hepatitis, sindrom pernapasan akut parah (SARS), varicella,
rubella dan TBC. Pekerja perawatan kesehatan dengan infeksi harus melaporkan
penyakit mereka/insiden untuk staf klinik untuk evaluasi dan pengelolaan selanjutnya
(WHO, 2004). Depkes RI, (2007) menyatakan bahwa petugas kesehatan saat menjadi
karyawan baru harus diperiksa riwayat pernah infeksi apa dan status imunisasinya.

23
Imunisasi yang dianjurkan untuk petugas kesehatan adalah Hepatitis B, dan bila
memungkinkan A, influenza, campak, tetanus, difteri, dan rubella.
7. Penempatan pasien/Kewaspadaan pasien
Penanganan pasien dengan penyakit menular/suspek sebagai berikut :
a. Terapkan dan lakukan pengawasan terhadap kewaspadaan standar. Untuk
kasus/dugaan kasus penyakit menular melalui udara
b. Letakkan pasien di dalam satu ruangan tersendiri. Jika ruangan tersendiri tidak
tersedia, kelompokkan kasus yang telah dikonfirmasi secara terpisah di dalam
ruangan atau bangsal dengan beberapa tempat tidur dari kasus yang belum
dikonfirmasi atau sedang didiagnosis (kohorting). Bila ditempatkan dalam 1
ruangan, jarak antar tempat tidur harus lebih dari 2 meter dan diantara tempat
tidur harus ditempatkan penghalang fisik seperti tirai atau sekat
c. Jika memungkinkan, upayakan ruangan tersebut dialiri udara bertekanan negatif
yang di monitor (ruangan bertekanan negatif) dengan 612 pergantian udara per
jam dan sistem pembuangan udara keluar atau menggunakan saringan udara
partikufasi efisiensi tinggi (filter HEPA) yang termonitor sebelum masuk ke
sistem sirkulasi udara lain di rumah sakit
d. Jika tidak tersedia ruangan bertekanan negatif dengan sistem penyaringan udara
partikulasi efisiensi tinggi, buat tekanan negatif di dalam ruangan pasien dengan
memasang pendingin ruangan atau kipas angin di jendela sedemikian rupa agar
aliran udara ke luar gedung melalui jendela. Jendela harus membuka keluar dan
tidak mengarah ke daerah publik. Uji untuk tekanan negatif dapat dilakukan
dengan menempatkan sedikit bedak tabur dibawah pintu dan amati apakah
terhisap ke dalam ruangan. Jika diperlukan kipas angin tambahan di dalam
ruangan dapat meningkatkan aliran udara
e. Jaga pintu tertutup setiap saat dan jelaskan kepada pasien mengenai perlunya
tindakan- tindakan pencegahan ini
f. Pastikan setiap orang yang memasuki ruangan memakai APD yang sesuai, masker
(bila memungkinkan masker efisiensi tinggi harus digunakan, bila tidak, gunakan
masker bedah sebagai alternatif), gaun, pelindung wajah atau pelindung mata dan
sarung tangan

24
g. Pakai sarung tangan bersih, non-steril ketika masuk ruangan
h. Pakai gaun yang bersih, non-steril ketika masuk ruangan jika akan berhubungan
dengan pasien atau kontak dengan permukaan atau barang-barang di dalam
ruangan.

Pertimbangan pada saat penempatan pasien antara lain :

1. Kamar terpisah bila dimungkinkan kontaminasi luas terhadap lingkungan,


misal: luka lebar dengan cairan keluar, diare, perdarahan tidak terkontrol
2. Kamar terpisah dengan pintu tertutup diwaspadai transmisi melalui udara ke
kontak, misal: luka dengan infeksi kuman gram positif
3. Kamar terpisah atau kohort dengan ventilasi dibuang keluar dengan exhaust
ke area tidak ada orang lalu lalang, misal : TBC,
4. Kamar terpisah dengan udara terkunci bila diwaspadai transmisi airborne
luas, misal: varicella
5. Kamar terpisah bila pasien kurang mampu menjaga kebersihan (anak,
gangguan mental)
6. Bila kamar terpisah tidak memungkinkan dapat kohorting. Bila pasien
terinfeksi dicampur dengan non infeksi maka pasien, petugas dan pengunjung
menjaga kewaspadaan untuk mencegah transmisi infeksi (Pedoman PPIRS
RSUP HAM, 2012).
8. Hygiene respirasi/Etika batuk
Etika batuk merupakan suatu teknik yang dirancang untuk meminimalkan
penularan patogen pernapasan melalui rute droplet atau udara (CDC, 2012).
Kebersihan pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting untuk mengendalikan
penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien, pengunjung dan petugas kesehatan
harus dianjurkan untuk selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan pernafasan untuk
mencegah sekresi pernafasan.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan saat batuk atau bersin yaitu :
a. Tutup hidung dan mulut dengan tisu
b. Buang jaringan yang digunakan dalam wadah limbah terdekat

25
c. Lakukan kebersihan tangan dengan sabun dan air atau larutan antiseptik (Depkes
RI, 2008).
9. Praktek menyuntik yang aman
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam praktek menyuntik yang aman
berdasarkan WHO (2004) sebagai berikut :
a. Berhati-hati untuk mencegah cedera saat menggunakan jarum, pisau bedah
dan instrumen atau peralatan tajam lainnya
b. Gunakan jarum suntik sekali pakai, pisau bedah dan benda tajam lainnya,
c. Tempatkan item benda tajam dalam wadah tahan tusukan dengan tutup yang
menutup dan terletak dekat dengan daerah di mana item tersebut digunakan,
d. Berhati-hati ketika membersihkan instrumen atau peralatan tajam yang dapat
digunakan kembali
e. Benda tajam harus tepat desinfeksi dan dimusnahkan sesuai pedoman atau
standar nasional.

Sedangkan untuk penanganan benda tajam menurut Tietjen (2004) yaitu:

1. Tidak disarankan untuk menyarungkan kembali atau melepaskan spuit


2. Memasukkan benda- benda tajam tersebut ke dalam wadah sebelum
diinsersi.
10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi.
Pemakaian masker pada insersi cateter atau injeksi suatu obat kedalam area
spinal epidural melalui prosedur lumbal punksi misal saat melakukan anastesi spinal
dan epidural, myelogram, untuk mencegah transmisi droplet flora orofaring (WHO,
2004). Schulz-Stubnerr (2008) dalam Masloman (2015) menyatakan infeksi yang
terjadi akibat pemberian anestesi spinal di kamar operasi sangat berbahaya dari
100.000 prosedur anestesi spinal didapatkan angka kejadian meningitis yang
berhubungan dengan pemberian anestesi spinal sebesar 3,7-7,2.
Sedangkan kejadian epidural abses berkisar antara 0,2 sampai 83/100.000
prosedur anestesi spinal. Kebersihan tangan dan pemakaian alat pelindung diri
sebelum melakukan pemberian anestesi spinal merupakan salah satu cara yang
penting untuk menekan angka kejadian infeksi saat pemberian anestesi spinal.

26
2.9 Kewaspadaan berdasarkan cara penularan
WHO (2004) bahwa kewaspadaan tambahan (berdasarkan transmisi) tindakan
pencegahan yang diambil sambil memastikan tindakan pencegahan standar dipertahankan
adalah tindakan pencegahan tambahan meliputi:
1. pencegahan airborne,
Tindakan pencegahan airborne berikut harus diambil : tempatkan pasien di satu
ruangan yang memiliki aliran udara tekanan negatif dan dipantau, udara harus
dibuang ke luar rumah atau khusus disaring sebelum diedarkan ke area lain dari
fasilitas pelayanan kesehatan, pintu harus ditutup, setiap yang memasuki ruangan
harus memakai pakaian khusus, filtrasi tinggi, memakai masker, batasi gerakan dan
transportasi pasien dari kamar untuk tujuan penting saja.
2. pencegahan droplet
Jika transportasi diperlukan, meminimalkan penyebaran droplet nuklei dengan
penggunaan masker pada pasien dengan masker bedah. Tindakan pencegahan droplet
berikut harus diambil : tempatkan di satu ruangan (di sebuah ruangan dengan pasien
lain dengan pasien terinfeksi oleh patogen yang sama), gunakan masker bedah ketika
bekerja dalam waktu 1-2 meter dari pasien, gunakan masker bedah pada pasien jika
transportasi diperlukan, penanganan udara dan ventilasi tidak diperlukan untuk
mencegah droplet penularan infeksi.
3. pencegahan kontak.
Tindakan pencegahan kontak berikut harus diambil : tempatkan di satu ruangan (di
sebuah ruangan dengan pasien lain dengan pasien terinfeksi oleh patogen yang sama),
Pertimbangkan epidemiologi dari penyakit dan populasi pasien saat menentukan
penempatan pasien, pakaian bersih, sarung tangan non - steril ketika memasuki
ruangan, gunakan gaun non - steril bersih ketika memasuki ruangan jika kontak
dengan pasien, permukaan lingkungan atau item dalam kamar pasien diantisipasi,
batasi gerakan dan transportasi pasien dari ruangan, pasien harus dipindahkan untuk
tujuan penting saja. Jika transportasi diperlukan gunakan tindakan pencegahan untuk
meminimalkan risiko penularan.

27
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh


pejamu yang mampu menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Infeksi nosokomial adalah
infeksi yang didapat seseorang dalam waktu 3x24 jam sejak mereka masuk rumah sakit
(Depkes RI, 2003). Mikroorganinisme dapat hidup di manapun dalam lingkungan kita. Pada
manusia dapat ditemukan pada kulit, saluran pernafasan bagian atas, usus, dan organ genital.
Disamping itu mikroorganisme juga dapat hidup pada hewan, tumbuhan, tanah, air, dan
udara.

Penyebab infeksi nosokomial diantaranya yaitu Patogen (bakteri, jamur, virus,


parasit), kondisi pasien dan faktor lingkungan. Rumah Sakit selain bertujuan untuk
menyembuhkan dan merawat pasien dengan penyakit tertentu, tetapi juga dapat memberikan
dampak yang merugikan bagi pasien apabila pasien mengalami infeksi nosokomial. Infeksi
nosokomial dapat dialami oleh klien/pasien karena berbagai faktor baik internal maupun
eksternal.

Cara penularan infeksi nosokomial diantaranaya ada infeksi silang, infeksi sendiri dan
infeksi lingkungan. pencegahan dan pengendalian infeksi bertujuan untuk melindungi pasien,
petugas kesehatan, pengunjung dan lain - lain di dalam lingkungan rumah sakit serta
penghematan biaya dan meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit dan fasilitas kesehatan
lainnya dan yang paling penting adalah menurunkan angka kejadian infeksi nosokomial.

Prinsip kewaspadaan standar meliputi : Kebersihan tangan, APD, Perawatan peralatan


pasien, Pengendalian lingkungan, Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen,
Kesehatan karyawan/Perlindungan petugas kesehatan, Penempatan pasien, Hygiene
respirasi/Etika batuk, Praktek menyuntik yang aman, Praktek pencegahan infeksi untuk
prosedur lumbal pungsi. Kewaspadaan berdasarkan penularan diantaranya ada pencegahan
airborne, pencegahan droplet dan pencegahan kontak.

28
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. (2003). Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Infeksi Nosokomial Di
ICU. Jakarta.
Depkes RI. (2007). Pedoman Manajerial Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Nosokomial Di
Rumah Sakit. Jakarta.
Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendalian. Salemba Medika, Jakarta
Depertemen Kesehatan RI, 2008,Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Di Rumah Sakit, Jakarta
: Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
WHO, 2004. Prevention of hospital acquired infection, A practical guide, 2nd edition. Diakses
26 Februari 2010. http://www.who.int/reseach/en/amc.
Potter & Perry. (2005). Buku Ajar fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik.
Edisi 4. EGC. Jakarta
Septiari, B. B. (2012). Infeksi Nosokomial. Yogyakarta: Nuha Medika
Tietjen. (2004). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan Dengan
Sumber Daya terbatas. Jakarta: Tridasa Printer

29

Anda mungkin juga menyukai